Minggu, 23 Mei 2010

MEMBEDAKAN ANTARA ARAB (PENDUDUK KOTA)DAN ARAB PENDUDUK DESA)
Oleh : A. Muher

Dr. Toha Husein menggambarkan kehidupan di tengah jazirah Arab sebelum munculnya 1slam, "bahwa kehidupannya keras dan kejam, dan bahwa sistem kesukuan lebih banyak berpijak pada fanatisme katimbang pada yang lain, kecuali penduduk kota atau desa yang berkehidupan lebih luas dan mapan. Mereka tidak bepergian sebagaimana yang lain untuk merumput atau mencari makanan meskipun belum terbebas dari fanatisme".' Di antara kota kota atau kampung karnpung, dengan berbagai macam namanya, sebagaimana yang disebut oleh Dr. Toha Husein adalah Makkah, Thaif, Yatsrib, dan beberapa oase (wahat) di daerah Yamamah; minin tnya tempat tempat yang mapan itu dikembalikan pada kondisi alam semenanjung jazirah Arab yang berpadang pasir dan tidak adanya sungai sungai di sana. Ini merupakan salah satu sebab penting yang mendukung "berkembangnya kehidupan masyarakat Baduwi, banyaknya penduduk yang dikuasai oleh watak Baduwi,

1 Dr. Toha Husein, Mir'ah al Islam (Dar al Ma'arif, Mesir:

65

ahimya semangat individualistis, dan sikap saling bunuh membunuh antara sebagian suku dengan suku yang lain, sehingga tempat tempat yang berkembang (maju) dan tempat tempat yang memiliki sumber sumber air dan mata air menjadi sangat terbatas".' Demikianlahmasyarakat Arab sebelum lahirnya Islam terbagi menjadi masyarakat yang menetap di desa~desa dan masyarakat yang berpindah pindah (nomaden), dan dari sinilah muncul istilah semi kelas jika istilah itu benar antara penduduk kota, kampung, dan atau pusat pusat yang mungkin dapat dikatakan pusat peradaban (hadlariyah), dan penduduk Baduwi yang hidupnya berpindah pindah (nomaden) untuk mendapatkan makanan dari lokasi setempat. "Adapun penduduk Baduwi selalu bekerja sebagai pengrajin, bercocok tanam, pedagang, dan pelaut. Mereka hanya menggantungkan hidup pada hasil binatang peliharaan, memakan dagingnya setelah dirawat beberapa waktu, meminum air susunya, memanfaatkan bulunya sebagai pakaian dan menjadikannya tenda~tenda untuk berteduh. Apabila mengalami kesulitan (keterpaksaan), mereka memakan biawak, binatang sejenis tikus (ferboa), dan binatang sejenis marmut (Hyrax Syriaca). Mereka menggantungkan hidupnya pada alam. Di saat musim hujan mereka pergi merumput ke tempat tumbuhnya tanaman. jika musim. sudah berganti, mereka kembali ke tempat asalnya".' Penduduk yang menempati pusat pusat peradaban disebut dengan "al Arab", sedangkan penduduk Baduwi disebut dengan "al A'drib"atau "al A'rab". Seorang penyair mengatakan: "A'drib,
mereka yang mempunyai kemulyaan lewat kebohongan".

2 Abu Hasan Ali al Husna al Tadawi, al Sirah al¬
Nabawiyah, tentang pasal ThaWah al jazirah wa Affluhah (Dar al¬
Syuruq, Jeddah: Rabus Tsani 1397 H/ 1977 M), cet. 1, hal. 80
1 Ahmad Arnin, Fajr al Islam (Maktabah al Nahdlah al
Mishriyah), cet XIII, hal. 9

66

Bagaimanapun asal usul kata Arab, namun yang pasti kata itu menjadi jenis sebutan bagi generasi manusia. Mereka adalah penduduk kota. Sedangkan A'rab adalah penduduk desa desa yang berpindah pindah (nomaden) untuk mendapat makanan dan mencari perlindungan, dan orang yang dinisbatkan pada penduduk ini disebutan dengan "A'rabiy". Seorang drabi sangat bahagia jika dipanggil dengan: hai orang "arabiy", sementara seorang "arabiy" akan marah jika dipanggil dengan sebutan: hai 'Vrabiy" .4 Ibnu Qutai.bah berpendapat, bahwa "al A'rabiy merupakan sebutan yang lazim untuk penduduk desa (Baduwi)". Ibnu Khaldun adalah salah satu di antara segelintir orang yang menerangkan al drab atau penduduk BacluwL Ia berpendapat "bahwa penduduk Baduwi lebih dahulu ada dibanding dengan penduduk kota (al hadlar). Mereka merupakan masyarakat asal, lebih dekat pada kebaikan dan lebih berani katimbang penduduk kota (al¬hadlar). Penduduk Baduwi hanya ada (bertempat tinggal) pada suku suku yang penduduknya memiliki rasa fanatisme."5 Sejarah Islam menguatkan kebenaran pendapat Ibnu Khaldun karena mayoritas pasukan penaklukan berasal dari penduduk Baduwi (al a'rab). Inilah yang mendorong Dr. Toha Husein, sebagaimana yang telah disebut terdahulu, untuk menafsirkan pemyataan Umar bin Khattab: "masyarakat Arab adalah bahan (materi) Islarn", yakni bahwa mereka menjadi bahan bantuan pasukan dalam penaklukkan (Islam).
Betapapun demikian, pembedaan antara al arab (penduduk kota) dan al drab (penduduk desa) telah mapan (berkembang) di tengah tengah masyarakat Arab sebelum
CAT KAKI... 'Lembaga Bahasa Arab, Mujam Affiadz al Qur'an al Kariem, materi A R B (al Hai'ah al Mishriyah al Amah Ii al Kitab, t.t.) vol. II,

'Ibnu Khaldun, al Muqaddimah (Mathba'ah al Taqaddum al Amirah, Mesir: 1322 H), hal. 97 100

67
turunnya wahyu pada nabi Muhammad Saw., khususnya di wilayah wilayah yang berperadaban, di antaranya Makkah tempat awal Islam lahir, Yatsrib (Madinah) tempat ditegakkan Islam, dan tradisi ini terus berpindah ke dalam Islam. Dengan kata lain, bahwa Islam setuju dengan pandangan masyarakat Arab tentang pembedaan itu sebagaimana dalam karakteristik [ayat] berikut: "Orang orang Arab Baduwi (al drab) lebih sangat kekafiran dan kemunafikannya",' "Di antara orang orang Arab Baduwi (al a'rab) itu, ada orang yang memandang apa yang dinajWahkannya sebagai suatu kerugian 11,7 "Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang orang Arab Baduwi (al a'rab) yang berdiam disekitar mereka, tidak turut menyertai rasulullah Saw 11,8 "Orang orang Baduwi (al a'rab) yang tertinggal (tidak turut ke Hudaibiyah) akan mengatakan: harta dan keluarga kami telah merintangi kami, maka mohonkanlah ampun untuk kami"' dan "Katakanlah kepada orang orang Baduwi (al a'rab) yang tertinggal ... "10.
h nam Mujahid dan yang lain mengatakan, bahwa ayat
"sesungguhnya orang orang yang memanggil kamu dari luar kamar kebanyakan mereka tidak mengerti"II diturunkan berkaitan dengan orang orang Arab Baduwi (al a'rab) dari Bani Tamim. Muhammad bin Ishaq menyebut mereka dengan "orang orang yang tak bersepatu (Hufat) dari Bani Tamim. 1112
Dr. Sholeh Ahmad al Ali seorang pimpinan Lembaga Ilmu Pengetahuan Irak berpendapat, "sikap nabi

CAT KAKI... 6 Surat al Taubah: 97 7 Surat al Taubah: 98 1 Surat al Taubah: 120 9 Surat al Fath: 11 10Surat al Fath: 16 11Surat al Hujurat: 4 12 AI Wahidi al Naisaburi, Asbab al Nuzul (Mu'assasah al halbi wa Syirkahi, Mesir: 1388 H/1968 M)

Muhammad Saw. terhadap suku suku Baduwi yang bermukim di luar kota tidak kuat. Ini disebabkan karena tempat tempat mereka di luar kota membahayakan usaha beliau menyuguhkan semangat semangat keislaman kepada mereka, sebagaimana sikap behau yang lebih lunak dalam menggunakan otoritas untuk menghadapi mereka dan lebih sedikit memanfaatkan mereka dalam membela negara ketika dalarn keadaan genting. Ini tampak dalam beberapa ayat yang mendeskripsikan orang Arab Baduwi (al~A'rab) bahwa mereka "lebih sangat kekafiran dan kemunafikannya, dan lebih pantas untuk tidak mengetahui batas¬batas apa yang diturunkan AllaC dan "Orang Arab Baduwi (al A'rab) mengatakan, kami pereaya. Katakanlah, kalian tidak percaya, tetapi katakanlah kami menerima. Ketika iman masuk di dalam hatinya". 13 Kami menolak penafsiran ini. Meskipun di dalam penafsiran itu ada semangat pragmatisme yang mana kita menjauhkan al Qur'an dari semangat itu, namun ayat ayat yang di dalamnya terdapat kata "al A'rab" tidak membatasi mereka dengan "suku suku Baduwi yang bermukim di luar kota" sebagaimana pendapat penulis tersebut. Yang mutlak itu berlaku berdasarkan kemutlakannya sehingga ditemukan sesuatu yang membatasinya, dan dalam ayat ayat tentang "al A'rab" tidak ditemukan batasan itu yang mengharuskan kami mengatakan bahwa maksud ayat "al a'rab" adalah suku-suku yang berada di luar kota. Dan sebagaimana diketahui dari al Qur'an, ada kecermatan yang finitif. Ini dari satu sisi. Sementara pada sisi lain, bahwa bacaan bacaan buku tentang sejarah perjalanan nabi Saw. yang mulia menunjukkan kepada kita, bahwa di sana terdapat suku¬suku yang bersahabat dengan nabi Muhammad Saw.

CAT KAKI..... "Dr. Sholih Ahmad al Ali, al Daulahfi Ahdi al Rasul", Vol. 1, "Takwin al Daulah wa Tandzimiha", Mathbu'at al Majma'al llmi al lraqi, 1988, Baghdad lrak.

untuk melawan suku Quraisy. Suku suku itu sebatas melakukan persekutuan,, yakni tidak masuk ke dalam agama Muhammad, dan pada gilirannya tidak menerima semangat keislaman dan yang semisaInya. Ketika benar bahwa penafsiran Dr al Ali tidak memuaskan dan bertentangan dengan data~data sejarah yang kuat, maka penafsiran yang telah saya kemukakan itu lebih sahih.
Para al di Fiqh muslim menggali perbedaan mendasar antara al Arab dan al A'rab secara sekilas. Mereka berpendapat, bahwa al A'rab tidak berhak mendapatkan tanah (al Fai') dan harta rampasan perang (al Ghanimah), bahkan kesaksian mereka untuk membuktikan sebuah tuduhan digugurkan, dan bahwa status keimaman mereka atas orang Arab yang berperadaban (al hadlirah) ditolak.' Iman al Qurthubi dalam tafsimya menambahkan,'1)ahwa Abu Mujhz membenci keimaman orang Arab BaduM (al¬A'rab). Imam Malik, salah satu tokoh Mazhab terkemuka mengatakan, seorang al A'raby tidak boleh menjadi imam meskipun lebih fasih (aqra 1)11.15 Meskipun sudah ada hadist nabi yang menegaskan bahwa imarn sholat hendaknya diserahkan kepada mereka yang paling fasih membaca qur'an, yakni mereka yang paling hafal surat dan ayat¬ayatnya, tetapi kita dapat melihat Imam Malik semoga Allah merahmatinya telah melampaui hadist tersebut dan memberikan fatwa tentang ketidakbolehan keimaman orang al A'rab meskipun ia paling fasih (al Aqra 1).16 Tak heran, bahwa hal itu dikembalikan karena Imam Malik lahir di kota dan banyak mewarisi tradisi para pendahulu (al aslaf) dengan melihat al arab dengan pandangan picik.
CAT KAKI..... 14 Abu Bakar Muhammad bin Abdullah yang dikenal
dengan Ibn al rabi, Ahkam al Qur'an, Vol. 11, ditahqiq olch
Muhammad Ali al ajawi, 1407 H/ 1987 M, Dar al jail, Beirut, hal.
1005

`AI Qurthubi, "al fami' Ii Ahkam al Qur'an", tafsir surat
al Baro'ah atau at Taubah.
16 AI Qurthubi, "al fami'li Ahkam al Qur'an"

70

sejarah hukum islam tentang unta

PERHATIAN TERHADAP UNTA (BINATANG TERNAK)
Oleh : A. Muher

Suku suku di semenanjung jazirah Arab sebelum Islam dalam kehidupannya sangat menggantungkan pada binatang ternak. Para pakar bahasa berpendapat, bahwa kata al An'am merupakan bentuk plural ([amak), bentuk single nya adalah "al~Naamu". Al An'am berarti "harta yang dipehhara". Benda yang paIing banyak masuk dalam kategori nama ini adalah unta (al~Ibil). AI Farra' berpendapat, bahwa kata al Ibil merupakan kata berbent uk mudzakkar (laki laki) yang tidak dapat di muannats kan. Mereka (orang Arab) mengatakan: hadza na'amun (ini adalah seekor unta), bentuk plural nya adalah na'man sebagaimana kata hamal yang bentuk plural nya adalah hamlan. Kata al an'am bisa dijadikan mudzakkar dan muannats. Allah berfirman: "mimma fi buthunihi" dan "mimmafi buthuniha". Bentuk plural kata tersebut di plural¬kan lagi menjadi ana’im.
Di sana ada orang yang berpendapat, "bahwa yang termasuk dalam kategori al naam adalah unta saja, atau unta, kambing dan sapi. Bent uk plural nya kata itu adalah an'am".
Masyarakat suku suku memeRhara binatang temak tersebut dan sangat perhatian untuk melatihnya karena "ia tergolong apa yang saya sebut dalam istilah ekonomi modem dengan barang konsumtif atau dalam istilah lain barang produktif atau barang invest. Barang barang yang masuk dalam jenis pertama: daging clan susu yang dapat mensuplai kebutuhan makan secara langsung, sedangkan yang masuk dalam jenis kedua: kulit, bulu domba (wol), dan bulu unta, semuanya merupakan bahan bahan yang dipakai untuk memproduksi barang barang mewah yang dipakai sebagai pakaian; berbagai jenis binatang atau sebagiannya yang dipergunakan untuk kepentingan dalam perjalanan, bepergian, dan berpindah tempat pada gilirannya dapat membantu untuk mempermudah proses transaksi perdagangan dengan masyarakat lain, puisi Jahili yang merupakan Diwan nya orang Arab telah menyebut nyebut pentingnya peran binatang unta di dalam kehidupan suku suku Arab sebelum nabi Muhammad Saw diutus. Ketika Islam datang, ia memberikan perhatian khusus terhadap binatang temak (al an'am). Itu dapat ditemukan di dalam salah satu surat yang terdapat dalam al Qur'an, y*tu surat al An'am, dan beberapa ayat yangal menvebutnva. Manfaat binatang ini sangat banyak, di antaranya dapat disebutkan sebagai berikut:
"Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu, padanya ada bulu yang menghangatkan dan berbagai manfaat, dan kamu makan sebagiannya. Dan kami memperoleh pandangan yang indah padanya. Ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan. Dan ia memikul beban bebanmit ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran¬kesukaran (yang memayahkan) diri", "Dia telah menjadikan bagimu rumah rumah (kemah kemah) dari kulit binatang ternak yang kamu merasa ringan membawanya di waktu kamu berjalan dan waktu bermukim, dan dijadikan pula dari bulu domba, bulu unta, dan bulu kambing, alat alat rumah tangga dan perhiasan sampai waktu tertentU", 'Dan sestingguhnya pada binatang binatang ternak, benar benar terdapat pelajaran yang penting bagi kamu, Kami memberi minum kamu dari air susu yang ada dalam perutnya, dan juga pada binatang binatang ternak itu adafaedah yang banyak bagi kamu, yang kamu memakan sebagian darinya . Beberapa ayat tersebut menyatakan secara global berbagai faedah dan kegunaan binatang temak, baik secara material maupun spiritual, dan ini tidak usah dijelaskan lagi; kata al an'am di dalam al Qur'an disebut dalam beberapa bentuk yang berbeda beda: al an'amu, an'aman, an'amakum, dan an'amahum sebanyak 32 kali dan ini semakin memperteguh urgensitas binatang itu.
Namun binatang unta seringkali menggantikan posisi uang, mengingat masyarakat suku tidak melak ukan transaksi dengan uang, kecuali masyarakat Makkah yang menjadi pusat perdagangan dari situ maskawin dan denda hukuman dibayar dengan menggunakan beberapa ekor unta sesuai dengan situasi dan kondisi. Abdul Muthalib, paman nabi Muhammad Saw adalah orang pertama yang menetapkan denda hukuman pembunuhan dengan membayar seratus ekor unta. Tradisi ini terus berlangsung dan berpindah sampai pada masa Islam. Ketika Islam datang binatang unta masih menempati posisi penting dalam proses transaksi dan dalam berbagai bidang, khususnya berkenaan dengan urusan urusan harta benda.Dalamzakat,kitajugadapatmelihatbinatangunta mempunyai peran nyata, baik dalam penentuan nisab yang wajib dikeluarkan zakatnya maupun dalarn ukuran zakat yang harus dikeluarkan. Masalah ini tidak terbatas pada jumlah binatang unta namun pensifatannya secara sempuma yang mencakup keseluruhan jenis binatang ini, baik jenis kelelakian atau keperempuanan, usia atau umur saya tidak ingin memperpanjang lebar unt uk menyebutkan teksnya, siapa yang ingin mendapat informasi lebih silahkan baca buku buku fiqh dalarn bab zakat.
Di antara keistimewaan kedudukan binatang unta ditengah masyarakat Arab sebelurn nabi Muhammad Saw. diutus, sebagaimana yang telah saya baca dari salah seorang peneliti kontemporer yang mana ia berpendapat, bahwa manakala seorang hakim (al Qadli) ingin memperberat hukuman bagi seorang yang berbuat kejahatan sesuai dengan konteks kriminalitas yang dilakukan, maka pemberatan itu tidak dilakukan kecuali jika wujud hukuman berkaitan dengan binatang unta karena syara'telah menyebutkannya, dan ukurannya tidak bisa diketahui kecuali melalui apa yang sudah didengar (simai) karena tidak ada pendapat tentang pernberatan hukuman di luar (selain) binatang ini, sampai sampai kalau ada seorang hakirn memberikan hukuman maka putusannya tidak dapat diberlakukan karena tidak adanya kepastian ukuran selain untuk binatang unta.
Di sini, kita melihat Dr. Bahansi menegaskan, bahwa pemberatan hukuman tidak diberlakukan kecuali dalam binatang unta sampai sampai jika ada seorang hakim (qadli) memberikan putusan hukuman yang berat pada selain binatang ini, maka hukuman itu tidak bisa diberlakukan "karena tidak adanya ketentuan pasti dalam hal ukuran selain binatang unta". Ketika hukum berlaku untuk yang asal (al ashl), maka hukum itu pun berlaku untuk yang cabang (al far'), karena yang cabang berpegang padanya. Itu artinya, bahwa hukuman yang asal berupa binatang unta ketika tidak ditemukan makna atau konsep yang menggambarkan keharusan hukuman yang asal dengan selain binatang unta, sementara dalam pandangan peneliti pemberatan hukum (yang merupakan cabang) harus berkaitan dengan binatang unta. Prinsip fiqh ini yang dikuatkan oleh seorang peneliti cemerlang yang spesifik dalam bidangnya merupakan salah satu pengaruh dari efektifitas kredo kredo sosial dan kredo kredo lainnya, karena mungkin saja kredo kredo hukum yang mendahului Islam, dan yang oleh Islam diterapkan begitu saja masuk ke dalam karakteristik ini.

khilafah

Khilafah
Oleh : A. Muher

Rasulullah saw. Tidak meninggalkan sebuah hadits yang didalamnya menjelaskan sebuah ketentuan seseorang yang akan menggantikan kekuasaan dan kepemimpinannya.
Tentang risalah kenabian Muhammad saw. Tidak masuk dalam pembahasan ini karena beliau adalah nabi paling akhir dan rasul penutup. Salman al-farisi menguatkan, bahwa rasulullah mengajari saw segalanya kepada mereka (kaum muslimin) bahkan sampai apa yang mereka lakukan didalam kamar WC, ini merupakan hal yang alami, karena masalah kesucian (al-thaharah) didahulukan daripada shlat yang merupakan rukun kedua dalam islam setelah syahadat, tetapi beliau tidak meninggalkan hal-hal yang paling kecil atau besar tentang masalah kehidupan kecuali beliau member petunjuk kepada sahabatnya dan kaum muslimin sesudahnya tenyang apa-apa yang dilaluinya dalam kehidupan hingga hal-hal yang secara langsung tidak bethubungan dengan ibadah ,misalnya:
Tatacara melepaskan baju, memakai sepatu, posisi tidur, memulai makan diatas piring, cara duduk dijalan, shigat (mengucapkan) salarn buat kaum muslim dan ahli kitab, adab melakukan hubungan seksual bersama istri atau hamba sahaya, bacaan sebelum, melakukan hubungan seksual, perbuatan yang dilakukan di tengah melakukan hubungan seksual, cara menjenguk orang sakit, mengantar jenazah, dan seterusnya.
Wilayah kajian ini semakin luas jika kita mengikuti petunjuk petunjuk dan bimbingan bimbingan yang diberikan oleh Rasulullah Saw. tentang hal hal yang berkaitan dengan masalah kehidupan. Lalu mengapa beliau tidak meninggalkan satu hadits pun yang di dalamnya menjelaskan siapa yang akan menggantikan pimpinan sepeninggal beliau? Bagaimana cara pemilihannya? Bagaimana sistern pemerintahan dalarn Islam? Dr. Muhammad Ahmad Khalafullah berpendapat, bahwa syariat Islam tidak mernuat nash tentang itu (siapa penggganti beliau) karena "adanya hikmah yang dikehendaki oleh Tuhan, yaitu masalah tersebut harus ditinggal supaya akal manusia berijtihad tentangnya sesuai dengan situasi dan kondisi, serta perkembangan pemikiran manusia tentang kesadaran terhadap tanggungjawab seorang pimpinan negara atau khalifah". Itu nerupakan jawaban yang berujung pada solusi yang bersifat gaib metafisis dengan bersandar pada hikmah ketuhanan. Saya tidak perlu untuk berpaling pada solusi yang bersifat gaib dan tidak perlu mencela untuk menyatakan ketidakpuasan saya padanya. Tetapi sanggahan yang sahih adalah mengapa teks teks suci yang memuat tentang masalah kehidupan tidak dan kurang penting dibanding dengan masalah khilafah dan system pemerintahan, dan tidak diwakilkan pada akal manusia untuk berijtihad sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi? Mengapa Rasulullah Saw. berbicara tentang rnasalah masalah yang lebih terkait dengan zaman dan tempat seperti jual beli (al bai'), sewa (al ijdrah), hak membeli lebih dahulu (al Syufah), mernbuka lahan baru (ihya'al ardli al~mawat), barang ternuan (al luqathah), dan seterusnya, dan tidak mengajak kaum muslimin untuk menciptakan kaidah kaidah dan hukum~hukum tentangnya yang sesuai dengan situasi dan kondisi?
Jadi, masalahnya adalah bukan diserahkannya masalah khilafa h pada ij tihad manusia. Alasan yang gaib ini tidak memuaskan; karena sungguh merupakan suatu yang dinafikan dan prinsip logika yang sangat simplistis jika Islam membatasi ijtihad manusia atau kaum muslimin dalam masalah yang sudah biasa, yang tidak begitu penting, kemudian ia (Islam) datang dengan membawa masalah yang vital untuk kehidupan namun ditinggalkan untuk diserahkan pada ijtihad manusia? Bahwa Rasulullah Saw. saat di penghujung sakitnya yang menyebabkan beliau menghadap kepada Tuhan, sangat rela dan ingin sekali menentukan seorang imarn selain beliau yang akan memimpin shalat kaum muslimin setelah sakitnya berIalu. Di saat siuman dari pingsannya karena demarn yang tinggi, beliau berkata:
"Perintahkan Abu Bakar untu k shalat (berjamaah) dengan kaum muslimin". Ketika sebagian istri istri beliau memusyawarahkan masalah itu. dengan nabi, beliau pun marah dan berkata: "kalian semua adalah bini bini Yusuf". H merupakan ungkapan kasar yang mencerminkan protes beliau karena beliau merasa bahwa mereka (istri istri beliau) menolak masalah itu (penunjukan Abu Bakar sebagai imam shalat). Lalu bagaimana dengan sikap Rasulullah Saw. Ini terhadap masalah imarn shalat (yaitu pimpinan kecil, al imam al shughra) di saat beliau sedang menghadapi sakaratul maut, sementara sejak wahyu diturunkan kepadanya di gua Hira' hingga masa akhir hayatnya, beliau tidak memberi perhatian sedikitpun terhadap masalah "pimpinan besar" (al imam al kubra), mengapa?
Demikian pula alasan yang menyatakan bahwa Islam adalah agama saja dan bukan "agama dan negara" sebagaimana yang digembor gemborkan oleh para dai, alasan ini tidak cukup. Saya berkeyakinan seyakin¬yakinnya bahwa:
"Agama merupakan penghubung khusus bahkan istimewa antara makhluk dan Khaliknya, dan bahwa wilayah agama yang paling mendasar adalah tempat ibadah, gereja, mushalla, kuil kuil, masjid, masjid jami', lorong lorong ibadah, bilik bilik sembahyang, halaqah dzikir, pertemuan pertemuan sufi, majlis majlis bimbingan kebajikan dan keutamaan yang suci, dan seterusnya. jika seseorang mengunjungi tempat tempat "penuh berkah" ini, maka eksistensinya akan berubah bagaikan ikan yang keluar dari air". Oleh karena itu, sangat lumrah jika kita tidak mendapati hadits nabi yang agung, yang menentukan kekhalifaan Rasulullah Saw., cara penentuan dan pengangkatannya, atau prinsip prinsip sistem pemerintahan, karena sernua ini keluar dari wilayah i/agama", yang tidak peduli dengan pemerintahan, politik, dan atau kewalian (kepemimpinan). Dalam hal ini, Islam sama dengan kedua agama samawi atau semit yang mendahuluinya, bahkan agama agama bun d. Jika ilustrasi ini benar, maka risalah yang diemban oleh sernua agama itu terbatas dalam "membimbing hamba untuk mendapatkan keberuntungan di hari akhir".
Namun alasan ini [bahwa Islam adalah agama sajal tidak cukup, karena di sana ada masalah masalah yang tidak berhubungan dengan politik, kewalian dan pemerintahan. Bersarnaart dengan itu, sebagian teks teks suci telah memuat masalah masalah itu melalui cara cara wajib (al wujub) dan cara cara sunat (al nadb), atau bahkan cara cara yang dibolehkan (al ibdhah). Saya telah menjelaskan sebagian masalah itu sebagaimana terdahulu, dan bagaimana masalah itu tidak dikategorikan sebagai ilagama yang murni" atau ibadah pokok, meskipun memiliki keterkaitan dengan ini atau itu menurut mereka yang memandang bahwa semua perbuatan kaum muslim adalah ibadah, bahkan sampai tidur pun asalkan dibarengi dengan niat (al~iiiyah).
Namun sekali lagi, mengapa teks teks suci bersikap diam terhadap masalah pemerintahan, khilafah, politik, kewalian (kepemimpinan), dan seterusnya? Pertanyaan ini menghantui saya sejak bertahun tahun lamanya. Saya tidak menemukan jawaban yang memuaskan hingga saya berpaling untuk melakukan kajian tentang kondisi masyarakat Arab sebelum diutusnya kenabian, dan akhirnya sampai pada sebuah kenyataan yang menguatkan bahwa kajian itu ternyata merupakan kund untuk mengetahui banyak tentang apa yang dibicarakan dan dibawa oleh Islam atau bahkan apa yang tidak dibicarakannya.
Nabi Muhammad saw. lahir dan berkembang di Makkah, berasal dari suku Quraisy, salah satu suku di jazirah Arab, meskipun saat itu Makkah mencapai puncak ketinggian. AI Qur'an berbicara tentangnya:"Katakan, bahwa aku (Muhammad) hanyalah seorang maiiusia seperti kalian semua" Pada kesempatan yang lain, beliau mengatakan tentang dirinya dengan penuh tawadlu: "saya hanyalah anak seorang perempuan yang memakan dendeng (daging) di Makkah". Betapapun setiap manusia atau seorang individu memiliki keistimewaan keahlian luar biasa seperti keagungan, ketinggian dan kecerdasan, namun ia secara pasti terpengaruh dengan tatanan sosial dan sistem peradaban yang berlaku di sekelilingnya. Manusia yang agung seperti para nabi dan orang orang setelahnya seperti tokoh dan pimpinan, mereka sernua tak syak lagi memiliki tempat istimewa di tengah masyarakatnya. Mereka tidak seperti manusia biasa lainnya yang tidak memiliki keahlian. Tak pelak, keagungan mereka memiliki pengaruh efektif terhadap lingkungan sosiaInya, namun sebaliknya mereka juga pasti terpengaruh oleh kornunitas atau jamaahnya. Hubungan antara individu (betapapun luhur kemampuannya) dengan masyarakat dan jamaah merupakan hubungan timbal balik, dan dari kedua belah pihak lahir interaksi organis dinamis ini adalah kenyataan ilmiah yang telah dinyatakan oleh pakar sosiologi.
Merupakan tradisi yang berjalan di kalangan suku¬suku jazirah Arab, bahwa seorang kepala suku pada umumnya dipilih dari kelompok tertentu atau orang yang berpengaruh. la adalah orang yang paling tua, memiliki keberanian, cerdik, berpengalaman, paling banyak hartanya, terhormat, dan seterusnya. Pelaksanaart pemilihan seorang kepala suku diwakilkan pada maffis permusyawaratan suku (majlis syura al qabilah) yang terdiri dari orang orang berpengaruh, kepala keluarga dalam sebuah suku, dan setiap anggota suku yang sudah mencapai usia empat puluh tahun. Anggota (majlis) mendapatkan kebebasan penuh dan hak berbicara dalam rapat rapat majlis. Dr Husein Fauzi al Najjar menyebut jenis pemerintahan seperti ini dengan "pemerintahan patrialkhal yang tercermin dalarn sosok ketua suku (syaikh al qabilah). Ia menambahkan, "bahwa orang Arab sebelum Islam telah menjalankan jenis pemerintahan seperti ini". Demikian pula "kaum muslin tin tidak merasa ingat akan perubahan antara majlis yang mengurusi persoalan mereka di masa "Jahiliyah" dengan majlis yang ada dalarn Islam kecuah dari segi nilai nilai yang mengatur mereka dan menjadi sistem pemerintahan mereka. Kepernimpinan Muhammad Saw. atas jamaah Islam tidak jauh berbeda dengan kepernimpinan kakek beliau Qushoyyi atas suku Quraisy". Di sini, Dr. Husein Fauzi al Najjar menegaskan bahwa cara majlis untuk mengurusi masalah orang banyak (jamaah) tidak berbeda dengan cara yang ditempuh pada zaman sebelum Islam (atau zaman Jahiliyah). Yang berubah hanyalah nilai nilai, dan ini merupakan masalah moralitas, bukan sistem atau politik. jelaslah, nilai nilai menjadi semakin baik, karena mendidik moral merupakan concern agama yang mendasar agama apapun lebih lebih perhatian terhadap masalah hari akhir sebagaimana yang telah saya jelaskan. jadi, struktur (bangunan) sistem masih terus berjalan sebagaimana adanya. Oleh karena itu, peneliti ini (Husein Fauzi al¬Najjar) sampai pada kesimpulan, bahwa "nabi Saw. tidak mengisyaratkan kepada kaum muslimin tentang sistem yang (harus) diikuti oleh masyarakat Islam yang luas, dan tidak meletakkan prinsip prinsip sistem pemerintahan yang mapan, serta tidak merubah sedikitpun apa yang dilakukan oleh kaum tentang majlis yang mengurusi masalah mereka".
Lalu mengapa Muhammad Saw. tidak meletakkan prinsip prinsip sistem pemerintahan? Dan tidak memberi nama kekhalifahannya? Barangkali jawabnya jelas, "bahwa Muhammad Saw. melihat bahwa meletakkan sistem pernerintahan dan menunjuk pengganti sesudahnya bukan merupakan hak dirinya, karena masalah ini dilimpahkan dan merupakan hak majlis permusyawaratan umat Islam sebagaimana praktek dan tradisi yang berjalan di suku~suku Arab, karena menunjuk orang yang akan menjadi pimpinan bukan hak seorang kepala suku sepeninggalnya, dan ia (kepala suku) tidak boleh melampaui pertimbangan majlis permusyawaratan suku. Pernyataarv inilah yang disebut secara jelas dan terang terangan oleh Dr. Husein Fauzi al¬Najjar dengan "bahwa Muhammad tidak merubah sedikitpun apa yang dijalan oleh kaum tentang majlis yang mengurusi masalah mereka. jelas, ini merupakan pilar yang ada di dalam Islam, yang muncul karena pengaruh tradisi tradisi suku Arab.
Tentu saja pemilihan Abu Bakar as Shiddiq sebagai khalifah di Tsaqifah Bani Saadah berlangsung melalui cara seperti itu yang telah diwarisi oleh umat Islam dari orang Arab terdahulu, yaitu cara bermusyawarah di antara maffis permusyawaratan umat Islam yang terdiri dari kalangan sahabat Muhajirin dan Anshar. Pada hakekatnya, musyawarah tersebut berjalan dengan sedikit alot dan hampir berubah menjadi perkelahian dengan pedang, namun akhimya tidak keluar dari keputusan yang juga diputuskan oleh majlis permusyawaratan umat Islam. Perdebatan panas ini disebabkan oleh persaingan yang berlangsung antara sahabat Anshar dan Muhajirin untuk memenangkan kursi khilafah, dan perbedaan jenis antara kedua belah pihak. Sementara itu, musyawarah dalam majlis suku tertentu tidak diwarnai dengan ketegangan seperti ini karena persatuan generasi suku. Tidak penting, bahwa kelompok Muhajifin hanya terdiri dari ada tiga orang saja. Mereka sernua berasal dari Quraisy, suku nabi Saw, sebagai mana. mereka mewakili orang orang yang ada di balik mereka. Di antara mereka ada yang berpihak pada kelompoknya. Yakni, dengan meminjam bahasa modern mereka adalah wakil wakil atau aktor aktor "partai Muhajirin". Bahwa umat Islam baik Muhajirin maupun anshar adalah aktor dalam majlis permusyawaratan umat Islam yang berakhir pada kata sepakat memilih Abu Bakar as Shiddiq.
Ini tidak berarti saya menegaskan bahwa cara seperti itu merupakan cara yang "demokratis" dalam pengertian modern. Ini akan saya bahas dalam bab tersendiri, yaitu musyawarah (al syura) yang diwarisi dari suku Arab sebelum beliau Saw diutus. Pengangkatan Umar bin Khattab al Faruq menjadi khalifah bagi umat Islam berjalan melalui cara yang serupa.
Pada hakekatnya, Abu Bakar as Shiddiq menyerahkan kekhalifahan pada Umar bin Khattab. Sebelum wafatnya, Abu Bakar menulis wasiat, namun tidak terlaksana kecuali setelah Abdurrahman bin Auf, Usman bin Affan, Said bin Zaid, Sayyed bin Hudlair, dan tokoh tokoh sahabat Anshar dan MuMirin lainnya melakukan musyawarah. Kenyataan sejarah ini juga dikuatkan oleh Dr. Mahmud Hilmi, seorang guru besar Hukum Umum di Jurusan Syariah dan Qanun di Universitas al Azhar, "bahwa Abu Bakar telah memilih Umar bin Khattab, namun bersarnaan dengan itu ia tidak menghendaki pilihannya sebagai satu satunya pendapat dan tidak membiarkan pendapatnya berlaku di luar musyawarah wakil wakil umat, kemudian dia memanggil orang orang yang memiliki kejernihan pendapat dan mereka dimintai pendapat tentang Umar bin Khattab. Mereka sernua memujinya (Urnar) dan menyetujui pilihan Abu Bakar. Bahwa Abu Bakar mampu meminta pendapat Abdurrahman bin Auf, Usman bin Affan, Sayyed bin Hudlair (salah satu dari tokoh Anshar), dan bermusyawarah dengan yang lain seperti Said bin Yazid (seorang Qadli di Mesir) serta sahabat Muhajifin dan Anshar yang lain. Mereka sernua memuji Umar. jadi, pengangkatan Abu Bakar atas Umar tidak berjalan atas dasar kehendaknya sendiri, tetapi setelah melakukan musyawarah dengan majlis permusyawaratan umat Islam. Abu Bakar as Sihddiq tidak bisa mengelak dari tradisi Arab yang telah diwarisi. Tidak benar, bahwa penunjukan Abu Bakar atas Umarbin Khattab berlangsung dengan mendatangi Umar di tempatnya, yaitu lewat wasiat yang mementingkan baiat secara langsung, dan bahwa pada saat itu musyawarah tidak begitu bermanfaat sebagaimana manfaatnya penunjukan. Atau ketika kita merasa heran atas sikap Abu Bakar yang menunjuk Umar bin Khattab, maka itu berarti manfaat musyawarah telah hilang. Itulah pendapat Dr. Ali Syalaq dalarn kitabnya "al Aq1 al Siyasifi al Islam" karena si penulis buku tentang "al Aq1fi al Islam" dalarn berbagai aspeknya dengan tetap menghargai upaya yang ia lakukan telah meremehkan masalah itu dan kurang mendalam. jika boleh dikatakan., bahwa pemilihan Abu Bakar atas Umar bin Khattab berlangsung atas tuntutan wasiat, tetapi tidak bisa dikatakan bahwa pemilihan itu atas dasar pengangkatan Abu Bakar dan bahwa Abu Bakar telah menghilangkan manfaat musyawarah danberpaling darinya sehingga dapat diakui kalau Abu Bakar adalah orang yang sangat mengerti tentang seseorang sebagaimana yang telah digambarkan oleh Dr. Ali Syalaq. Tak pelak, bahwa Ali Syalaq tidak membaca sejarah dan tidak mendalami kenyataan. Jika ia membaca, tentu akanjelas bagginya bahwa Abu Bakar telah melakukan musyawarah dengan orang orang yang telah saya sebutkan, yaitu dengan majlis permusyawaratan umat Islam pada saat itu. Ini satu sisi. Dari sisi lain, bahwa kondisi (saat itu) belum siap (memungkinkan) sehingga Abu Bakar mengajukan pendapat pribadinya dan menafikan majlis permusyawaratan umat Islam. Tradisi "pemerintahan suku" (hukfimah al qabilah) pada saat itu yang merupakan pemerintahan yang dimiliki (dikuasai) oleh mayoritas karena mekanisme perubahan dari "pemerintahan suku" (hukamah al qabilah) yang selalu berjalan seiring dengan tradisi yang diwarisi dari suku¬suku Arab sebelumnya, menjadi "pemerintahan centralistik" (al hukfimah al markaziyah), bukan menjadi sebab yang melapangkan lahimya pemerintahan suku atau penggunaan aturan aturannya. Sernua ini menggugurkan pendapat Ali Syalaq hingga ia cepat berkesimpulan menyebut pemilihan yang dilakukan oleh Abu Bakar sebagai "penunjukan" dan menuduhnya telah mengabaikan musyawarah. Itu merupakan tuduhan yang tidak benar. Abu Bakar tidak bermaksud menjauhi musyawarah karena kondisi saat itu tidak mendukung hingga ia bermaksud memilih Umar. Adapun pengangkatan Usman bin Affan berlangsung melalui cara "majlis permusyawaratan" (maflis syura)sebagaimana disebutkan oleh Dr. Toha Husein. Bahwa Umar bin Khattab adalah orang yang telah mengusulkan daftar nama anggota. Mereka sernua tidak berasal clarl Quraisy dan sahabat sepuluh yang dijanjikan oleh nabi surga. Sernua ini tidak berubah dari biasanya, juga tidakmerupakan perpanjangan tangan dari "majlis permu¬syawaratan suku", meskipun dalam cara pernbentukannyaterjadi sedikit perubahan. Saya mengingatkan pernbacaatas apa yang telah saya nyatakan di muka, bahwa Islammengambil sistem (nilai) masyarakat Arab masa Ialu dansedikit mengembangkannya tetapi tidak keluar dariesensinya sejauh tidak bertabrakan dengan akidah tauhid.Saya tidak menunjukkan bahwa pemilihan Umar atasanggota (dewan majlis) tidak keluar dari kebiasaan yangberlaku. Bahwa Umar pernah berkata kepada orang disekelilingnya: "masalah ini (yakni masalah khilafah)berada di tangan mereka sernua yang pernah ikut perangBadar dan Uhud, Ialu masalah ini untuk si ini dan itu.Namun masalah ini tidak untuk mereka yang[di]masuk[kanj ke dalam Islam secara terpaksa, anak anakmereka, dan para muslimah penduduk yangditaklukkan. Pernyataart ini diucapkan setelah iamendapat hujatan clan caci makian dari Abu Lu'M al¬Majusi, dan setelah ia menyebut beberapa nama anggotai/majlis permusyawaratan". Yakni bahwa setelah sernuaitu Umar berpendapat bahwa khilafah dan segala yangberkaitan dengannya termasuk pemilihan khalif ah



diserahkan kepada "majhs permusyawaratan umat Islarn".Mereka bisa dari orang orang yang pernah ikut dalamperang Badar dan perang Uhud atau selain kedua perangtersebut, pokoknya mereka yang telah berjuang denganjiwa clan hartanya di jalan Tuhan untuk membela Islamdan menegakkan panjinya, sedangkan mereka yang[dilmasuk[kan] ke dalam Islam secara terpaksa dan paramuslimah pencluduk yang ditaklukkan, yang hampirmemerangi Islam tidak masuk dalam masalah ini.
Ketika orang orang meninggalkan Umar, putra Urnar,Abdullah, masih berada di sisinya. Umar berkatakepadanya: andaikan mereka menyerahkan khilafah(kepemimpinan) kepada Ali, tentu ia (Ah) bersama merekasernua dapat meniti jalan (yang lurus)! KemudianAbdullah berkata kepadanya: hai amirul mukminin, apayang menghalangi engkau untuk menggantikankepadanya? Umar menjawab: aku tidak suka memikulnyaselamanya (hidup dan mati). Teks ini menunjukkanbahwa Umar sangat berharap untuk menggantikankekhalifahan setelahnya kepada Imam Ali karena iabersama sama dengan kaum muslimin akan dapat menitijalan yang lurus, tetapi Umar al Faruq tidak menggantikankekhahfahan kepadanya karena Umar (sosok yang cerdassebagaimana yang telah disaksikan oleh nabi sendiri). mengetahui persis bahwa tradisi yang diwarisi tidakmemungkinkan untuk itu, sebagaimana kondisi obyektifbelurn tercukupi syarat~syaratnya, dan seorang imam,khalifah, hakim atau amirul mukminin boleh melangkahi tradisi dan menunjuk penggantinya, sebuah kondisi transisi dari "pemerintahan suku" (hukfimah al¬qabilah) menuju ""pemerintahan centralistik" (al hukfimah al markaziyah). Patut kita perhatikan dan melihat, bahwa keinginan (harapan kuat) Umar untuk menjauhkan mereka yang [di]masuk[kanj ke dalam Islam secara terpaksa dan para muslimah penduduk yang ditaklukkan dari kursi kekhalifahan, tidak berlangsung lama hingga salah seorang dari mereka yang [dilmasuk[kanj Islam secara terpaksa membelakangi (memberontak). Ini karena masalah politik tidak sesuai dengan harapan, namun hanya berjalan sesuai dengan aturan aturan obyektif (pada umumnya).
Dr. Muhammad Husein Haikal menceritakan sebuahperistiwa yang menguatkan penolakan Umar untukmengangkat seorang sebagai pengganti dirinya tanpalewat musyawarah, karena "ada sebagian riwayat yangmenyatakan bahwa Saad bin Zaid bin Umar berkatakepada Umar: andai saja engkau menunjuk salah seorangdari kaum muslimin, maka sernua orang akan percaya kepadamu". Artinya bahwa lebih dari satu orang,berkaitan dengan masalah pengangkatan seseorangmenjadi khalifah, telah dilontarkan kepada Umar. Dansebuah pernyataan yang dinisbatkan kepada dirinya(Umar) menyatakan, bahwa andaikan Abu Ubaidah masihhidup, tentu ia akan menjadikan sebagai penggantinya;bahwa andaikan Salim tuan si Abi Hudzaifah masih hidup,
tentu ia akan menjadikan sebagai penggantinya. Meskipundalam pernyataan tersebut ada ketidak jelasan dankeraguan, namun secara jelas Umar menyebut dua orangyang telah menghadap kepada Tuhan (meninggal dunia)mendahului dirinya. Yakni bahwa pemilihan itu merupakan pemilihan yang mustahil, yang memastikan bahwa Umar dengan ketetapan hatinya mengetahui kalau memilih seseorang sebagai pengganti dirinya bukan merupakan hak dirinya (Urnar). Adapun tentang ketidak¬jelasan dan keraguan yang menyelimuti pernyataan tersebut adalah bahwa saya menolak (ragu) kalau Umar akan memilih Salim yang menjadi tuan Abu Hudzaifah atas dasar penilaian saya kepadanya dan mencampakkan Ali ra. Adalah sangat tidak imbang untuk membandingkan kedua tokoh ini. Namun jawaban yang tegas dari sisi sang penuturnya (Umar) adalah bahwa ia (Umar) tidak mampu berbuat menyalahi tradisi yang sudah mapan, aitu keluar dari prinsip musyawarah dan menentukan pengganti tidak lewat jalan "majlis permusyawaratan" (maflis al syura).
Dr. Muhammad Husein Haikal sampai pada sebuah kenyataan yang dengannya kita dapat memastikan hal itu, yaitu ketika ia mengatakan bahwa "Umar takut jika ia menggantikan pada seseorang atas titahnya sendiri, maka akan membangkitkan keinginan orang lain untuk menyainginya sehingga kaum muslimin tidak dapat mencapai kata sepakat danierjadi perselisihan yang akiba.tnya sangat tidak diharapkan". Meskipun dalam beberapa aspek dapat dipandang sahih, namun alasan ini telah memotong sebagian aspek yang lain, yaitu bahwa ragam pendapat kaum muslimin dan perbedaannya dikembalikan pada bahwa kalau Umar melakukan itu, maka ia akan keluar dari tradisi suku yang paling penting yang mana kaum muslimin (sahabat Anshar dan Muhajirin) tumbuh dan berkembang di dalamnya. Yang saya maksud di sini adalah pelimpahan masalah perni~ yang dilakukan oleh pimpinan suku (syaikh al qabilah) dan pengangkatan sebagai khalifah (menurut istilah kaum muslimin hingga suku besar pun pada Saat itu yang belum berubah menjadi pemerintahan centralistik) kepada Ilmajlis permusyawaratan" (majlis al syura), musyawarah suku pada saat sebelumnya clan musyawarah kaum muslimin pada saat itu.
Dari pemaparan terdahulu. dapat disimpulkan, bahwa pengangkatan Usman menjadi khalifah telah dilakukan dengan cara orang Arab masa dahulu, yaitu melalui Ilmaffis permusyawaratan" (maflis sl syura). Adapun tentang Imarn Ali karrama alldhit wajhahu, maka tak syak lagi bahwa ia dipikh melalui cara musyawarah "karena ia ditunjuk dan dinobatkan oleh mayoritas sahabat di Madinah".
Dr. Hasan Ibrahim Hasan, seorang Guru Besar Sejarah Islam di Universitas Kairo dan Rektor Universitas Asyut, menegaskan bahwa Imam Ali ra. "telah dibaiat oleh mayoritas meskipun sebagian sahabat dan Bani Umaiyah tidak sependapat dengan para sahabat yang berada di Madinah, karena kepentingan hak sebagian mereka di Syam dan sebagian yang lain di Makkah".
"Ali ra. tidak pernah memusuhi seseorang yang mengikuti (tunduk pada) orang yang telah memusuhi dirinya (Ali). la tidak pernah dimusuhi oleh seseorang yang mengikuti (tunduk) padanya. Dan tidak seorang pun di masa kepemimpinan Ali yang mengaku ngaku bahwa dirinya adalah orang yang paling berhak menjadi pimpinan (imam) dibanding dengan dirinya (Ali), baik itu Aisyah, Tholhah, Zubair, Muawiyah, teman teman Ali atau kelompok Khawadj. Sernua umat (Islam) mengakui keunggulan Ali, dan setelah terbunuhnya Usman mereka semua berusaha mengunggulinya. Tak seorang pun dari kalangan sahabat yang sebanding dengan Ali pada masa kekhalifaannya". Perbedaan nama yang dilekatkan pada "majlis permusyawaratan" (maffis al syura) yang mengangkat para khulafaur rasyidin tidak menjadi penting. Apakah mereka menurut pengertian Imarn Malik disebut dengan "ahl al ikhtiyar", "ah~' al aqd wa al hall", atau "ahl al madinah". Sernuanya kembali pada tradisi masyarakat masa lampau, yaitu "Majlis permusyawaratan suku" (maflis sytira al¬qabilah) yang mana pemilihan. kepala atau pimpinan suku (syaikh al qabilah) yang kemudian julukan ini dalam Islam berubah menjadi khalifah bergantung padanya.
Namun tradisi ini berubah dan menjadi tradisi yangdiwarisi oleh seorang khalifah kalau mau ia bisamengangkat anak atau saudaranya setelah tradisitribalistik terkikis seiring dengan luntur dan berubahnyasuku suku itu sendiri menjadi negara yang memiliki pilar¬pilar negara centralistik. Ini dimulai sejak masapemerintahan Muawiyah yang dalam literatur politikIslam disebut dengan "raja yang keji" (al malik al 'adludl).Banyak orang berlebihan dalarn menggunakan istilah inidan yang sepadan dengannya seraya memberi isyaratbahwa istilah tersebut mengandung makna kedzaliman.Mereka membandingkan antara pemerintahan Muawiyahdengan khulafaur rasyidin. "Muawiyah telah menciptakantradisi pemberontakan melawan khulafaur' rasyidin, Ialumembangunkan keluarga Sufyani sebuah istanakekaisaran ala Najasyi".
Perhatikan, bahwa ada perbedaan yang sangat luas antara ketiga model pemerintahan seiring dengan perbedaan kebudayaan yang melingkupinya. Bahwa mereka yang telah berlebihan dalarn menggunakan istilah tersebut, telah lupa atau melupakan kondisi material yang melingkupi sistem pemerintahan, Ialu menggantinya. Karena mustahil, setelah berbagai penaklukan dilakukan dan setelah penaklukan tersebut memenuffi lumbung dan kantong umat Islam dengan kekayaan mitologis, mereka hanya mengusung kekayaan tersebut menjadi sekedar impian dan interaksi dengan dua peradaban besar, Persia dan Bizantium. Cara, alat, hubungan produksi, dan perubahan geografis terus berkembang dalam beberapa tempat pemukiman. Dari gurun pasir menjadi lembah yang subur, yang memiliki aliran air eukup. Para pekerja istimewa dari kalangan budak tersedia cukup. Kehidupan semakin maju dan membaik. Para budak perempuan yang molek dari berbagai jenis dapat dinikmati, dan seterusnya. Mustahil jika pemerintahan tetap sebagaimana adanya, yaitu sistern kesukuan. Mustahil jika sistern pemerintahan kesukuan (hukamah al qabilah) yang pada masa khulafaur rasyidin masih berlaku tidak berubah menjadi sistern pemerintahan centralistik (al hukCimah al makaziyah). Dan di antara pilar terpenting dari pemerintahan sentralistik adalah adanya pasukan yang sistematis, yang lebih identik dengan persahabatan mutlak dengan seorang penguasa. Dalam konteks ini, seorang penguasa mampu menjalankan otoritasnya kepada mereka yang dikuasai danmenggantikan kedudukannya kepada siapa saja yang dikehendaki, baik anak maupun saudaranya.
Apa yang telah dilakukan oleh Muawiyah, yaitumewariskan tahta singgasana kepada putranya Yazid,merupakan masalah alamiah atas bergesernya bentuktribalistik dalam suatu pemerintahan menjadi sistempemerintahan sentralistik. Dalam hal ini, siapapun orangnya yang menduduki jabatan seperti Muawiyah,sahabat atau bukan sahabat, pasti ia akan melakukanseperti apa yang dilakukan oleh Muawiyah. Dalammenganalisa perubahan sistem pemerintahan Mulafaurrasyidin menjadi sistern "raja yang keji" (malik 'adludl), al¬Aqqad memberikan kornentar bahwa bukanlah hal yangalami jika umat manusia lebih banyak bergantung padasunah kenabian dibanding dengan pada satu generasiyang mana berbagai tabiat telah membentukkefitrahannya.
Selanjutnya al Aqqad menjelaskan, bahwa manusia di tengah perjuangan dan semangat keagamaannya dilupakan oleh berbagai ambisi dan disibukkan oleh taktik, namun tidak lama kemudian akhirnya bersandarke burni di mana di dalairmya tidak ada tempat bersandardan kekuatan untuk bangkit. Al-Aqqad tidak memberikan analisa yang memuaskan. Mengapa umat manusia tidak bergantung lebih banyak pada sunah kenabian dibanding dengan pada satu generasi, lebih lebih bahwa pernyataan tersebut mendeskriditkan kenabian, karena kenabian tidak bisa mempengaruhi kecuali dalam satu generasi? Apakah itu berarti, bahwa kemanusiaan butuh pada sebuah kenabian yang selalu berdiri di samping mereka sehingga semangat keagamaan tetap berkeliaran di antara tulang tulangnya?
Sernua analisa tersebut merupakan "analisa vang bersifat moralistis". Anehnya, analisa itu muncul dari sosok seperti al Aqqad. Faktor faktor moralitas sebagaimana sudah maklum tidak dapat menggerakkan sejarah dan merubah sistem sistem pemerintahan, namun yang melakukan semua itu adalah kondisi materfil yang berkembang di tengah masyarakat. Itulah yang terjadi dalam masyarakat Islam, karena perubahan perubahan materfil yang masuk dan menyelinap di dalam struktur masyarakat Islam itulah yang telah menguraikan hubungan tribalistik yang menguasai masyarakat Islam, kemudian pemerintahan mulai berubah dari satu bentuk ke bentuk lain yang sesuai dengan kondisi yang baru. Demikianlah "pemerintahan kesukuan" (hukamah al¬qabilah) secara pasti berubah menjadi "pemerintahan centralistik" (al hukamah al markaziyah).
Perubahan yang terjadi, dari sistem kekhalifahan (khulafaur rasyidin) menjadi "raja yang keji" (al malik al¬'adludl) sebagaimana yang mereka nyatakan, tidak memiliki keterkaitan dengan watak, semangat keagamaan dan kebanggaan. Masalah masalah ini sangat lemah untuk dapat melakukan perubahan. Mestinya analisa. seperti itu yang bersifat "moralistis utopis" ini muncul dari salah seorang dai, bukan seorang pemikir yang rasionalis seperti Abbas Mahmud al Aqqad. Tetapi sebagaimana pepatah mengatakan "setiap orang yang alim (mengerti) bisa keliru dan setiap orang yang dermawan pasti tergelincir juga".
Oleh karena itu, tidak ada pertimbangan dalam benak Abu Bakar dan Umar untuk menggantikan kekhalifahan kepada salah seorang putranya, bukan karena ke waraan¬nya karena ke waraan kedua tokoh itu tidak patut menjadi objek perdebatan tetapi karena sistem tribalistik yang mengiringi sistem pemerintahan yang dilalui oleh keduanya, tidak memungkinkan mereka berdua untuk berbuat seperti itu (keluar dari tradisi). Umar al Faruq memang menyertakan putranya dalam musyawarah, namun tidak mengikutkan dalam masalah (pemilihan) ini, yakni ia tidak menjadi khalifah. Para dai mencermati fenomena tersebut dan mengatakan, bahwa semua itu karena keadilan Umar, dan masalah keadilan Umar ini tidak butuh analisa yang seperti ini. Tetapi semua itu kembali pada bahwa Umar tidak akan mampu, dalam bentuk apapun, untuk mengamanatkan kekhalifahan kepada putranya, Abdullah, karena "pemerintahan kesukuan" (hukumah a] qabilah) dengan berbagai tradisi warisan yang sudah mapan, yang pada saat itu menguasai, menolak untuk melakukan hal itu karena tradisi itulah yang menjadikannya (putra Umar) tidak bisa berbuat apa¬apa, bahkan tak sempat terbersit sedikitpun dalam benak putra Umar untuk berpikir (mendapatkan amanat kekhalifahan dari ayahnya).
Ketika ikatan sistem "pemerintahan kesukuan"(huka mah al qabilah) terlepas, setelah kekhalifahan khulafaurrasyidin, dan berubah menjadi "negara centralistik" (al¬hukfimah al markaziyah), maka dengan sendirinya Muawiyah berpikir untuk mewariskan kekuasaan kepada putranya sebagaimana yang terjadi dalam pemerintahan sentralistik dalam sepanjang sejarah dan jedah geografis, jika pemyataan ini benar. Ini pemah terjadi di Mesir Kuno,Persia, dan seterusnya. Ketika Muawiyah melakukanseperti itu, maka hal itu bukan karena jeleknya hati ataurusaknya tabiat dan atau karena niat jelek Muawiyahsebagaimana yang telah digambarkan oleh banyak orang.tetapi kondisilah yang mematangkan dan mendoronguntuk melakukan langkah seperti itu. Bahkan seandainyaada orang yang menggantikan kedudukannya(Muawiyah), baik sahabat maupun tidak, dijanjikan surgaatau diancam dengan neraka, pasti ia akan mengikutilangkah ini seperti yang dilakukan oleh Muawiyah. Saya tidak memberikan bukti atas pendapat yang sayanyatakan, bahwa sistem kerajaan atau kekhalifahan yangdimulai oleh Muawiyah sebagai respon atas kondisi yang melingkupinya terus berlanjut dalam negara¬negara Islam, baik yang bermadzhab Sunni maupun Syi'i, di Timur maupun Barat, hingga akhir kekhalifahan Usmani. Bahkan ia terus berjalan sampai sekarang. Apakah para khalifah, raja dan penguasa, semuanya jelek? Tetapi langkah yang diambil oleh Muawiyah merupakan langkah yang paling buruk, dengan menggantikan kursi singgasana kepada putranya, Yazid. Di sinilah saya akan membedakan dua hal:
Pertama, bahwa prinsip pewarisan raja atau kekhalifahan yang dikehendaki oleh Muawiyah, orang pertarna yang memulai langkah itu, merupakan hal yang wajar, bahkan merupakan suatu keharusan karena perubahan sistem pemerintahan dari "pemerintahan kesukuan" (hukfimah al qabilah) menjadi "pemerintahan centralistik" (al hukfimah al markaziyah). Orang lain pun akan melakukan apa yang telah dilakukan Muawiyah, tidak ada ketercelaart baginya, karena sistem kekhalifahan (khulafaur rasyidin) berubah menjadi sistem "raja yang keji" (malik'adludl), bahkan "raja yang keji" ini kembali ke Islam dengan membawa kebaikan yang melimpah. Ia adalah dasar bagi peradaban yang cemerlang, yang dengannya umat Islam mencapai kejayaan dalam. rentang sejarah. Dan bahwa Islam belum pernah menyaksikan ketinggihan dan kemajuan sebagaimana yang disaksikan di masa pemerintahan Umaiyah, baik yang dari keluarga Sufyan maupun Marwan.
Kedua, bahwa Muawiyah telah melakukan langkah yang buruk dalam memilih putranya, Yazid, sebagai khalifah pengganti dirinya.
Ringkasnya, bahwa Muawiyah telah melakukanlangkah yang benar dalam hal prinsip pewarisan (tradisi sistem pemerintahan) karena ia telah meniti jalan sesuaidengan keharusan (determinan) yang lebih kuat dan angkuh, yaitu perkembangan sistem pemerintahan karena beberapa sebab sebagaimana yang telah saya jelaskan. Tetapi kebenarannya terletak pada sisi pilihan pewarisan tersebut. Sebagai akhir dari bagian ini, saya menyatakan bahwa barangkah saya telah memberikan alasan yang sahih di mata para pembaca tentang sikap diam Rasulullah Saw. dalam menentukan (mengangkat) seorang khalifah sesudahnya, dan demikian pula tentang sikap diamnya "teks teks suci" (al nushCish al muqaddasam) dalam. masalah ini secara umum; bahwa pengangkatan empat Mulafaur rasyidin mengikuti tradisi masyarakat Arab masa sebelum diutusnya nabi Muhammad Saw, yaitu bahwa peni ilihan seorang pimpinan atau kepala berlangsung melalui "majhs permusyawaratan" (maflis al syura). Mula mula "majlis permusyawaratan suku" (maffis syura al qabilah) kemudian menjadi "majlis permusyawaratan umat Islam" (maflis syura al muslimin) yang mengurusi pemilihan empat khulafaur rasyidin. Dan bahwa perubahan pemerintahan dari "kekhalifahan" (al khilafah al rasyidah) menjadi "raja yang keji" (malik 'adludl) berlangsung di bawah pengaruh kondisi materfil yang melingkupinya, dan itu merupakan suatu keharusan (determinan) yang akan dilakukan oleh siapapun orangnya meskipun ia berada di lingkungan Muawiyah bin Abi Sufyan.

Jumat, 21 Mei 2010

Mata Kuliyah : Filsafat Hukum Islam

“Filsafat Jinayah”


Dosen Pengampu : Dr. Syahrul Anwar, M. Ag

Oleh :
Abdul Muher
220940001




PROGRAM PASCA SARJANA
UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
KONSENTRASI HUKUM ISLAM
2010



Tujuan Hukum Pidana Islam
Diciptakannya hukum Islam mempunyai tujuan yaitu:
a. Penciptaan hukum Islam itu sendiri yang menjadi tolak ukur manusia dalam rangka mencapai kebahagiaan hidup.
b. Pembuat hukum yang sesungguhnya hanyalah Allah, Dia tidak berbuat sesuatu yang sia-sia, setiap apa yang Dia lakukan ada tujuannya yakni untuk kemaslahatan manusia.
Tujuan hukum Allah itu dapat dilihat dari dua sisi
Pertama dilihat dari segi manusiawi, yakni tujuan-tujuan dari segi kepentingan manusia atau mukallaf. Kedua dilihat dari sisi Allah sebagai pembuat hukum yaitu apa tujuan Allah membuat Hukum.
Tujuan hukum Islam sesuai dengan fitrah manusia dan fungsi daya fitrah manusia dari semua daya fitrahnya. Secara singkat fungsi-fungsi untuk mencapai kebahagiaan hidup. Disebut para fakar filsafat hukum Islam dengan istilah al-tahsil wa al-ibqa atau mengambil maslahat serta sekaligus mencegah kerusakan "jalb al-mashlaih wa daf' al-mafa'sid". Apabila tujuan hukum ditinjau dari segi fitrah dan daya yang dimiliki manusia itu maka dapat digambarkan sebagai berikut: metodelogi Maqhasid al-Syariah berasumsi bahwa dalam setiap wacana yang berkembang umat Islam masih kurang memperhatikan pijakan-pijakan dasar dari setiap metodologi. Apa yang diperbincangkan dalam setiap pembicaraan mengenai politik Islam selama ini terkesan lebih didominasi tiga aspek yaitu dzaruruyat (primer) hajiyyat (sekunder) dan tahsiniyat (Pelengkap) Aspek dzaruriyat adalah aspek yang paling asasi dalam kehidupan manusia. Hukum Islam disyariatkan Allah dengan tujuan utama untuk merealisasikan dan melindungi kemaslahatan umat manusia baik kemaslahatan individu masyarakat atau keduanya. Kemaslahatan yang ingin diwujudkan, hukum Islam ini menyangkut seluruh aspek kepentingan. unsur unsur penting dalam hukum pidana Islam yang perlu dijelaskan disini adalah Perbuatan melanggar aturan (hukum) yang lazim disebut jarimah atau jinayah dan ancam hukuman yang lazim disebut Uqubah dalam hukum pidana positif lazim disebut delik atau tindak pidana.
Mata Kuliyah : Filsafat Hukum Islam

“Filsafat Jinayah”


Dosen Pengampu : Dr. Syahrul Anwar, M. Ag

Oleh :
Abdul Muher
220940001




PROGRAM PASCA SARJANA
UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
KONSENTRASI HUKUM ISLAM
2010



Tujuan Hukum Pidana Islam
Diciptakannya hukum Islam mempunyai tujuan yaitu:
a. Penciptaan hukum Islam itu sendiri yang menjadi tolak ukur manusia dalam rangka mencapai kebahagiaan hidup.
b. Pembuat hukum yang sesungguhnya hanyalah Allah, Dia tidak berbuat sesuatu yang sia-sia, setiap apa yang Dia lakukan ada tujuannya yakni untuk kemaslahatan manusia.
Tujuan hukum Allah itu dapat dilihat dari dua sisi
Pertama dilihat dari segi manusiawi, yakni tujuan-tujuan dari segi kepentingan manusia atau mukallaf. Kedua dilihat dari sisi Allah sebagai pembuat hukum yaitu apa tujuan Allah membuat Hukum.
Tujuan hukum Islam sesuai dengan fitrah manusia dan fungsi daya fitrah manusia dari semua daya fitrahnya. Secara singkat fungsi-fungsi untuk mencapai kebahagiaan hidup. Disebut para fakar filsafat hukum Islam dengan istilah al-tahsil wa al-ibqa atau mengambil maslahat serta sekaligus mencegah kerusakan "jalb al-mashlaih wa daf' al-mafa'sid". Apabila tujuan hukum ditinjau dari segi fitrah dan daya yang dimiliki manusia itu maka dapat digambarkan sebagai berikut: metodelogi Maqhasid al-Syariah berasumsi bahwa dalam setiap wacana yang berkembang umat Islam masih kurang memperhatikan pijakan-pijakan dasar dari setiap metodologi. Apa yang diperbincangkan dalam setiap pembicaraan mengenai politik Islam selama ini terkesan lebih didominasi tiga aspek yaitu dzaruruyat (primer) hajiyyat (sekunder) dan tahsiniyat (Pelengkap) Aspek dzaruriyat adalah aspek yang paling asasi dalam kehidupan manusia. Hukum Islam disyariatkan Allah dengan tujuan utama untuk merealisasikan dan melindungi kemaslahatan umat manusia baik kemaslahatan individu masyarakat atau keduanya. Kemaslahatan yang ingin diwujudkan, hukum Islam ini menyangkut seluruh aspek kepentingan. unsur unsur penting dalam hukum pidana Islam yang perlu dijelaskan disini adalah Perbuatan melanggar aturan (hukum) yang lazim disebut jarimah atau jinayah dan ancam hukuman yang lazim disebut Uqubah dalam hukum pidana positif lazim disebut delik atau tindak pidana.
Filsafat Abad Ke-18 Aufklarung

Pada Mata Kuliyah : Filsafat Barat



Dosen Pengampu : Dr. Nurrohman, MA

Oleh: Abdul Muher
220940001






PROGRAM PASCA SARJANA
UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
KONSENTRASI HUKUM ISLAM
2010

Aufklarung Filsafat Abad Ke-18
Pendahuluan
Sebagaimana lazimnya suatu dialog intelektual, disatu sisi terdapat bagian yang dilestarikan dan sisi lain ada bagian dikritisi atau diserang bahkan mungkin ada bagian yang ditolak. Didunia Islampun muncul pelestari warisan Yunani,Persia dan Romawi, namun juga banyak yang melakukan kritik terhadapnya. Disinilah tampak dinamika intelektual. Konsep Ide Plato trus dipelajari dan dikembangkan,begitu juga konsep Akal dan Logika Aristoteles serta konsep Emanasi Plotinus. Semunya tetap dijadikan pijakan. Ini membuktikan bahwa ketiga filsuf tersebut yang nota bene merupakan para pionir memiliki pengaruh yang sangat besar dalam membentuk pola pikir para filusuf generasi berikutnya tidak terkecuali Immauel Kant,Filsuf kelahiran Jerman yang abad ke-18.
Menurut Kant,Fiksafat adalah ilmu (Pengetahuan) yang menjadi pangkal dari semua pengetahuan yang di dalamnya tercakup masalah epistemologi yang menjawab persoalan apa yang dapat kita ketahui. Tampak adanya perbedaan yang menyolok antara abad ke-17 dan abad ke-18. Abad ke-17 membatasi diri pada usaha memberikan tafsiran baru terhadap kenyataan bendawi dan rohani,yaitu kenyataan yang mengenai manusia,dunia dan Allah.dan tokoh-tokoh filsafat di era ini adalah juga tokoh-tokoh gereja sehingga mereka tidak lepas dari isu-isu ketuhanan,Yesus dan sebagainya. Akan tetapi abad ke-18 menganggap dirinya mendapat tugas untuk meneliti secara kritik (sesuai dengan kaidah-kaidah yang diberikan akal)segala yang ada,baik didalam negara maupun didalam masyarakat.
John Locke yang mendominasi filsafat pada abad ke-18, seperti sahabatnya, Newton yang mendominasi ilmu pada periode yang sama.Awal abad ke-18 adalah masa yang gemilang. Eropa sembuh dari kekalutan selamah dua abad sebelumnya. Ini tentu sangat berbeda kondisinya dengan tradisi keilmuan dalam Islam pada abad yang sama. Menurut Harun Hadiwijono, dahulu filsafat mewujudkan suatu pemikiran yang hanya menjadi hal istimewa beberapa ahli saja,tetapi sekarang orang berpendapat,bahwa seluruh umat manusia berhak turut menikmati hasil-hasil pemikiran filsafat dan juga menjadi tugas filsafat untuk membebaskan khalayak ramai dari kuasa gereja dan iman kepercayaan yang berdasarkan wahyu,agar supaya mereka mendapat bagian dari hasil-hasil zaman pencerahaan.
Pembahasan
Filsafat abad ke-18 Aufklarung ( masa pencerahan)
Filsafat abad ke-18 di Jerman disebut Zaman Aufklarung atau zaman pencerahan yang di Inggris dikenal dengan Enlightenment,yaitu suatu zaman baru dimana seorang ahli pikir yang cerdas mencoba menyelesaikan pertentangan antara rasionalisme dengan empirisme. Zaman ini muncul dimana manusia lahir dalam keadaan belum dewasa dalam pemikiran filsafatnya. Namun setelah Immanuel Kant mengadakan penyelidikan dan kritik terhadap peran pengetahuan akal barula manusia terasa bebas dari otoritas yang datang dari luar manusia demi kemajuan peradaban manusia. Pemberian nama ini juga dikarenakan pada zaman itu manusia mencari cahaya baru dalam rasionya. Immanuel Kant mendefenisikan zaman itu dengan mengatakan, “Dengan Aufklarung dimaksudkan bahwa manusia keluar dari keadaan tidak balig yang dengannya ia sendiri bersalah.” Apa sebabnya manusia itu sendiri yang bersalah? Karena manusia itu sendiri tidak menggunakan kemungkinan yang ada padanya,yaitu rasio.
Sebagai latar belakangnya, manusia melihat adanya kemajuan ilmu pengetahuan (ilmu pasti, biologi, filsafat dan sejarah) telah mencapai hasil yang menggembirakan . Disisi lain jalannya filsafat tersendat-sendat. Untuk itu diperlukan upaya agar filsafat dapat berkembang sejajar dengan ilmu pengetahuan alam. Isaac Newton ( 1642-1727) memberikan dasar-dasar berpikir dengan induksi,yaitu pemikiran yang bertitik tolak pada gejala-gejala dan mengembalikan kepada dasar-dasar yang sifatnya umum. Untuk itu dibutuhkan analisis. Dengan demikian zaman pencerahan merupakan tahap baru dalam proses emansipasi manusia Barat yang sudah dimulai sejak Renaissance dan Reformasi. Para tokoh era Aufklarung ini juga merancang program-program khusus diantaranya adalah berjuang menentang dogma gereja dan takhayul populer. Senjatanya adalah fakta-fakta ilmu dan metode-metode rasional.
Masa Pencerahan di Tiga Negara Eropa
1. Pencerahan di Jerman
Pada umumnya Pencerahan di Jerman tidak begitu bermusuhan sikap¬nya terhadap agama Kristen seperti yang terjadi di Perancis. Memang orang juga berusaha menyerang dasar-dasar iman kepercayaan yang berdasarkan wahyu, serta menggantinya dengan agama yang berdasarkan perasaan yang bersifat pantheistic, akan tetapi semuanya itu berjalan tanpa “perang’ terbuka. Yang menjadi pusat perhatian di Jerman adalah etika. Orang bercita-¬cita untuk mengubah ajaran kesusilaan yang berdasarkan wahyu menjadi suatu kesusilaan yang berdasarkan kebaikan umum, yang dengan jelas menampakkan perhatian kepada perasaan. Sejak semula pemikiran filsafat dipengaruhi oleh gerakan rohani di Inggris dan di Perancis. Hal itu mengakibatkan bahwa filsafat Jerman tidak berdiri sendiri.
Para perintisnya di antaranya adalah Samuel Pufendorff(1632-1694), Christian Thomasius (1655-1728). Akan tetapi pemim¬pin yang sebenarnya di bidang filsafat adalah Christian Wolff (1679- 1754). la mengusahakan agar filsafat menjadi suatu ilmu pengetahuan yang pasti dan berguna, dengan mengusahakan adanya pengertian-pengertian yang jelas dengan bukti-bukti yang kuat. Penting sekali baginya adalah susunan sistim filsafat yang bersifat didaktis, gagasan-gagasan yang jelas dan penguraian yang tegas. Dialah yang menciptakan pengistilahan-pengis-tilahan filsafat dalam bahasa Jerman dan menjadikan bahasa itu menjadi serasi bagi pemikiran ilmiah. Karena pekerjaannya itu filsafat menarik per¬hatian umum. Pada dasarnya filsafatnya adalah suatu usaha mensistimatisir pemikiran Leibniz dan menerapkan pemikiran itu pada segala bidang ilmu pengetahuan. Dalam bagian-bagian yang kecil memang terdapat penyim¬pangan-penyimpangan dari Leibniz. Hingga munculnya Kant yang filsafatnya merajai universitas-universitas di Jerman.
Orang yang seolah-olah dengan tiba-tiba menyempurnakan Pencerah¬an adalah Immanuel Kant (1724-1804). Yang merupakan Filsuf yang pengaruhnya terhadap filsafat pada dua ratus tahun terakhir ini,baik di Barat maupun di Timur, hampir secara universal diakui sebagai filsuf terbesar sejak masa Aristoteles. Ada yang berpendapat bahwa filsafat pada dua ratus tahun terakhir ini bagaikan catatan kaki terhadap tulisan-tulisannya. Ada juga yang berpendapat sistem filsafatnya bagi dunia modern ini laksana Aristoteles bagi dunia skolastik:
Kant lahir di Konigserg, Prusia Timur,Jerman.Pikiran-pikiran dan tulisan-tulisannya membawa revolusi yang jauh jangkauannya dalam filsafat modern.ia hidup dizaman Scepticism Sebagian besar hidupnya telah ia pergunakan untuk mempelajari logical process of thought (proses penalaran logis),the external world (dunia eksternal) dan reality of things (realitas segala yang wujud ). Kehidupannya dalam dunia filsuf dibagi dalam dua periode: zaman pra-kritis dan zaman kritis. Pada zaman pra-kritis ia menganut pendirian rasionalis yang dilancarkan oleh Wolff dkk. Tetapi karena terpengaruh oleh David Hume ( 1711-1776), berangsur-angsur Kant meninggalkan rasionalisme. Ia sendiri mengatakan bahwa Hume itulah yang membangunkannya dari tidur dogmatisnya. Pada zaman kriitsnya , Kant merubah wajah filsafatnya secara radikal.
Dilingkungan masyarakatnya, Kant sering menjadi subjek karikatur secara tidak wajar, semisal bahwa rutinitas hariannya amat kaku sampai-sampai para tetangganya menyetel arloji mereka menurut kedatangan dan kepergiannya setiap hari,namun cerita semacam ini mungkin justru mencerminkan integritas kehidupannya yang bersesuaian dengan ide-idenya sendiri jika kita ingin menilainya secara positif.ketika meninggal,epitaf di batu nisannya hanya bertuliskan“ Sang Filsuf “ sebuah sebutan yang dianggap tepat,dengan mempertimbangkan bahwa periode filsafat yang bermula dengan tampilnya Sokrates menjadi lengkap dalam banyak hal dengan hadirnya Kant.
Dengan munculnya Kant dimulailah zaman baru, sebab filsafatnya mengantarkan suatu gagasan baru yang memberi arah kepada segala pemikiran filsafat la sendiri memang merasa, bahwa is meneruskan Pencerahan. Karyanya yang terkenal dengan menampakkan kritisismenya adalah Critique of Pure Reason ?. (kritik atas rasio murni) yang membicarakan tentang reason dan knowing process yang ditulisnya selama lima belas tahun.Bukunya yang kedua adalah Critique of Practical Reason atau kritik atas rasio praktis yang menjelaskan filsafat moralnya dan bukunya yang ketiga adalah Critique of judgment atau kritik atas daya pertimbangan.
Kant yang juga dikenal sebagai raksasa pemikir Barat mengatakan bahwa, Filsafat merupakan ilmu pokok dari segala pengetahuan yang meliputi empat persolan yaitu: Apa yang dapat kita ketahui ? ,Apa yang boleh kita lakukan?,Sampai dimanakah pengharapan kita? Dan Apakah manusia itu?
2. Pencerahan di Inggris
Di Inggris filsafat Pencerahan dikemukakan oleh ahli-ahli pikir yang bermacam-macam keyakinannya. Kebanyakan ahli pikir yang seorang lepas daripada yang lain, kecuali tentunya beberapa aliran pokok. Salah satu gejala Pencerahan di Inggris ialah yang disebut Deisme, suatu aliran dalam filsafat Inggris pada abad ke-18, yang menggabungkan diri dengan gagasan Eduard Herbert yang dapat disebut pemberi alas ajaran agama alamiah.
Menurut Herbert, akal mempunyai otonomi mutlak di bidang agama. Juga agama Kristen ditaklukkan kepada akal. Atas dasar pendapat ini ia menentang segala kepercayaan yang berdasarkan wahyu. Terhadap segala skeptisisme di bidang agama ia bermaksud sekuat mungkin meneguhkan kebenaran-kebenaran dasar alamiah dari agama. Dasar pengetahuan di bidang agama adalah beberapa pengertian umum yang pasti bagi semua orang dan secara langsung tampak jelas karena naluri alamiah, yang mendahului segala pengalaman dalam pemikiran akal. Ukuran kebenaran dan kepastiannya adalah persetujuan umum segala manusia, karena kesamaan akalnya. Isi pengetahuan itu mengenai soal agama dan kesusilaan. Inilah asas-asas pertama yang harus dijabarkan oleh akal manusia sehingga tersusunlah agama alamiah, yang berisi:
a. bahwa ada Tokoh yang Tertinggi.
b. bahwa manusia harus berbakti kepada Tokoh yang Tertinggi itu.
c. bahwa bagian pokok kebaktian ini adalah kebajikan dan kesalehan.
d. bahwa manusia karena tabiatnya benci terhadap dosa dan yakin bahwa tiap pelanggaran kesusilaan harus disesali.
e. bahwa kebaikan dan keadilan Allah memberikan pahala dan hukuman kepada manusia di dalam hidup ini dan di akhirat.
Menurut Herbert, di dalam segala agama yang positif terdapat kebenaran-kebenaran pokok dari agama alamiah. Pada akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18 pandangan Herbert ini dikembangkan lebih lanjut, baik yang mengenai unsur-unsurnya yang negatif maupun unsur-unsurnya yang positif.
3. Pencerahan di Perancis
Pada abad ke-18 filsafat di Perancis menimba gagasannya dari Inggris. Para pelopor filsafat di Perancis sendiri (Descartes, dll) telah dilupakan dan tidak dihargai lagi. Sekarang yang menjadi guru mereka adalah Locke dan Newton. Perbedaan antara filsafat Perancis dan Inggris pada masa tersebut adalah: Di Inggris para filsuf kurang berusaha untuk menjadikan hasil pemikiran mereka dikenal oleh umum, akan tetapi di Perancis keyakinan baru ini sejak semula diberikan dalam bentuk populer. Akibatnya filsafat di Perancis dapat ditangkap oleh golongan yang lebih luas , yang tidak begitu terpelajar seperti para filsuf. Hal ini menjadikan keyakinan baru itu memasuki pandaangan umum. Demi¬kianlah di Perancis filsafat lebih eras dihubungkan dengan hidup politik, sosial dan kebudayaan pada waktu itu. Karena sifatnya yang populer itu maka filsafat di Perancis pada waktu itu tidak begitu mendalam. Agama Kristen diserang secara keras sekali dengan memakai senjata yang diberikan oleh Deisme.10 Sama halnya dengan di Inggris demikian juga di Perancis terdapat bermacam-macam aliran: ada golongan Ensiklopedi, yang menyusun ilmu pengetahuan dalam bentuk Ensiklopedi, dan ada golongan materialis, yang meneruskan asas mekanisme menjadi materialisme semata-mata. Diantara tokoh yang menjadi sentral pembicaraan disini adalah Voltaire (1694-1778), Pada tahun 1726 ia mengungsi ke Inggris. Di situ ia berkenalan dengan teori-teori Locke dan Newton. Apa yang telah diterimanya dari kedua tokoh ini ialah: Pertama sampai di mana jangkauan akal manusia?, dan kedua di mana letak batas-batas akal manusia?.
Berdasarkan kedua hal itu ia mem¬bicarakan soal-soal agama alamiah dan etika. Maksud tujuannya tidak lain ialah mengusahakan agar hidup kemasyarakatan zamannya itu sesuai dengan tuntutan akal. Mengenai jiwa dikatakan, bahwa kita tidak mempunyai gagasan tentang jiwa (pengaruh Locke).Yang kita amati hanyalah gejala-gejala psikis. Pengetahuan kita tidak sampai kepada adanya suatu substansi jiwa yang berdiri sendiri. Oleh karena agama dipandang sebagai terbatas kepada beberapa perin¬tah kesusilaan, maka ia menentang segala dogma, dan menentang agama.
Di Perancis pada era pencerahan ini juga ada Jean Jacques Rousseau(1712-1778), yang telah memberikan penutupan yang sistematis bagi cita-cita pencerahan di Perancis. Sebenarnya ia menentang Pencerahan, yang menurut dia, menyebarkan kesenian dan ilmu pengetahuan yang umum, tanpa disertai penilaian yang baik, dengan terlalu percaya kepada pembaharuan umat manusia melalui pengetahuan dan keadaban. Sebenar¬nya Rousseau adalah seorang filsuf yang bukan menekankan kepada akal, melainkan kepada perasaan dan subjektivitas. Akan tetapi di dalam menghambakan diri kepada perasaan itu akalnya yang tajam dipergunakan. Terkait kebudayaan menurut Rousseau, kebudayaan bertentangan dengan alam, sebab kebudayaan merusak manusia. (Yang dimaksud ialah kebudayaan yang berlebih-lebihan tanpa terkendalikan dan yang serba semu, seperti yang tampak di Perancis pada abad ke-18 itu. Mengenai agama Rousseau berpendapat, bahwa agama adalah urusan pribad. Agama tidak boleh mengasingkan orang dari hidup bermasyara¬kat. Kesalahan agama Kristen ialah bahwa agama ini mematahkan kesatu¬an masyarakat. Akan tetapi agama memang diperlukan oleh masyarakat. Akibat keadaan ini ialah, bahwa masyarakat membebankan kebenaran¬-kebenaran keagamaan, yang pengakuannva secara lahir perlu bagi hidup kemasyarakatan, kepada para anggotanya sebagai suatu undang-undang, yaitu tentang adanya Allah serta penyelenggaraannya terhadap dunia, tentang penghukuman di akhirat, dsb. Pengakuan secara lahiriah terhadap agama memang perlu bagi masyarakat, tetapi pengakuan batiniah tidak boleh dituntut oleh negara.
Pandangan Rousseau mengenai pendidikan berhubungan erat dengan ajarannya tentang negara dan masyarakat. Menurut dia, pendidikan ber¬tugas untuk membebaskan anak dari pengaruh kebudayaan dan untuk memberi kesempatan kepada anak mengembangkan kebaikannya sen¬diri yang alamiah. Segala sesuatu yang dapat merugikan perkembangan anak yang alamiah harus dijauhkan dari anak. Di dalam pendidikan tidak boleh ada pe¬ngertian “kekuasaan” yang memberi perintah dan yang harus ditaati. Anak harus diserahkan kepada dirinya sendiri. Hanya dengan cara demi¬kian ada jaminan bagi pembentukan yang diinginkan. Juga pendidikan agama yang secara positif tidak boleh diadakan. Anak harus memilih Sen¬diri keyakinan apa yang akan diikutinya. Bagi seorang muslim,paham seperti ini tentu sangat menyesatkan. Harun Hadiwijono berkesimpulan bahwa Pencerahan di Perancis memberikan senjata rohani kepada revolusi Perancis.
Aliran-aliran yang muncul dimasa pencerahan
1. Kritisisme
Aliran ini dimulai di Inggris, kemudian Prancis dan selanjutnya menyebar keseluruh Eropa,terutama di Jerman. Di Jerman pertentangan antara rasionalisme dan empirisme terus berlanjut. Masing-masing berebut otonomi. Kemudian timbul masalah,siapah sebenarnya dikatakan sumber pengetahuan? Apakah pengetahuan yang benar itu lewat rasio atau empiri? Kant mencoba menyelesaikan persoalan diatas. Pada awalnya Kant mengikuti rasionalisme,tetapi kemudian terpengaruh oleh empirisme (Hume). Walaupun demikian, Kant tidak begitu mudah menerimanya, karena ia mengetahui bahwa dalam empirisme terkandung skeptisme. Untuk itu tetap mengakui kebenaran ilmu dan dengan akal manusia akan dapat mencapai kebenaran.empirsme. ,Aliran Filsafat yang dkenal dengan kritisisme adalah filsafat yang di introdusir oleh Immanuel Kant. Filsafat ini memulai pelajarannya dengan menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan manusia. Pertentangan antara rasionalisme dan empirisme dicoba untuk diselesaikan oleh Kant dengan kritisismenya.
Adapun ciri-ciri kritisisme diantarnya adalah sebagai berikut:
- Menganggap bahwa objek pengenalan itu berpusat pada subjek dan bukan pada objek.
- Menegaskan keterbatasan kemampuan rasio manusia untuk mengetahui realitas atau
hakikat sesuatu; rasio hanyalah mampu menjangkau gejalanya atau fenomenya saja.

Tujuan filsafat kritis
Melalui filsafatnya, Kant bermaksud memugar sifat objektivitas dunia ilmu pengetahuan. Agar maksud itu terlaksana , orang harus menghindarkan diri dari sifat sepihak rasionalisme dan sifat sepihak empirisme. Rasionalisme mengira telah menemukan kunci bagi pembukaan realitas pada diri subjeknya, lepas dari pengalaman. Adapun empirisme mengira telah memperoleh pengetahuan dari pengalaman saja. Ternyata empirisme,sekalipun dimulai dengan ajaran yang murni tentang pengalaman,tetap melalui idealisme subjektif bermuara pada suatu skeptisme yang radikal. Dalam hal ini Kant bermaksud mengadakan penelitian yang kritis terhadap rasio murni. Menurutnya, Syarat dasar bagi segala ilmu pengetahuan adalah :bersifat umum dan mutlak dan yang kedua adalah memberi pengetahuan baru. Sedangkan menurut Hume, ada jurang yang lebar antara kebenaran-kebenaran rasio murni dengan realitas dalam dirinya sendiri.Salah satu tujuan filsaft Kant yang disebut sebagai filsafat kritis,dengan metodenya yang dikenal dengan sebutan metode transendental,dimana pengetahuan mencerminkan struktur kategoris pikiran,ialah memberikan sebuah alternatif pembenaran filosofis terhadap hasil-hasil Newton. Sistem konsep-konsep yang dipakai dalam geometri Euklidean dan fisika Newtonian secara unik relevan bagi pengalaman aktual manusia.
Dalam hal ini ada tiga macam kritik yang dilontarkan Kant yaitu:
1. Critique of Pure Reason (kritik atas rasio murni)
Kritisisme Kant dapat dianggap sebagai suatu usaha besar untuk mendamaikan rasionalisme dengan empirisme. Rasionalisme mementingkan unsur apriori dalampengenalan , berarti unsur –uunsur yang terlepas dari segalah pengalaman.Sedangkan Empirisme menekankan unsur-unsur aposteriori, berarti unsur-unsur yang berasal dari pengalaman( seperti Locke yang menganggap rasio sebagai” Lembaran putih “- as a white paper). Menuru Kant ,baik rasionalisme maupun empirisme kedua-duanya berat sebelah. Ia berusaha menjelaskan bahwa pengalaman manusia merupakan perpadun antara sintesa unsur-unsur apriori dengan unsur-unsur aposteriori. Walaupun Kant sangat mengagumi empirisme Hume,empirisme yang bersifat rtadikal dan konsekuen, ia tidak dapat menyetujui skeptisime yang dianut Hume dengan kesimpulannya bahwa dalam ilmu pengetahuan kita tidak mampu mencapai kepastian. Pada waktu Kant hidup, sudah menjadi jelas bahwa ilmu pengetahuan alam yang dirumuskan Newton memperoleh sukses besar .
Kant mengadakan suatu revolusi filsafat.Ia berkata bahwa ia ingin mengusahakan suatu “revolusi kopernikan” yang berarti suatu revolusi yang dapat dibandingkan dengan perubahan revolusioner yang dijadikan Copernicus dalam bidang astronomi. Dahulu para filsuf telah mencoba memahami pengenalan dengan mengandaikan bahwa si subjek mengarahkan diri kepada objek. Kant mengerti pengenalan dengan berpangkal dari anggapan bahwa objek mengarahkan diri pada subjeek. Sbagaimna Copernicus menetapkan bahwa bumi berputar sekitar matahari dan bukan sebaliknya, demikkian juga Kant memperlihatkan bahwa pengenalan berpusat pada subjek bukan pada objek.
2. Critique of Practical Reason (kritik atas rasio praktis)
Rasio dapat menjalankan ilmu pengetahuan,sehingga rasio disebut rasio teoritis atau menurut istilah Kant sendiri adalah rasio murni. Akan tetapi,di samping rasio murni terdapat apa yang disebut rasio praktis yaitu rasio yang mengatakan apa yang harus kita lakukan,atau dengan kata lain,rasio yang memberi perintah kepada kehendak kita. Kant memperlihatkan bahwa rasio praktis memberikan perintah yang mutlak yang disebutnya sebagai imperatif kategori.16 Kant kemudian bertanya,”Bagaimana ‘keharusan’ itu mungkin? Apakah yang memungkinkan keharusan itu ?Prinsip pokok untuk menjawab pertanyaan ini adaladh,kalau kita harus,maka kita bisa juga. Seluruh tingkah laku manusia menjadi mustahil,jika kita wajib membuat apa yang tidak bisa dilakukan. Kant beranggapan bahwa ada tiga hal yang harus disadari sebaik-baiknya bahwa ketiga hal itu dibuktikan,hanya dituntut. Itulah sebabnya Kant menyebutnya ketiga postulat dari rasio praktis. Ketiganya yang dimaksud adalah : Kebebasan kehendak, immoralitas jiwa dan yang ketiga adalah adanya Allah.

3. Critique of judgment (atau kritik atas daya pertimbangan)
Sebagai konsekuensi dari”kritik atas rasio murni daan “kritik atas rasio praktis adalah munculnya dua lapangan tersendiri yaitu lapangan keperluan mutlak di bidang alam dan lapangan kebebasan di bidang tingkah laku manusia. Maksud dari kritik of judgment ialah mengerti kedua persesuaian kedua lapangan ini. Hal ini terjadi dengan menggunakan konsep finalitas (tujuan).Filsafat bisa bersifat subjektif dan objektif. Kalau filsafat bisa bersifat subjektif, manusia mengarahkan objek pada diri manusia itu sendiri. Inilah yang terjadi didalam pengalaman estetis (seni). Pengaalaman estetis itu diseleidiki dalam bagian pertama bukunya,yaitu berjudul Kritik der Astheischen Urteiilskraft.Dengan finalitas yang bersifat objektif dimaksudkan keselarasan satu sama lain dari benda-benda alam. Finalitas dalam alam itu diselidiki dalam bagian ke dua, yaitu Kritik der Theoligischen Unteilskraft. Kant terdorong untuk menggagas metode filosofisnya karena alasan yang sama dengan alasan Descrates. Ia bertanya dalam hati mengapa ilmu-ilmu lain maju pesat tetapi metafisika tidak demikian.

Bentuk lain dari kritik terhadap rasionalisme adalah sebagai berikut :
1. Pengetahuan rasional dibentuk oleh idea yang tidak dapat dilihat maupun diraba. Eksistensi tentang idea yang sudah pasti maupun yang bersifat bawaan itu sendiri belum dapat dilakukan oleh semua manusia dengan kekuatan dan keyakinan yang sama. Lebih jauh terdapat perbedaan pendapat yang nyata di antara kaum rasionalis itu sendir mengenai kebenaran dasar yang menjadi landasan dalam menalar. Plato,St. Augustine dan Descratws masing-masing mengembangkan teori-teori rasional sendiri yang masing-masing berbeda.
2. Banyak diantara manusia yang berpikiran jauh,merasa bahwa mereka menemukan kesukaran yang besar dalam menerapkan konsep rasional kepada masalah kehidupan yang praktis. Kecendrungan terhadap abstraksi dan kecendrungan dalam meragukan serta menyangkal syahnya pengalaman keinderaan telah dikritik habis-habisan.
Kritikus yang terdidik biasanya mengeluh bahwa kaum rasionalis memperlakukan idea atau konsep seakan-akan mereka adalah benda yang obyektif. Menghilangkan nilai dari pengalaman keinderaan,menghilangkan pentingnya benda-benda fisik sebagai tumpuan ,lalu menggantinya dengan serangkaian abstraksi yang samar-samar,dinilai mereka sebagai suatu metode yang sangat meragukan dalam memperoleh pengetahuan yang dapat diandalkan. Teori rasional gagal dalam menjelaskan perubahan dan pertambahan pengetahuan manusia selama ini. Banyak dari idea yang sudah pasti pada suatu waktu kemudian berubah pada waktu yang lain. Pada suatu saat dalam sejarah, idea bahwa bumi adalah pusat dari sistem matahari hampir diterima secara umum sebagai suatu pernyataan yang pasti.
2. Empirisme
Empirisme didasarkan pada pengalaman. Tetapi apakah yang disebut pengalaman? Sekali waktu dia hanya berarti rangsangan pancaidera. Lain kali dia muncul sebagai sebuah sensasi ditambah dengan penilaian.Sebagai sebuah konsep,ternyata pengalaman tidak berhubungan langsung dengan kenyataan obyektif yang sangat ditinggikan oleh kaum empiris. Kritukus kaum empiris menunjukkan bahwa fakta tidak mempunyai apa pun yang bersifat pasti. Fakta itu sendiri tak menunjukkan hubungan di antara mereka terhadap pengamat yang netral. Jika dianalisis secara kritis maka”pengalaman” merupakan pengertian yang terlalu samar untuk dijadikan dasar bagi sebuah teori pengetahuan yang sistematis.
Sebuah teori yang sangat menitiberatkan pada persepsi pancaidera kiranya melupakan kenyataan bahwa pancaindera manusia adalah terbatas dan tidak sempurna. Pancaindera kita sering menyesatkan di mana hal ini disadari oleh kaum empiris itu sendiri. Empirisme tidak mempunyai perlengakapan untuk membedakan antara khayalan dan fakta. Empirisme tidak memberikan kita kepastian. Apa yang disebut pengetahuan yang mungkin, sebenarnya merupakan pengetahuan yang seluruhnya diragukan. Tanpa terus berjaga-jaga dan mempunyai urutan pengalaman indera yang tak terputus-putus.
Kombinasi antara rasionalisme dan empirisme
Terdapat suatu anggapan yang luas bahwa ilmu pada dasarnya adalah metode induktif empiris dalam memperoleh pengetahuan. Memang terdapat beberapa alasan untuk mendukung penilaian ini karena ilmuwan mengumpulkan fakta-fakta yang tertentu,melakukan pengamatan dan mempergunakan data inderawi, Walau demikian,analisis yang mendalam terhadap metode keilmuan akan menyingkapkan kenyataan,bahwa apa yang dilakukan oleh ilmuwan dalam usahanya mencari pengetahuan lebih tepat digambarkan sebagai suatu kombinasi antara prosedur empiris dan rasional.

3. Deisme
Deisme adalah suatu aliran yang mengakui adanya yang menciptakan alam semesta ini. Akan tetapi setelah dunia diciptakan, Allah menyerahkan dunia kepada nasibnya sendiri. Sebab Ia telah memasukkan hukum-hukum dunia itu ke dalamnya. Segala sesuatu berjalan sesuai dengan hukum-hukumnya. Manusia dapat menunaikan tugasnya dalam berbakti kepada Allah.

Kesimpulan
Di abad ke-18 dimulai suatu zaman baru yang memang telah berakar pada Renaissance (Masa yang juga disebut masa keraguan,dirinya dan jiwanya saja diragukan. Yang tidak di ragukan hanya dirinya yang ragu itu ,keraguan yang dimaksud disini adalah keraguan metafisik ) dan mewujudkan buah pahit dari rasionalisme dan empirisme. Masa ini disebut dengan masa pencerahan atau Aufklarung yang menurut Immanuel Kant,di zaman ini manusia terlepas dari keadaan tidak balik yang disebabkan oleh kesalahan manusia itu sendir yang tidak memanfaatkan akalnya. Voltaire menyebut zaman pencerahan sebagai “zaman akal” dimana manusia merasa bebas,zaman perwalian pemikiran manusia dianggap sudah berakhir,mereka merdeka dari segala kuasa dari luar dirinya. Para tokoh era Aufklarung ini juga merancang program-program khusus diantaranya adalah berjuang menentang dogma gereja dan takhayul populer. Senjatanya adalah fakta-fakta ilmu dan metode-metode rasional.
Di Jerman hadir sosok Immanuel Kant yang dalam filsafat kritiknya ia bermaksud memugar sifat objektivitas dunia ilmu pengetahuan. Agar maksud itu terlaksana ,orang harus menghindarkan diri dari sifat sepihak rasionalisme dan sifat sepihar empirisme. Rasionalisme mengira telah menemukan kunci bagi pembukaan realitas pada diri subjeknya, lepas dari pengalaman. Adapun empirisme mengira telah memperoleh pengetahuan dari pengalaman saja. Kritisisme Kant adalah suatu usaha besar untuk mendamaikan rasionalisme dengan empirisme. Menurut Kant baik rasionalisme maupun empirisme dua-duanya berat sebelah. Ia berusaha menjelaskan bahwa pengalaman manusia merupakan perpaduan antara sintesa unsur-unsur apriori dengan unsur-unsur aposteriori.
Di Inggris muncul paham deisme sebagai salah satu gejala Pencerahan yang juga disebut pemberi alas ajaran agama alamiah. Munculnya paham deisme ini sebagai bentuk penggabungan terhadap gagasan Eduard Herbert. Menurut Herbert, akal mempunyai otonomi mutlak di bidang agama. Juga agama Kristen ditaklukkan kepada akal. Atas dasar pendapat ini ia menentang segala kepercayaan yang berdasarkan wahyu.





Daftar Pustaka
Muh. Sabri AR,dalam Seminar Mata Kuliah Filsafat Islam Semester I Th 2008-2009.
Harun Hadiwijono. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Cet IX: Yogyakarta: Kanisius 1993.
Juhaya S. Praja,Aliran-aliran filsafat dan Etika, Cet II: Jakarta:Prenada Media 2005.
Jerome R. Ravertz, The Philosophy of Science, diterjemahkan oleh Saut Pasaribu. Cet I: Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2004.
Stephen Palimous, The Tree of Philosophy, diterjemahkan oleh Muhammad Shodiq. Cet I: Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2002.
Asmoro Akhmad, Filsafat Umum, Cet V: Jakarta: Raja Grafindo Persada 2003.
Surajiyo, Ilmu Filsafat, Cet I: Jakarta: Bumi Aksara 2005.
Jujun S,Sumantri, Ilmu dalam Perspektif, Cet XIV: Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 1999.
Fuad Rumi MS, filsafat ilmu,Universitar Muslim Indonesia 1999.
Ahmad Tafsir. filsafat ilmu, akal sejak thales sampai james, Penerbit, Remaja Rosdakarya Bandung, tanpa thn.
Gazalba,Sidi.Sistematika Filsafat.(Cet IV;Jakarta: Bulan Bintang 1992)
R.Ravertz,Jerome.Filsafat Ilmu.diterjemahkan,Saut Pasaribu (Cet I ;Yogykarta:Pustaka
Pelajar 2004)

Beekman,Gerard, Filsafat para filsuf berfilsafat,diterjemahkan oleh R.A.Rivai.(Jakarta :
Erlangga)
Akhmadi,Asmoro,Filsafat Umum.( Cet V; Jakarta: RajaGrafindo Persada 2003)
R.Suriasumantri,Jujun S.Ilmu dalam Perspektif.(Cet XIV ;Jakarta:Yayasan Obor
Indonesia 1999)
Kartenagara,Mulyadhi.Panorama Filsafat Ilmu.( Cet II; Bandung:Mizan Pustaka. 2005)
Drajat,Amroeni.Suhrawardi Kritik Filsafat Peripatetik.( Cet I:Yogyakarta:LKIS Aksara 2005)
As-shulhu dan mediasi dalam menyelesaikan perkara


Pada Mata Kuliyah : Pranata Sosial dan Hukum Islam


Dosen Pengampu : Prof Dr. Oyo Sunaryo Mukhlas, M. Si


Oleh: Abdul Muher
220940001





PROGRAM PASCA SARJANA
UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
KONSENTRASI HUKUM ISLAM
2010

I. Pendahuluan
Indonesia dampak dari penjajahan Belanda telah mendarah daging sistem hukum continental. Padahal sebelumnya nusantara ini adalah negara musyawarah. Semua sengketa yang terjadi di dalam masyarakat dimusyawarahkan, win win solution. Dalam bersengketa tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Akibat dari sistem hukum continental tersebut, semua hal harus tunduk dan mengikuti arah perundang-undangan. Bagaimana bunyi perundang-undangan begitu jalan yang harus ditempuh. Perundang-undangan memberi isyarat, kalau ada persengketaan dipersilahkan ke pengadilan yang berwenang. Kalau tidak puas terhadap putusan pengadilan pertama, silahkan ke pengadilan berikutnya. Untuk putusan tingkat Mahkamah Agung pun diberi kesempatan peninjauan kembali, walaupun diketahui tidak memenuhi persyaratan. Tidak ada bukti baru yang perlu ditunjukkan. Tetapi untuk menghargai para pihak pengadilan memfasilitasi kehendak pihak yang bermaksud untuk itu. Kalaupun tidak memenuhi persyaratan, Mahkamah Agunglah yang akan menentukan. Begitulah seterusnya orang berperkara di negeri ini. Dalam satu garis keturunan menyimpan permusuhan sampai mati.
Lahirnya acara mediasi melalui PERMA Nomor 1 Tahun 2008 (kemudian akan disebut PERMA), merupakan penegasan ulang terhadap perma sebelumnya yaitu Nomor 2 Tahun 2003. Dilatar belakangi dengan banyaknya perkara di lingkungan peradilan terutama dalam perkara kasasi, mediasi dianggap instrument efektif dalam proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. Keberadaan mediasi sebagai bagian dalam hukum acara perdata, dapat dianggap sebagai salah satu sumbangan berharga Prof. Bagir Manan, SH MCL. Pasal 130 HIR/154 RBG yang memerintahkan usaha perdamaian oleh hakim, dijadikan sebagai modal utama dalam membangun perangkat hukum ini, yang sudah dirintis sejak tahun 2002 melalui SEMA Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan 2 Lembaga Damai eks pasal 130 HIR/154 RBg yang kemudian pada tahun 2003 disempurnakan melalui Perma Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan.
A. Pengertian Shulhu
Ash-Shulh berasal dari bahasa Arab yang berarti perdamaian, penghentian perselisihan, penghentian peperangan. Dalam khazanah keilmuan, ash-shulhu dikategorikan sebagai salah satu akad berupa perjanjian diantara dua orang yang berselisih atau berperkara untuk menyelesaikan perselisihan diantara keduanya. Dalam terminologi ilmu fiqih ash-shulhu memiliki pengertian perjanjian untuk menghilangkan polemik antar sesama lawan sebagai sarana mencapai kesepakatan antara orang-orang yang berselisih. Di dalam Ash-shulhu ini ada beberapa istilah yaitu: Masing-masing pihak yang mengadakan perdamaian dalam syariat Islam distilahkan musalih, sedangkan persoalan yang diperselisihkan di sebut musalih’anhu, dan perbuatan yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap pihak yang lain untuk mengaklhjiri pertingkaian/pertengkaran dinamakan dengan musalih’alaihi atau di sebut juga badalush shulh.
B. Hukum Shulhu
Perdamaian dalam syariat Islam sangat dianjurkan. Sebab, dengan perdamaian akan terhindarlah kehancuran silaturahmi (hubungan kasih sayang) sekaligus permusuhan di antara pihak-pihak yang bersengketa akan dapat diakhiri. Adapun dasar hukum diadakan perdamaian dapat dilihat dalam al-qur’an, sunah rasul dan ijma. Al-qur’an menegaskan dalam surat al-hujarat ayat 9 yang artinya: “jika dua golongan orang beriman bertengkar damaikanlah mereka. Tapi jika salah satu dari kedua golongan berlaku aniaya terhadap yang lain maka perangilah orang yang aniaya sampai kembali kepada perintah Allah tapi jika ia telah kembali damaiakanlah keduanya dengan adil, dan bertindaklah benar. Sungguh Allah cinta akan orang yang bertindak adil (QS. Al-Hujurat : 9)”.
Mengenai hukum shulhu diungkapkan juga dalam berbagai hadits nabi, salah satunya yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Imam Tirmizi yang artinya “perdamaian dibolehkan dikalangan kaum muslimin, kecuali perdamaian menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang haram. Dan orang-orang islam (yang mengadakan perdamaian itu) bergantung pada syarat-syarat mereka (yang telah disepakati), selain syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram (HR. Ibnu Hibban dan Turmuzi)”.
Pesan terpenting yang dapat dicermati dari hadits di atas bahwa perdamaian merupakan sesuatu yang diizinkan selama tidak dimanfaatkan untuk hal-hal yang bertentangan dengan ajaran dasar keislaman. Untuk pencapaian dan perwujudan perdamaian, sama sekali tidak dibenarkan mengubah ketentuan hukum yang sudah tegas di dalam islam. Orang-orang islam yang terlibat di dalam perdamaian mesti mencermati agar kesepakatan perdamaian tidak berisikan hal-hal yang mengarah kepada pemutarbalikan hukum; yang halal menjadi haram atau sebaliknya.
C. Rukun Shulhu
Adapun rukun perdamaian adalah:
Mushalih , Mushalih’anhu , Mushalih ’alaih , dan Shigat ijab dan Kabul di antara dua pihak yang melakukan akad perdamaian. Apabila rukun itu telah terpenuhi maka perdamaian di antara pihak-pihak yang bersengketa telah berlangsung. Dengan sendirinya dari perjanjian perdamaian itu lahirlah suatu ikatan hukum, yang masing-masing pihak untuk memenuhi / menunaikan pasal-pasal perjanjian perdamaian.
D. Syarat Shulhu
Adapun yang menjadi syarat sahnya suatu perjanjian perdamaian dapat diklasifikasikan kepada:
1) Menyangkut subyek, yaitu musalih (pihak-pihak yang mengadakan perjanjian perdamaian)
Tentang subyek atau orang yang melakukan perdamaian haruslah orang yang cakap bertindak menurut hukum. Selain cakap bertindak menurut hukum, juga harus orang yang mempunyai kekuasaan atau mempunyai wewenang untuk melepaskan haknya atas hal-hal yang dimaksudkan dalam perdamaian tersebut.
Adapun orang yang cakap bertindak menurut hukum dan mempunyai kekuasaan atau wewenang itu seperti :
a. Wali, atas harta benda orang yang berada di bawah perwaliannya.
b. Pengampu, atas harta benda orang yang berada di bawah pengampuannya
c. Nazir (pengawas) wakaf, atas hak milik wakaf yang berada di bawah pengawasannya.
2) Menyangkut obyek perdamaian
Tentang objek perdamaian haruslah memenuhi ketentuan sebagai berikut :
a. Untuk harta (dapat berupa benda berwujud seperti tanah dan dapat juga benda tidak berwujud seperti hak intelektual) yang dapat dinilai atau dihargai, dapat diserah terimakan, dan bermanfaat.
b. Dapat diketahui secara jelas sehingga tidak melahirkan kesamaran dan ketidak jelasan, yang pada akhirnya dapat pula melahirkan pertikaian yang baru pada objek yang sama.
3) Persoalan yang boleh di damaikan
Adapun persoalan atau pertikaian yang boleh atau dapat di damaikan adalah hanyalah sebatas menyangkut hal-hal berikut :
a. Pertikaian itu berbentuk harta yang dapat di nilai
b. Pertikaian menyangkut hal manusia yang dapat diganti
Dengan kata lain, perjanjian perdamaian hanya sebatas persoalan-persoalan muamalah (hukum privat). Sedangkan persoalan-persoalan yang menyangkut hak ALLAH tidak dapat di lakukan perdamaian.
E. Macam-macam Shulhu
Secara garis besar ash-shulhu terbagi atas empat macam, yaitu:
1) Perdamaian antara kaum muslimin dengan masyarakat non muslim, yaitu membuat perjanjian untuk meletakkan senjata dalam masa tertentu (dewasa ini dikenal dengan istilah gencatan senjata), secara bebas atau dengan jalan mengganti kerugian yang diatur dalam undang-undang yang disepakati dua belah pihak.
2) Perdamaian antara penguasa (imam) dengan pemberontak, yakni membuat perjanjian-perjanjian atau peraturan-peraturan mengenai keamanan dalam Negara yang harus ditaati, lengkapnya dapat dilihat dalam pembahasan khusus tentang bughat.
3) Perdamaian antara suami dan istri dalam sebuah keluarga, yaitu membuat perjanjian dan aturan-aturan pembagian nafkah, masalah durhaka, serta dalam masalah menyerahkan haknya kepada suaminya manakala terjadi perselisihan.
4) Perdamaian antara para pihak yang melakukan transaksi (perdamaian dalam mu’amalat), yaitu membentuk perdamaian dalam mesalah yang ada kaitannya dengan perselisihan-perselisihan yang terjadi dalam masalah mu’amalat.
Sesuai dengan maknanya, mediasi berarti menengahi. Seorang mediator tidaklah berperan sebagai judge yang memaksakan pikiran keadilannya, tidak pula mengambil kesimpulan yang mengikat seperti arbitrer tetapi lebih memberdayakan para pihak untuk menentukan solusi apa yang mereka inginkan. Mediator mendorong dan memfasilitasi dialog, membantu para pihak mengklarifikasi kebutuhan dan keinginan-keinginan mereka, menyiapkan panduan, membantu para pihak dalam meluruskan perbedaan-perbedaan pandangan dan bekerja untuk suatu yang dapat diterima para pihak dalam penyelesaian yang mengikat. Jika sudah ada kecocokan di antara para pihak yang bersengketa lalu dibuatkanlah suatu memorandum yang memuat kesepakatan-kesepakatan yang telah dicapai .
Mediasi ini diterapkan sebagai bagian acara dalam perkara perdata di lingkungan peradilan agama dan peradilan umum. Bagi lingkungan peradilan Agama sendiri, kehadiran seorang mediator dalam suatu perkara tampaknya tidak dianggap sebagai sebuah hal yang baru. Secara yuridis formal Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, Pasal 76 telah menetapkan keberadaan hakam dalam perkara perceraian yang eksistensinya sama dengan mediator. Demikian halnya secara normatif, mediator atau hakam sudah dikenal sejak awal pembentukan hukum Islam, baik dalam perkara perceraian secara khusus maupun perkara perdata atau bentuk perkara lainnya. Dalam beberapa tayangan televisi, sebagian kasus perceraian selebriti dengan kumulasi gugatan anak ataupun harta bersama dan lainnya, telah menunjukkan adanya respon positif dari peradilan agama dalam mengimplementasikan PERMA maupun peraturan sebelumnya yaitu Perma Nomor 2 Tahun 2003.
Secara spesifik dalam bidang perceraian, mediasi terdapat pada Al Quran surat An-Nisa ayat 35, dalam bagian pidato Umar bin al-Khattab mengenai penyelesaian perkara oleh seorang hakim, ia mendorong penyelesaian perkara secara damai al sulhu khairun. Menunjukkan bahwa mediasi sebagai sarana sulhu sangat dianjurkan. Pada saat peralihan kepemimpinan Ali ra dengan Mu’awiyah juga dilakukan dengan mediasi.
II. Mediasi Dalam Sistem Hukum Indonesia
Mediasi dapat dipandang sebagai suatu proses pengambilan keputusan dengan bentukan pihak tertentu. John Wade mengutip beberapa pengertian mediasi. Menurut Folberg dan A. Taylor:
a comprehensive guide to resolving conflict withouth litigation dan menurut Laurence Bolle, mediation is a decision making process in which the parties are assited by a third party, the mediator, the mediator attempt to improve the process of decision making and to assist the parties reach an autcome to wich of them can assen.
Said Faisal dalam “Pengantar Mediasi” mengutip pendapat Moor C.W dalam memberikan definisi mediasi, pada dasarnya mediasi adalah negosiasi yang melibatkan pihak ketiga yang memiliki keahlian mengenai prosedur mediasi yang efektif dan dapat membantu dalam situasi konflik untuk mengkoordinasikan aktifitas mereka sehingga lebih efektif dalam proses tawar menawar, bila tidak ada negosiasi… tidak ada mediasi . Seorang mediator pada dasarnya memiliki kecenderungan menggunakan interest based negotiation yang pada akhirnya kepentingan semua pihak dapat terwakili. Mediasi dan negosiasi bukanlah dua proses yang terpisah namun lebih mengarah kepada negosiasi yang difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral. Meskipun secara substansial negosiasi berbeda dengan mediasi, namun sering kali dikatakan bila tidak ada negosiasi tidak ada mediasi. Oleh karena negosiasi merupakan nilai penting dalam mediasi, maka tawaran pihak pertama dan harga konsesi akan sangat menentukan pada hasil akhir negosiasi (mediasi).
Mediasi merupakan salah satu dari beberapa penyelesaian sengketa. Berbagai proses penyelesaian sengketa adalah:
1) Litigasi di mana perselisihan diselesaikan melalui pengadilan.
2) Arbitrase suatu sistem di mana prosedur dan arbitrer dipilih oleh para pihak untuk membuat keputusan yang mengikat.
3) Konsiliasi proses yang sama dengan mediasi namun diatur oleh undang-undang.
4) Konseling di mana ada proses therapeutic yang memberikan nasihat membantu penangan masalah prikologikal.
5) Negosiasi adanya unsur diskusi, edukasi, pendekatan persuasive serta tawar menawar dengan pasilitas pihak ketiga dalam menyelesaikan suatu masalah.
6) Fasilitasi suatu proses yang dipergunakan dalam perselisihan yang melibatkan berbagai pihak.
7) Case appraisal/neutral evaluation, suatu proses di mana pihak ketiga yang mempunyai kualifikasi memberikan pandangan berdasarkan fakta dan kenyataan yang ada.
8) Mini Tria, proses penyelesaian perselisihan dengan pertukaran informasi yang kemudian dicari jalan keluar melalui hadirnya senior eksekutif dari masing-masing organisasi.
9) Provati judging, suatu proses yang hampir sama dengan arbitrase di mana seorang eks hakim bertindak untuk memberikan keputusan dan para pihak sepakat untuk mentaati keputusan tersebut.
Mediasi berbeda dengan litigasi yang ingin memperoleh hasil akhir sesuai dengan hukum yang berlaku, berbeda pula dengan konseling karena landasan mediasi tidak berpijak pada faktor psikologis dan perilaku. Demikian pula mediasi berbeda dengan arbitrase, di mana posisi arbitrer ditunjuk untuk memberikan keputusan akhir .
Pemberlakuan Mediasi dalam system peradilan di Indonesia didasarkan pada PERMA Nomor 1 Tahun 2008. Indonesia dapat dikatakan terlambat dalam membangun sistem mediasi. Singapura dengan Singapore Mediation Center telah lahir sejak tahun 1996. Mahkamah Agung sebelum mengeluarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2008, terlebih dahulu harus melakukan studi khusus kepada negara-negara yang telah lebih dahulu mempunyai sistem mediasi, seperti Australia, Jepang, Amerika dan negara-negara Eropa .
Terdapat dua bentuk mediasi, bila ditinjau dari waktu pelaksanaannya. Pertama yang dilakukan di luar sistem peradilan dan yang dilakukan dalam sistem peradilan. Sistem Hukum Indonesia (dalam hal ini Mahkamah Agung) lebih memilih bagian yang kedua yaitu mediasi dalam sistem peradilan atau court annexed mediation atau lebih dikenal court annexed dispute resolution. Hal ini dapat dilihat pada PERMA Nomor 1 Tahun 2008 yang menetapkan 8 mediasi sebagai bagian dari hukum acara dalam perkara perdata, sehingga suatu putusan akan menjadi batal demi hukum manakala tidak melalui proses mediasi (PERMA Pasal 2). Meskipun tidak dapat dibandingkan dengan Undang-Undang, PERMA ini dipandang sebagai kemajuan dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang masih menganggap mediasi sebagai penyelesaian sengketa di luar pengadilan (Pasal 1 butir 10).
Pemberlakuan proses mediasi meliputi seluruh perkara perdata yang terdapat pada lingkungan peradilan umum dan peradilan agama. Pengecualian terhadap perkara perdata hanya berlaku terhadap perkara yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan keberatan atas putusan Komisi pengawas Persaingan Usaha (Pasal 4).
Mediasi dilakukan sebagai tahap awal proses persidangan (setelah sidang pertama), dimana Hakim mediator/mediator akan memproses sebuah perkara setelah sebelumnya diberitahu oleh Ketua Majelis (Pasal 11). Pemeriksaan perkara selanjutnya berada pada tangan mediator, baik proses pemanggilan maupun persidangannya. Hasil dari proses mediasi hanya ada dua kemungkinan yaitu berhasil (kemudian dibuatkan akta perdamaian) dan tidak berhasil. Dalam keadaan terakhir, seluruh proses mediasi maupun materinya tidak dapat dipertimbangkan dalam persidangan perkara berikutnya (Pasal 19).
III. Hakam Mediasi Dalam Perkara Perceraian
Hakam ialah orang yang ditetapkan Pengadilan, dari pihak keluarga suami atau pihak keluarga isteri untuk mencari upaya penyelesaian perselisihan terhadap syiqoq. M. Yahya Harahap mengutip pendapat Noel J. Coulson memberi sinonim "arbitrator" sebagai kata yang sepadan dengan "Hakam ". Begitu juga Morteza Mutahhari mengemukakan kata padanan Hakam dengan "arbiter". Menurutnya hakam dipilih dari keluarga suami dan isteri. Satu orang dari pihak keluarga suami dan satu orang dari pihak keluarga isteri, dengan persyaratan jujur dan dapat dipercaya, berpengaruh dan mengesankan. mampu bertindak sebagai juru damai serta orang yang lebih mengetahui keadaan suami-isteri, sehingga suami isteri lebih terbuka mengungkapkan rahasia hati mereka masing-masing. Adapun yang menjadi landasan hukum pemberlakuan hakam dalam bidang perceraian adalah dari Al Quran An Nisa ayat 35:

Kalau kamu ketahui perselisihan antara keduanya suami isteri hendaklah kamu utus seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari ke1uarga perempuan.

Meskipun ayat tersebut memberikan petunjuk dalam bentuk perintah, namun para ahli hukum Islam berbeda pendapat mengenai eksistensi hakam dalam menyelesaikan masalah perceraian. Ulama dari mazhab Al-Syafi'I mengharuskan adanya hakam dalam perceraian yang muncul akibat syiqoq, (Syarqawi alat-Tahrir juz III hal. 372). Sedangkan menurut pendapat yang lain, bahwa pengangkatan hakam hanyalah jaiz (boleh saja). Pendapat ini di introdusir oleh Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid (Bidayatul Mujtahid juz II hal 98-99).
Sementara itu dalam tatanan hukum di Indonesia, hakam dapat ditemukan pada pasal 76 ayat 2 Undang-Undang Nomor : 7 Tahun 1989, Hakam adalah orang yang ditetapkan Pengadilan dari pihak ke1uarga suami atau pihak ke1uarga isteri atau pihak lain untuk mencari upaya penyelesaian perselisihan terhadap syigoq. Untuk lebih jelasnya ayat tersebut perlu pula diperhatikan penjelasannya yaitu, Kalau terjadi perselisihan antara suami isteri, hendaklah diadakan seorang hakam dari keluarga suami dan seorang hakam dari keluarga isteri. Keduanya berusaha memperdamaikan antara keduanya, se-hingga dapat hidup kembali sebagai suami isteri.
Pengangkatan seorang hakam dalam hukum acara Peradilan Agama dilakukan setelah sebelumnya didengar keterangan pihak keluarga atau orang-orang dekat dengan para pihak. Setidaknya ada tiga pasal peraturan perundang--undangan yang berbeda yang mengharuskan kehadiran keluarga ataupun kerabat dekat dalam suatu proses persidangan. Ketentuan tersebut terdapat pada :
1) Pasal 22 ayat (2) PP No.9 Tahun 1975.
2) Pasal 76 ayat (1) Undang-undang No.7 Tahun 1989, dan
3) Pasal 134 Kompilasi Hukum Islam.
Bila dibandingkan antara hukum normatif dan hukum positif mengenai keberadaan hakam, akan nampak adanya pergeseran status hukum hakam dalam pandangan hukum Islam (yang diwakili oleh al Syafi’i) dengan hakam yang terdapat pada Undang-Undang Peradilan Agama. Hukum Islam mengharuskan adanya hakam dalam perceraian yang terjadi dengan alasan syiqoq, sementara itu hakam diangkat dari pihak keluarga suami dan isteri, sedangkan hakam dalam Undang-Undang Peradilan Agama hanya sebatas anjuran yang tidak mengikat (sesuai dengan bunyi penjelasan Pasal 76 ayat 2 UU No. 3/2006). Dalam analisa Abdul Manan , hukum perkawinan Indonesia mengambil hukum zawaj boleh seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Rusyd dan dalam menentukan hakam mengambil pendapat Sayyid Sabiq yang tidak mengharuskan hakam dari keluarga kedua belah pihak yang bertikai. Demikian halnya dengan penerapan hakam, para ulama berbeda pendapat, salah satunya menerangkan bahwa penerapan hakam dilakukan pada perselisihan yang memuncak dan membahayakan.
Di beberapa Pengadilan Agama, hakam hanya diterapkan pada kasus perceraian di mana syiqoq benar-benar muncul sebagai alasan perceraian yang secara lahiriah dapat dilihat dari sikap salah satu pihak yang tidak menghendaki perceraian, sementara pihak lain menganggap bahwa rumah tangganya sudah tidak mungkin lagi diperbaiki. Pada saat inilah dipergunakan fiqh al Syafi’i dengan mempertimbangkan anjuran yang terdapat pada Pasal 76 ayat (2) beserta penjelasannya. Penerapan hakam seperti ini, secara psikologis sangat berguna bagi pihak yang tetap menginginkan berumah tangga, karena penilaian terhadap keadaan rumah tangga syiqoq tidak hanya dilakukan oleh hakim tetapi melibatkan hakam yang notabene adalah dari keluarga kedua belah pihak. Dalam keadaan demikian menurut Abdul Manan, hakam dapat menentukan kualitas perselisihan yang terjadi dalam rumah tangga, yang pada akhirnya dapat memberikan pertimbangan terhadap putusan majelis hakim. Di sisi lain hakam dianggap tidak efektif lagi ketika kasus perceraian yang dihadapi oleh hakim ternyata kedua belah pihak telah menyadari bahwa perceraian akan lebih baik dari pada harus mempertahankan rumah tangganya. Pada saat seperti ini implementasi hakam diterapkan pendapat ulama selain al Syafi’i mengenai status hakam sebagai fakultatif bukan imperatif.
IV. Implementasi Mediasi dan Hakam
Setelah dipahami secara ringkas mengenai keberadaan mediasi dalam dalam tatanan hukum Indonesia yang berlaku pada hukum acara perdata umum dan perdata agama, dengan hakam yang hanya terdapat pada acara peradilan agama, maka setidaknya ada benang merah antara keduanya yang sama-sama menghendaki penyelesaian perselisihan oleh pihak ke tiga. Komparasi dari sudut formil maupun materil, juga akan memberikan gambaran antara keduanya yang pada akhirnya dapat memposisikan secara tepat keberadaan mediasi dalam masalah perceraian.
Pemberlakuan tahap mediasi dalam suatu persidangan dilakukan setelah sidang pertama atau sebelum pemeriksaan perkara dilakukan. Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBG yang mewajibkan hakim mendamaikan para pihak, menjadi pijakan utama mediasi. Pembahasan lembaga damai secara menyeluruh dalam hukum acara, memberikan pengertian bahwa mediasi bukanlah satu-satunya cara untuk mencapai upaya damai. Dimungkinkan pula ketika perkara sudah berlangsung pada tahapan berikutnya (pembuktian misalnya), perdamaian dapat terjadi apabila masing-masing pihak menghendakinya.
Eksistensi hakam berbeda dengan Mediasi yang hanya berdasarkan pada PERMA Nomor 1 Tahun 2008 dengan merujuk pada Pasal 130 HIR/154 RBG. Sementara itu keberadaan hakam selain sebagai upaya transformasi hukum perkawinan Islam juga dilandaskan pada Pasal 76 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Berbeda dengan mediasi, hakam diterapkan setelah proses pembuktian berlangsung yaitu setelahnya hakim mendengar pihak keluarga atau orang-orang dekat dengan pihak suami isteri. Pengangkatan hakam dituangkan dalam putusan sela, sedangkan mediator dapat saja dilakukan dengan cara pemberitahuan oleh Ketua Majelis (PERMA Pasal 11 ayat 11). Dari sudut pandang materiil, mediasi pada awalnya dihadapkan dalam perkara bisnis meskipun dalam perkembangan berikutnya juga diberlakukan dalam hukum keluarga. Oleh karenanya wajar apabila dikatakan, tidak ada mediasi tanpa negosiasi, karena mediasi mengedepankan bargaining position dengan memberikan tawaran nilai dari masing-masing pihak.
Adapun hakam, merupakan salah satu bagian dari hukum perkawinan mengenai perceraian dengan alasan syiqoq. Tidak ada yang ditawarkan dalam bentuk nilai maupun materi lainnya dalam proses hakam tersebut. Hakam hanya berupaya meneliti dan menelaah serta menilai sifat dan bentuk dari perselisihan yang terjadi antara suami isteri.
Dengan melihat perkembangan hukum perkawinan di Indonesia ternyata perkara perceraian sering kali diajukan ke Pengadilan Agama dalam bentuk kumulasi dengan perkara lainnya seperti tuntutan nafkah terutang, nafkah iddah, pemeliharaan anak, nafkah anak ataupun harta bersama. Dengan adanya kumulasi tersebut, perkara perceraian yang sebelumnya hanya menyangkut permasalahan rumah tangga saja kemudian berkembang menyangkut masalah nilai dan materi. Pada saat seperti inilah keberadaan mediator sangat diperlukan untuk memfasilitasi upaya bargaining tawar menawar maupun negosiasi mengenai tuntutan-tuntuan yang diajukan oleh Penggugat. Demikian halnya dengan hakam, setelah proses perceraian berlangsung dan pihak keluarga telah didengar, dengan melihat bentuk perselisihannya hakim dapat mengangkat hakam untuk menyelesaikan syiqoqnya.
Penerapan mediasi dan hakam seperti di atas akan sangat berbeda ketika dihadapkan dengan perkara perceraian tanpa kumulasi dengan perkara lainnya. Memberlakukan mediasi dan hakam secara bersamaan dalam perkara perceraian (tanpa kumulasi) dari satu sisi, hakim dipandang telah memberlakukan prosedur acara yang sama dalam waktu yang berbeda (mediasi sebelum pemeriksaanperkara, hakam dalam proses perkara), karena keduanya sama-sama memberikan fasilitas kepada para pihak untuk mencari jalan damai. Di sisi lain pemberlakuan mediasi dan hakam dalam perkara seperti ini hanya akan menambah waktu dan biaya serta menghilangkan nilai filosopis dari PERMA yang terkandung dalam konsiderannya untuk penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. Dalam hal mediator harus melibatkan pihak keluarga dari pasangan suami isteri (PERMA Pasal 16). Demikian halnya apabila yang dipakai adalah hakam, maka proses hakam tersebut harus dipandang sebagai bagian dari mediasi, yang pada akhirnya akan mengenyampingkan PERMA Pasal 2 ayat (3).
Selain penerapan mediasi dan hakam secara bersamaan dan penerapan salah satu dari mediasi dan hakam, juga dimungkinkan tidak diterapkannya mediasi dan hakam secara bersamaan. Pasangan suami isteri, keduanya sama-sama menghendaki perceraian secara ma’ruf, sehingga hakim pun dalam keadaan seperti ini lebih mengedepankan tindakan ma’rufnya daripada harus memberlakukan hakam. Kondisi yang sama juga akan dihadapkan dengan proses mediasi. Apabila dalam persidangan pertama, masing-masing pihak (suami isteri) sudah menerangkan bahwa keduanya tidak mungkin didamaikan lagi dan memilih bercerai secara ma’ruf, maka apakah tidak keliru apabila hakim harus juga menerapkan mediasi dalam perkara tersebut, sementara hakam (yang notabene berlaku secara yuridis maupun normatif ) tidak diberlakukan lagi oleh hakim. Pemberlakuan mediasi dalam perkara seperti ini justru menjadi kontra produktif dengan maksud dari PERMA yang ingin memberikan penyelesaian sengketa lebih cepat dan murah. Karena pada saat demikian, para pihak lebih menghendaki proses perceraian dilanjutkan daripada terlebih dahulu mengikuti proses mediasi yang akan menambah waktu dan biaya. Demikian halnya dari sudut pandang materi mediasi yang menginginkan adanya penyelasian dengan bantuan pihak ketiga, sementara dalam bentuk perceraian di atas, penyelesaian yang diinginkan oleh para pihak adalah putusanya perkawinan mereka dan tidak ada pilihan lain.
V. Kesimpulan
Dari beberapa uraian di atas, sampailah pada beberapa kesimpulan berikut ini:
1. Mediasi sebagai bagian dari hukum acara, sangat diperlukan untuk menyelesaikan perkara perdata. Demikian halnya dengan perkara perceraian dengan kumulasi gugatan lainnya, mediasi diperlukan untuk menentukan tawaran nilai, atau bentuk gugatan materi/immateri lainnya dalam kumulasi gugatan tersebut.
2. Dalam perkara perceraian tanpa kumulasi, hakim dapat menerapkan salah satu dari mediasi atau hakam dengan tetap mengakomodir nilai-nilai dari yang lainnya (seperti memberlakukan mediasi dengan memperhatikan nilai-nilai hakam maupun sebaliknya).
3. Untuk perkara perceraian di mana kedua pihak sama-sama menginginkan perceraian, hakim akan lebih baik untuk melanjutkan proses persidangan tanpa harus melalui proses mediasi untuk mewujudkan penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah (konsideran PERMA)













Daftar Pustaka


Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta, Yayasan Al Hikmah, 2001.

Denaldy Mauna, Mediator Skill Refarming And Quiwtioning In Practice, Jakarta, 2004.

Gede Widhiana Putra, Mediasi, Jakarta, 22-Mei-2006.

Hasanuddin AF, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit, Pustaka al-Husna Baru, Jakarta, 2004.

John Wade, Sekitar Mediasi, MARI, Jakarta, 2004.

M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, Pustaka Karini, Jakarta, 1997.

Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung RI No: 01 Tahun 2008, Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, 2008.

Soeharto (Ketua Steering Komite Perma Nomor 2 Tahun 2003), Pelatihan Mediator Dalam Menyangbut Penerapan PERMA court annexed dispute resolution, MARI, 2004.

Wahyu Widiana, Mengenai Mediasi, www.badilag.net, 2008.

Wahyu Widiana, Upaya Penyelesaian Perkara Melalui Perdamaian Pada Pengadilan Agama Kaitannya Dengan Peran BP4, Makalah disampaikan pada Rakernas BP4 di Jakarta, 15 Agustus 2008.