Kamis, 13 Mei 2010

Masjid Sebagai Pusat Gerakan

A. Muher, SHI

Masjid sekarang, saya lihat tidak ubahnya seperti stanplat bus. Jika orang ke stanplat bus, dia akan menganggap sele¬sai kalau tujuannya telah selesai. Kita, misaInya, masuk mas¬jid Sholat, duduk sebentar, lalu pulang; tanpa pernah berbi¬cara apalagi mengenal dengan orang yang duduk di sam¬ping kita.
Belum fungsionalkah masjid? Saya kira, dalam hal mem¬bina urnat, masjid memang belum begitu berperan. Umat ki¬ta sekarang adalah urnat mengapung. Artinya, tidak mem¬punyai basis paling bawah. Memang, sebagai organisasi mas¬jid kelihatannya mantap. Di sana, misaInya, ada Tamir Mas¬jid. Tetapi nyatanya belum mulus. Kadang kadang, pengu¬rusnya ada, anggotanya tidak ada. Itu mungkin karena tia-danya keinginan untuk berpartisipasi. Saya misalnya, bisa menjadi anggota banyak masjid. Shalat jum'at bisa saya la¬kukan di mana mana. Selama ini, hal itu tampaknya tidak menjadi persoalan. Namun untuk kepentingan wilayah, hal itu sebenarnya kurang menguntungkan. Padahal, masjid sa¬ngat mungkin sekati melakukan pembinaan terhadap Jama'ah di wdayahnya. Tetapi, itulah yang justru belum kita kerjakan.
Dalam hal ini, menarik untuk melihat kaitan antara be¬lum berfungsinya masjid sebagaimana mestinya dengan ha¬dirnya organisasi masjid semacam Dewan Masjid Indone¬sia (DMI), dan organisasi organisasi Islam lainnya. Hemat saya, organisasi Islam yang ada sekarang ini, sifatnya lebih ', vertikal. Orientasinya ke atas, atau paling tidak mereka ti¬dak mempunyai saluran ke bawah. Jadi kekuatan menarik orang untuk berkumpul itu sifatnya masih perorangan atau per organisasi. Sementara di satu tempat, ada Muhamadi¬yah, ada NU, ada yang lainya. Maka orang tidak bisa mem¬bangun wadahnya, karena sernua ditarik ke mana mana. Ka¬rena itu, mungkin masjid bisa berfungsi di situ. Membina wi¬layah, maksudnya adalah jama'ah, dengan prinsip partisi¬pasi, mempunyai kornitmen membina umat dalam segala hal di wilayahnya. Islam yang sekarang ini, masih diorganisir oleh nilai-nillai "abstrak". Belum kongkret. Solidaritas umat ma¬sih berkisar pada solidaritas polity (bukan politik ed). Arti¬nya, kita merupakan kesatuan sosial yang mungkin saja utuh, tetapi tidak mempunyai tujuan yang jelas. Jadi, solidaritas memang ada, hanya belum mengakar. la hanya bisa diguna¬kan secara insidental, misalnya dalam Pemilihan Umum, atau dukungan lainnya yang sifat temporal. Sudah saatnya kita beralih kepada bentuk solidaritas yang lebih mengakar.
Dan solidaritas yang saya maksudkan itu adalah soli¬daritas sosial dan solidaritas ekonomis ditingkat bawah. Ar¬tinya, urnat tidak hanya disatukan oleh ibadah yang sifatnya bersama, tetapi juga disatukan oleh nasib sosial dan nasib ekonomi yang sama. Tentang nasib sosial, misaInya begini: Sekarang ini kecenderungan pembangunan di masyarakat di¬bagi bagi menjadi kelas kelas kaya, miskin, negeri, swasta, buruh, majikan, dan lain sebagainya. Itu berarti, masing ma¬sing orang ditarik kelasnya. Tetapi kalau ada solidaritas so¬sial, pembagian ke kelas itu tidak akan ada. Pokoknya yang ada, umat itu satu. Dalam hal ini, di tingkat yang paling ba¬wah adalah jama'ah masjid. Sedangkan nasib ekonomis mi¬salnya, kita saling membantu. Sebagai contoh, ada lingkung¬an masjid yang tidak mampu menyekolahkan anaknya. Itu disantuni oleh jama'ah. Mungkin santunannya tidak berupa uang, tetapi bisa dengan mencarikan pekerjaan untuk orang tuanya. Atau kalau ada yang sakit, kita yang mencarikan obatnya, atau dibantu secara bergotong royong. Saya kira bentuk bentuk semacam itu yang amat kongkeret. Solidaritas sosial itu, nanti, juga akan mampu membendung polarisasi sosial baik di kota maupun di desa yang kelak bisa saja menjadi "konflik kelas". Sedangkan sofidaritas ekonomis, akan mampu secara mendadak seklipun menyantuni anggota jama'ah. Dan dalam jangka panjang, bisa mendidik orang un¬tuk berdiri sendiri.

Pusat Perubahan Sosial
Apakah dengan demikian masjid diharapkan mampu tampil sebagai pusat perubahan sosial? Agaknya begitu. Ar¬tinya, masjid mengubah masyarakat menjadi mandiri. Ke¬mandirian sosial ekonornis di tingkat bawah. Dan itu amat mungkin terjadi. Di desa, misaInya, tentu ada ularna, peda¬gang, petani, dan lain sebaginya. Dalam pengelolaan zakat, mereka sudah merupakan sumber dana yang jelas. Belum lagi dari hasil pertanian, infaq, dan lain sebagaianya yang ke¬sernuanya bisa dimanfaatkan. Di kota, barangkali agak lebih susah. Tetapi di kota, selalu ada orang yang berada, dan sebaliknya. Jadi, andaikata masjid bisa meningkatkan citra¬nya bahwa dia betul betul bisa dipercaya, saya kira orang tidak akan segan mengeluarkan sebagaian penghasilannya, mungkin tidak seperlima, malah lebih.
Kesukarannya, memang, selama ini masjid sekedar diang¬gap sebagai tempat ibadah formal. Tetapi untuk menjadikannya sebagai pusat gerakan, sesung¬ guhnya tidak terialu sulit, cukup dengan sedikit workshop. Pengurus masjid itu harus bisa apa saja, bagaimana melaksanakan survey mengenai: jumlah penduduk, penghasilan, pekerjaan, dan lain sebagainya, secara sederhana dalam suatu masyarakat. Data data itu memang sebetulnya harus dikuasai. Sebab, ka¬lau kita memiliki data lengkap tentang jamaah masjid, kita akan lebih mudah mengelompokkannya. Yang sangat jelas, itu akan membantu sekali dalam menganalisis sumber sum¬ber tenaga, dan pikiran yang potensial. Saya kira DMI bias bergerak ke situ. Sekarang ini, DMI orientasinya ke atas. Artinya, mendukung suatu struktur atau jalur kekuasaan. Barangkali itu berstfat politis, tetapi harus diturunkan kebawah. Dengan tujuan pembinaan wilayah itu, orientasinya memang lebih mikro, dan lebih mementingkan partisipasi se¬luruh anggotanya di tingkat bawah. Jadi memantapkan umat, maksudnya adalah umat yang tinggal di wilayah tertentu. Dalarn hubungan ini, mahasiswa bisa berperan sebagai salah satu anggota ta'mir masjid. Tidak perlu harus menjadi ketua atau apa, cukup menjadi semacam kataklisator yang mem¬rabawa perubahan tetap para jama'ah. Karena itu, yang mem¬tipunyai ini siatif tidak pertu harus menjadi pembina. Tentu saja pendekatan ini memang mikro, oleh sebab itu harus di¬sertai dengan gerakan menunjang yang bersifat makro. Mung¬kin struktural, mungkin konstitusional atau apa pun nama¬nya di tingkat atas. Sementara itu, masjid tetap gerakan di bawah. Dan itu menguntungkan. Karena masjid bukan orga¬nisasi massa. Jadi, tidak terkena aturan yang bermacam macam.

Kecil Tetapi Kongkret
Urnat Islam memang banyak organisasinya. Namun ma¬sing masing tidak ada yang efektif karena jalan sendiri sen¬diri. Dewan masjid misaInya, saya kurang jelas apa kerja¬nya. Tetapi kalaupun ada, menurut saya, mestinya bersifat saling tukar menukar informasi. Itu pun tentang yang di ba¬wah. Sebagai demikian, Dewan Masjid pada tingkat terten¬tu harus memikirkan yang dibawahnya. Sekarang ini tidak, yang dibawah malah memikirkan yang di atasnya. Dewan Masjid di kampung, memikirkan Dewan Masjid di Keca¬matan. Dewan masjid di Keeamatan memikirkan Dewan Mas¬jid di Kabupaten, dan seterusnya. Itu terbalik namanya. Fungsi organisasi masjid juga barangkali adalah menyera¬garnkan ide masjid, yaitu pembinaan jama'ah. Konsep ten-tang perjuangan urnat yang konotasinya politis, bukannya sangat abstrak. Pernbinaan jama'ah lebih kongkret, sebah dia berkonotasi sosial dan ekonomis.
Tentu saja, pikiran ini tidak bermaksud supaya urnat Is¬lam meninggalkan dunia politik. Tidak sejauh itu. Yang ter¬kandung dalam pikiran ini, curna sekedar pernilahan fungsi. Yang politis tetap harus ada, tetapi bukan di situ tempat¬nya. Artinya, politik tidak dibicarakan di masjid. Namun, se¬cara keseluruhan perjuangan urnat Islam, tetap harus meng¬andung aspek positif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar