Kamis, 13 Mei 2010

Musyarakah dan Jama’ah

By. A Muher, SHI


Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hartamu yang Dia jadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan mereka menafkahkan (sebagian dari hartanya), bagi merekalah pahala yang besar (al-hadiid:7).

Dan Dialah yang menumbuhkan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, dan pohon korma, dan tanaman-tanaman yang bermacam-macam rasanya, dan zaitun dan delima, yang serupa dan yang tidak serupa. Makanlah dari buahnya apa bila berbuah, dan berikanlah haknya (zakatnya) pada hari mengetamnya, dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan (al-an’aam:141).

Judul tulisan ini seharusnya dipanjangkan dengan me¬nambahkan kalimat sebagai berikut: "Sebuah Konsep Kema¬syarakatan Menuju Pembentukan Jama`ah Masjid Guna Mem¬perkuat Jama’ah Ukhuwah Islamiyah Dalam Masyaraklat Mo¬dern", sehingga lebih jelaslah maksudnya. Memang tulisan ini bermaksud, pertama, melihat perubahan perubahan sosi¬al pada umumnya; kedua melihat kedudukan masjid dalam proses perubahan itu; dan ketiga, sebuah usulan tentang pern¬bentukan jama'ah di lingkungan masjid.
Seperti kita ketahui bahwa masjid di zaman Rasulullah merupakan pusat kegiatan umat, baik yang bersifat ibadah maupun mu'amalah. Ketika Nabi datang pertama kali ke Ma¬dinah, sebagai langkah pertama pembangunan masyarakat Is¬lam, Nabi bukannya mendirikan istana, tetapi masjid. Istana adalah lambang dari sebuah birokrasi yang mengurus masalah masalah masyarakat disandarkan atas kekuasaan duniawi da¬ri penguasa. Sedangkan masjid adalah lambang organisasi sosial yang disandarkan atas kekuasaan Allah. Dari perbe¬daan lambang ini dapat ditarik kesimpulan, bahwa Islam meng¬isyaratkan supaya urnat mengelompokkan diri dalam sebuah persekutuan sosial yang dasar dasarnya diambil dari prinsip kekuasaan Allah atas manusia. Masjid Nabawi yang perta¬ma itu ternyata juga menjadi pusat peribadatan, pemerin¬tahan, peradaban, dan sebagainya. Pendek kata, sebagai pu¬sat serbaguna. Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, kedu¬dukan masjid tergeser ke samping. Kerajaan kerajaan Islam di Timur Tengah dan afrika Utara memang membangun mas¬jid yang megah megah, tetapi juga istana yang indah. Sema¬kin meningkatnya jumlah umat di waktu itu nampaknya me¬maksa mereka yang berkuasa menjadikan birokrasi terpisah dari masjid, suatu langkah yang dapat dimengerti, tetapi yang dari segi lain sangat merugikan. Merugikan, karena seolah¬olah ada perpisahan antara birokrasi yang rasional legal se¬kuler, dengan masjid yang iman ibadah akhirat. Demikian pula dalam pendirian kerajaan kerajaan Islam di Nusanta¬ra, masjid dan istana mulai terpisahkan. Dalam tata kota ke¬rajaan Islam di Jawa, Surakarta dan Yogyakarta, istana ru¬panya menjadi kerajaan yang lebih penting dari masjid. Pe¬ta tata kota diambil dari konsep tata kota zaman Majapahit, dengan istana sebagai pusat, sedang di muka sebelah kanan dan kiri masing masing diperuntukkan bagi tempat pemu¬jaan agama Syiwa dan Budha. Dalam perencanaan kota Is¬lam, masjid terletak di sebelah muka istana di sisi Barat, se¬perti kita saksikan pada masjid Agung Surakarta. Disam¬ping perubahan itu, ada satu lambang yang tetap, yaitu kon¬sep "dewa raja" yang mendudukkan raja sebagai penguasa ter¬tinggi dan wakil yang sah dari cita cita ketuhanan. Demikianlah, masjid tidak lagi menjadi pusat yang memancarkain cahayanya, tetapi menjadi bagian dari sebuah sistem dunia¬wi yang ingin mencari legitimasi melalui masjid tersebut. Mas¬jid tidak lagi independen dan otonom. Pusat pernerintahan berada di istana, pusat budaya berada di istana, pusat pem¬bagian kesejahteraan ekonomi juga di istana. Masjid men¬jadi pusat ibadah shalat semata mata, yang dikunjungi oleh raja hanya pada saat saat tertentu saia. Dalarn zaman modern sekarang, kedudukan masjid se¬makin tergeser. Masjid kalah bersaing dengan pasar. jika diawal abad abad Islam orang bisa melihat adanya masjid yang memangku pasar, sehingga orang mengatakan, misalnya: "mas¬jid itu punya pasar.", sekarang di pasar pasar didirikan masjid dan orang bilang “pasar itu punya masjid". Jadi, yang penting adalah pasarnya, dan bukan masjidnya. Perubahan se¬macam ini dapat dicari contohnya dalam berbagai bidang ke¬hidupan yang lain, seperti kantor, pabrik, universitas, super¬market, dan sebagainya. Pendek kata, rnasjid dalarn dunia modern hanya menjadi satu elemen saja dalarn kehidupan orang modern. Timbullah sekarang sebuah tantangan bagi umat Islam, bagaimana caranya untuk membangkitkan kern¬bali peranan masjid dalam konteks masyarakat modern.
Sementara memutar jarum jam sejarah tidaklah mungkin, kita masih berharap dapat mengerjakan sesuatu. Dalam hal ini, pendekatan kita haruslah didasarkan kepada ajaran ajar¬an Islam sendiri, sebagai suatu langkah dari, oleh, dan un¬tuk masyarakat Islam. Oleh karena itu di bawah ini hendak dikemukakan sebuah pemikiran untuk menggalakkan kemba¬Ii ajaran musyarakah di lingkungan masjid dengan cara mem¬bentuk jama'ah jama'ah. Adapun jalan pikiran itu dapat disa¬makan dengan konsep "self help" atau menolong diri sendirl dalam perbendaharaan pengetahuan sosial dewasa ini.

Perubahan Sosial
Sampai sekarang di Indonesia, desa masih merupakan tempat pemukiman yang utama. Namun desa yang digam¬barkan oleh ahli ahli antropologi sebagai masyarakat tertu¬tup dengan ikatan kekeluargaan desa yang kuat atau "closed corporate comunity" itu tidak lagi ada. Sejak masuknya jenis¬-jenis tanaman kornersial, sistem kredit dan ekonomi uang di pedesaan; proses penguangan (moneytization) masyarakat ti¬dak lagi terhindarkan. Desa desa di Indonesia sudah terbu¬ka untuk Ialu lintas ekonomi internasional bahkan seJak per¬tengahan abad ke 19 dengan masuknya perkebunan gula, tembakau, dan kopi; dan mencapai intensitas yang semakin tinggi pada abad ke 20 ini. Ambillah contoh menghilangnya kerja sambatan di pedesaan. Dahulu orang mendirikan ru-mah bersama sama dengan orang sedesa, ketika setiap orang menyumbangkan apa saja yang dipunyai, barang, tenaga, dan nasehat. Dengan adanya pembagian kerja, dan munculnya jenis jenis pekerjaan baru non pertanian, kerja sambatan itu semakin hilang. Segalanya harus dibayarkan dengan uang. Terjadilah proses penguangan masyarakat. Dengan kata la¬in, sebelum orang mendirikan rumah, ia harus memperhi¬tungkan kemampuannya sendiri dalam Ialu lintas keungan ter¬lebih dahulu. Sernua orang masuk dalam mekanisme pasar¬an barang dan jasa, baru kemudian memperoleh keperluan¬-keperluannya. Ikatan kekeluargaan desa menghilang dari pe-desaan. Hubungan antar warga desa menjadi hubungan ker¬ja, yaitu satu sama lain selalu memperhitungkan tenaganya dalam sebuah sistem kerja upahan. Dengan kata lain, ma¬syarakat secara keseluruhan diikat oleh hubungan baru, bu¬kan kekeluargaan, tetapi kontrak kerja. Tanpa modal keah¬lian tidak ada kesempatan orang untuk mendapatkan kebu¬tuhan kebutuhan, yang primer sekalipun. Tanpa kerja, tidak ada imbalan. Memang dalam 1slarn disebutkan bahwa seti¬ap orang harus bekerja untuk hidup, namun ajaran ini tidak dimaksudkan sebagai dasar bagi hubungan masyarakat yang semata mata kontraktual. Di atas, segala galanya, seorang muk¬min menandatangani kontrak dengan Allah, diantaranya ia¬lah kesanggupan untuk menjadikan sesama muslim sebagai saudara. Dan antara saudara ada bubungan kekeluargaan yang harus dipenuhi. Demikianlah, desa telah mengasingkan diri dari ikatan ikatan kekeluargaan, dan rasa aman sosial eko¬nomis menghilang dari kehidupan orang desa.
Proses serupa terjadi dalarn masyarakat kota dengan ting¬katan intensitas yang jauh lebih tinggi. Industrialisasi yang terjadi di kota kota telah mengenalkan etika baru dalam kehidupan sosial, yaitu rasionalisasi. Bekerja dalam indus¬tri, tidak seperti dalam pertanian, memerlukan ketrampilan yang tidak dapat dipelajari di rumah. Tawar menawar kerja di lapangan industri adalah tawar menawar rasional ber¬dasarkan keahlian, semakin jarang ketrampilan yang ter¬sedia dalam masyarakat, semakin tinggi upah yang diterima dari pemilik keahlian itu. Ada banyak tingkatan upah da¬lam kerja industri, schingga nilai orang dapat diukur dari pekerjaannya. Maka terjadilah pengelompokan orang ke dalam kelas kelas sosial, dengan maksud supaya orang mem¬punyai kekuatan dalam tawar menawar tentang kerja dan upah. Di sini pengelompokan itu semata mata didasarkan kepada kepentingan rasional, yaitu kepentingan ekonomis. Kemudian, kota atau urbanisme juga mengakibatkan proses impersonalisasi, yaitu karena banyaknya penduduk kota, orang tidak lagi mengenal satu dengan yang lainnya. Dengan tetangga sebelah saja sering orang tidak saling mengenal, ke¬cuali kalau masih ada hubungan hubungan kerja. Saling meng¬asingkan secara sosial terjadi, sehingga orang hidup semata mata untuk kepentingannya sendiri. Disinilah gejala itu muncul. Individualisme membawa akibat akibat yang jauh, seperti tidak adanya kemauan un¬tuk tolong menolong. Oleh karena itu di kota segala sesu¬atu diserahkan kepada birokrasi. Misalnya jalan rusak dise¬rahkan kepada Departemen Pekerjaan Umum, karena orang tidak lagi suka bersarna sama membangun jalan. Di antara se¬sama warga kota terdapat perasaan saling terasing. Tetangga terasing dari tetangga, buruh terasing dari majikan, pembeli terasing dari penjual, pegawai terasing dari kepala kantor, dan seterusnya. Juga, di kota, rasa aman sosial sudah hilang. Se¬seorang yang menderita sakit di kota, tidak akan ada yang mengurus kesehatannya, kecuali kalau mereka mempunyal sejumlah uang untuk ke rumah sakit. Rumah rumah sakit meminta jaminan sebelum bersedia merawatnya, sebuah hu¬bungan kontraktual dengan kesepakatan untuk memberi da¬na dan menerima perawatan. Tanpa itu, tidak akan ada hu¬hungan sosial.
Sudah tentu gambaran di atas adalah suatu tipologi yang agak keras, tetapi kiranya begitulah yang terjadi. Ketika so¬lidaritas sosial secara mekanis hilang, yaitu dengan hilang¬nya kerja sama atas dasar saling mengambil bagian dalam kehidupan sosial, timbullah solidaritas organis, yaitu kerja¬sama atas dasar pembagian kerja. Dalam perwujudan sehar-¬hari, hal ini tampak pada saat ketika kita menemukan orang fakir miskin, kita berpikir bahwa sudah ada Departemen khu¬sus yang mengurusnya dan kita tidak perlu lagi campur ta¬ngan. Pernbagian kerja sudah ada, bagian kita masing ma¬sing sudah ditentukan, kita sudah membayar pajak kepada pemerintah yang dapat dipergunakan untuk apa saja, ter¬masuk memperbaiki jalan, menjaga keamanan dan santunan fakir miskin. Apa yang sedang kita saksikan sebenamya ialah keterasingan kita dari orang lain, dan hilangnya rasa amann sosial ekonomi, lebih lebih di pihak yang lemah. Gejala semacam itu adalah kecenderungan modem yang setiap orang harus mengalami. Tetapi apakah harus begitu kehidupan sosial di lingkungan urnat Islam? Apakah Islam tidak dapat menyumbang sesuatu bagi hidup yang lebih ma¬nusiawi? Inilah pertanyaan pertanyaan yang menggoda kita pada saat ini.

Masjid dalam Perubahan
Peranan masjid dalam dunia modern, di desa dan di kota, mengalami erosi. Lembaga lembaga baru, muncul di pedesaan. Kantor kelurahan dikunjungi orang beberapa kali setahun, sewaktu orang membayar pajak tanah, melaporkan kelahiran, perkumpulan perkumpulan. Barangkali tidak ter¬Ialu sering, tetapi otoritas kelurahan terhadap orang desa sangat penting. Apa apa yang diputuskan di kelurahan, se¬perti pelebaran jalan pemunduran pagar rumah, mengikat penduduk desa. Demikian juga Koperasi Unit Desa (KUD), barangkali hanya beberapa kali dalam setahun orang harus menghubunginya, yaitu diwaktu orang membeli pupuk saat musim tanam. Tetapi peranan KUD tidak dapat ditinggal¬kan oleh mercka yang bertani. Peranan Lembaga Ketahan¬an Masyarakat Desa (LKMD) sebagai badan musyawarah desa, amat penting. Santunan dalam bentuk, disalurkan lewat LKM1). LKMD juga tempat orang menyatakan par¬tisipasinya dalam pembangunan. Di tambah lagi banyak ba¬dan badan lain, yang formal maupun informal, seperti se¬kolah, kelompok tani, dan sebagainya. Pendek kata, pendu¬duk pedesaan lebih banyak berhubungan dengan badan ba¬dan yang langsung mengurus penghidupannya, yang ber¬hubungan dengan sandang pangannya. Dan sernua lembaga itu, berada di luar masjid. Tampak di sini bahwa masjid lalu tidak fungsional dalam kehidupan sehari hari, seolah olah hanya menjadi tempat berteduh sekali seminggu di hari Jurn'at, atau barangkali setiap shalat berjama'ah, tetapi ti¬dak mempunyai arti sosial apa apa, kecuali sebagai peng¬hibur dan tempat bertemu. secara santai. Tidak ada sa-lahnya orang menjadikan masjid sebagai tempat berteduh secara mental spiritual, tetapi apakah hanya itu peranan masjid dalam masyarakat desa?
Demikian juga di kota. Pabrik pabrik tampak lebih me¬nonjol dari jenis bangunan lain. Orang sibuk pulang dan pergi, pada jam jam yang sudah ditentukan. Orang begitu ketakutan untuk datang terlambat. Lebih dari orang desa yang pergi ke sawah dengan santai, orang yang bekerja di pabrik pergi dengan tergesa gesa. Hidup dan matinya se¬olah tergantung sepenuhnya dari pabrik tempat ia bekerja. Dunianya adalah pabriknya. Demikian juga di pusat perto¬koan dan supermarket. Orang datang dan pergi dengan her¬macam keperluan hidup, menghabiskan begitu banyak wak¬tu untuk menawarkan dagangan, melayani pembeli, dan merawat barang barang jualan. Atau sebaliknya, banyak wak¬tu dipergunakan untuk memilih barang barang di bawah lampu neon, kipas angin, dan musik. Dunia yang penuh kesibukan bagi mereka tidak diasingkan dari tempat tempat jual beli karena ketidakmampuannya. Juga dunia universi¬tas di kota kota menawarkan kepada pemuda, alternatif al¬ternatif baru dalam bangunan, dalam pemikiran, ketrampil¬an ketrampdan baru, pengetahuan baru, dan pada akhirnya gambaran dunia yang baru. Orang orang universitas dapat menjadi orang orang yang paling jauh dari agama, atau sebaliknya, justru merekalah sekarang ini yang paling yakin dengan agama. Di gedung bioskop, orang mempunyai kesibukan lain lagi. Pemuda berkunjung sekali atau dua kali seminggu, juga tergantung dari kesanggupannya dalarn tukar menukar, se¬olah olah sebuah upacara yang mesti dikedakan supaya orang menjadi modern. Nama nama bintang, lagu, judul film, dan sedikit apresiasi perfilman, menjadi bagian terpenting dari kehidupan remaja "masa kini". Sernua itu jika dihitung se¬olah olah menghabiskan waktu seumur hidup. Pabrik, pertokoan, universitas, gedung bioskop sernuanya menjadi pu-sat pusat kehidupan modern yang tidak dapat ditinggalkan. Masihkah tersisa peranan masjid dalam kesibukan kota? .
Masjid yang kebanyakan terletak di pedalaman kam¬pung sebagaimana sekarang ini, memang masih merupakan tempat yang ideal untuk mengundurkan diri dari kesibukan duniawi untuk mencari ketenangan jiwa. Tentu istilah "kete¬nangan jiwa" bukan ungkapan yang sepadan untuk melukis¬kan peranan masjid sebagai tempat ibadah. Sebab ibadah jauh lebib luas artinya dari pada ungkapan itu. Namun bagi kebanyakan orang, ungkapan itu rupanya tidak begitu salah,setidaknva bagi mereka yang tidak mempunyai pikiran bah¬wa masjid punya dimensi yang jauh lebih banyak dari sekadar tempat ibadah. Dalarn masa kenabian masjid adalah pusat ke¬giatan sosio kultural, dan sosio ekonomis. Dalam kategori sosio kultural, termasuk di dalamnya tempat sosiahsasi anak, pendidikan, perpustakaan, dan kesenian. Masjid masjid kuno mempunyai unsur sosio kultural semacarn itu, termasuk di dalamnya masjid masjid di Indonesia yang mempunyai pe¬santren. Masjid juga mempunyai peranan sosio ekonomis dimasa Nabi. Kaum sufa, yaitu mereka yang hidupnya sema¬ta mata untuk ibadah, juga hidup di masjid. Pada zaman Nabi juga, orang bisa membawa untaian anggur ke masjld dan digantungkan di pintu masuk, supaya mereka yang berminat dapat menikmatinya. Tentu lebih banyak lagi contoh yang dapat dikemukakan. Jika demikian halnya, masjid di zaman modern ini memang mengalami penyurutan peranan. Di bawah ini akan dibicarakan salah satu dari banyak kemungkinan untuk membangkitkan lagi peranan sosial eko¬nomi dari masjid sebagai sarana untuk membangunkan kem¬bali masjid sebagai pusat kehidupan.

Ajarkan Musyarakah dan Pembentukan Jama'ah
Dalam ayat ayat AI Qur'an dan Sunnah Nabi banyak diberikan ketentuan tentang pentingnya membagi kekayaan dengan sesama muslim, terutarna fakir miskin, seperti mi¬salnya dalam pembagian harta pusaka, musim panen, dan setiap rizki itu datang. Kekayaan adalah amanat Allah. Anjuran anjuran itu ada yang sifatnya keharusan, yaitu da¬lam bentuk zakat, dan ada pula yang sifatnya sukarela atau disunnahkan. Sehubungan dengan ayat ayat tentang bersau¬daranya sesama muslim atau mukmin, setidaknya ini berarti bahwa kita harus berbagi dalam cinta kasih, kesejahteraan, dan kecerdasan dengan sesama mustim. Praktek dari ajaran ini tentu sukar dilaksanakan tanpa adanya sebuah organi¬sasi yang melaksanakan, sebab kehidupan modern mempu¬nyai sifat lain dengan kehidupan tradisional. Kita dapat mem¬bayangkan betapa suhtnya kita menyantuni fakir miskin yang jumlahnya sampai ribuan, bahkan ratusan ribu itu tanpa ada¬nya manajement. Dengan kata lain kita harus menggunakan lembaga lembaga baru yang sifatnya serba rasional sebagai¬mana dalam sebuah masyarakat patembayan (Gasellschaft) di dalam semangat sebuah masyarakat paguyuban (Gemein¬schaft), yang sekafigus menggunakan perflaku rasional (zwec¬krational) dan perilaku nilai (vertrational) serta penuh de¬ngan keterpautan perasaan cinta kasih.
Ajaran musyarakah adalah suatu ketentuan bahwa orang¬-orang miskin, yaitu mereka yang karena kedudukan social ekonomis tidak mempunyai akses terhadap pasaran barang dan jasa dalam masyarakat, mempunyai hak untuk meng¬ambil bagian dalarn proses distribusi barang dan jasa tanpa harus memberikan gantinya. Ajaran ini dimaksudkan untuk mengurangi atau menandingi kecenderungan individual¬isme dari masyarakat kontraktual. Kecenderungan untuk hidup sendiri sendiri dalam masyarakat modern yang hanya berpusat pada keluarga, diperluas secara sukarela dengan ajaran inj. Eka orang lain juga mempunyai hak atas harta kita sebagaimana diatur dalam AI Qur'an dan Hadits (jadi bukan tanpa batas antara hak milik sendiri dan orang lain), tentulah pernbagian kekayaan itu terjadi secara sukarela. Dasar yang utama pastilah ketaqwaan kepada Allah, pem¬beri segala macam kesejahteraan itu. Musyarakah bukan se¬macam komune yang membagi alat alat produksi kerja, dan distribusi; tetapi sebuah keluarga yang membagi pendapat¬an yang bersifat kesejahteraan. Jika sebuah satuan kolektif dalam sistem Marxis merupakan manifestasi dari masyara¬kat kontraktual dengan masyarakat primitif sebagai model, i?iu,syarakah mengambil model masyarakat di Zaman Nabi. Di zaman Nabi tidak ada ajaran kolektifikasi dalam alat¬alat produksi, tetapi ada semangat kolektif dalam konsumsi.
Karena dasar yang pertarna ialah asas "ikhwan" bersau¬dara , maka cinta kasih merupakan landasan efektif yang ha¬rus tumbuh dahulu di antara pernegang amanat musyarakah. Tanpa adanya perasaan kekeluargaan, hubungan musya¬rakah tidak akan menjadi rahmat bagi pelakunya, sebab ha¬nya akan menjadi bentuk hubungan kontraktual yang lain. Semangat pembagian kekayaan dalam Islam ialah semangat ibadah, bukan sernata mata semangat gotong royong yang hanya mempunyai implikasi sosial itu. Gotong royong mem¬punyai makna timbal balik juga, sedangkan musyarakah ti¬dak mempunyai makna timbal balik itu. Redistribusi kekayaan dalam musyarakah semata mata karena Allah.
Musyarakah memang hanya bisa dilaksanakan dengan kesadaran yang tinggi. Dapat dimengerti bagaimana sulit¬nya orang harus membagi kekayaan sekedarnya bersama orang lain yang sama sekali tidak ada hubungan darah, padahal ia sendiri terancarn secara ekonomis oleh kekuatan kekuatan pasar yang tidak terduga. Sementara orang paling kaya se¬kalipun tidak mempunyai jaminan rasa aman soslal ekono¬mi, sebab suatu ketika ia bisa jatuh miskin, orang sulit dige¬rakkan imannya untuk musyarakah. Keinginan untuk mena¬bung, mengadakan penanaman modal, dan keinginan kon¬sumtif barangkali lebih kuat tertanam dalam jalan pikiran orang modern yang mempunyal perilaku rasional murni.
Ada lagi kesulitan macam lain. Kiranya sudah dipahami bahwa di sini sangatlah sulit untuk melaksanakan tanpa adanya suatu organisasi. Dapat dibayangkan bagaimana ke¬pada seseorang dalam konteks kehidupan kota yang ano¬nim, tiba tiba datang orang lain yang tidak dikenaInya sama sekali dan menyatakan miskin serta menuntut haknya. Tam¬paknya akan tedadi semacam anarki, sekalipun maksud yang, dikandung dapat dibenarkan. Sebagai langkah permulaan barangkali kita dapat memulai dengan mengurus lingkung¬an terdekat saja. Lingkungan terdekat itu dapat kita ambil dari sejumlah jama'ah masjld kita; tidak seperti sekarang ini, orang mengunjungi masjid seperti orang pergi ke stasi¬un kereta api, tidak mengenal siapa siapa yang hadir.
Musyarakah dapat dilaksanakan dalam suatu jama'ah. Untuk membagi cinta kasih, kesejahteraan dan kecerdasan, kita memerlukan perangkat sosial ekonomi. Variasi ini dapat diperoleh dengan kesengajaan berdasar semacam sen¬sus jama'ah, atau berdasar satuan teritorial. Selain variasi sosial ekonomi juga harus ada variasi usia, pendidikan, pe¬kerjaan, dan pengetahuan keagamaan. Untuk mendapatkan variasi ini, jumlahtiya harus cukup besar supaya bermacam¬macam, tetapi tidak terialu besar untuk suatu pengelokian sederhana. Barangkali jumiah sekitar 40 kepala keluarga cukup memadai. Jumlah 40 KK ini diambil dari analogi jumlah yang dianggap cukup untuk bersembayang jum'at bersama. Tetapi besar kecilnya jumlah tidak begitu penting, yang penting variasinya.
Mekanisme kerja dalam kelompok musyarakah harus sangat sederhana supaya tidak mirip dengan sebuah biro¬krasi, Jama'ah musyarakah bukan merupakan organisasi, te¬tapi sebuah keluarga besar. Masjid yang besar seperti Mas¬jid Agung Surakarta (dan Masjid masjid Agung di berbagai kota lainnya) tentu mempunyai dua macam jama'ah. Per¬tama, jama'ah yang mobil; artinya yang sekedar datang dan pergi guna menunaikan ibadah shalat. Kedua, jama'ah yang tetap, ialah mereka yang tinggal di sekitar masjid, atau yang secara tetap menjadi anggota jama'ah. Sampai sekarang me¬mang tidak ada catatan resmi tentang para pengunjung masjid, karena dalam Islam masjid bukanlah sebuah badan dengan otoritas tertentu. Pembentukan dan pembinaan ja¬ma'ah akan menghendaki sedikitnya anggota yang kurang leblh tetap bagi setiap kelompok musyarakah. Penting da¬lam pembentukan dan pembinaan lanjutan kelompok mu¬syarakah ini ialah pengetahuan yang tepat tentang keadaan sosial ckonomis dari masing masing anggota, sekalipun ti¬dak akan ada penelitian tentang hak milik kekayaan ma¬sing masing. Sekali tagi, kelompok jama'ah bukanlah sebu¬ah birokrasi yang mempunyai wewenang atas pribadi pribadi. Di sini yang mempunyai wewenang hanyalah Allah sema¬ta mata. Bagaimana mckanisme kerja secara mendetail da¬pat dibicarakan dalam musyawarah para ta'mir masjid, se¬bab masing masing tempat mempunyai kondisi sosial eko¬nomis tersendiri. Untuk setiap masjid dapat diselengga-rakan pertemuan perternuan khusus ke arah ini.
Setelah meneliti uraian tentang musyarakah di atas, ba¬rangkali akan terasa bahwa tidak ada yang baru dalam hal ini. Memang, ini bukanlah sesuatu yang baru sama sekali: karena akar akarnya kita saksikan dalam sisa sisa tradisi pedesaan dan keagamaan kita sendiri. Hanya pembentuk¬annya dalam kancah masyarakat modern, dan perluasan da¬ri tujuannya, mungkin merupakan hal baru. Mungkin juga di beberapa kelompok urnat sudah ada pelaksanaan musyarakah semacam ini, dengan perbedaan dan persamaan sen¬diri. Namun sifat sifat yang ingin ditekankan di sini ialah sukarela atau ikhlas. Tidak ada paksaan untuk menyerah¬kan secara pasti bagian dari harta, atau ikatan ikatan lain yang tidak berdasarkan keikhlasan. Dengan longgarnya ikatan, mungkin ada kesulitan dalam memobilisasikan dana dan tenaga, tetapi sebagai sebuah eksperimen kebenaran menuju ridha Allah, biarlah bersifat sukarela. Sifat lain ialah terbuka untuk siapa saja. Setiap jama'ah masjid boleh mengambil bagian, bolch tidak. Juga sifat yang terbuka berarti, kelompok ini bukan semacam organisasi rahasia dengan tujuan tujuan lain, kecuali untuk mencari ridha Allah. Keterbuban inj penting, karena Islam ialah sebuah agama yang terbuka, rahmat untuk semesta.

Kesimpulan
Menegakkan peranan masjid dalam dunia modern ha¬rus mengingat kepentingan umat yang mendesak. Dalam tingkatan perkembangan sosial ekonorni sekarang ini, ketika pemerataan kesejahteraan masih jauh dari equitable, tantangan mendesak kepada agarna ialah sumbangannya kepada rasa arnan sosial ekonorni. Hilangnya rasa aman seperti itu, haik di masyarakat desa maupun kota, sudah mencapal tltik yang kritis, terbukti dengan kemungkinan meningkatnya ke¬sadaran kelas dalam masyarakat. Sumbangan Islam di masa
lalu sebagai penangkis kesadaran ketas, sehingga menginginkan mereka yang sudah mapan sosial ekonorni terlindungidari bahaya perang kelas, barangkali tidak banyak disadari. Islam mempunyai gambaran ideal tentang sebuah sisternsosial ekonorni sendiri, yang sebagian dapat dilaksanakan didalarn sistern yang sudah ada. Pada dasarnya, untuk keper¬luan pembagian kekayaan yang merata, Islam mempunyai cara cara yang tersediri. Tetapi dalarn sistem yang ada sekarang, kiranya ajaran musyarakah dapat melindungi urnat Islam khususnya, dan masyarakat pada umumnya dari pera¬saan tidak arnan secara sosial ekonornis. Masjid sebagai pusat kehidupan muslim dapat mempu¬nyai peranan besar dalarn berbagai bidang. Bukan saja dalarn segi ibadah khusus, tetapi juga di bidang sosio kultural, dan sosio ekonorni. Musyarakah adalah usaha dalarn bidangsosio ckonorni itu, salah satu saja dari sekian kemungkinan. Pelaksanaan Musyarakah akan merupakan gejala baru yang memberi harapan, sehingga Islam dirasakan sebagai rahmat, dimana pun, kapan pun, dan bagaimanapun sistern sosial yang ada. Insya Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar