Jumat, 21 Mei 2010

sejarah hukum islam

Asal-usul bagian sepersepuluh (al-usyur)
Oleh : A. Muher

Suku suku Arab mewajibkan kafilah untuk memberikan upah atau upeti sebagai ganti atas jaminan perlindungan (keamanan) saat mereka melewati wilayahnya. Ini merupakan salah satu jenis pajak (upeti) yang di dalamnya terdapat unsur paksaan, kesewenang¬ wenangan, dan menang menangan, tidak dibayarkan secara suka rela. Kecuali suku Quraisy karena mereka memiliki kehormatan besar. Mereka adalah ahl al bait al~ haram (penduduk Baitul Haram) yang disakralkan oleh masyarakat Arab khususnya, dan pada umumnya oleh suku suku yang di dalarnnya menyebar agama Yahudi dan Nasrani Adapun al ilaf (perjanjian) yang dilakukan oleh Hasyim mungkin dapat ditafsirkan sebagai jenis hadiah simbolik yang diberikan kepada pernimpin suku setempat yang dilalui oleh kafilah tanpa tekanan, paksaan, dan keharusan sedikitpun. Bahkan sejenis pemberian untuk menyenangkan hati. Dan barangkali kata al ilaf itu sendiri
menunjukkan arti itu. Upeti atau pajak yang diberikan oleh kafilah dagang suku suku sebagai jaminan perlindungan merupakan sumber penghasilan hidup. Oleh karena itu,

"Kaisar Anuchrouan mengirim kayu bahan pembuat uang dan anak panah (yang diangkut dengan unta) kepada bawahannya di Yaman. Rombongan Kaisar ini dikawal sejak dari Madain sampai bertemu dengan Wman bin al Mundzir di Hirah. Wman mengawaInya mulai dari wilayah Bani Rabi'ah sampai ke Haudzah bin Ali al Hanafi di Yamamah. Lalu ia mengantarkan dan mengawaInya sampai keluar dari wilayah Bani Hanifah. Kemudian rombongan itu sampai ke Bani Tamim dan mereka membayar upeti kepadanya. Upeti tersebut merupakan upah atas jasa pengawalan yang telah diberikan, sehingga rombongan kafilah dapat melewati wilayah itu sampai tiba di Yaman. Kemudian barang kiriman itu diserahkan ke bawahan Kaisar di sana.
Ketika Kaisar mengutus rombongan kafilah dan rombongan tersebut sampai di Yarnamah, Haudzah bin Ali berkata kepada asawir (para panglima tentara kerajaan Persi yang mengawal kafilah): "Pertimbangkanlah apa yang akan kalian berikan kepada Bani Tamim. Maka berikan kepadaku. Aku akan menjamin keamanan kalian dari mereka, dan aku akan ikut bersama kalian melintasi wilayahnya hingga kalian sampai ke tempat tujuan. Kemudian Haudzah, para asawir dan kafilah meninggalkan Hijir, sebuah wilayah di Bahrain. Ketika sampai di Nitho', sebuahjurang di Yarnamah, Bani Tarnim mengetahui apa yang dilakukan oleh Haudzah. Mereka Ialu menyerangnya.
Merekapun (Bani Tan tim) (a) merampas harta bawaan dan membagi bagikannya, (b) membunuh sernua panglima tentara dan menyalibnya, (c) membebaskan Haudzah bin Ali, Ialu Haudzah membeli dirinya dengan 300 ekor unta. Bani Tamim bergegas menuju ke Hijir bersama sama Haudzah mengambil tebusan.
Dalam peristiwa tersebut, kita melihat bahwa kafilah adalah milik Kaisar Imperium Persia dan dikawal oleh para panglima tentara. Adapun Haudzah bin Ali adalah seorang pimpinan, konon ia adalah seorang raja Bani Hartifah. Ketika Bani Tamim berkeyakinan bahwa mereka (rombongan Kaisar) telah meremehkan haknya dan membayarkan upeti kepada selain mereka. Maka Bani Tamim tidak peduli pada Kaisar, para panglima tentara Persia, dan juga pada Haudzah bin Ali. Kemudian mereka mertyerang (menaklukkan) semua kafilah, membagi bagi harta bawaannya, mencincang dan menyalib semua panglima, serta membiarkan raja penduduk Hunaifah sampai ia menebus dirinya dengan tebusan yang sangat besar. Semua itu menunjukkan kepada kita, bahwa keharusan para saudara untuk membayar upeti (al ju'alah) atau imbalan (al ajr) ketika melewati sebuah wilayah suku bersama sama dengan kafilahnya merupakan tradisi yang sudah mapan di kalangan suku suku Arab sebelum Islam. Oleh karena itu, Imam Abu Ubaid al Qasim Ibn Salam.
mengatakan, bahwa al ta'syir (mengambil sepersepululi) berasal dari tradisi Jahiliah.
Ketika datang, Islam meneruskan tradisi ini, bahkan perintah tentang ini masih tetap. Namanya saja yang berubah menjadi al usyur, yaitu "batasan yang digunakan untuk mengambil harta benda para pedagang "ahl al harb" (penduduk yang boleh diperangi) dan "ahl al dzimmah" (penduduk yang tidak boleh diperangi) yang melewati wilayah kekuasaan Islam. Orang yang pertama kah meletakkan ini adalah Umar bin Khattab. "Ashim bin al Hasan bercerita kepada kami, ia berkata: Abu Musa al¬ Asy'ari menulis surat kepada Umar bin Khattab, "bahwa para saudagar muslim sebelum kita telah mendatangi ardl al harb (zona wilayah yang boleh diperangi), Ialu mengambil bagian sepersepuluh (al usyur) dari mereka". Kemudian Umar membalas surat tersebut "silahkan ambil
dari mereka sebagaimana mereka mengambil dari para saudagar muslim. Ambillah separoh bagian dari ahl al¬ dzimnwh, dan ambillah satu dirham dari kaum muslimin dari setiap empat puluh dirham. Di bawah dua ratus tidak dipungut apa apa. Tetapi jika dua ratus, maka ambillah lima dirham. Jika tambah, sesuaikan dengan kelipatannya. Tidak benarapa yang dikatakan olehA. Qutub Ibrahim, bahwa "batasan sepersepuluh (al usyur) bagi penduduk yang boleh diperangi merupakan aplikasi dari prinsip bermuamalah antar sesama karena mereka juga bermuamalah dengan para saudagar muslim berdasarkan atas prinsip yang sama" Kalaulah faktor yang mendorong batasan sepersepuluh (al usyur) itu mu'amalah antar sesama yakni sebagaimana mereka bermua'malah dengan saudagar muslim di wilayah yang boleh diperangi (dar al harb), mengapa sepersepuluh (al~ usyur) diwajibkan untuk ahl al dzimmah yang bermukim di wilayah Islam (dar al Islam), dan kenapa sepersepuluh juga diwajibkan bagi para saudagar muslim?

Manakah faktor mu'amalah antar sesama yang dikemukakan oleh penulis tersebut (Qutub Ibrahimfl fadi alasan itu tidak bisa diterima. Di antara mereka yang menguatkan bahwa sepersepuluh bagian (al usyur) diwajibkan bagi ahl al~dzimmah dan kaum muslin tin adalah Dr. Kautsar Abdul Fatah al Abjiy, seorang staf pengajar wanita di jurusan perdagangan di Universitas Kairo. Dia sepakat dengan Yusuf Qardlawi yang mengatakan bahwa hadits "pemeluk Islam tidak diwajibkan membayar sepersepuluh (al usyur) " adalah bukan hadits Hasan dan Sahih. Jadi pendapat yang dipegangi oleh Yusuf Qardlawi dan Dr Kautsar adalah bahwa pengambilan sepersepuluh bagian (al ta'syir) mencakup sernua kaum musyrik ahl dar al harb, ahl al dzimmah, dan kaum muslimin. Kedua orang ini sampai pada pendapat yang seperti itu setelah melakukan pencermatan derigan teliti, dan itu merupakan pendapat yang sahih, meskipun berbeda dengan cara pengambilan sepersepuluh (al usyur) yang telah ditetapkan oleh Urnar bin Khattab. Mencermati sejarah lahirnya sepersepuluh bagian (al ta'syir) sebagaimana yang sudah kami jelaskan, mungkin saja dari kalngan orang orang yang wara' yang berperasaan halus, ada orang yang tidak menerima al¬usyur dengan puas. Oleh karena itu, di antara mereka ada yang mengingatkan atau menjauhkan diri untuk tidak bekerja sebagai pengambil bagian sepersepuluh (al usyur). "Abu Muawiyah dari al A'masy dari Syaqiq dari Masruq bercerita, bahwa ia berkata: demi Tuhan, aku tidak mengetahui perbuatan yang menurut aku paling
mudah (ringan) yang dapat memasukkan aku ke dalam api neraka dibanding dengan perbuatan kalian ini (orang yang berprofesi mengambil sepersepuluh atau al tisyur). Aku tidak ingin menjadi seorang muslim yang berbuat dzalim, menjadi pemungut dinar dan dirham. "Muhan tmad bin Abdullah dari Anas bin Sirrin bercerita kepada kami, ia berkata: mereka bermaksud untuk mempekerjakanku untuk mengambil sepersepuluh dari penduduk Avila, sebuah negeri di tepi sungai Tigris, namun aku menolaknya. Lalu aku bertemu dengan Anas. Mengapa kamu tidak melakukan apa apa sebagaimana yang telah dilakukan oleh Umar? la mengambil sepersepuluh dari penduduk muslim, setengah dari sepersepuluh dari ahl al dzimmah dan sepersepuluh dari kaum musyrik yang tidak dzimmah. Kedua hadis ini menunjukkan bahwa orang~orang yang bertakwa sangat berhati hati untuk melakukan profesi sebagai pemungut sepersepuluh (al usyur). Mereka berpendapat bahwa profesi tersebut termasuk perbuatan yang paling buruk ini jelas dikembalikan pada asal usul sejarahnya, sebagaimana hadis yang paling akhir meneg iihkan bahwa sepersepuluh (al usyur) diambil dari tiga kelompok, kaum musyrik, ahl al dzimmah, dan kaum muslimin, yang digunakan oleh A. Qutub untuk mendukung pendapatnya bahwa al usyur diambil karena ada faktor rnuarnalah antar sesama, karena pada hakekatnya al usyur tersebut merupakan jenis yang sebanding dengan upeti (al ju'alah) yang diwajibkan oleh suku suku sebelum diutusnya nabi Muhammad Saw. Perkembangan tidak terbatas pada keserupaan nama, namun juga dalam karakteristik si penarik pajak. Setelah pajak itu dipungut oleh para pemimpin suku atau syaikh al qabilah, maka sekarang dilakukan oleh para imarn atau orang yang bertugas mengambil sepersepuluh (amil). Amil ini boleh menambah, mengurangi, dan atau menaikkannya, jika dipandang ada kernaslahatannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar