Jumat, 21 Mei 2010

As-shulhu dan mediasi dalam menyelesaikan perkara


Pada Mata Kuliyah : Pranata Sosial dan Hukum Islam


Dosen Pengampu : Prof Dr. Oyo Sunaryo Mukhlas, M. Si


Oleh: Abdul Muher
220940001





PROGRAM PASCA SARJANA
UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
KONSENTRASI HUKUM ISLAM
2010

I. Pendahuluan
Indonesia dampak dari penjajahan Belanda telah mendarah daging sistem hukum continental. Padahal sebelumnya nusantara ini adalah negara musyawarah. Semua sengketa yang terjadi di dalam masyarakat dimusyawarahkan, win win solution. Dalam bersengketa tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Akibat dari sistem hukum continental tersebut, semua hal harus tunduk dan mengikuti arah perundang-undangan. Bagaimana bunyi perundang-undangan begitu jalan yang harus ditempuh. Perundang-undangan memberi isyarat, kalau ada persengketaan dipersilahkan ke pengadilan yang berwenang. Kalau tidak puas terhadap putusan pengadilan pertama, silahkan ke pengadilan berikutnya. Untuk putusan tingkat Mahkamah Agung pun diberi kesempatan peninjauan kembali, walaupun diketahui tidak memenuhi persyaratan. Tidak ada bukti baru yang perlu ditunjukkan. Tetapi untuk menghargai para pihak pengadilan memfasilitasi kehendak pihak yang bermaksud untuk itu. Kalaupun tidak memenuhi persyaratan, Mahkamah Agunglah yang akan menentukan. Begitulah seterusnya orang berperkara di negeri ini. Dalam satu garis keturunan menyimpan permusuhan sampai mati.
Lahirnya acara mediasi melalui PERMA Nomor 1 Tahun 2008 (kemudian akan disebut PERMA), merupakan penegasan ulang terhadap perma sebelumnya yaitu Nomor 2 Tahun 2003. Dilatar belakangi dengan banyaknya perkara di lingkungan peradilan terutama dalam perkara kasasi, mediasi dianggap instrument efektif dalam proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. Keberadaan mediasi sebagai bagian dalam hukum acara perdata, dapat dianggap sebagai salah satu sumbangan berharga Prof. Bagir Manan, SH MCL. Pasal 130 HIR/154 RBG yang memerintahkan usaha perdamaian oleh hakim, dijadikan sebagai modal utama dalam membangun perangkat hukum ini, yang sudah dirintis sejak tahun 2002 melalui SEMA Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan 2 Lembaga Damai eks pasal 130 HIR/154 RBg yang kemudian pada tahun 2003 disempurnakan melalui Perma Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan.
A. Pengertian Shulhu
Ash-Shulh berasal dari bahasa Arab yang berarti perdamaian, penghentian perselisihan, penghentian peperangan. Dalam khazanah keilmuan, ash-shulhu dikategorikan sebagai salah satu akad berupa perjanjian diantara dua orang yang berselisih atau berperkara untuk menyelesaikan perselisihan diantara keduanya. Dalam terminologi ilmu fiqih ash-shulhu memiliki pengertian perjanjian untuk menghilangkan polemik antar sesama lawan sebagai sarana mencapai kesepakatan antara orang-orang yang berselisih. Di dalam Ash-shulhu ini ada beberapa istilah yaitu: Masing-masing pihak yang mengadakan perdamaian dalam syariat Islam distilahkan musalih, sedangkan persoalan yang diperselisihkan di sebut musalih’anhu, dan perbuatan yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap pihak yang lain untuk mengaklhjiri pertingkaian/pertengkaran dinamakan dengan musalih’alaihi atau di sebut juga badalush shulh.
B. Hukum Shulhu
Perdamaian dalam syariat Islam sangat dianjurkan. Sebab, dengan perdamaian akan terhindarlah kehancuran silaturahmi (hubungan kasih sayang) sekaligus permusuhan di antara pihak-pihak yang bersengketa akan dapat diakhiri. Adapun dasar hukum diadakan perdamaian dapat dilihat dalam al-qur’an, sunah rasul dan ijma. Al-qur’an menegaskan dalam surat al-hujarat ayat 9 yang artinya: “jika dua golongan orang beriman bertengkar damaikanlah mereka. Tapi jika salah satu dari kedua golongan berlaku aniaya terhadap yang lain maka perangilah orang yang aniaya sampai kembali kepada perintah Allah tapi jika ia telah kembali damaiakanlah keduanya dengan adil, dan bertindaklah benar. Sungguh Allah cinta akan orang yang bertindak adil (QS. Al-Hujurat : 9)”.
Mengenai hukum shulhu diungkapkan juga dalam berbagai hadits nabi, salah satunya yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Imam Tirmizi yang artinya “perdamaian dibolehkan dikalangan kaum muslimin, kecuali perdamaian menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang haram. Dan orang-orang islam (yang mengadakan perdamaian itu) bergantung pada syarat-syarat mereka (yang telah disepakati), selain syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram (HR. Ibnu Hibban dan Turmuzi)”.
Pesan terpenting yang dapat dicermati dari hadits di atas bahwa perdamaian merupakan sesuatu yang diizinkan selama tidak dimanfaatkan untuk hal-hal yang bertentangan dengan ajaran dasar keislaman. Untuk pencapaian dan perwujudan perdamaian, sama sekali tidak dibenarkan mengubah ketentuan hukum yang sudah tegas di dalam islam. Orang-orang islam yang terlibat di dalam perdamaian mesti mencermati agar kesepakatan perdamaian tidak berisikan hal-hal yang mengarah kepada pemutarbalikan hukum; yang halal menjadi haram atau sebaliknya.
C. Rukun Shulhu
Adapun rukun perdamaian adalah:
Mushalih , Mushalih’anhu , Mushalih ’alaih , dan Shigat ijab dan Kabul di antara dua pihak yang melakukan akad perdamaian. Apabila rukun itu telah terpenuhi maka perdamaian di antara pihak-pihak yang bersengketa telah berlangsung. Dengan sendirinya dari perjanjian perdamaian itu lahirlah suatu ikatan hukum, yang masing-masing pihak untuk memenuhi / menunaikan pasal-pasal perjanjian perdamaian.
D. Syarat Shulhu
Adapun yang menjadi syarat sahnya suatu perjanjian perdamaian dapat diklasifikasikan kepada:
1) Menyangkut subyek, yaitu musalih (pihak-pihak yang mengadakan perjanjian perdamaian)
Tentang subyek atau orang yang melakukan perdamaian haruslah orang yang cakap bertindak menurut hukum. Selain cakap bertindak menurut hukum, juga harus orang yang mempunyai kekuasaan atau mempunyai wewenang untuk melepaskan haknya atas hal-hal yang dimaksudkan dalam perdamaian tersebut.
Adapun orang yang cakap bertindak menurut hukum dan mempunyai kekuasaan atau wewenang itu seperti :
a. Wali, atas harta benda orang yang berada di bawah perwaliannya.
b. Pengampu, atas harta benda orang yang berada di bawah pengampuannya
c. Nazir (pengawas) wakaf, atas hak milik wakaf yang berada di bawah pengawasannya.
2) Menyangkut obyek perdamaian
Tentang objek perdamaian haruslah memenuhi ketentuan sebagai berikut :
a. Untuk harta (dapat berupa benda berwujud seperti tanah dan dapat juga benda tidak berwujud seperti hak intelektual) yang dapat dinilai atau dihargai, dapat diserah terimakan, dan bermanfaat.
b. Dapat diketahui secara jelas sehingga tidak melahirkan kesamaran dan ketidak jelasan, yang pada akhirnya dapat pula melahirkan pertikaian yang baru pada objek yang sama.
3) Persoalan yang boleh di damaikan
Adapun persoalan atau pertikaian yang boleh atau dapat di damaikan adalah hanyalah sebatas menyangkut hal-hal berikut :
a. Pertikaian itu berbentuk harta yang dapat di nilai
b. Pertikaian menyangkut hal manusia yang dapat diganti
Dengan kata lain, perjanjian perdamaian hanya sebatas persoalan-persoalan muamalah (hukum privat). Sedangkan persoalan-persoalan yang menyangkut hak ALLAH tidak dapat di lakukan perdamaian.
E. Macam-macam Shulhu
Secara garis besar ash-shulhu terbagi atas empat macam, yaitu:
1) Perdamaian antara kaum muslimin dengan masyarakat non muslim, yaitu membuat perjanjian untuk meletakkan senjata dalam masa tertentu (dewasa ini dikenal dengan istilah gencatan senjata), secara bebas atau dengan jalan mengganti kerugian yang diatur dalam undang-undang yang disepakati dua belah pihak.
2) Perdamaian antara penguasa (imam) dengan pemberontak, yakni membuat perjanjian-perjanjian atau peraturan-peraturan mengenai keamanan dalam Negara yang harus ditaati, lengkapnya dapat dilihat dalam pembahasan khusus tentang bughat.
3) Perdamaian antara suami dan istri dalam sebuah keluarga, yaitu membuat perjanjian dan aturan-aturan pembagian nafkah, masalah durhaka, serta dalam masalah menyerahkan haknya kepada suaminya manakala terjadi perselisihan.
4) Perdamaian antara para pihak yang melakukan transaksi (perdamaian dalam mu’amalat), yaitu membentuk perdamaian dalam mesalah yang ada kaitannya dengan perselisihan-perselisihan yang terjadi dalam masalah mu’amalat.
Sesuai dengan maknanya, mediasi berarti menengahi. Seorang mediator tidaklah berperan sebagai judge yang memaksakan pikiran keadilannya, tidak pula mengambil kesimpulan yang mengikat seperti arbitrer tetapi lebih memberdayakan para pihak untuk menentukan solusi apa yang mereka inginkan. Mediator mendorong dan memfasilitasi dialog, membantu para pihak mengklarifikasi kebutuhan dan keinginan-keinginan mereka, menyiapkan panduan, membantu para pihak dalam meluruskan perbedaan-perbedaan pandangan dan bekerja untuk suatu yang dapat diterima para pihak dalam penyelesaian yang mengikat. Jika sudah ada kecocokan di antara para pihak yang bersengketa lalu dibuatkanlah suatu memorandum yang memuat kesepakatan-kesepakatan yang telah dicapai .
Mediasi ini diterapkan sebagai bagian acara dalam perkara perdata di lingkungan peradilan agama dan peradilan umum. Bagi lingkungan peradilan Agama sendiri, kehadiran seorang mediator dalam suatu perkara tampaknya tidak dianggap sebagai sebuah hal yang baru. Secara yuridis formal Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, Pasal 76 telah menetapkan keberadaan hakam dalam perkara perceraian yang eksistensinya sama dengan mediator. Demikian halnya secara normatif, mediator atau hakam sudah dikenal sejak awal pembentukan hukum Islam, baik dalam perkara perceraian secara khusus maupun perkara perdata atau bentuk perkara lainnya. Dalam beberapa tayangan televisi, sebagian kasus perceraian selebriti dengan kumulasi gugatan anak ataupun harta bersama dan lainnya, telah menunjukkan adanya respon positif dari peradilan agama dalam mengimplementasikan PERMA maupun peraturan sebelumnya yaitu Perma Nomor 2 Tahun 2003.
Secara spesifik dalam bidang perceraian, mediasi terdapat pada Al Quran surat An-Nisa ayat 35, dalam bagian pidato Umar bin al-Khattab mengenai penyelesaian perkara oleh seorang hakim, ia mendorong penyelesaian perkara secara damai al sulhu khairun. Menunjukkan bahwa mediasi sebagai sarana sulhu sangat dianjurkan. Pada saat peralihan kepemimpinan Ali ra dengan Mu’awiyah juga dilakukan dengan mediasi.
II. Mediasi Dalam Sistem Hukum Indonesia
Mediasi dapat dipandang sebagai suatu proses pengambilan keputusan dengan bentukan pihak tertentu. John Wade mengutip beberapa pengertian mediasi. Menurut Folberg dan A. Taylor:
a comprehensive guide to resolving conflict withouth litigation dan menurut Laurence Bolle, mediation is a decision making process in which the parties are assited by a third party, the mediator, the mediator attempt to improve the process of decision making and to assist the parties reach an autcome to wich of them can assen.
Said Faisal dalam “Pengantar Mediasi” mengutip pendapat Moor C.W dalam memberikan definisi mediasi, pada dasarnya mediasi adalah negosiasi yang melibatkan pihak ketiga yang memiliki keahlian mengenai prosedur mediasi yang efektif dan dapat membantu dalam situasi konflik untuk mengkoordinasikan aktifitas mereka sehingga lebih efektif dalam proses tawar menawar, bila tidak ada negosiasi… tidak ada mediasi . Seorang mediator pada dasarnya memiliki kecenderungan menggunakan interest based negotiation yang pada akhirnya kepentingan semua pihak dapat terwakili. Mediasi dan negosiasi bukanlah dua proses yang terpisah namun lebih mengarah kepada negosiasi yang difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral. Meskipun secara substansial negosiasi berbeda dengan mediasi, namun sering kali dikatakan bila tidak ada negosiasi tidak ada mediasi. Oleh karena negosiasi merupakan nilai penting dalam mediasi, maka tawaran pihak pertama dan harga konsesi akan sangat menentukan pada hasil akhir negosiasi (mediasi).
Mediasi merupakan salah satu dari beberapa penyelesaian sengketa. Berbagai proses penyelesaian sengketa adalah:
1) Litigasi di mana perselisihan diselesaikan melalui pengadilan.
2) Arbitrase suatu sistem di mana prosedur dan arbitrer dipilih oleh para pihak untuk membuat keputusan yang mengikat.
3) Konsiliasi proses yang sama dengan mediasi namun diatur oleh undang-undang.
4) Konseling di mana ada proses therapeutic yang memberikan nasihat membantu penangan masalah prikologikal.
5) Negosiasi adanya unsur diskusi, edukasi, pendekatan persuasive serta tawar menawar dengan pasilitas pihak ketiga dalam menyelesaikan suatu masalah.
6) Fasilitasi suatu proses yang dipergunakan dalam perselisihan yang melibatkan berbagai pihak.
7) Case appraisal/neutral evaluation, suatu proses di mana pihak ketiga yang mempunyai kualifikasi memberikan pandangan berdasarkan fakta dan kenyataan yang ada.
8) Mini Tria, proses penyelesaian perselisihan dengan pertukaran informasi yang kemudian dicari jalan keluar melalui hadirnya senior eksekutif dari masing-masing organisasi.
9) Provati judging, suatu proses yang hampir sama dengan arbitrase di mana seorang eks hakim bertindak untuk memberikan keputusan dan para pihak sepakat untuk mentaati keputusan tersebut.
Mediasi berbeda dengan litigasi yang ingin memperoleh hasil akhir sesuai dengan hukum yang berlaku, berbeda pula dengan konseling karena landasan mediasi tidak berpijak pada faktor psikologis dan perilaku. Demikian pula mediasi berbeda dengan arbitrase, di mana posisi arbitrer ditunjuk untuk memberikan keputusan akhir .
Pemberlakuan Mediasi dalam system peradilan di Indonesia didasarkan pada PERMA Nomor 1 Tahun 2008. Indonesia dapat dikatakan terlambat dalam membangun sistem mediasi. Singapura dengan Singapore Mediation Center telah lahir sejak tahun 1996. Mahkamah Agung sebelum mengeluarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2008, terlebih dahulu harus melakukan studi khusus kepada negara-negara yang telah lebih dahulu mempunyai sistem mediasi, seperti Australia, Jepang, Amerika dan negara-negara Eropa .
Terdapat dua bentuk mediasi, bila ditinjau dari waktu pelaksanaannya. Pertama yang dilakukan di luar sistem peradilan dan yang dilakukan dalam sistem peradilan. Sistem Hukum Indonesia (dalam hal ini Mahkamah Agung) lebih memilih bagian yang kedua yaitu mediasi dalam sistem peradilan atau court annexed mediation atau lebih dikenal court annexed dispute resolution. Hal ini dapat dilihat pada PERMA Nomor 1 Tahun 2008 yang menetapkan 8 mediasi sebagai bagian dari hukum acara dalam perkara perdata, sehingga suatu putusan akan menjadi batal demi hukum manakala tidak melalui proses mediasi (PERMA Pasal 2). Meskipun tidak dapat dibandingkan dengan Undang-Undang, PERMA ini dipandang sebagai kemajuan dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang masih menganggap mediasi sebagai penyelesaian sengketa di luar pengadilan (Pasal 1 butir 10).
Pemberlakuan proses mediasi meliputi seluruh perkara perdata yang terdapat pada lingkungan peradilan umum dan peradilan agama. Pengecualian terhadap perkara perdata hanya berlaku terhadap perkara yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan keberatan atas putusan Komisi pengawas Persaingan Usaha (Pasal 4).
Mediasi dilakukan sebagai tahap awal proses persidangan (setelah sidang pertama), dimana Hakim mediator/mediator akan memproses sebuah perkara setelah sebelumnya diberitahu oleh Ketua Majelis (Pasal 11). Pemeriksaan perkara selanjutnya berada pada tangan mediator, baik proses pemanggilan maupun persidangannya. Hasil dari proses mediasi hanya ada dua kemungkinan yaitu berhasil (kemudian dibuatkan akta perdamaian) dan tidak berhasil. Dalam keadaan terakhir, seluruh proses mediasi maupun materinya tidak dapat dipertimbangkan dalam persidangan perkara berikutnya (Pasal 19).
III. Hakam Mediasi Dalam Perkara Perceraian
Hakam ialah orang yang ditetapkan Pengadilan, dari pihak keluarga suami atau pihak keluarga isteri untuk mencari upaya penyelesaian perselisihan terhadap syiqoq. M. Yahya Harahap mengutip pendapat Noel J. Coulson memberi sinonim "arbitrator" sebagai kata yang sepadan dengan "Hakam ". Begitu juga Morteza Mutahhari mengemukakan kata padanan Hakam dengan "arbiter". Menurutnya hakam dipilih dari keluarga suami dan isteri. Satu orang dari pihak keluarga suami dan satu orang dari pihak keluarga isteri, dengan persyaratan jujur dan dapat dipercaya, berpengaruh dan mengesankan. mampu bertindak sebagai juru damai serta orang yang lebih mengetahui keadaan suami-isteri, sehingga suami isteri lebih terbuka mengungkapkan rahasia hati mereka masing-masing. Adapun yang menjadi landasan hukum pemberlakuan hakam dalam bidang perceraian adalah dari Al Quran An Nisa ayat 35:

Kalau kamu ketahui perselisihan antara keduanya suami isteri hendaklah kamu utus seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari ke1uarga perempuan.

Meskipun ayat tersebut memberikan petunjuk dalam bentuk perintah, namun para ahli hukum Islam berbeda pendapat mengenai eksistensi hakam dalam menyelesaikan masalah perceraian. Ulama dari mazhab Al-Syafi'I mengharuskan adanya hakam dalam perceraian yang muncul akibat syiqoq, (Syarqawi alat-Tahrir juz III hal. 372). Sedangkan menurut pendapat yang lain, bahwa pengangkatan hakam hanyalah jaiz (boleh saja). Pendapat ini di introdusir oleh Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid (Bidayatul Mujtahid juz II hal 98-99).
Sementara itu dalam tatanan hukum di Indonesia, hakam dapat ditemukan pada pasal 76 ayat 2 Undang-Undang Nomor : 7 Tahun 1989, Hakam adalah orang yang ditetapkan Pengadilan dari pihak ke1uarga suami atau pihak ke1uarga isteri atau pihak lain untuk mencari upaya penyelesaian perselisihan terhadap syigoq. Untuk lebih jelasnya ayat tersebut perlu pula diperhatikan penjelasannya yaitu, Kalau terjadi perselisihan antara suami isteri, hendaklah diadakan seorang hakam dari keluarga suami dan seorang hakam dari keluarga isteri. Keduanya berusaha memperdamaikan antara keduanya, se-hingga dapat hidup kembali sebagai suami isteri.
Pengangkatan seorang hakam dalam hukum acara Peradilan Agama dilakukan setelah sebelumnya didengar keterangan pihak keluarga atau orang-orang dekat dengan para pihak. Setidaknya ada tiga pasal peraturan perundang--undangan yang berbeda yang mengharuskan kehadiran keluarga ataupun kerabat dekat dalam suatu proses persidangan. Ketentuan tersebut terdapat pada :
1) Pasal 22 ayat (2) PP No.9 Tahun 1975.
2) Pasal 76 ayat (1) Undang-undang No.7 Tahun 1989, dan
3) Pasal 134 Kompilasi Hukum Islam.
Bila dibandingkan antara hukum normatif dan hukum positif mengenai keberadaan hakam, akan nampak adanya pergeseran status hukum hakam dalam pandangan hukum Islam (yang diwakili oleh al Syafi’i) dengan hakam yang terdapat pada Undang-Undang Peradilan Agama. Hukum Islam mengharuskan adanya hakam dalam perceraian yang terjadi dengan alasan syiqoq, sementara itu hakam diangkat dari pihak keluarga suami dan isteri, sedangkan hakam dalam Undang-Undang Peradilan Agama hanya sebatas anjuran yang tidak mengikat (sesuai dengan bunyi penjelasan Pasal 76 ayat 2 UU No. 3/2006). Dalam analisa Abdul Manan , hukum perkawinan Indonesia mengambil hukum zawaj boleh seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Rusyd dan dalam menentukan hakam mengambil pendapat Sayyid Sabiq yang tidak mengharuskan hakam dari keluarga kedua belah pihak yang bertikai. Demikian halnya dengan penerapan hakam, para ulama berbeda pendapat, salah satunya menerangkan bahwa penerapan hakam dilakukan pada perselisihan yang memuncak dan membahayakan.
Di beberapa Pengadilan Agama, hakam hanya diterapkan pada kasus perceraian di mana syiqoq benar-benar muncul sebagai alasan perceraian yang secara lahiriah dapat dilihat dari sikap salah satu pihak yang tidak menghendaki perceraian, sementara pihak lain menganggap bahwa rumah tangganya sudah tidak mungkin lagi diperbaiki. Pada saat inilah dipergunakan fiqh al Syafi’i dengan mempertimbangkan anjuran yang terdapat pada Pasal 76 ayat (2) beserta penjelasannya. Penerapan hakam seperti ini, secara psikologis sangat berguna bagi pihak yang tetap menginginkan berumah tangga, karena penilaian terhadap keadaan rumah tangga syiqoq tidak hanya dilakukan oleh hakim tetapi melibatkan hakam yang notabene adalah dari keluarga kedua belah pihak. Dalam keadaan demikian menurut Abdul Manan, hakam dapat menentukan kualitas perselisihan yang terjadi dalam rumah tangga, yang pada akhirnya dapat memberikan pertimbangan terhadap putusan majelis hakim. Di sisi lain hakam dianggap tidak efektif lagi ketika kasus perceraian yang dihadapi oleh hakim ternyata kedua belah pihak telah menyadari bahwa perceraian akan lebih baik dari pada harus mempertahankan rumah tangganya. Pada saat seperti ini implementasi hakam diterapkan pendapat ulama selain al Syafi’i mengenai status hakam sebagai fakultatif bukan imperatif.
IV. Implementasi Mediasi dan Hakam
Setelah dipahami secara ringkas mengenai keberadaan mediasi dalam dalam tatanan hukum Indonesia yang berlaku pada hukum acara perdata umum dan perdata agama, dengan hakam yang hanya terdapat pada acara peradilan agama, maka setidaknya ada benang merah antara keduanya yang sama-sama menghendaki penyelesaian perselisihan oleh pihak ke tiga. Komparasi dari sudut formil maupun materil, juga akan memberikan gambaran antara keduanya yang pada akhirnya dapat memposisikan secara tepat keberadaan mediasi dalam masalah perceraian.
Pemberlakuan tahap mediasi dalam suatu persidangan dilakukan setelah sidang pertama atau sebelum pemeriksaan perkara dilakukan. Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBG yang mewajibkan hakim mendamaikan para pihak, menjadi pijakan utama mediasi. Pembahasan lembaga damai secara menyeluruh dalam hukum acara, memberikan pengertian bahwa mediasi bukanlah satu-satunya cara untuk mencapai upaya damai. Dimungkinkan pula ketika perkara sudah berlangsung pada tahapan berikutnya (pembuktian misalnya), perdamaian dapat terjadi apabila masing-masing pihak menghendakinya.
Eksistensi hakam berbeda dengan Mediasi yang hanya berdasarkan pada PERMA Nomor 1 Tahun 2008 dengan merujuk pada Pasal 130 HIR/154 RBG. Sementara itu keberadaan hakam selain sebagai upaya transformasi hukum perkawinan Islam juga dilandaskan pada Pasal 76 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Berbeda dengan mediasi, hakam diterapkan setelah proses pembuktian berlangsung yaitu setelahnya hakim mendengar pihak keluarga atau orang-orang dekat dengan pihak suami isteri. Pengangkatan hakam dituangkan dalam putusan sela, sedangkan mediator dapat saja dilakukan dengan cara pemberitahuan oleh Ketua Majelis (PERMA Pasal 11 ayat 11). Dari sudut pandang materiil, mediasi pada awalnya dihadapkan dalam perkara bisnis meskipun dalam perkembangan berikutnya juga diberlakukan dalam hukum keluarga. Oleh karenanya wajar apabila dikatakan, tidak ada mediasi tanpa negosiasi, karena mediasi mengedepankan bargaining position dengan memberikan tawaran nilai dari masing-masing pihak.
Adapun hakam, merupakan salah satu bagian dari hukum perkawinan mengenai perceraian dengan alasan syiqoq. Tidak ada yang ditawarkan dalam bentuk nilai maupun materi lainnya dalam proses hakam tersebut. Hakam hanya berupaya meneliti dan menelaah serta menilai sifat dan bentuk dari perselisihan yang terjadi antara suami isteri.
Dengan melihat perkembangan hukum perkawinan di Indonesia ternyata perkara perceraian sering kali diajukan ke Pengadilan Agama dalam bentuk kumulasi dengan perkara lainnya seperti tuntutan nafkah terutang, nafkah iddah, pemeliharaan anak, nafkah anak ataupun harta bersama. Dengan adanya kumulasi tersebut, perkara perceraian yang sebelumnya hanya menyangkut permasalahan rumah tangga saja kemudian berkembang menyangkut masalah nilai dan materi. Pada saat seperti inilah keberadaan mediator sangat diperlukan untuk memfasilitasi upaya bargaining tawar menawar maupun negosiasi mengenai tuntutan-tuntuan yang diajukan oleh Penggugat. Demikian halnya dengan hakam, setelah proses perceraian berlangsung dan pihak keluarga telah didengar, dengan melihat bentuk perselisihannya hakim dapat mengangkat hakam untuk menyelesaikan syiqoqnya.
Penerapan mediasi dan hakam seperti di atas akan sangat berbeda ketika dihadapkan dengan perkara perceraian tanpa kumulasi dengan perkara lainnya. Memberlakukan mediasi dan hakam secara bersamaan dalam perkara perceraian (tanpa kumulasi) dari satu sisi, hakim dipandang telah memberlakukan prosedur acara yang sama dalam waktu yang berbeda (mediasi sebelum pemeriksaanperkara, hakam dalam proses perkara), karena keduanya sama-sama memberikan fasilitas kepada para pihak untuk mencari jalan damai. Di sisi lain pemberlakuan mediasi dan hakam dalam perkara seperti ini hanya akan menambah waktu dan biaya serta menghilangkan nilai filosopis dari PERMA yang terkandung dalam konsiderannya untuk penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. Dalam hal mediator harus melibatkan pihak keluarga dari pasangan suami isteri (PERMA Pasal 16). Demikian halnya apabila yang dipakai adalah hakam, maka proses hakam tersebut harus dipandang sebagai bagian dari mediasi, yang pada akhirnya akan mengenyampingkan PERMA Pasal 2 ayat (3).
Selain penerapan mediasi dan hakam secara bersamaan dan penerapan salah satu dari mediasi dan hakam, juga dimungkinkan tidak diterapkannya mediasi dan hakam secara bersamaan. Pasangan suami isteri, keduanya sama-sama menghendaki perceraian secara ma’ruf, sehingga hakim pun dalam keadaan seperti ini lebih mengedepankan tindakan ma’rufnya daripada harus memberlakukan hakam. Kondisi yang sama juga akan dihadapkan dengan proses mediasi. Apabila dalam persidangan pertama, masing-masing pihak (suami isteri) sudah menerangkan bahwa keduanya tidak mungkin didamaikan lagi dan memilih bercerai secara ma’ruf, maka apakah tidak keliru apabila hakim harus juga menerapkan mediasi dalam perkara tersebut, sementara hakam (yang notabene berlaku secara yuridis maupun normatif ) tidak diberlakukan lagi oleh hakim. Pemberlakuan mediasi dalam perkara seperti ini justru menjadi kontra produktif dengan maksud dari PERMA yang ingin memberikan penyelesaian sengketa lebih cepat dan murah. Karena pada saat demikian, para pihak lebih menghendaki proses perceraian dilanjutkan daripada terlebih dahulu mengikuti proses mediasi yang akan menambah waktu dan biaya. Demikian halnya dari sudut pandang materi mediasi yang menginginkan adanya penyelasian dengan bantuan pihak ketiga, sementara dalam bentuk perceraian di atas, penyelesaian yang diinginkan oleh para pihak adalah putusanya perkawinan mereka dan tidak ada pilihan lain.
V. Kesimpulan
Dari beberapa uraian di atas, sampailah pada beberapa kesimpulan berikut ini:
1. Mediasi sebagai bagian dari hukum acara, sangat diperlukan untuk menyelesaikan perkara perdata. Demikian halnya dengan perkara perceraian dengan kumulasi gugatan lainnya, mediasi diperlukan untuk menentukan tawaran nilai, atau bentuk gugatan materi/immateri lainnya dalam kumulasi gugatan tersebut.
2. Dalam perkara perceraian tanpa kumulasi, hakim dapat menerapkan salah satu dari mediasi atau hakam dengan tetap mengakomodir nilai-nilai dari yang lainnya (seperti memberlakukan mediasi dengan memperhatikan nilai-nilai hakam maupun sebaliknya).
3. Untuk perkara perceraian di mana kedua pihak sama-sama menginginkan perceraian, hakim akan lebih baik untuk melanjutkan proses persidangan tanpa harus melalui proses mediasi untuk mewujudkan penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah (konsideran PERMA)













Daftar Pustaka


Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta, Yayasan Al Hikmah, 2001.

Denaldy Mauna, Mediator Skill Refarming And Quiwtioning In Practice, Jakarta, 2004.

Gede Widhiana Putra, Mediasi, Jakarta, 22-Mei-2006.

Hasanuddin AF, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit, Pustaka al-Husna Baru, Jakarta, 2004.

John Wade, Sekitar Mediasi, MARI, Jakarta, 2004.

M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, Pustaka Karini, Jakarta, 1997.

Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung RI No: 01 Tahun 2008, Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, 2008.

Soeharto (Ketua Steering Komite Perma Nomor 2 Tahun 2003), Pelatihan Mediator Dalam Menyangbut Penerapan PERMA court annexed dispute resolution, MARI, 2004.

Wahyu Widiana, Mengenai Mediasi, www.badilag.net, 2008.

Wahyu Widiana, Upaya Penyelesaian Perkara Melalui Perdamaian Pada Pengadilan Agama Kaitannya Dengan Peran BP4, Makalah disampaikan pada Rakernas BP4 di Jakarta, 15 Agustus 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar