Senin, 27 Desember 2010

teori penegakkan hukum islam di indonesia

Asas-Asas dan Teori Penegakkan Hukum Islam di Indonesia
Oleh : Abdul Muher, SH.I, MA


Abstrak
Keberadaan Hukum Islam di kalangan ummat Islam adalah sebagai patokan dan pedoman untuk mengatur kepentingan masyarakat dan menciptakan masyarakat yang islami. Kehidupan yang teratur dan sepantasnya diyakini dapat diterima oleh setiap manusia walaupun menurut manusia ukurannya berbeda-beda. Hukum Islam sebagai tool of social engineering atau sebagai alat rekayasa social mengalami hambatan-hambatan dalam penegakannya untuk mengatur kepentingan masyarakat. Hambatan itu bisa dari Undang-undang, penegak hukum dan dari pembuat Undang-undang. Sebagai alat, hukum Islam akan bekerja secara simultan untuk merubah ummat Islam dalam berperilaku, dari perilaku yang buruk menjadi baik. Tetapi hal ini tidak bisa berjalan apabila ada yang menghambatnya. Pertanyaan yang muncul adalah factor-faktor apa yang mempengaruhi penegakan hukum Islam di Indonesia? penegakan hukum Islam melalui Yurisprudensi. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penegakan hukum Islam di Indonesia yaitu antara lain dari sisi pembentuk hukum, penegak hukum dan pencari keadilan. Asas dan teori penegakkan Hukum Islam Tentang Penataan Hukum, Hukum Islam dan Teori Penerimaan Otoritas Hukum, Hukum Islam dan Teori Receptie in Complexu, Hukum Islam dan Teori Receptie, Hukum Islam dan Teori Receptie Exit, Hukum Islam dan Teori Receptio a Contrario, Hukum Islam dan Teori Eksistensi.

Kata Kunci : asas, teori, penegakkan hukum islam
Pendahuluan
Indonesia adalah Negara hukum (rechtstaats), bukan Negara kekuasaan (machstaats). oleh karena itu, setiap penyelenggaraan Negara dan pemerintahannya selalu didasarkan pada peraturan dan perundang-undangan. Negara Indonesia tidak menganut paham teokrasi yang mendasarkan pada ideology paham tertentu dan tidak juga beraliran paham sekuler yang tidak memperdulikan agama. Relasi agama dan Negara di Indonesia amat sinergis dan tidak pada posisi dikotomi yang memisahkan antara keduanya. Legitimasi keberadaan agama diwilayah hukum Negara kesatuan republic Indonesia (NKRI) serta untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing, dilindungi secara konstitusional. Pasal 29 ayat 1dan 2 UUD 1945.
Dalam kerangka ini pula, maka penjelasan Prof. Dr. Hazairin, SH tentang pasal 29 ayat 1 UUD 1945 bahwa: “Negara berkewajiban untuk mengatur dan mengawasi agar warga negara Indonesia menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran agama masing-masing,” sangat relevan dengan kondisi Indonesia. Dalam buku “Demokrasi Pancasila”. Hazairin menafsirkan rumusan UUD 1945 pasal 29 ayat 1 itu sebagai berikut:
Pertama, di negara RI tidak boleh ada aturan yang bertentangan dengan agama. Kedua, negara RI wajib melaksanakan Syari’at Islam bagi umat Islam, Syari’at Nasrani bagi Nasrani dan seterusnya, sepanjang pelaksanaannya memerlukan bantuan kekuasaan negara. Ketiga, setiap pemeluk agama wajib menjalankan syari’at agamanya secara pribadi dalam hal-hal yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara.
Jaminan keberagamaan ini dipertegas lagi dalam garis-garis besar haluan Negara (GBHN), sebagai landasan operasionalnya. hal ini bertujuan untuk memantapkan fungsi, peran, dan kedudukan agama sebagai landasan moral dan spiritual dalam penyelenggaraan Negara, serta merupakan agar segala peraturan perundang-undangan tidak bertentangan dengan moral-moral agama. Sesungguhnya, baik UUD 1945 maupun GBHN sangat akomodatif terhadap kepentingan warga Negara dalam menjalankan ibadahnya. Agama harus menjadi landasan moral, karenanya setiap peraturan dan perundang-undangan yang bertentangan dengan moral dan agama mesti dikesampingkan. Syari’at islam, selainmerupakan landasan moral, juga dapat menjadi regulator untuk menata kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Secara normative, menjalankan syari’at islam secara kaffah merupakan perintah Allah, sebagaimana firman-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”(2:208).

Dalam penjelasan tafsir al-azhar membuat imbauan tegas tentang pemberlakuan hukum islam saat mentafsirkan ayat-ayat:
”Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan Allah didalamnya. Dan barangsiapa yang tidak memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (5:47).

Sebagai muslim, tidaklah lalai menjalankan hukum-hukum Allah. Pedoman untuk menjalankan syari’at islam telah disampaikan oleh Allah kepada Rasul-Nya berupa qur’an sebagai kitab terakhir dalam agama samawi setelah diturunkan kitab zabur, taurat, dan injil kepada umat lain. Syari’at umat pada masa lalu dianggap sudah tidak berlaku lagi karena sudah diralat (mansukh) oleh syari’at yang terakhir. Syari’at inilah yang wajib diikuti oleh seluruh umat saat ini dan dimasa mendatang hingga yaumil wa’id. Firman Allah (QS:5/48). Pada era otonomi daerah ini, sesungguhnya sangat kondusif bagi umat islam untuk menata hukum yang lebih sesuai dengan keinginan masyarakat setempat. Demikian juga dari pihak pemerintah, telah menunjukkan sikap yang akomodatif terhadap keinginan umat islam untuk melaksanakan syari’atnya.
Setiap orang yang mengintegrasikan dirinya kepada Islam wajib membentuk seluruh hidup dan kehidupannya berdasarkan syari’at yang termaktub dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Hal tersebut sebagaimana diungkap oleh Yusuf Qardhawi, syari’at Ilahi yang tertuang dalam Al-Quran dan Sunnah merupakan dua pilar kekuatan masyarakat Islam dan agama Islam merupakan suatu cara hidup dan tata sosial yang memiliki hubungan integral, utuh menyeluruh dengan kehidupan idealnya Islam ini tergambar dalam dinamika hukum Islam yang merupakan suatu hukum yang serba mencakup.

Asas-Asas dan Teori Penegakkan Hukum Islam
Pembahasan
Asas-asas Hukum Islam

Asas secara etimologi memiliki makna adalah dasar, alas, pondamen (Muhammad Ali, TT : 18). Adapun secara terminologinya Hasbi Ash-Shiddiqie mengungkapkan bahwa hukum Islam sebagai hukum yang lain mempunyai azas dan tiang pokok sebagai berikut :
1. Asas Nafyul Haraji: meniadakan kepicikan, artinya hukum Islam dibuat dan diciptakan itu berada dalam batas-batas kemampuan para mukallaf. Namun bukan berarti tidak ada kesukaran sedikitpun sehingga tidak ada tantangan, sehingga tatkala ada kesukaran yang muncul bukan hukum Islam itu digugurkan melainkan melahirkan hukum Rukhsah.
2. Asas Qillatu Taklif: Tidak membahayakan taklifi, artinya hukum Islam itu tidak memberatkan pundak mukallaf dan tidak menyukarkan.
3. Asas Tadarruj: Bertahap (gradual), artinya pembinaan hukum Islam berjalan setahap demi setahap disesuaikan dengan tahapan perkembangan manusia.
4. Asas Maslahah: Hukum Islam seiring dengan dan mereduksi sesuatu yang ada dilingkungannya.
5. Asas al-‘adl al-Kaffah: Artinya hukum Islam sama keadaannya tidak lebih melebihi bagi yang satu terhadap yang lainnya.
6. Asas Estetika: Artinya hukum Islam memperbolehkan bagi kita untuk mempergunakan/memperhatiakn segala sesuatu yang indah.
7. Asas Menetapkan Hukum Berdasar Urf yang Berkembang Dalam Masyarakat: Hukum Islam dalam penerapannya senantiasa memperhatikan adat/kebiasaan suatu masyarakat.
8. Asas Syara’ Menjadi Dzatiyah Islam: Artinya Hukum yang diturunkan secara mujmal memberikan lapangan yang luas kepada para cendikiawan untuk berijtihad dan guna memberikan bahan penyelidikan dan pemikiran dengan bebas dan supaya hukum Islam menjadi elastis sesuai dengan perkembangan peradaban manusia.
Hukum Islam adalah pedoman hidup yang ditetapkan Allah SWT untuk mengatur kehidupan manusia agar sesuai dengan keinginan Al-Quran dan Sunnah. Adapun Abu Zahrah mengemukakan pandangannya, bahwa hukum adalah ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf baik berupa iqtida (tuntutan perintah atau larangan), takhyir (pilihan) maupun berupa wadh’i (sebab akibat). Ketetapan Allah dimaksudkan pada sifat yang telah diberikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan mukalaf. Hasbi Ash-Shiddiqie mendefinisikan hukum secara lughawi adalah “menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sebagaimana hukum-hukum yang lain, hukum Islam memiliki prinsip-prinsip dan asas-asas sebagai tiang pokok, kuat atau lemahnya sebuah undang-undang, mudah atau sukarnya, ditolak atau diterimanya oleh masyarakat, tergantung kepada asas dan tiang pokonya. Secara etimologi (tata bahasa) prinsip adalah dasar, permulaan, aturan pokok.

Teori Penegakkan Hukum Islam dan Kaitan Permasalannya
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Islam
Hukum Islam merupakan alat yang ditujukan untuk mengubah perilaku warga muslim. Berdasarkan ilmu hukum, law is the tool of social engineering. Sebagai alat, tentunya hukum tidak bisa berdiri sendiri dalam mengatur perilaku ummat Islam. Contohnya perilaku yang biasa merusak lingkungan sosial bisa diubah secara bertahap melalui pemberlakuan hukum Islam dalam hal Qishas. Dalam al-Qur'an dicontohkan dalam ayat 32 surat al-Maidah, bahwa barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya. Ayat ini menunjukkan adanya kekuatan di dalam hukum untuk merubah pola kehidupan dari yang buruk dan saling merugikan menuju pada pola yang saling menguntungkan dan keadilan. Contoh lain misalnya sholat, ibadah ini sebagai standar orang-orang soleh di dalam Islam. Bahwa, orang-orang soleh pasti melaksanakan sholat dengan khusyuk dan benar. Dengan kekhusuannya, pola perilaku bersosialnya dapat terkontrol dengan baik dan selalu mengedepankan sisi kemanfaatan dan tidak merugiakan orang lain.
Hukum Islam dalam penegakannya juga mengalami hambatan yang terdiri dari berbagai faktor:
1. Faktor-faktor yang berasal dari pembentuk hukum.
2. Faktor-faktor yang berasal dari penegak hukum.
3. Faktor-faktor yang berasal dari pencari keadilan.
4. Faktor-faktor yang berasal dari golongan-golongan lain di dalam masyarakat.
(Soerjono Soekanto: 1994:119).

Pertama: Faktor-faktor yang berasal dari pembentuk hukum
Di Indonesia pembentuk hukum adalah legislatif bersama-sama dengan eksekutif. Pembuatan Undang-undang haruslah melalui persetujuan kedua belah pihak. Untuk sekarang ini hanya ada beberapa hukum Islam yang telah dihasilkan oleh badan tersebut dalam pembentukan hukum Islam, yaitu Undang-undang perkawinan, Undang-undang tentang pengelolaan zakat, Undang-undang tentang perwakafan, dan Undang-undang tentang waris, serta Undang-undang tentang perbankan syariah. Sedangkan pelaksanaan sholat, haji dan puasa belum dibuat Undang-undang, semua itu baru pelaksanaan ibadah ritual dan masih banyak hukum Islam yang belum dijadikan Undang-undang. Masyarakat sebagai pendukung hak dan kewajiban sifatnya hanya menunggu untuk melaksanakan perundang-undangan yang dibentuk oleh legislative bersama eksekutif. Para polisi, jaksa dan hakim sebagai pelaksana penegakan hukum akan melaksanakan penegakan dengan sebaik-baiknya bila memang telah diundangkan oleh negara. Hukum itu mengikuti pola pikir. Pola-pola berpikir manusia mempengaruhi sikapnya, yang merupakan kecenderungan-kecenderungan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu terhadap manusia, benda maupun keadaan-keadaan. Sikap-sikap manusia kemudian membentuk kaidah-kaidah, oleh karena itu manusia cenderung untuk hidup teratur dan pantas. Pembentuk Undang-undang sangat menentukan dalam penegakan hukum Islam. Ketika Undang-undangnya sudah ada, berjalannya masih tergantung pada man behind the law apalagi Undang-undang yang harus diundangkan belum seluruhnya terwujud.
Kedua: Faktor yang berasal dari penegak hukum
Di Indonesia dikenal dengan beberapa penegak atau pelaksana hukum, misalnya, Hakim, Jaksa, dan Polisi yang masing-masing mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Peranan masing-masing tidak lepas dari pengaruh struktur yang ada dilembaganya, hakim dalam melaksanakan tugasnya banyak dipengaruhi oleh sistem, lembaganya dan juga struktur di dalamnya. Walaupun posisi hakim adalah orang yang independen dalam memutus perkara, tetapi kenyataannya mereka dipengaruhi oleh lembaga tempat ia bekerja. Begitu pula jaksa dan polisi, keduanya ini secara tanggung jawab tidak punya independensi bahkan kebanyakan dipengaruhi oleh struktur dan sistem yang digunakan pada lembaga tersebut sehingga dalam penegakan hukum banyak dipengaruhi oleh lembaga tersebut.
Berdasarkan teori fungsionalisme struktural Robert K. Merton (Margaret M. Poloma, 2000: 31) bahwa struktur birokrasi dapat melahirkan tipe kepribadian yang mematuhi peraturan-peraturan tertulis daripada semangat untuk mentaati peraturan-peraturan yang tidak diundangkan. Bila melihat teori ini, hukum Islam sebagai hukum yang tidak diundangkan dan selama ini dianggap sebagai hukum yang tidak tertulis namun pada kenyataan banyak ummat Islam yang mentaatinya. Contohnya hukum zakat, ketika datang hari raya idhul fitri masyarakat berbondong-bondong menyerahkan zakat fitrah kepada para amil zakat. Hal ini tampak hukum Islam yang berlaku di Indonesia banyak ditaati oleh kaum muslimin walaupun tidak diundangkan, maka selayaknya para penegak hukum juga punya kontribusi untuk mengusulkan supaya diberlakukan hukum Islam yang telah dilaksanakan oleh kaumnya.
Ketiga: Faktor yang berasal dari pencari keadilan
Orang-orang yang mengajukan perkara merupakan faktor yang mempengaruhi penegakan hukum Islam. Ada orang punya masalah dengan hukum tetapi tidak mau mengajukannya ke Pengadilan, maka akan mengurangi peranan peradilan. Dan ada pula orang-orang yag berperkara selalu ingin menang dengan cara apapun juga mengurangi wibawa penegak hukum. Memang hukum itu adalah sebagai sarana pengatur perilaku yang mana membutuhkan sarana untuk menyampaikan pesan-pesan yang ada di dalam hukum. Suatu contoh, hukum perlu komunikasi (Soerjono Soekarno, 1994: 119) supaya hukum benar-benar dapat mempengaruhi perikelakuan warga-warga masyarakat, maka hukum tadi harus disebarluaskan seluas mungkin sehingga melembaga dalam masyarakat, adanya alat-alat komunikasi tertentu, merupakan salah satu syarat bagi penyebaran serta perkembangan hukum, komunikasi hukum tersebut, dapat dilakukan secara formal, yaitu suatu tata cara yang terorganisasi dengan resmi, akan tetapi disamping itu juga ada tata cara yang tidak resmi sifatnya.
Keempat: Faktor yang berasal dari golongan-golongan lain di dalam masyarakat
Jika diadakan pengamatan sepintas lalu, kita akan dapat menyimpulkan bahwa dalam masyarakat terdapat bentuk-bentuk pengelompokan yang menghimpun manusia, kelompok-kelompok sosial itu terbentuk berdasarkan kepentingan yang memiliki tujuan sama, namun tidak jarang pula terbentuknya karena mempunyai musuh yang sama, kelompok-kelompok semestinya bermasyarakat antara satu dengan yang lain.
Pada bagian ini kita hanya melihat pada kemampuan, kekuatan ikatan sosial terhadap penegakan hukum Islam. Misalnya sekelompok kyai dipandang lebih cakap dalam hal hukum Islam, ketika memberikan fatwa-fatwa hukum akan lebih banyak ditaati oleh warga muslim, ini menunjukkan bahwa kelompok masyarakat kyai sangat mempengaruhi penegakan hukum Islam. Begitu juga MUI dan Ormas lainnya. MUI sebagai representatif pemerintah dalam hal keagamaan (Hukum Islam) fatwa-fatwanya juga banyak dilaksanakan oleh warga muslim, artinya MUI punya peranan dalam penegakan hukum Islam di Indonesia. Penegakan hukum Islam pada hakekatnya banyak dipengaruhi oleh sistem nilai, dimana ia yang dipengaruhi oleh sistem nilai yang dipahami oleh warga muslim itu sendiri. Sedangkan sistem nilai menurut Koentjoroningrat berpangkal pada lima masalah pokok dalam kehidupan manusia:
1. Hakekat dan sifat manusia
2. Hakekat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu.
3. Hakekat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya.
4. Hakekat hubungan manusia dengan sesamanya atau lingkungan sosialnya.
Keberlakuan Dan Pelaksanaan Hukum Islam
1. Keberlakuan hukum Islam
Hukum Islam adalah fenomena sakral yang eternal. Fakta obyektif menunjukan, inti sari dan bahan baku hukum Islam adalah wahyu Tuhan yang bersifat sakral dan eternal. Wahyu Tuhan tersebut dikemas dalam rangkaian program pemerataan kemaslahatan, keadilan, dan kesejahteraan manusia yang dituangkan dalam Al-Qur’an dan Hadits di bawah pengawasan dan perlindungan Tuhan dan dijamin kebal dari intervensi yang merusak sakralitasnya (Q.S. Yusuf (12): 63). Preskripsi syar’i (wahyu Tuhan) tersebut tidak berubah, tidak dapat diubah, dan tidak akan berubah, sebab program pewahyuan telah purna bersama usainya risalah Rasulullah SAW. Dengan demikian, sakralitas hukum Islam (bahan bakunya) benar-benar murni terbebas dari intervensi dalam bentuk apapun dan siapapun.
Inilah yang dimaksud dengan hukum Islam sebagai fenomena sakral dan eternal. Teks syar’I sebagai fenomena yang menjadi sumber moral keagamaan, tidak mungkin dijadikan postulat intelektual yang harus diimani, tetapi untuk dilaksanakan di dunia realitas ini. Hukum Islam yang telah menjadi kaidah sosial ada yang berlaku secara yuridis formal yang disebut hukum formal dan ada hukum Islam yang berlaku secara normative.
Hukum Islam yang berlaku secara yuridis formal adalah sebagian dari hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain benda dalam masyarakat yang dirangkum dalam istilah muamalah. Bagian hukum Islam ini menjadi hukum positif berdasarkan atau karena ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan. Contohnya adalah hukum perkawinan, hukum kewarisan dan hukum wakaf. Hukum Islam yang berlaku secara yuridis formal merupakan bantuan penyelenggara Negara untuk menjalankannya secara sempurna, misalnya dengan mendirikan peradilan Agama yang menjadi salah satu unsur system peradilan di Negara kita.
Hukum Islam yang berlaku secara normative adalah bagian hukum Islam yang mempunyai sanksi yang bersifat normative. Untuk melaksanakan hukum Islam yang bersifat normative pada umumnya tidak memerlukan bantuan penyelenggara Negara. Diantaranya adalah kaidah-kaidah hukum Islam mengenai pelakasanaan ibadah sholat, puasa, zakat, dan haji, yakni yang termasuk kategori hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, berlaku secara normative di tanah air kita. Namun, karena sifatnya yang unik ada juga hukum Islam bidang ibadah murni ini yang memerlukan bantuan penyelenggara Negara untuk melaksanakannya secara sempurna yakni hukum Islam mengenai ibadah haji dan zakat.
Kaidah-kaidah yang belum diakomodir oleh pemerintah berlakunya tidak bisa dipaksakan oleh Qadhi (hakim) dan kaidah yang telah diakomodir oleh pemerintah, berlakunya dapat dipaksakan oleh hakim. Misalnya kaidah sholat yang menjadi kewajiban bagi umat Islam, jika tidak dilaksanakan maka pemerintah tidak bisa memaksa untuk mengerjakannya.
Secara sosiologis merupakan suatu gejala yang wajar, bahwa akan ada perbedaan antara kaidah-kaidah hukum di satu pihak dengan perikelakuan yang nyata. Hal ini terutama disebabkan oleh karena kaidah hukum merupakan patokan-patokan tentang perikelakuan yang diharapkan. Patokan-patokan itu dalam hal-hal tertentu merupakan abstraksi dan pola-pola perikelakuan. Namun demikian, ada baiknya untuk dikemukakan pendapat dari ahli ilmu social mengenai perbedaan antara perikelakuan sosial yang nyata dengan perikelakuan sebagaimana yang diharapkan oleh hukum. L Pospisil (1958: 54) seorang antropolog menyatakan bahwa dasar-dasar hukum adalah sebagai berikut:
a. Hukum merupakan suatu tindakan yang berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial. Agar dapat dibedakan antara hukum dengan kaidah lainnya, dikenal dengan adanya empat tanda hukum atau attribute of law.
b. Tanda yang pertama dinamakannya attribute of autbority, yaitu bahwa hukum merupakan keputusan-keputusan dari pihak-pihak yang berkuasa dalam masyarakat, keputusan-keputusan mana ditujukan untuk mengatasi keteganganketegangan yang terjadi di dalam masyarakat.
c. Tanda yang kedua disebut attribute of intention of universal application yang artinya adalah bahwa keputusan-keputusan yang mempunyai daya jangkau yang panjang untuk masa mendatang.
d. Atribute of obligation merupakan tanda ketiga yang berarti bahwa keputusankeputusan penguasa harus berisikan kewajiban-kewajiban pihak kesatu terhadap pihak kedua dan sebaliknya. Dalam hal ini semua pihak harus masih di dalam kaidah hidup.
e. Tanda keempat disebut sebagai attribute of sanction yang menentukan bahwa keputusan-keputusan dari pihak yang berkuasa harus dikuatkan dengan sanksi yang didasarkan pada kekuasaan masyarakat yang nyata.
Merupakan kenyataan bahwa pada masyarakat-masyarakat tertentu kaidah-kaidah yang tidak diakomodir oleh pemerintah berlaku lebih kuat dari pada kaidah hukum yang diakomodir oleh pemerintah. Di dalam sebuah perkampungan, orang lebih percaya kepada lembagalembaga masyarakat, misalnya modin, untuk menyelesaikan berbagai persoalan agama dari pada maju ke pengadilan.
Di negara-negara selain Indonesia yang pada umumnya orang hanya melihat dua alternatif dalam hubungan antara agama dengan negara yaitu:
a. Negara agama, yakni negara yang berdasarkan suatau agama tertentu.
b. Negara sekuler, yakni negara yang memisahkan agama dari negara.
Bangsa Indonesia mempunyai alternatif lain, yaitu negara pancasila (Departemen Agama, 1987: 15). Sebagai Negara yang bukan mendasari berlakunya hukum atas hukum agama tertentu, maka Indonesia mengakomodir semua agama, karena itu hukum Islam mempunyai peran besar dalam menyumbangkan materi hukum atas hukum Indonesia.
Ada tiga alasan dasar yang memberi posisi yuridis bagi keberlakuan hukum Islam di Indonesia, yaitu :
a. Dasar filosofis
Injeksi substansial segi-segi normatif ajaran Islam di Indonesia melahirkan sikap epistimologi yang mempunyai sumbangan besar bagi tumbuhnya pandangan hidup, cita moral dan cita hukum dalam kehidupan sosio kultur masyarakat. Proses demikian berjalan seiring dengan tingkat pemahaman keagamaan, sehingga memantulkan korelasi antara ajaran Islam dengan realitas sosial dan fenomena keIslaman itu, bagaimana mempunyai peranan substansial dalam arena kelahiran norma fundamental Negara.
b. Dasar sosiologis
Sejarah masyarakat Islam Indonesia menunjukkan bahwa cita hukum dan kesadaran hukum dalam kaitannya dengan kehidupan keIslaman memiliki tingkat aktualitas yang berkesinambungan seperti adanya gejala mentahkim-kan permasalahan kepada orang yang difigurkan sebagai Muhakam dan pada akhirnya terkristalisasi menjadi suatu tradisi Tauliyah hingga sekarang pada dimensi lain pengaruh epistimologi keIslaman menyebar keaspek-aspek kehidupan, sehingga tingkat religiusitasnya yang kuat dipertahankan secara berkesinambungan.
c. Dasar yuridis
Sejarah hukum Indonesia menunjukkan bahwa validitas fenomena yuridis mampu mengungkap perjalanan tata hukum, perjalanan panjang tata hukum kolonial yang sarat dengan cita kolonialistiknya tetap tidak mampu membendung tuntutan layanan masyarakat Islam, sehingga pada akhirnya mengakui bahwa hukum Islam diberi tempat di dalam tata hukumnya yang menjadi dasar pengakuan ini adalah melalui pasal II aturan peradilan Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian tuntutan layanan hukum dan peradilan bagi masyrakat Islam diatur dalam pasal 29 UUD 1945. dan sekarang Peradilan Agama (PA) masuk di bawah Mahkamah Agung.

Hukum Islam Dan Teori Penegakkan Hukum Di Indonesia
Hukum Islam tentang Penataan Hukum
Hukum Islam adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasulullah, untuk disampaikan kepada umatnya. la bukan sebuah teori, tetapi merupakan ajaran ilahi yang harus dipelajari, dipraktikkan, dan diberlakukan untuk menetapkan keteraturan dalam kehidupan masyarakat serta keseirnbangan antara kewajiban dan hak. Hukum Islam akan berlaku bagi seluruh umat manusia di dunia sampai akhirat, tetapi bila Hukum Islam dijadikan hukum positif di suatu negara, maka keberlakuannya hanya bagi masyarakat Islam. Ajaran tentang penataan hukum dalam kajian ilmu hukum memang merupakan sebuah teori yang dikemukakan oleh ahli hukum berdasarkan proses hukum yang terjadi di masyarakat, tetapi dari segi Hukum Islam hal itu tidak saja disebut sebagai teori, melainkan merupakan prinsip yang wajib diberlakukan. Secara konseptual, terdapat prinsip prinsip Hukum Islam yang mencakup penataan dan penerapan Hukum Islam bagi orang Islam. Bahwa Allah dan rasul Nya, memerintahkan kepada orang yang beriman supaya menjalankan hukumnya.
Menurut Abdul Qadir Audah dalam bukunya “Islam Ditengah Kejahilan Ummat Dan Ulamanya” berkata: Orang yang tidak memutuskan perkara menurut hukum Allah, ada tiga macam:
Pertama: Karena kafir atau ingkar dan bencinya kepada hukum Allah dan mengingkari adanya kebaikan padanya, orang yang semacam ini kafir (QS. Al-Maidah: 44), Kedua: Karena menuruti hawa nafsunya meskipun mereka memandang adanya kebaikan pada hukum Allah, tapi menganggap ada hukum lain yang lebih baik dan lebih sesuai, orang semacam ini dinamakan zalim (QS. Al-Maidah: 45), Ketiga: Orang yang berkayakinan bahwa hukum Allah-lah yang paling baik dan paling adil tetapi memilih hukum selainnya karena manfaat dunia, sanggup mendurhakai hukum Allah karena dunia (harta, kuasa dan wanita), mereka ini disebut fasik atau pendurhaka (QS. Al-Maidah: 47). Oleh karena itu, dari segi Hukum Islam semestinya berlaku teori penataan hukum, bahwa bagi setiap orang Islam berlaku Hukum Islam dan wajib menjalankannya sebagai tuntutan akidah (Q.S. 4 An Nisa: 59 dan Q.S. 24 An Nur: 51 dan 52).
Hukum Islam dan Teori Penerimaan Otoritas Hukum
Teori Penerimaan Otoritas Hukum diperkenalkan oleh seorang orientalis Kristen, H.A.R. Gibb, dalam bukunya The Modern Trends of Islam, seperti dikutip H. Ichtijanto, bahwa orang Islam jika menerima Islam sebagai agamanya, ia akan menerima otoritas Hukum Islam terhadap dirinya. Berdasarkan teori itu, secara sosiologis, orang yang memeluk Islam akan menerima otoritas Hukum Islam dan taat dalam menjalankan Hukum Islam. Namun, ketaatan ini akan berbeda satu dengan lainnya dan sangat bergantung pada tingkat ketakwaan masing masing kepada Allah dan rasul Nya. Bisajadi, ada orang Islam mampu menjalankan Hukum Islam ini secara kaffah terhadap seluruh aspek kehidupannya; disisi lain, ada juga orang Islam hanya menjalankan Hukumnya secara parsial dalam beberapa bidang kehidupan berdasarkan kemauannya.
Teori ini menggambarkan pula bahwa di dalam masyarakat Islam ada Hukum Islam yang ditaati oleh orang orang Islam. Orang orang Islam menaati Hukum Islam karena diperintahkan oleh Allah dan rasul Nya. Oleh karena itu, kalau mereka telah menerima Islam sebagai agamanya, maka mereka akan menerima otoritas Hukum Islam terhadap dirinya. Bagi orang Islam, Hukum Islam adalah kehendak dan tatanan Allah dan tradisi rasul.
Gibb, selanjutnya membandingkan antara Hukum Islam dengan hukum Romawi dan hukum modern pada umumnya, bahwa Hukum Islam bukanlah hasil karya budaya manusia yang bersifat gradual. la adalah ketentuan agama, sebagaimana dikatakannya: “Artinya: tidak seperti hukum yang diwarisi Kristen dan Romawi, Hukum Islam memasukkan ke dalam wewenangnya semua jenis hubungan, baik terhadap Tuhan maupun terhadap manusia, termasuk pelaksanaan kewajiban agama dan pembayaran zakat, maupun lembaga lembaga domestik, sipil, ekonomi, ataupun politik .... Akibatnya, Hukum Islam tidak dapat dianggap (sebagaimana hukum Romawi dan hukum modern) sebagai endapan yang bertahap dari pengalaman historitis manusia. Fungsinya yang utama adalah menglasifikasikan perbuatan perbuatan baik dan buruk, dalam standar itu adalah persoalan yang sekunder.”
Untuk memperkuat teori Gibb di atas, dapat dikemukakan pula pendapat para orientalis Barat yang berpendapat sama. Misalnya disampaikan oleh Charles J. Adams, seorang profesor dan direktur Islamic Studies Montreal Canada, mengemukakan bahwa hukum Islam merupakan subjek terpenting dalam kajian Islam karena sifatnya yang menyeluruh; meliputi semua bidang hidup dan kehidupan muslim. Berbeda dengan cara memelajari hukum hukum lain, studi tentang Hukum Islam memerlukan pendekatan dan pemahaman khusus, sebab yang termasuk bidang Hukum Islam itu bukan hanya apa yang disebut dengan istilah law dalam hukum Eropa, tetapi juga tentang masalah sosial lain di luar wilayah yang biasanya dikatakan law itu. Orang orang Islam sendiri kata Adams, bukan saja telah memberi kedudukan yang istimewa kepada Hukum Islam, tetapi juga telah memelajarinya secara seksama dan telah berhasil pula merumuskannya menjadi garis garis atau kaidah hukum yang mengatur tingkah laku manusia dalam segala bidang hidup dan kehidupan.
Hukum Islam dan Teori Receptie in Complexu
Teori receptie in complexu, dikemukakan oleh Prof Mr. Lodewijk Willemstian Van den Berg (1845 1927), seorang ahli di bidang Hukum Islam yang tinggal di Indonesia pada tahun 1870 1887. la mengatakan, bahwa bagi orang Islam berlaku penuh Hukum Islam, sebab mereka telah memeluk agamanya, walaupun dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan penyimpangan. Juga mengusahakan agar hukum kewarisan dan hukum perkawinan Islam dijalankan oleh hakim hakim Belanda dengan bantuan para penghulu qadhi Islam. Pemikiran itu berkembang karena memang sebelum Belanda datang ke Indonesia, dengan misi dagang VOC, di sini telah banyak kerajaan Islam yang memberlakukan Hukum Islam. Paham yang dianut (legal system) pada umumnya bermazhab Imam Syafi'i. Kerajaan kerajaan tersebut telah menerapkan norma norma Hukum Islam dan masyarakat sudah memberlakukannya.
Dengan fakta ini, para ahli hukum Belanda membuat kodifikasi hukum bagi pedoman pejabat untuk menyelesaikan urusan hukum bagi rakyat pribumi yang tinggal di wilayah kekuasaannya. Beberapa kodifikasi hukum yang terkenal saat itu antara lain. 1. Compendium Freijer, merupakan kitab hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam oleh pengadilan VOC (Resolutie der Indisch Regering, tanggal 25 Mei 1760). 2. Cirbonsch Rechtboek, disusun atas usul Residen Cirebon, Mr. P. C. Hosselaar (1757 1765). Compendium der Voornaamste Javaanisch Wetten Nauwkeuring Getrokken uit het Mohammedaansch Wetboek Mogharraer, disusun untuk Landraad semarang (1750). 4. Compendium Indlansch Wetten bij de Hoven van Bone en Goa, disahkan oleh VOC untuk daerah Makassar (Sulawesi Selatan).
Berdasarkan kenyataan ini, Van den Berg sesungguhnya telah berjasa terhadap masyarakat pribumi yang beragama Islam karena ia telah merumuskan keberadaan Hukum Islam tersebut dengan teori receptio in complexu, artinya hukum yang berlaku bagi suatu kasus adalah menurut agama yang dianut di daerah setempat. Ia juga berjasa dalam penerbitan Staatsblaad (Stbl. 1882 No. 152) yang mengakui kewenangan badan badan peradilan agama yang berbeda namanya di setiap tempat, untuk menjalankan yurisdiksi hukumnya berdasarkan Hukum Islam. Jasa Van den Berg tidak hanya itu, ia pun telah berjasa dalam memberikan pernahaman yang lebih baik terhadap Hukum Islam bagi pejabat pejabat pemerintah Hindia Belanda dan para hakimnya. Hasil karya pernikirannya berupa tulisan yang berkaitan dengan Islam dan hukurn Islam telah berguna dalam meningkatkan pengertian terhadap norma Hukum Islam yang berlaku di Indonesia, misalnya tentang asas asas Hukum Islam (Mohammedaansche Recht, 1882) menurut ajaran Imam Syafi'i dan Hanafi. Kemudian tulisan tentang hukum famili dan hukum waris Islam di Jawa dan Madura (1892), yang berisi tentang Hukum Islam yang berlaku bagi orang Indonesia yang beragama Islam dengan beberapa catatan penyimpangan yang dilakukan oleh umat Islam sendiri. la juga berhasil menerjemahkan kitab berbahasa arab Fathulqorib dan Minhaajutthalibin ke dalam bahasa Prancis.
Hukum Islam dan Teori Receptie
Teori receptie diperkenalkan oleh Prof Christian Snouck Hurgronye (185 7 1936), sebagai penasihat pemerintah Hindia Belanda, (1898) berkenaan dengan Islam dan masyarakat. Teori ini tertuang dalam pasal 134 Indiche Straaftregeling (IS) ayat 2 yang terkenal sebagai pasal receptie. Sebelum menentukan kebijakannya di bidang hukum Islam di Indonesia, ia sengaja belajar agama Islam di Mekkah dengan menggunakan nama samaran "Abdul Gafar" (1884 1885) dan hampir menunaikan ibadah haji. Memasuki Mekkah menyamar berprofesi sebagai dokter mata dan fotografer. Selain ahli dalam Hukum Islam, ia juga menguasai hukum adat di wilayah Indonesia bagian utara, tepatnya Aceh. Hal ini terepresentasikan dalam tulisan¬-tulisannya, berjudul De Atjehers dan De Gojaland.
Hugronye memasuki wilayah Aceh dan Jawa Barat dalam upaya mengkaji sikap pemerintah Hindia Belanda terhadap kebijakan umat Islam yang begitu fanatik terhadap agamanya. Sikap umat Islam ini tertuang dalam Stbl. 1882 No. 152 yang melahirkan teori receptio in complexu. Ia mengomentari bahwa kebijakan pemerintah Hindia Belanda terhadap masyarakat Islam selama ini telah merugikan pemerintah jajahannya sendiri. Maka, dalam kedudukannya sebagai penasihat pemerintah Hindia Belanda, Snouck Hurgronye memberikan nasihatnya yang terkenal dengan Islam Policy. Kebijakan yang dirumuskan Hurgronye terhadap Hukum Islam dan masyarakatnya, yaitu:
Pertama, Bidang agama, pemerintah Hindia Belanda hendaknya memberikan kebebasan secara jujur dan secara penuh tanpa syarat bagi orang orang Islam. Kedua, Bidang kemasyarakatan, pernerintah Hindia Belanda hendaknya menghormati adat istiadat dan kebiasaan rakyat yang berlaku, dengan membuka jalan yang dapat menuntut taraf hidup rakyat jajahan pada suatu kemajuan yang tenang ke arah mendekati pemerintah Hindia Belanda, dengan memberikan bantuan kepada mereka yang menempuh jalan ini. Ketiga, Bidang ketatanegaraan, mencegah timbulnya ideology yang dapat membawa dan menumbuhkan gerakan Pan Islamisme, yang mempunyai tujuan untuk mencari kekuatan-kekuatan lain dalam perlawanan menghadapi pemerintah Hindia Belanda.
Kebijakan tersebut melahirkan teori receptie, artinya Hukum Islam dapat diterima sebagai hukum apabila telah dilaksanakan oleh masyarakat adat, maka kemudian berlakulah sebagai hukum adat. Selanjutnya, di Indonesia dikembangkan 19 wilayah hukum adat yang berbeda satu dengan lainnya. Pada pasal 134 IS disebutkan bahwa bagi orang orang pribumi, kalau mereka menghendaki, diberlakukan Hukum Islam selama hukum itu telah diterima oleh masyarakat hukum adat. Pasal ini sering disebut pasal receptie. Dalam kaitan hukum Islam, kebijakan pemerintah Hindia Belanda ini merupakan usaha untuk melumpuhkan dan menghambat pelaksanaan
Hukum Islam dengan cara sebagai berikut: Dalam hukum pidana, Tidak memasukkan hudud dan qishas. Hukum pidana yang berlaku bersumber langsung dari Wetboek van Strafrecht dari Nederland yang berlaku sejak Januari 1919 (Stbl. 1915: 732). Dalam hukum tata negara, Ajaran Islam yang menyangkut hal tersebut dihilangkan sekaligus. Pengajian Alquran dan As Sunnah untuk memberikan pelajaran agama dalarn politik kenegaraan atau ketatanegaraan dilarang. Dalam hukum muamalah, Dipersempit hanya menyangkut hukum perkawinan dan hukum kewarisan. Hukum kewarisan Islam pun mulai diminimalisir dengan langkah langkah sistematis. Misalnya, menanggalkan wewenang raad agama di Jawa dan Kalimantan Selatan untuk mengadili masalah kewarisan; memberi wewenang memeriksa masalah waris kepada landraad, dan melarang penyelesaian dengan Hukum Islam, jika di tempat adanya perkara tidak diketahui bagaimana bunyi hukum adat.
Berpegang pada Islam Policy itu, sejak 1922 dirumuskan re organisasi badan¬-badan peradilan yang ada melalui perubahan pasal pasal IS. Sejak itu pula, dibentuk sebuah komisi tentang peremajaan kekuasaan peradilan agama. Komisi tersebut diketuai oleh Ter Haar, yang kemudian mengeluarkan kebijakan tentang kewarisan dalam Stbl. 1937 untuk mengurangi kewenangan peradilan agama dibidang kewarisan bagi umat Islam.
Menurut Alfian, teori receptie berpijak pada asumsi dan pemikiran bahwa jika orang orang pribumi memunyai kebudayaan yang sama atau dekat dengan kebudayaan Eropa, maka penjajahan atas Indonesia akan berjalan dengan baik dan tidak akan timbul guncangan guncangan terhadap kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Oleh karena itu, pernerintah Belanda harus mendekati golongan golongan yang akan menghidupkan hukum adat dan memberikan dorongan kepada mereka, untuk mendekatkan golongan hukum adat kepada pemerintahannya.
Hukum Islam dan Teori Receptie Exit
Penentangan terhadap teori receptie yang dikembangkan oleh Hurgronye tidak hanya selama Indonesia dijajah oleh Belanda, tetapi berlanjut hingga Indonesia memasuki kemerdekaan. Para ahli hukum Indonesia mencermati betul teori tersebut yang mengakibatkan masyarakat Indonesia menjauhi Hukum Islam. Salah satu yang menentangnya adalah Prof Dr. Hazairin, S.H., dalam bukunya “Tujuh Serangkai tentang Hukum. la berpendirian bahwa setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan 17 Agustus 1945, melalui Pasal 11 Aturan Peralihan Undang Undang Dasar 1945 yang menyatakan hukum warisan kolonial Belanda, masih tetap berlaku selama jiwanya tidak bertentangan dengan Undang¬Undang Dasar, maka seluruh peraturan perundang undangan pernerintah Hindia Belanda yang mendasarkan pada teori receptie dianggap tidak berlaku lagi karena jiwanya bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945. Teori receptie harus exit karena bertentangan dengan Alquran dan As Sunnah. Hazairin menyebutkan teori receptie adalah "teori iblis".
Pendapat Hazairin dalam hal ini didasarkan pada pembukaan Undang Undang Dasar 1945 (alinea III) yang menyatakan, "Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang; bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya." Demikian juga (alinea IV menyebutkan, "Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa." Kedua rumusan tersebut menggambarkan bahwa negara Indonesia sangat akrab dengan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan agama." Menurut Hazairin, istilah Yang Maha Esa merupakan istilah kompromi, menggantikan istilah "ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Hukum Islam bagi pemeluk pemeluknya." Walaupun telah diganti dengan istilah "Ketuhanan Yang Maha Esa," tidak berarti dapat menyingkirkan Hukum Islam atau hukum agama. Dengan istilah tersebut, hukum agama yang diberlakukan di Indonesia bagi penganut penganutnya bukan Hukum Islam saja, tetapi hukum agama agama lain juga berlaku.
Berdasarkan pemikiran dan penentangannya terhadap teori receptie, Hazairin memberikan kesimpulan bahwa:
Pertama, Teori receptie dianggap tidak laku dan exit dari tata hukum negara Indonesia sejak tahun 1945, melalui merdekaan bangsa Indonesia yang memberlakukan UUD 1945 sebagai dasar gara Indonesia. Demikian juga setelah adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kembali kepada ULTD 1945. Kedua, Sesuai dengan UUD 1945 pasal 29 ayat maka negara Republik Indonesia berkewajiban membentuk hukum Nasional salah satu sumbernya adalah hukum agama dan Ketiga, Sumber hukum Nasional selain agama Islam, juga agama lain bagi pemeluk agamanya masing masing, di bidang hukum perdata maupun hukum pidana sebagai hukum Nasional.
Hukum Islam dan Teori Receptio a Contrario
Teori ini dikembangkan oleh H. Sayuti Thalib, seorang pengajar utama Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Ia menulis buku tentang Receptio a Contrario: “Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam." Buku ini mengungkapkan perkembangan Hukum Islam dari segi politik hukum, berkaitan dengan politik hukum penjajah Belanda selama di Indonesia hingga melahirkan teori receptio in complexu; teori receptie; perubahan dan perkembangan Hukum Islam dalam praktik; sekaligus juga membicarakan teori receptio a contrario sebagai pemikirannya. Teori ini muncul berdasarkan hasil penelitian terhadap hukum perkawinan dan kewarisan yang berlaku saat itu, dengan mengemukakan pemikirannya sebagai berikut:
1. Bagi orang Islam berlaku Hukum Islam;
2. Hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita cita hukum, cita cita batin, dan moral.
3. Hukum adat berlaku bagi orang Islam jika tidak bertentangan dengan agama Islam dan Hukum Islam.
Teori ini disebut dengan nama reception a contrario karena mernuat teori tentang kebalikan (contra) dari teori receptie. Sayuti Thalib berpendirian bahwa di negara Indonesia yang mendasarkan hukumnya pada Pancasila dan UUD 1945, semestinya orang yang menaati hukum agamanya. Sila pertama dari Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, berisi maksud dan tujuan tersebut. Di samping itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional bersama Fakultas Hukum Ul, IAIN Antasari Banjarmasin, dan laporan penelitian Direktorat Pembinaan Administrasi Ditjen Pembinaan Badan Peradilan Departemen Kehakiman, menghasilkan gambaran bahwa cita cita moral, cita cita batin, dan kesadaran hukum untuk berhukum dengan hukum Nasional Indonesia harus tidak bertentangan dengan cita cita Hukum Islam sehingga akan berkembang keinginan batin dan kesadaran batin bagi orang Islam menaati Hukum Islam.
Hubungan antara Hukum Islam dengan hukum adat sangat akrab. Hukum Islam mempunyai kedudukan inti dan mendasar. Hal tersebut dapat dipahami karena masyarakat tersebut beragama Islam. Sayuti Thalib dalarn menemukan dan mengemukakan rumusan teori receptio a contrario mendasarkan pada asas-asas sebagai berikut:
a). Pada prinsipnya dalam kaitannya dengan perintah Tuhan dan rasul, kalau diformulasikan, perintah itu berarti wajib.
b). Larangan pada dasarnya adalah ketidakbolehan untuk dikerjakan (haram); dan
c). Adat kebiasaan (urf) dapat dijadikan hukurn selama tidak bertentangan dengan Hukum Islam (al 'adah muhakkamah).
Hukum Islam Dan Teori Eksistensi
Teori Eksistensi ini dikemukakan oleh H. Ichtijanto S.A., dosen pengajar mata kuliah Kapita Selekta Hukurn Islam dan Sejarah Hukum Islam pada Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia. la berpendapat, bahwa teori eksistensi dalarn kaitannya dengan hukurn Islam adalah teori yang menerangkan tentang adanya hukurn Islam di dalarn hukurn Nasional. Teori ini mengungkapkan, bentuk eksistensi hukurn Islam sebagai salah satu sumber hukum Nasional ialah sebagai berikut:
1). Merupakan bagian integral dari hukum Nasional Indonesia;
2). Keberadaan, kemandirian, kekuatan, dan wibawanya diakui oleh hukurn Nasional serta diberi status sebagai hukum Nasional;
3). Norma norma hukum Islam (agama) berfungsi sebagai penyaring bahan bahan hukum Nasional Indonesia; dan
4). Sebagai bahan utama dan unsur utama hukum Nasional Indonesia.
Hukum Nasional adalah hukum yang bersumber pada Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Negara Indonesia mengakui atas ke bhineka an yang mewujud dalam kehidupan beragama dan sistem hukum Indonesia yang bersumber pada hukum adat, Hukum Islam, dan hukum barat. Hukum Islam merupakan salah satu sumber hukum yang masuk dalam sistem hukum Nasional. Dalam kenyataanya di masyarakat, Hukum Islam masih tetap diberlakukan baik secara individual maupun kolektif Oleh karena itu, jelas sekali, Hukum Islam eksis di dalam hukum Nasional Indonesia.

Prospek Penegakkan Hukum Islam Di Indonesia
Pelaksanaan hukum Islam di Indonesia dapat dilakukan melalui berbagai jalur iman dan taqwa, Perundang-undangan, pilihan hukum, penelitian dan jalur pembinaan. Jalur pertama adalah jalur iman dan taqwa, melalui jalur ini pemeluk agama Islam dan Negara Republik Indonesia dapat melaksanakan hukum Islam yang merupakan bagian dan berasal dari agama Islam. Hal ini berkaitan dengan bidang ibadah, intensitas pelaksanaanya tergantung kepada kualitas keimanan dan ketaqwaan yang ada pada diri muslim yang bersangkutan, kalau imannya baik dan taqwanya benar, hukum Islam akan berjalan dalam masyarakat muslim yang anggota-anggotanya beriman dan bertaqwa, pelaksanaan hukum Islam melalui jalur ini dijamin oleh Negara Republik Indonesia yang terdapat dalam pasal 29 ayat (2) UUD 1945.
Jalur kedua adalah peraturan Perundang-undangan telah ditunjuk hukum perkawinan, hukum kewarisan, hukum perwakafan sebagai hukum ibadah tersebut di atas yang sanksinya diberi oleh masyarakat atau anggota masyarakat yang bersangkutan, melalui jalur kedua ini sanksi diberi oleh penyelenggara negara melalui Peradilan Agama sebagaimana dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Jalur ketiga hukum Islam Bidang Mu’amalah dapat dilakukan jalur pilihan. Misalnya, dalam transaksi pinjam-meminjam melalui pilihan Perbankan. Yaitu Bank Mu’amalah Indonesia, BNI Syari’ah, Bank Mandiri Syari’ah dan sebagainya. Jalur keempat melalui jalur penelitian yaitu pada barang-barang makanan yang diserahkan kepada Lembaga Pusat Penelitian Obat Dan Makanan (LPPOM). Jalur kelima melalui pembinaan hukum, melalui pembinaan, hukum Islam akan berlaku dan dilaksanakan oleh umat Islam. Tapi bisa jadi pembinaan hukum kurang efektif terhadap perkembangan hukum Islam karena kondisi masyarakat.
Pada keadaan-keadaan tertentu perkembangan hukum Islam mungkin tertinggal oleh perkembangan unsur-unsur lainnya dari masyarakat serta kebudayaannya, atau mungkin hal yang sebaliknya yang terjadi. Apabila terjadi hal demikian, maka terjadilah suatu keadaan dimana terjadi ketidakseimbangan dalam perkembang lembaga-lembaga kemasyarakatan yang mengakibatkan terjadinya kepincangan-kepincangan (W.F. Ogbun, 1966 : 200 ). Tertinggalnya perkembangan hukum Islam oleh unsur-unsur sosial lainnya, atau sebaliknya terjadi oleh karena hakikatnya merupakan suatu gejala yang wajar atau alamiah di dalam suatu masyarakat bahwa terdapat perbedaan antara pola-pola perikelakuan yang diharapkan oleh kaidah-kaidah hukum dengan pola-pola yang diharapkan oleh kaidah-kaidah sosial lainnya. Hal ini terjadi oleh karena hukum Islam (Fiqh) pada hakikatnya disusun oleh sebagian kecil dari masyarakat yang pada suatu ketika mempuyai kemampuan. Walaupun mereka terdiri dari orang-orang yang dapat dianggap alim dan mewakili masyarakat, namun adalah tak mungkin mengetahui, menyadari dan merasakan kepentingan-kepentingan seluruh warga masyarakat. Oleh karena itu ada perbedaan antara kaidah hukum di satu pihak, dengan kaidah-kaidah sosial lainnya di lain pihak merupakan ciri yang tak dapat dihindarkan dalam masyarakat. Namun bisa jadi tertinggalnya hukum Islam terhadap bidang-bidang lainnya baru terjadi apabila hukum tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat pada suatu ketika tertentu.
Ada jalur lain dalam aktualisasi dan pengembangan Hukum Islam, yaitu melalui pranata sosial. Menurut Kluchon, pranata sosial adalah keseluruhan cara hidup manusia (Clyde Cluckhon, 1984: 69) yang dihasilkan dari kombinasi antara reaksi manusia terhadap lingkunganya yang didasarkan pada nilai-nilai yang dianut. Oleh karena itu Hukum Islam yang mempunyai daya elastisitas sejalan dengan perkembangan pranata sosial. Semakin beragam kebutuhan hidup manusia dan semakin beragam pranata sosial, maka semakin berkembang pula hukum Islam. Hal ini menunjukkan, terdapat korelasi positif antara perkembangan pranata sosial dengan pemikiran ulama secara sistematis. Atau sebaliknya, penyebaran produk pemikiran ahli hukum Islam (fuqaha) yang mengacu kepada firman Allah melahirkan berbagai pranata sosial. Misalnya muncul fiqh lingkungan hidup, fiqh kesehatan, fiqh ekonomi dan sejenisnya meskipun tidak selalu dinamakan fiqh. Ali Yafi menyebutnya fiqh sosial, merupakan produk pemikiran seorang ulama fiqh dalam memberi makna Islami terhadap pertumbuhan dan perkembangan pranata sosial di Indonesia.
Pelaksanaan hukum Islam di Indonesia sangat di pengaruhi oleh hukum local yang berlaku sebelumnya. Hasil dari interaksi antara hukum Islam dengan kaidah-kaidah lokal ini membentuk pola yang beragam. Sebagaimana hasil penelitian Amir Syarifuddin, dalam hal hubungan antara hukum Islam dengan kaidah-kaidah lokal di adat minangkabau memiliki pola sebagai berikut:
1. Secara keseluruhan, kaidah adat diterima oleh hukum Islam dan untuk selanjutnya menjadi hukum Islam.
2. Hukum Islam mengubah kaidah adat seluruhnya dalam arti hukum Islam menggantikan hukum adat, sehingga hukum adat tidak berlaku lagi untuk selanjutnya.
3. Hukum Islam membiarkan kaidah hidup tanpa usaha penyerapanya kedalam hukum Islam. Hal ini pada umumnya berlaku dalam hukum mu’amalah. Pranata itu merupakan perwujudan interaksi sosial di dalam masyarakat Islam untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Interaksi sosial itu berpatokan dan mengacu pada keyakinan (kesepakatan tentang benar dan salah), nilai (kesepakatan tentang yang mesti dilakukandan mesti ditinggalkan), yang dianut oleh mereka. Ia merupakan perwujudan amal sholeh sebagai ekspresi keimanan dalam interaksi social Kehidupan masyarakat Islam dewasa ini dikenal sebagai pranata sosial yang bercorak keIslaman, pranata-pranata itu meliputi berbagai bidang kehidupan, yang senantiasa mengalami perkembangan dari waktu ke waktu.
Menurut Cik Hasan Bisri, pranata-pranata itu meliputi pranata yang dekat dengan keyakinan yang dianut, sehingga memiliki tingkat kepekaan yang sangat tinggi, seperti pranata peribadatan, pranata kekerabatan dan pranata pendidikan. Ada pula pranata yang relatif agak jauh dari keyakinan, sehingga relatif lurus atau netral seperti pranata ekonomi dan pranata keilmuan, sehingga proses adaptasinya lebih longgar dan labelnya sebagai hukum Islam agak lurus. Selanjutnya pranata itu mengalami kongkretisasi dalam struktur masyarakat dalam bentuk organisasi sosial sebagai wahana untuk memenuhi kebutuhan hidup secara kolektif dan terencana.


Penutup
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan mengenai prinsip-prinsip dan azas-azas hukum Islam diatas, yang menjadi inti pemahaman prinsip-prinsip dan azas-azas hukum Islam dpat diketahui atau diarahkan pada tujuan penyariatan Hukum Islam itu sendiri dan apa yang akan dibawa hukum Islam untuk mencapau tujuannya. Hal tersebut adalah sebagai berikut :
1. Islam telah meletakkan di dalam undang-undang dasarnya, beberapa prinsip yang mantap dan kekal, seperti prinsip menghindari kesempitan dan menolak mudarat, wajib berlaku adil dan bermusyawarah dan memelihara hak, menyampaikan amanah, dan kembali kepada ulama yang ahli untuk menjelaskan pendapat yang benar dalam menghadapi peristiwa dan kasus-kasus baru, dan sebagainya berupa dasar-dasar umum yang merupakan tujuan diturunkannya agama-agama langit, dan dijaga pula oleh hukum-hukum positif dalam upaya untuk sampai kepada pengwujudan teladan tertinggi dan prinsip-prinsip akhlak yang telah ditetapkan oleh agama-agama namun hukum-hukum masih tetap menghadapi krisis keterbelakangan dari undang-undang atau hukum yang dibawa oleh agama-agama langit.
2. Dalam dasar-dasar ajarannya, Islam berpegang dengan konsisten pada perinsip mementingkan pembinaan mental individu khususnya, sehingga ia menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat, karena apabila individu telah menjadi baik maka masyarakat dengan sendirinya akan baik pula.
3. Hukum Islam, dalam berbagai ketentuan hukumnya, berpegang dengan konsisten pada prinsip memelihara kemaslahatan manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat.
4. Dalam penerapan/penegakkan Hukum Islam di Indonesia memegang peranan penting tentang teori Penerimaan Otoritas Hukum, bahwa orang islam ia meneriam sebagai agamanya maka, ia akan menerima otoritas Hukum Islam terhadap dirinya.
5. Penerapan Hukum Islam berikutnya yang tak kalah penting yaitu, Teori Receptio in Complexu. Dimana umat Islam berlaku penuh Hukum Islam dalam dirinya sebab mereka telah memeluk agamanya.



DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Mujiono, Dialektika Hukum Islam Perubahan Social Sebuah Refleksi Sosiologis Atas Pemikiran Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Penerbit UMS, Surakarta, 2003.
Abdullah, Abdul Gani, Aktualisasi Hukum Islam, Jurnal Dua Bulanan Mimbar Hukum, No. 30, Tahun VII, Al-Hikmah & Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Jakarta, 1977.
Cluchon, Clyde, Cermin Bagi Manusia, Dalam Parsudi Suparlan (Edt.), Manusia, Kebudayaan Dan Lingkungannya, Rajawali, Jakarta ,1984. Departemen Agama Ri, Amal Bakti Depertemen Agama RI 3 Januari 1996 – 3 Januari 1987, Jakarta, 1987.
Hasan Bisri, Cik, Hukum Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, PT. Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1998.
____________________, Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, PT. Remaja Rosyda Karya, Bandung, 1997.
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentaliteit Dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta, 1974.
M. Poloma, Margaret, Sosiologi Kontemporer, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Penerbit Liberti Yogyakarta, 1999.
Ok. Chairuddin, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1991.
Soekanto, Soerjono dan Purbacaraka, Purnadi, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1982.
Soekanto, Soerjono, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994.
____________________, Sosiologi Suatu Pengantar, Yayasan Penerbit UI, Jakarta, 1978.
Syarifuddin, Amir, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Gunung Agung, Jakarta, 1984.
Yafie, Ali, Menggagas Fiqh Social, Mizan, Bandung, 1994.
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia),Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1993.
Rahmat Rasyidi dan Rais Ahmad, formalisasi syari’at islam dalam perspektif hukum nasional,Ghalia Indonesia, Edisi Kesatu 2006.
Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994.

Hasbi Ash-Shiddiqie, Pengantar Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1958.

Hasbi Ash-Shiddiqie, Falsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Cet-V, Jakarta, 1993.

Suryadi, Kamus Baru Bahasa Indonesia, Usaha Nasional, Surabaya, 1980.

Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, LPPM Unisba, Bandung, 1995.
Yusuf Qardhawi, Malamih Al-Mujtama Al-Muslim Alladzi Nansyuduhu, Maktabah Wahbah, Kairo, 1993.
Ichtijanto S.A., Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, dalam: Hukum Islam di Indonesia, Perkembangan dan Pembentukan, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991,

Charle J. Adams (1965: 316) dikutip Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu.Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, PT RajaGrafindio Persada, Jakarta, Cet. 7, 1999.

Arso Sostroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, tt,

Jumat, 17 Desember 2010

pranata hukum islam

Revisi



Asas-Asas dan Teori Penegakkan Hukum Islam
Oleh : Abdul Muher


Abstrak :

Rumusan UUD 1945 pasal 29 ayat 1 itu sebagai berikut:
Pertama, di negara RI tidak boleh ada aturan yang bertentangan dengan agama. Kedua, negara RI wajib melaksanakan Syari’at Islam bagi umat Islam, Syari’at Nasrani bagi Nasrani dan seterusnya, sepanjang pelaksanaannya memerlukan bantuan kekuasaan negara. Ketiga, setiap pemeluk agama wajib menjalankan syari’at agamanya secara pribadi dalam hal-hal yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara.
Azas-azas Hukum Islam.
Azas Nafyul Haraji, Azas Qillatu Taklif, Azas Tadarruj: Bertahap (gradual), Azas Kemaslahatan Manusia,
Azas Keadilan Merata, Azas Estetika. Azas Menetapkan Hukum Berdasar Urf yang Berkembang Dalam Masyarakat, Azas Syara Menjadi Dzatiyah Islam.
Syari’at Islam Dan Teori-Teori Penegakkan Hukum Islam Di Indonesia
Syariat Islam tentang Penataan Hukum
Ajaran tentang penataan hukum ini menyatakan bahwa bagi setiap orang yang beriman agar menjalankan syariatnya secara kaffah (Q.S. 2 Al Baqarah: 208). Abdul Qadir Audah dalam bukunya “Islam Ditengah Kejahilan Ummat Dan Ulamanya” berkata: Orang yang tidak memutuskan perkara menurut hukum Allah, ada tiga macam: Pertama, Karena kafir atau ingkar dan bencinya kepada hukum Allah dan mengingkari adanya kebaikan padanya, orang yang semacam ini kafir (Qs. Al Maidah, 44). Kedua, Karena menuruti hawa nafsunya meskipun mereka memandang adanya kebaikan pada hukum Allah, tapi menganggap ada hukum lain yang lebih baik dan lebih sesuai, orang semacam ini dinamakan zalim (Qs. Al Maidah, 45). Ketiga, Orang yang berkayakinan bahwa hukum Allah-lah yang paling baik dan paling adil tetapi memilih hukum selainnya karena manfaat dunia, sanggup mendurhakai hukum Allah karena dunia (harta, kuasa dan wanita), mereka ini disebut fasik atau pendurhaka (Qs. Al Maidah, 47).
Syariat Islam dan Teori Penerimaan Otoritas Hukum
bahwa orang Islam jika menerima Islam sebagai agamanya, ia akan menerima otoritas Hukum Islam terhadap dirinya. Hukum Islam tidak dapat dilepaskan agama Islam dan tidak dapat dipisahkan dari masyarakat Islam, bahkan Hukum Islamlah yang telah berhasil menjaga tetap utuhnya masyarakat Islam.
Syariat Islam dan Teori Receptie in Complexu
Teori receptie in complexu, bahwa bagi orang Islam berlaku penuh Hukum Islam, sebab mereka telah memeluk agamanya, walaupun dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan penyimpangan. Paham yang dianut (legal system) pada umumnya bermazhab Imam Syafi'i.
Teori Receptie, artinya Hukum Islam dapat diterima sebagai hukum apabila telah dilaksanakan oleh masyarakat adat, maka kemudian berlakulah sebagai hukum adat.






























Pendahuluan
Indonesia adalah Negara hukum (rechtstaats), bukan Negara kekuasaan (machstaats). oleh karena itu, setiap penyelenggaraan Negara dan pemerintahannya selalu didasarkan pada peraturan dan perundang-undangan. Negara Indonesia tidak menganut paham teokrasi yang mendasarkan pada ideology paham tertentu dan tidak juga beraliran paham sekuler yang tidak memperdulikan agama. Relasi agama dan Negara di Indonesia amat sinergis dan tidak pada posisi dikotomi yang memisahkan antara keduanya. Legitimasi keberadaan agama diwilayah hukum Negara kesatuan republic Indonesia (NKRI) serta untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing, dilindungi secara konstitusional. Pasal 29 ayat 1dan 2 UUD 1945.
Dalam kerangka ini pula, maka penjelasan Prof. Dr. Hazairin, SH tentang pasal 29 ayat 1 UUD 1945 bahwa: “Negara berkewajiban untuk mengatur dan mengawasi agar warga negara Indonesia menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran agama masing-masing,” sangat relevan dengan kondisi Indonesia. Dalam buku “Demokrasi Pancasila”. Hazairin menafsirkan rumusan UUD 1945 pasal 29 ayat 1 itu sebagai berikut:
Pertama, di negara RI tidak boleh ada aturan yang bertentangan dengan agama. Kedua, negara RI wajib melaksanakan Syari’at Islam bagi umat Islam, Syari’at Nasrani bagi Nasrani dan seterusnya, sepanjang pelaksanaannya memerlukan bantuan kekuasaan negara. Ketiga, setiap pemeluk agama wajib menjalankan syari’at agamanya secara pribadi dalam hal-hal yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara.
Jaminan keberagamaan ini dipertegas lagi dalam garis-garis besar haluan Negara (GBHN), sebagai landasan operasionalnya. hal ini bertujuan untuk memantapkan fungsi, peran, dan kedudukan agama sebagai landasan moral dan spiritual dalam penyelenggaraan Negara, serta merupakan agar segala peraturan perundang-undangan tidak bertentangan dengan moral-moral agama.
Sesungguhnya, baik UUD 1945 maupun GBHN sangat akomodatif terhadap kepentingan warga Negara dalam menjalankan ibadahnya. Agama harus menjadi landasan moral, karenanya setiap peraturan dan perundang-undangan yang bertentangan dengan moral dan agama mesti dikesampingkan. Syari’at islam, selainmerupakan landasan moral, juga dapat menjadi regulator untuk menata kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Secara normative, menjalankan syari’at islam secara kaffah merupakan perintah Allah, sebagaimana firman-Nya:

“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (2:208)

Berdasarkan perintah ini, umat islam di Indonesia selalu menuntut pemberlakuan syari’at islam dalam segala aspek kehidupan karena sampai saat ini pelaksanaannya masih bersikap parsial. Penerapan syari’at islam baru sebatas maslah ubudiyah dan muamalah hukum privat/perdata. Sedangkan dalam masalah hukum public, terutama yamg berkaitan dengan jinayah (hukum pidana islam), belum dijalankan sama sekali.
Pada tataran teologis, sesungguhnya memberlakukan syari’at islam secara kaffah merupakan suatu kewajiban, baik secara individual (fardhu ain) maupun kolektif (fardhu kifayah). Sikap tersebut sebagai refleksi dari akidah dan komitmen keislaman terhadap Allah dan Rasul-Nya, setelah mengucapkan syahaadatain, sebagai kontrak yuridis. Sebagai muslim harus menerima, meyakini, dan sekaligus menjalankan syari’at islam tanpa reserve.
Dalam penjelasan tafsir al-azhar membuat imbauan tegas tentang pemberlakuan hukum islam saat mentafsirkan ayat-ayat :


”Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan Allah didalamnya. Dan barangsiapa yang tidak memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (5:47)

Sebagai muslim, tidaklah lalai menjalankan hukum-hukum Allah. Pedoman untuk menjalankan syari’at islam telah disampaikan oleh Allah kepada Rasul-Nya berupa qur’an sebagai kitab terakhir dalam agama samawi setelah diturunkan kitab zabur, taurat, dan injil kepada umat lain. Syari’at umat pada masa lalu dianggap sudah tidak berlaku lagi karena sudah diralat (mansukh) oleh syari’at yang terkhir. Syari’at inilah yang wajib diikuti oleh seluruh umat saat ini dan dimasa mendatang hingga yaumil wa’id. Firman Allah (QS:5/48). yang artinya:
“Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Quran) kepadamu dengan (membawa) kebenaran, yang membenarkan terhadap apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan yang menjaga atasnya (batu ujian terhadap Kitab-kitab yang lain), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka menurut apa yang Allah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan (meninggalkan) kebenaran yang telah datang kepadamu. Bagi tiap-tiap umat diantara kamu, Kami telah menjadikan peraturan dan jalan yang terang, dan sekiranya Allah menghendaki niscaya Dia menjadikan kamu satu umat saja, akan tetapi Dia hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, (karena itu) maka berlomba-lombalah kamu berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah tempat kembalimu semua, lalu Dia memberitahukan kepadamu tentang apa yang kamu perselisihkan dalam urusan itu.”(5:48)

Pada perinsipnya, setiap muslim berpendapat bahwa menjalankan syari’at islam adalah merupakan kewajiban karena tuntutan akidah. Namun demikian, bila syari’at islam menjadi ideology Negara, hal ini sangat dilematis dan selalu menimbulkan pro-kontra pihak-pihak tertentu. Ia sering kali menjadi sumber konflik horizontal yang setiap saat mengundang perdebatan, perselisihan sengit, dan perbedaan pandangan yang sangat tajam.
Timbulnya konflik-konflik sudah dimulai sebelum penjajahan, selama masa penjajahan; hingga bangsa Indonesia memasuki gerbang kemerdekaan. Setelah merdeka, konflik ini berlanjut pada masa orde lama, orde baru, kemudian orde reformasi, dan sampai saat ini masih terus berlangsung. Upaya umat islam Indonesia dalam memperjuangkan syari’at islam, sepanjang sejarahnya, dilakukan oleh tokoh-tokoh islam pada masa sebelum penjajahan dan telah melintas batas berbagai periode sesudahnya. Namun, sampai sekarang belum dianggap berhasil secara maksimal seperti yang dicita-citakan.
Dengan demikian, tuntutan formalisasi syari’at islam jangan hanya sebatas retorika agama. Agama jangan dipolitisasi untuk kepentingan kelompok tertentu, dengan menciptakan jargon-jargon keagamaan ke dalam arena politik. Cita-cita ingin mengaplikasikan syari’at islam juga tidak Cuma lips service politik untuk kepentingan sesaat dalam percaturan politik umat islam. Sikap umat islam Indonesia selama ini masih menerapkan standar ganda atau mendua dalam keberagamaannya. Di satu sisi menginginkan formalisasi syari’at islam sebagai legitimasinya; di sisi lain terdapat keraguan untuk melaksanakannya. Indikasi ini Nampak pada beberapa daerah yang sedang berlomba melakukan formalisai syari’at islam. Aplikasinya hanya sebatas gerakan moral yang bersifat normative; ubudiah dan muamalah belum menyentuh hukum public (jinayah) yang sangat strategis. Kalaupun ada kearah itu, penerapan hukumnya belum efektif seperti yang diharapkan karena belum terdukung oleh substansi hukum islam (hukum perdata islam dan hukum pidana islam) dan kewenangan peradilan agama (mahkamah syari’ah) yang terbatas di bidang perkawinan, kewarisan, perwakafan, hibah, dan wasiat.
Pada era otonomi daerah ini, sesungguhnya sangat kondusif bagi umat islam untuk menata hukum yang lebih sesuai dengan keinginan masyarakat setempat. Demikian juga dari pihak pemerintah, telah menunjukkan sikap yang akomodatif terhadap keinginan umat islam untuk melaksanakan syari’atnya.
Setiap orang yang mengintegrasikan dirinya kepada Islam wajib membentuk seluruh hidup dan kehidupannya berdasarkan syari’at yang termaktub dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Hal tersebut sebagaimana diungkap oleh Yusuf Qardhawi, syari’at Ilahi yang tertuang dalam Al-Quran dan Sunnah merupakan dua pilar kekuatan masyarakat Islam dan agama Islam merupakan suatu cara hidup dan tata sosial yang memiliki hubungan integral, utuh menyeluruh dengan kehidupan idealnya Islam ini tergambar dalam dinamika hukum Islam yang merupakan suatu hukum yang serba mencakup.

Asas-Asas dan Teori Penegakkan Hukum Islam
Pembahasan
Azas-azas Hukum Islam
Azas secara etimologi memiliki makna adalah dasar, alas, pondamen (Muhammad Ali, TT : 18). Adapun secara terminologinya Hasbi Ash-Shiddiqie mengungkapkan bahwa hukum Islam sebagai hukum yang lain mempunyai azas dan tiang pokok sebagai berikut :
1. Azas Nafyul Haraji: meniadakan kepicikan, artinya hukum Islam dibuat dan diciptakan itu berada dalam batas-batas kemampuan para mukallaf. Namun bukan berarti tidak ada kesukaran sedikitpun sehingga tidak ada tantangan, sehingga tatkala ada kesukaran yang muncul bukan hukum Islam itu digugurkan melainkan melahirkan hukum Rukhsah.
2. Azas Qillatu Taklif: Tidak membahayakan taklifi, artinya hukum Islam itu tidak memberatkan pundak mukallaf dan tidak menyukarkan.
3. Azas Tadarruj: Bertahap (gradual), artinya pembinaan hukum Islam berjalan setahap demi setahap disesuaikan dengan tahapan perkembangan manusia.
4. Azas Kemaslahatan Manusia: Hukum Islam seiring dengan dan mereduksi sesuatu yang ada dilingkungannya.
5. Azas Keadilan Merata: Artinya hukum Islam sama keadaannya tidak lebih melebihi bagi yang satu terhadap yang lainnya.
6. Azas Estetika: Artinya hukum Islam memperbolehkan bagi kita untuk mempergunakan/memperhatiakn segala sesuatu yang indah.
7. Azas Menetapkan Hukum Berdasar Urf yang Berkembang Dalam Masyarakat: Hukum Islam dalam penerapannya senantiasa memperhatikan adat/kebiasaan suatu masyarakat.
8. Azas Syara Menjadi Dzatiyah Islam: Artinya Hukum yang diturunkan secara mujmal memberikan lapangan yang luas kepada para filusuf untuk berijtihad dan guna memberikan bahan penyelidikan dan pemikiran dengan bebas dan supaya hukum Islam menjadi elastis sesuai dengan perkembangan peradaban manusia.

Syariat Islam adalah pedoman hidup yang ditetapkan Allah SWT untuk mengatur kehidupan manusia agar sesuai dengan keinginan Al-Quran dan Sunnah. Adapun Abu Zahrah mengemukakan pandangannya, bahwa hukum adalah ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf baik berupa iqtida (tuntutan perintah atau larangan), takhyir (pilihan) maupun berupa wadh’i (sebab akibat). Ketetapan Allah dimaksudkan pada sifat yang telah diberikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan mukalaf. Hasbi Ash-Shiddiqie mendefinisikan hukum secara lughawi adalah “menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sebagaimana hukum-hukum yang lain, hukum Islam memiliki prinsip-prinsip dan asas-asas sebagai tiang pokok, kuat atau lemahnya sebuah undang-undang, mudah atau sukarnya, ditolak atau diterimanya oleh masyarakat, tergantung kepada asas dan tiang pokonya. Secara etimologi (tata bahasa) prinsip adalah dasar, permulaan, aturan pokok.

Syari’at Islam Dan Teori-Teori Penegakkan Hukum Islam Di Indonesia
Syariat Islam tentang Penataan Hukum
Syariat Islam adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasulullah, untuk disampaikan kepada umatnya. la bukan sebuah teori, tetapi merupakan ajaran ilahi yang harus dipelajari, dipraktikkan, dan diberlakukan untuk menetapkan keteraturan dalam kehidupan masyarakat serta keseirnbangan antara kewajiban dan hak. Syariat Islam akan berlaku bagi seluruh umat manusia di dunia sampai akhirat, tetapi bila syariat Islam dijadikan hukum positif di suatu negara, maka keberlakuannya hanya bagi masyarakat Islam. Ajaran tentang penataan hukum dalam kajian ilmu hukum memang merupakan sebuah teori yang dikemukakan oleh ahli hukum berdasarkan proses hukum yang terjadi di masyarakat, tetapi dari segi syariat Islam hal itu tidak saja disebut sebagai teori, melainkan merupakan prinsip yang wajib diberlakukan. Secara konseptual, terdapat prinsip prinsip syariat Islam yang mencakup penataan dan penerapan Hukum Islam bagi orang Islam. Bahwa Allah dan rasul Nya, memerintahkan kepada orang yang beriman supaya menjalankan hukumnya.
Para ahli hukum di Indonesia memelajari tentang teori teori penerapan Hukum Islam melalui sistem hukum yang pernah berlaku di Indonesia selama masa kolonial Belanda. Adanya teori teori ini menggambarkan betapa akrabnya hukurn Islam dengan penduduk, masyarakat, dan bangsa Indonesia. Hal ini merupakan indikator, bagaimana perjuangan masyarakat Indonesia yang beragama Islam ingin memberlakukan syariat Islam sesuai perintah Allah dan rasul Nya. Membicarakan tentang teori teori pemberlakuan Hukum Islam, maka akan sangat berkaitan dengan proses bagaimana unsur unsur Hukum Islam itu dapat menjadi hukum positif atau bagian dari hukum Nasional, di samping hukum adat dan hukum Barat. Adanya politisasi hukurn yang dilakukan oleh kolonial Belanda ke arah mereduksi syariat Islam serta menjauhkan dari masyarakatnya, menyebabkan hukurn Islam sampai saat ini selalu terpinggirkan dalarn proses positivisasi hukum dalam perspektif tata hukum Indonesia. Proses penerapan Hukum Islam yang pernah terjadi pada waktu itu, dirumuskan oleh para ahli hukum Indonesia sebagai teori teori pemberlakuan Hukum Islam dan sekaligus menjadi objek kajian ilmu hukum.
Ajaran Islam tentang penataan hukum memberi gambaran, bagaimana sesungguhnya Islam telah menata kehidupan manusia ini dengan hukum hukum yang telah ditetapkan. Teorl atau ajaran tentang penataan hukum menurut perspektif Islam bersumber pada Allah swt., sebagai pencipta syariat yang disampaikan kepada Rasulullah Muhammad saw. dalam bentuk wahyu, yaitu Alquran. la merupakan hukum normatif bersifat universal dan berlaku untuk seluruh manusia tanpa membedakan kedudukan, ras, politik, dan sosial budaya manusla di dunia hingga akhirat. Keuniversalan hukum Alquran itu memerlukan penjelasan dalam bentuk implementasi hukum yang bersifat praktis. Hal ini dilakukan oleh Rasulullah melalui kehidupan sehari hari, dalarn bentuk hukum normatif bersifat aplikatif, yaitu As Sunnah.
Manakala terjadi ketiadaan atau ketidakjelasan atau kekosongan hukum yang dimaksud oleh Allah dan rasul Nya dalam Alquran dan As Sunnah, maka pembentukan hukumnya diserahkan kepada manusia yang mempunyai syarat ijtihad, melalui metode ijtihad. Berbagai metode ijtihad telah ditempuh oleh para ahli hukurn Islam, yaitu qiyas, istihsan, maslahah mursalah, urf, istishhab, dan sebagainya. Dilihat dari perspektif tata hukum Indonesia, secara hierarkis, dapat dikatakan bahwa kedudukan Alquran merupakan sumber Hukum Islam utama dan pertama. Setelah itu, As Sunnah sebagai sumber hukuun Islam kedua dan ijtihad sebagai sumber hukurn Islam ketiga. Dari sumber Hukum Islam ketiga inilah, Hukum Islam berkembang menjawab persoalan hukum yang tedadi dalam kehidupan sehari hari, sesuai dinamika masyarakat.

Ajaran tentang penataan hukum ini menyatakan bahwa bagi setiap orang yang beriman agar menjalankan syariatnya secara kaffah (Q.S. 2 Al Baqarah: 208). Beberapa prinsip yang tercanturn dalarn Alquran tentang penataan dan penerapan hukurn Islam, menegaskan bahwa orang Islam pada dasarnya diperintahkan supaya taat kepada Allah dan rasul Nya serta kepada pernerintah. Orang Islam tidak dibenarkan mengambil pilihan hukurn lain manakala Allah dan rasul Nya telah menetapkan hukurn yang pasti dan jelas (Q.S. 33 AI Ahzab: 36). Apabila mengambil pilihan hukum selain syariat Islam, maka dianggap zalim, kafir, dan fasik (Q.S. 5 Al Maidah: 44, 45, dan 47). Menurut Abdul Qadir Audah dalam bukunya “Islam Ditengah Kejahilan Ummat Dan Ulamanya” berkata: Orang yang tidak memutuskan perkara menurut hukum Allah, ada tiga macam:
Pertama: Karena kafir atau ingkar dan bencinya kepada hukum Allah dan mengingkari adanya kebaikan padanya, orang yang semacam ini kafir (Qs. Al Maidah, 44).
Kedua: Karena menuruti hawa nafsunya meskipun mereka memandang adanya kebaikan pada hukum Allah, tapi menganggap ada hukum lain yang lebih baik dan lebih sesuai, orang semacam ini dinamakan zalim (Qs. Al Maidah, 45).
Ketiga: Orang yang berkayakinan bahwa hukum Allah-lah yang paling baik dan paling adil tetapi memilih hukum selainnya karena manfaat dunia, sanggup mendurhakai hukum Allah karena dunia (harta, kuasa dan wanita), mereka ini disebut fasik atau pendurhaka (Qs. Al Maidah, 47).
Oleh karena itu, dari segi syariat Islam sernestinya berlaku teori penataan hukum, bahwa bagi setiap orang Islam berlaku Hukum Islam dan wajib menjalankannya sebagai tuntutan akidah (Q.S. 4 An Nisa: 59 dan Q.S. 24 An Nur: 51 dan 52).
Oleh karena itu, tanpa perlu dikaitkan dengan keberadaan hukum di masyarakat, urnat Islam harus tetap berpegang pada prinsip bahwa bagi orang Islam berlaku Hukum Islam. Apabila ternyata dalam masyarakat ada norma-¬norma hukurn adat dan hukum Barat, dengan kekuatan otoritas yang sama atau lebih kuat, maka akan muncul masalah hubungan sistern hukum. Hukurn mana yang akan diterapkan dalarn lingkungan masyarakat, hal ini sangat tergantung pada politik hukum pernerintah atau politik hukurn dalam konstitusi negara. Ketaatan orang Islam terhadap pernerintah dalam menjalankan hukumnya merupakan bagian dari teori penataan hukum atau prinsip syariat Islam. Dalarn posisi seperti ini, maka ketaatan terhadap pernerintah dalam memberlakukan hukurn positif yang bersumber dari hukum adat dan hukum Barat bagi umat Islam harus bersikap selektif, sepanjang hukum itu tidak bertentangan secara prinsipil dengan syariat Islam.



Syariat Islam dan Teori Penerimaan Otoritas Hukum
Teori Penerimaan Otoritas Hukum diperkenalkan oleh seorang orientalis Kristen, H.A.R. Gibb, dalam bukunya The Modern Trends of Islam, seperti dikutip H. Ichtijanto, bahwa orang Islam jika menerima Islam sebagai agamanya, ia akan menerima otoritas Hukum Islam terhadap dirinya. Berdasarkan teori itu, secara sosiologis, orang yang memeluk Islam akan menerima otoritas Hukum Islam dan taat dalam menjalankan syariat Islam. Namun, ketaatan ini akan berbeda satu dengan lainnya dan sangat bergantung pada tingkat ketakwaan masing masing kepada Allah dan rasul Nya. Bisajadi, ada orang Islam mampu menjalankan syariat Islam ini secara kaffah terhadap seluruh aspek kehidupannya; disisi lain, ada juga orang Islam hanya menjalankan syariatnya secara parsial dalam beberapa bidang kehidupan berdasarkan kemauannya.
Menurut H. Ichtijanto, Gibb sendiri tidak menyebutkan bahwa pernikiran tersebut merupakan teorinya. Namun, ungkapan itu didasarkan atas observasi dalam penelitiannya dan merupakan nilai yang mengandung teori amat penting untuk dicermati. Ungkapan teoretis ini dapat berfungsi sebagai jembatan antara ajaran Islam, tentang penataan hukum yang bersumber pada Alquran dan As Sunnah, dengan teori teori penataan hukum bagi masyarakat Islam di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ungkapan tersebut sangat bernilai karena mengungkapkan hakikat keberadaan Hukum Islam serta mengungkapkan sifat dan sikap masyarakat Islam terhadap Hukum Islam itu sendiri. Hal ini juga bemilai untuk memahami hubungan antara Hukum Islam dengan masyarakatnya yang sudah mengaplikasikan syariat Islam.
Selanjutnya, Gibb mengemukakan lagi bahwa Hukum Islam telah memegang peranan sangat penting dalam membentuk serta membina ketertiban sosial umat Islam dalam seluruh aspek kehidupannya, karena ia memunyai landasan landasan keagamaan yang kuat. Hukum Islam telah berftingsi sebagai pengatur kehidupan rohani dan sekaligus pula menjadi suara hati nurani umat Islam. Di bagian lain, ia menjelaskan lagi, Hukum Islam adalah alat yang ampuh untuk mempersatukan efika sosial Islam. Orang Islam secara intemasional bersatu dalarn nilai nilai Hukum Islam. Namun, di dalam masyarakat Islam dikenal pula keanekaragaman paham Hukum Islam lainnya. Dalam masyarakat Islam berkembang toleransi perbedaan paham hukum dan praktik hukum kerena perbedaan perbedaan yang ada, tetapi efika hukumnya sama. Hal ini terjadi karena umat Islam menaati Allah dan rasul Nya serta menjunjung tinggi para ulama yang mengembangkan Hukum Islam sesuai tuntutan zaman dan perbedaan situasi dan kondisi masyarakat.
Teori ini menggambarkan pula bahwa di dalam masyarakat Islam ada Hukum Islam yang ditaati oleh orang orang Islam. Orang orang Islam menaati Hukum Islam karena diperintahkan oleh Allah dan rasul Nya. Oleh karena itu, kalau mereka telah menerima Islam sebagai agamanya, maka mereka akan menerima otoritas Hukum Islam terhadap dirinya. Bagi orang Islam, Hukum Islam adalah kehendak dan tatanan Allah dan tradisi rasul.
Gibb, selanjutnya membandingkan antara Hukum Islam dengan hukum Romawi dan hukum modern pada umumnya, bahwa Hukum Islam bukanlah hasil karya budaya manusia yang bersifat gradual. la adalah ketentuan agama, sebagaimana dikatakannya: “Artinya: tidak seperti hukum yang diwarisi Kristen dan Romawi, Hukum Islam memasukkan ke dalam wewenangnya semua jenis hubungan, baik terhadap Tuhan maupun terhadap manusia, termasuk pelaksanaan kewajiban agama dan pembayaran zakat, maupun lembaga lembaga domestik, sipil, ekonomi, ataupun politik .... Akibatnya, Hukum Islam tidak dapat dianggap (sebagaimana hukum Romawi dan hukum modern) sebagai endapan yang bertahap dari pengalaman historitis manusia. Fungsinya yang utama adalah menglasifikasikan perbuatan perbuatan baik dan buruk, dalam standar itu adalah persoalan yang sekunder.”
Setelah melakukan penelitian tentang hukurn Islam yang berkaitan dengan perkembangan, sumber sumber hukum, dan pertumbuhannya dalam praktik masyarakat Islam, Gibb mengungkapkan tentang sifat Hukum Islam yang luwes, berpadu, mengadopsi ajaran hukum, dan keadaan yang telah ada. la menunjukkan secara jelas, praktik hukum yang hidup di dalarn masyarakat Islam yang bersumber dari kaidah fiqhiyah mengenai al addah muhakkamah (adat dapat dijadikan hukum). Hal tersebut menunjukkan, bahwa daya asimilasi Hukum Islam yang sangat kuat, dapat memengaruhi dan membentuk praktik hukum, pelaksanaan hukum, dan ketaatan hukurn masyarakat terhadap Hukum Islam.
Untuk memperkuat teori Gibb di atas, dapat dikemukakan pula pendapat para orientalis Barat yang berpendapat sama. Misalnya disampaikan oleh Charles J. Adams, seorang profesor dan direktur Islamic Studies Montreal Canada, mengemukakan bahwa hukurn Islam merupakan subjek terpenting dalam kajian Islam karena sifatnya yang menyeluruh; meliputi sernua, bidang hidup dan kehidupan muslim. Berbeda dengan cara memelajari hukum hukum lain, studi tentang Hukum Islam memerlukan pendekatan dan pemahaman khusus, sebab yang termasuk bidang Hukum Islam itu bukan hanya apa yang disebut dengan istilah law dalam hukum Eropa, tetapi juga tentang masalah sosial lain di luar wilayah yang biasanya dikatakan law itu. Orang orang Islam sendiri kata Adams, bukan saja telah memberi kedudukan yang istimewa kepada Hukum Islam, tetapi juga telah memelajarinya secara seksama dan telah berhasil pula merumuskannya menjadi garis garis atau kaidah hukum yang mengatur tingkah laku manusia dalam segala bidang hidup dan kehidupan.
Dari gambaran tersebut terlihat bahwa Hukum Islam tidak dapat dilepaskan agama Islam dan tidak dapat dipisahkan dari masyarakat Islam, bahkan sebagaimana dikatakan oleh Gibb bahwa Hukum Islamlah yang telah berhasil menjaga tetap utuhnya masyarakat Islam. Hukum Islam adalah aparat yang paling utama bagi kehidupan manusia muslim dan masyarakat Islam dan orang Islam, jika telah menerima Islam sebagai agamanya, langsung mengakui dan erima otoritas serta kekuatan menaikat Hukum Islam terhadan mereka.

Syariat Islam dan Teori Receptie in Complexu
Teori receptie in complexu, dikemukakan oleh Prof Mr. Lodewijk Willemstian Van den Berg (1845 1927), seorang ahli di bidang Hukum Islam yang tinggal di Indonesia pada tahun 1870 1887. la mengatakan, bahwa bagi orang Islam berlaku penuh Hukum Islam, sebab mereka telah memeluk agamanya, walaupun dalarn pelaksanaannya terdapat penyimpangan penyimpangan. Juga mengusahakan agar hukum kewarisan dan hukum perkawinan Islam dijalankan oleh hakim hakim Belanda dengan bantuan para penghulu qadhi Islam. Pemikiran itu berkembang karena memang sebelum Belanda datang ke Indonesia, dengan misi dagang VOC, di sini telah banyak kerajaan Islam yang memberlakukan Hukum Islam. Paham yang dianut (legal system) pada umumnya bermazhab Imam Syafi'i. Kerajaan kerajaan tersebut telah menerapkan norma nonna Hukum Islam dan masyarakat sudah memberlakukannya.
Dilihat dari segi penataan Hukum Islam, menjalankan syariat Islam yang dilengkapi dengan infrastruktur dan suprastruktur keagamaan, seperti adanya pengadilan agama, merupakan kewajiban sosial (fardhu kifayah), artinya sebagai tugas dan kewajiban bersama. Karenanya, pada kerajaan kerajaan dan kesultanan-¬kesultanan tersebut, selalu membentuk badan badan peradilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara berdasarkan hukum acara peradilan Islam (mukhasamat). Hal ini merupakan salah satu sarana penegakan syariat Islam. Dari sinilah, kerajaan dan kesultanan itu menerapkan hukum waris dan hukum perkawinan Islam, sebagai hukum yang hidup (living law) di masyarakat sekaligus menjadi budaya hukum Indonesia pada masanya. Peradilan agama pada masa kemj aan dan kesultanan pada waktu itu sudah menunjukkan keberhasilannya dalam menyelesaikan perkara perkara kewarisan dan perkawinan orang orang Islam.
Hukum Islam telah mengubah pola pemikiran dan cara pandang kesadaran masyarakat Indonesia sehingga menjadikannya sebagai adat dan perilaku keseharian. Masyarakat Aceh menyatakan, Hukum Islam adalah adatnya; adatnya adalah Hukum Islam. Di Minangkabau berlaku kaidah, adat bersendi syarak; syarak bersendi kitabullah. Demikianjuga di Pulau Jawa, pengaruhnya sangat kuat sehingga Alquran, As Sunnah, ijma, dan qiyas telah dijadikan ukuran kebenaran ilmiah dan pedoman perilaku. Kerajaan dan kesultanan Islam saat itu telah berhasil memengaruhi keberagamaan masyarakat Indonesia untuk menjalankan syariat Islam. Ketika orang orang Barat khususnya Belanda yang tergabung dalam VOC datang ke Indonesia, masyarakat saat itu telah menerima pengaruh otoritas hukum (Islam). Beberapa lama setelah Belanda menguasai bagian wilayah Indonesia, mereka tetap mengakui kenyataan bahwa bagi orang orang pribumi berlaku hukurn agamanya.
Dengan fakta ini, para ahli hukum Belanda membuat kodifikasi hukum bagi pedoman pejabat untuk menyelesaikan urusan hukum bagi rakyat pribumi yang tinggal di wilayah kekuasaannya. Beberapa kodifikasi hukurn yang terkenal saat itu antara lain. 1. Compendium Freijer, merupakan kitab hukum perkawinan dan hukurn kewarisan Islam oleh pengadilan VOC (Resolutie der Indisch Regering, tanggal 25 Mei 1760). 2. Cirbonsch Rechtboek, disusun atas usul Residen Cirebon, Mr. P. C. Hosselaar (1757 1765). Compendium der Voornaamste Javaanisch Wetten Nauwkeuring Getrokken uit het Mohammedaansch Wetboek Mogharraer, disusun untuk Landraad semarang (1750). 4. Compendium Indlansch Wetten bij de Hoven van Bone en Goa, disahkan oleh VOC untuk daerah Makassar (Sulawesi Selatan).
Pada masa pernerintahan Daendles, telah berkembang anggapan umum yang mengatakan bahwa hukum asli pribumi adalah Hukum Islam. Begitu pun Raffles, berpendirian bahwa hukum yang berlaku di Jawa adalah Hukum Islam (The Koran Noerm General Law of Java). Berdasarkan catatan sejarah, sebelum Van den Berg menulis tentang Islam di Indonesia, khususnya di Jawa, JEW van Nes (1850) pernah menerbitkan Boedelsscheidingen of Java Volgens De Kitab Saphi'i. Kemudian, Prof A. Meurenge mengeluarkan saduran Hanboek Van het Mohammedaansche Recht (1884). Oleh karena itu, pada waktu Van Den Berg berada di Indonesia, ia melihat politik hukum pemerintah Hindia Belanda serta fakta fakta hukum yang ada di Indonesia. la menegaskan berlakunya atau berlanjutnya politik yang masih berjalan dan merumuskan keadaan berlakunya hukurn itu dengan mengatakan, "bagi rakyat pribumi berlaku hukurn agamanya," yang kemudian menjadi sebuah pemikirannya yang dikenal dengan teori Receptio in Complexu.
Teori ini merupakan rumusan hasil pergulatan pemikirannya, setelah memerhatikan dan mencermati fakta fakta hukum yang terjadi pada masyarakat pribumi. Kemudian, Van den Berg mengonsepkan Stbl. 1882 No. 152 yang berisi ketentuan bagi rakyat priburni atau rakyat jajahan berlaku hukum agama di lingkungan hidupnya. Hal ini berarti bagi rakyat yang beragama Islam di Indonesia berlaku Hukum Islam. Bagi badan badan peradilan agama, ketika pernerintah Hindia Belanda datang ke Indonesia sudah melaksanakan hukum agama Islam, tetap dilanjutkan dan diakui kewenangan hukumnya.

Berdasarkan kenyataan ini, Van den Berg sesungguhnya telah berjasa terhadap masyarakat priburni yang beragama Islam karena ia telah merumuskan keberadaan Hukum Islam tersebut dengan teori receptio in complexu, artinya hukurn yang berlaku bagi suatu kasus adalah menurut agama yang dianut di daerah setempat. Ia juga berjasa dalam penerbitan Staatsblaad (Stbl. 1882 No. 152) yang mengakui kewenangan badan badan peradilan agama yang berbeda namanya di setiap tempat, untuk menjalankan yurisdiksi hukumnya berdasarkan Hukum Islam. Jasa Van den Berg tidak hanya itu, ia pun telah berjasa dalam memberikan pernahaman yang lebih baik terhadap Hukum Islam bagi pejabat pejabat pernerintah Hindia Belanda dan para hakimnya. Hasil karya pernikirannya berupa tulisan yang berkaitan dengan Islam dan hukurn Islam telah berguna dalam meningkatkan pengertian terhadap norma Hukum Islam yang berlaku di Indonesia, misalnya tentang asas asas Hukum Islam (Mohammedaansche Recht, 1882) menurut ajaran Imam Syafi'i dan Hanafi. Kemudian tulisan tentang hukurn famili dan hukum waris Islam di Jawa dan Madura (1892), yang berisi tentang Hukum Islam yang berlaku bagi orang Indonesia yang beragama Islam dengan beberapa catatan penyimpangan yang dilakukan oleh umat Islam sendiri. la juga berhasil menerjernahkan kitab berbahasa arab Fathulqorib dan Minhaajutthalibin ke dalam bahasa Prancis.
Berkaitan dengan hukurn Islam, disebutkan dalarn Reglement of Het Beleid der Regering Van Nederlandsch Indie (RR) Stbl. 1885 No. 2, dalarn pasal 75 ayat (3) yang menyatakan bahwa, oleh hakim Indonesia itu hendaklah diberlakukan undang undang agama (godsdientige wetten) dan kebiasaan penduduk Indonesia itu. Kemudian ayat (4) menyatakan bahwa undang undang agama, instelling, dan kebiasaan itu juga yang dipakai untuk mereka oleh hakim Eropa untuk pengadilan yang lebih tinggi, andaikata terjadi hogerberoep atau pemeriksaan banding. Pasal 78 (2) menyebutkan, dalarn hal terjadi perkara perdata di antara sesama, orang Indonesia itu atau dengan mereka, yang dipersamakan dengan mereka, maka mereka tunduk kepada putusan hakim agama atau kepada masyarakat mereka menurut undang undang agama atau ketentuan ketentuan lama mereka. Berikutnya pasal 109 (Stbl. 1855 No. 2) menyatakan bahwa ketentuan pasal pasal tersebut (pasal 75 dan pasal 78) itu berlaku pula bagi mereka yang dipersamakan dengan "inlander", yaitu orang Arab, orang Moro, orang Cina, dan semua mereka, yang beragarna Islam, serta orang orang yang tidak beragama Islam.

Berdasarkan gambaran di atas, nampak adanya korelasi antara satu teori dengan teori lainnya yang saling memperkuat keberadaan Hukum Islam sebagai hukum yang menjadi pegangan masyarakat Indonesia pada waktu itu. Orang Islam melaksanakan syariat Islarn dasar legitimasinya adalah perintah Allah dan rasul Nya (ajaran/teori tentang penataan hukum). Bila orang Islam telah menerima Islam, maka. mereka akan mempertahankan agamanya dengan cara mengaplikasikan syariatnya tanpa reserve (teori tentang otoritas hukum). Dengan munculnya teori receptio in complexu, semakin memperkuat penerapan Hukum Islam bagi orang yang beragama Islam.

Syariat Islam dan Teori Receptie
Teori receptie diperkenalkan oleh Prof Christian Snouck Hurgronye (185 7 1936), sebagai penasihat pernerintah Hindia Belanda, (1898) berkenaan dengan Islam dan masyarakat. Teori ini tertuang dalam pasal 134 Indiche Straaftregeling (IS) ayat 2 yang terkenal sebagai pasal receptie. Sebelum menentukan kebijakannya di bidang hukurn Islam di Indonesia, ia sengaja belajar agama Islam di Mekkah dengan menggunakan nama samaran "Abdul Gafar" (1884 1885) dan hampir menunaikan ibadah haji. Memasuki Mekkah menyamar berprofesi sebagai dokter mata dan fotografer. Selain ahli dalam Hukum Islam, ia juga menguasai hukum adat di wilayah Indonesia bagian utara, tepatnya Aceh. Hal ini terepresentasikan dalam tulisan¬-tulisannya, berjudul De Atjehers dan De Gojaland.
Melalui perjuangan yang sangat mendalam dalam mempelajari agama Islam dan adat di sebagian daerah Indonesia, ia mengemukakan pemikirannya yang terumuskan sebagai teori receptie. Melalui teorinya itu, ia menyatakan bahwa bagi rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukurn adat; hukum. Islam berlaku jika norma Hukum Islam itu telah diterima oleh masyarakat sebagai hukum adat. Teori ini dikemukakan oleh Hurgronye, kemudian mendapatkan penguatan serta pengembangannya oleh van Vollenhoven dan Ter Haar Barn.
Latar belakang teori ini berpangkal dari keinginan Hurgronye agar orang orang priburni, sebagai rakyat jajahan, jangan sampai kuat mernegang agama Islam. la berpikir dan berkesimpulan, bahwa Hukum Islam dan masyarakatnya tidak mudah dipengaruhi oleh peradaban Barat. Snouck Hurgronye mengemukakan teori ini karena ia khawatir adanya pengaruh Pan Islamisme yang dipelopori oleh Sayid Jamaluddin al Afgani yang berpengaruh di Indonesia. Ia menyampaikan usul kepada pernerintah Hindia Belanda tentang kebijakannya terhadap Islam yang dikenal dengan Islam Policy.
Ketika di negara Belanda terjadi perubahan politik, khususnya yang berkaitan dengan hubungan rakyat di daerah jajahan dan penjajahnya, timbul gerakan politik etis yang menuntut kebijakan supaya bersikap lebih etis dan bermoral. Munculnya gagasan ini untuk membangun hubungan pernerintah Hindia Belanda dengan daerah jajahannya, tidak lagi seperti penjajah dan yang dijajah. Kebijakannya diubah menjadi semacam aliansi atau federasi dalam ketatanegaraan. Dari sinilah timbul ide kerajaan Nederland Raya.

Setelah mendalami Hukum Islam di Mekkah, Hugronye kemudian memasuki wilayah Aceh dan Jawa Barat dalam upaya mengkaji sikap pemerintah Hindia Belanda terhadap kebijakan urnat Islam yang begitu fanatik terhadap agamanya. Sikap umat Islam ini tertuang dalam Stbl. 1882 No. 152 yang melahirkan teori receptio in complexu. Ia mengomentari bahwa kebijakan pemerintah Hindia Belanda terhadap masyarakat Islam selama ini telah merugikan pemerintah jajahannya sendiri. Maka, dalam kedudukannya sebagai penasihat pemerintah Hindia Belanda, Snouck Hurgronye memberikan nasihatnya yang terkenal dengan Islam Policy. la merumuskan nasihatnya untuk menjauhkan masyarakat dari Hukum Islam di Indonesia, dengan cara menarik rakyat pribumi agar lebih mendekat kepada kebudayaan Eropa dan pemerintah Hindia Belanda.

Kebijakan yang dirumuskan Hurgronye terhadap Hukum Islam dan masyarakatnya, yaitu:
1. Dalam bidang agama, pemerintah Hindia Belanda hendaknya memberikan kebebasan secara jujur dan secara penuh tanpa syarat bagi orang orang Islam;
2. Dalam bidang kemasyarakatan, pernerintah Hindia Belanda hendaknya menghormati adat istiadat dan kebiasaan rakyat yang berlaku, dengan membuka jalan yang dapat menuntut taraf hidup rakyat jajahan pada suatu kemajuan yang tenang ke arah mendekati pemerintah Hindia Belanda, dengan memberikan bantuan kepada mereka yang menempuh jalan ini;
3. Dalam bilang ketatanegaraan, mencegah timbulnya ideology yang dapat membawa dan menumbuhkan gerakan Pan Islamisme, yang mempunyai tujuan untuk mencari kekuatan-kekuatan lain dalam perlawanan menghadapi pemerintah Hindia Belanda.
Kebijakan tersebut melahiran teori receptie, artinya Hukum Islam dapat diterima sebagai hukum apabila telah dilaksanakan oleh masyarakat adat, maka kemudian berlakulah sebagai hukum adat. Selanjutnya, di Indonesia dikembangkan 19 wilayah hukum adat yang berbeda satu dengan lainnya. Pada pasal 134 IS disebutkan bahwa bagi orang orang pribumi, kalau mereka menghendaki, diberlakukan Hukum Islam selama hukum itu telah diterima oleh masyarakat hukum adat. Pasal ini sering disebut pasal receptie. Dalam kaitan hukurn Islam, kebijakan pemerintah Hindia Belanda ini merupakan usaha untuk melurnpuhkan dan menghambat pelaksanaan
Hukum Islam dengan cara sebagai berikut:
1. Dalam hukum pidana, tidak memasukkan hudud dan qishas. Hukum pidana yang berlaku bersumber langsung
dari Wetboek van Strafrecht dari Nederland yang berlaku sejak Januari 1919 (Stbl. 1915: 732).
2. Dalam hukum tata negara, ajaran Islam yang menyangkut hal tersebut dihilangkan sekaligus. Pengajian Alquran dan As Sunnah untuk memberikan pelajaran agama dalarn politik kenegaraan atau ketatanegaraan
dilarang.
3. Dalam hukum muamalah, dipersempit hanya menyangkut hukum perkawinan dan hukum kewarisan. Hukum kewarisan Islam pun mulai diminimalisir dengan langkah langkah sistematis. Misalnya, menanggalkan
wewenang raad agarna di Jawa dan Kalimantan Selatan untuk mengadili masalah kewarisan; memberi wewenang memeriksa masalah waris kepada landraad, dan melarang penyelesaian dengan Hukum Islam, jika di tempat adanya perkara tidak diketahui bagaimana bunyi hukum adat.
Berpegang pada Islam Policy itu, sejak 1922 dirumuskan re organisasi badan¬-badan peradilan yang ada melalui perubahan pasal pasal IS. Sejak itu pula, dibentuk sebuah komisi tentang peremajaan kekuasaan peradilan agama. Komisi tersebut diketuai oleh Ter Haar, yang kemudian mengeluarkan kebijakan tentang
kewarisan dalam Stbl. 1937 untuk mengurangi kewenangan peradilan agama di bidang kewarisan bagi umat Islam. Dengan Staatsblad ini, maka sejak I April 1937, secara yuridis formal pengadilan agarna dilarang mernutuskan masalah waris, kewenangannya dipindahkan menjadi. kewenangan landraad. Sejak staatblad itu diterapkan, tejadilah dialog antara pernerintah Hindia Belanda dengan ulama ulama di Indonesia. Akhir dialog menghasilkan keputusan bersama yang berkaitan dengan masalah waris, maka pengadilan agama diberi kewenangan untuk memberikan fatwa waris, fatwa ahli waris, atau fatwa waris. Dilihat dari segi ilmu hukurn atau Hukum Islam, fatwa tidak berstatus putusan final, melainkan hanya sebatas rekomendasi.
Menurut Alfian, teori receptie berpijak pada asumsi dan pemikiran bahwa jika orang orang priburni memunyai kebudayaan yang sama atau dekat dengan kebudayaan Eropa, maka penjajahan atas Indonesia akan berjalan dengan baik dan tidak akan timbul guncangan guncangan terhadap kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Oleh karena itu, pernerintah Belanda harus mendekati golongan golongan yang akan menghidupkan hukum adat dan memberikan dorongan kepada mereka, untuk mendekatkan golongan hukum adat kepada pemerintahannya.
Teori receptie ini telah membawa perubahan yang sangat drastis terhadap masyarakat Indonesia, hingga memasuki pintu kemerdekaan. Melalui kebijakan yang jeli, Hurgronye dan pelanjut teorinya telah berhasil merninimalisasi Hukum Islam dari masyarakat Indonesia. Hukum Islam yang hidup di dalam masyarakat Islam ditekan menjadi hukum rakyat rendahan. Di sinilah munculnya kebangkitan dan melahirkan gejolak rakyat Indonesia untak memerdekakan diri atas perlakuan penjajah, termasuk di bidang hukum sehingga menimbulkan gerakan kemerdekaan Indonesia.

Syariat Islam dan Teori Receptie Exit
Penentangan terhadap teori receptie yang dikernbangkan oleh Hurgronye tidak hanya selama Indonesia dijajah oleh Belanda, tetapi berlanjut hingga Indonesia memasuki kemerdekaan. Para ahli hukurn Indonesia mencermati betul teori tersebut yang mengakibatkan masyarakat Indonesia menjauhi Hukum Islam.
Salah satu yang menentangnya adalah Prof Dr. Hazairin, S.H., dalam bukunya “Tujuh Serangkai tentang Hukum. la berpendirian bahwa setelah Indonesia memproklamirkan kernerdekaan 17 Agustus 1945, melalui Pasal 11 Aturan Peralihan Undang Undang Dasar 1945 yang menyatakan hukum warisan kolonial Belanda, masih tetap berlaku selama jiwanya tidak bertentangan dengan Undang¬Undang Dasar, maka seluruh peraturan perundang undangan pernerintah Hindia Belanda yang mendasarkan pada teori receptie dianggap tidak berlaku lagi karena jiwanya bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945. Teori receptie harus exit karena bertentangan dengan Alquran dan As Sunnah. Hazairin menyebutkan teori receptie adalah "teori iblis".
Pendapat Hazairin dalarn hal ini didasarkan pada pernbukaan Undang Undang Dasar 1945 (alinea III) yang menyatakan, "Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang; bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya." Dernikian juga (alinea IV menyebutkan, "Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa." Kedua rumusan tersebut menggambarkan bahwa negara Indonesia sangat akrab dengan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan agarna." Menurut Hazairin, istilah Yang Maha Esa merupakan istilah kompromi, menggantikan istilah "ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk pemeluknya." Walaupun telah diganti dengan istilah "Ketuhanan Yang Maha Esa," tidak berarti dapat menyingkirkan Hukum Islam atau hukum agama. Dengan istilah tersebut, hukurn agama yang diberlakukan di Indonesia bagi penganut penganutnya bukan Hukum Islam saja, tetapi hukum agama agama lain juga berlaku.
Hazairin melihat bahwa pasal 29 (1) memunyai ftmgsi besar dalarn tata hukum Indonesia karena dalarn kehidupan bernegara Indonesia tidak boleh ada aturan hukum yang bertentangan dengan ajaran atau aturan Tuhan Yang Maha Esa. oleh karena itu, ia berpendapat, teori receptie bertentangan dengan Alquran dan As Sunnah serta UUD 1945. Nilai nilai agama dan hukum agama merupakan sesuatu yang fundamental dan sebagai hak asasi manusia di negara republik Indonesia. Karenanya ia menegaskan bahwa melanjutkan teori receptie berarti bertentangan dengan niat membentuk negara Republik Indonesia. Hazairin mengungkapkan pernikirannya bahwa setelah Indonesia merdeka, hendaknya orang Islam Indonesia menaati hukurn Islam karena hukum merupakan ketentuan Allah dan rasul Nya.
Berdasarkan pemikiran dan penentangannya terhadap teori receptie, Hazairin memberikan kesimpulan bahwa:
1. Teori receptie dianggap tidak laku dan exit dari tata hukum negara Indonesia sejak tahun 1945, melalui merdekaan bangsa Indonesia yang memberlakukan UUD 1945 sebagai dasar gara Indonesia. Demikian juga setelah adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kembali kepada ULTD 1945;
2. Sesuai dengan UUD 1945 pasal 29 ayat maka negara Republik Indonesia berkewaj iban membentuk hukum Nasional g salah satu sumbernya adalah hukurn agama; dan
3. Sumber hukum Nasional selain agama Islam, juga agama lain bagi perneluk agamanya masing masing,
di bidang hukum perdata maupun hukum pidana sebagai hukurn Nasional.
Pemikiran Hazairin di atas sangat penting untuk dijadikan pedoman dalarn mengembalikan pernurnian Hukum Islam yang sejalan dengan ajaran tentang penataan hukum. Memperkuat teori Penerimaan Otoritas Hukum dan juga mempertajam teori receptie in complexu yang disampaikan oleh para ahli Belanda sebelumnya terhadap kebijakan Hukum Islam dan umatnya di Indonesia. Pernikiran yang membuahkan teori receptie exit ini, sekaligus merupakan upaya menentang atau meng exit teori receptie yang memberikan syarat bagi hukurn Islam untuk dapat diterima sebagai hukurn bila telah diterima oleh hukum adat. Teori receptie harus exit dari sistern hukurn Nasional dan dianggap bertentangan dengan Alquran dan As Sunnah serta tidak sejalan dengan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.



Syariat Islam dan Teori Receptio a Contrario
Teori ini dikembangkan oleh H. Sayuti Thalib, seorang pengajar utama Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Ia menulis buku tentang Receptio a Contrario: “Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam." Buku ini mengungkapkan perkembangan Hukum Islam dari segi politik hukum, berkaitan dengan politik hukum penjajah Belanda selama di Indonesia hingga melahirkan teori receptio in complexu; teori receptie; perubahan dan perkembangan Hukum Islam dalam praktik; sekaligus juga membicarakan teori receptio a contrario sebagai pemikirannya. Teori ini muncul berdasarkan hasil penelitian terhadap hukum perkawinan dan kewarisan yang berlaku saat itu, dengan mengemukakan pemikirannya sebagai berikut:
1. bagi orang Islam berlaku Hukum Islam;
2. hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita cita hukum, cita cita batin, dan moralnya; dan
3. hukum adat berlaku bagi orang Islam jika tidak bertentangan dengan agama Islam dan Hukum Islam. Teori ini disebut dengan nama reception a contrario karena mernuat teori tentang kebalikan (contra) dari teori receptie.
Sayuti Thalib berpendirian bahwa di negara Indonesia yang mendasarkan hukumnya pada Pancasila dan UUD 1945, semestinya orang yang menaati hukum agamanya. Sila pertama dari Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, berisi maksud dan tujuan tersebut. Di samping itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional bersama Fakultas Hukum Ul, IAIN Antasari Banjarmasin, dan laporan penelitian Direktorat Pembinaan Administrasi Ditjen Pembinaan Badan Peradilan Departemen Kehakiman, menghasilkan gambaran bahwa cita cita moral, cita cita batin, dan kesadaran hukum untuk berhukum dengan hukum Nasional Indonesia harus tidak bertentangan dengan cita cita Hukum Islam sehingga akan berkembang keinginan batin dan kesadaran batin bagi orang Islam menaati Hukum Islam.
Terhadap aturan aturan lain, misalnya hukum adat, aturan aturan itu dapat diberlakukan bagi orang Islam kalau tidak bertentangan dengan Hukum Islam. Pada dasarnya, bagi orang Islam berlaku Hukum Islam; hukum adat hanya berlaku bagi orang Islam jika tidak bertentangan dengan kesadaran batin dan cita cita Hukum Islam. Dalam teori receptio a contrario, hukum adat baru berlaku jika tidak bertentangan dengan Hukum Islam, contohnya di daerah Sumatera Barat, Minangkabau. Mereka berpendapat bahwa adat dapat dijalankan oleh mereka dengan aman jika dilindungi oleh agama mereka, yaitu agama Islam. Adat yang dibenarkan adalah adat yang tidak bertentangan dengan agarna. Untuk orang orang Aceh, Hukum Islam adalah hukum adatnya. Di Aceh, hubungan antara adat dengan hukurn Islam; seperti zat dan sifatnya.
landasan berpikir Sayuti Thalib mengemukakan teori receptio a contrario, didasarkan pada pernikiran bahwa di negara republik Indonesia yang merdeka, sesuai dengan cita cita batin, cita cita moral, dan kesadaran hukum kemerdekaan, berarti ada keleluasaan untuk mengamalkan ajaran agarna dan hukum agama. Hal tersebut dibuktikan dengan kegiatan kegiatan penelitian yang menghasilkan suatu prinsip bahwa bagi orang Islam diberlakukan Hukum Islam. Hukum adat dapat diberlakukan bagi orang Islam kalau hukum adat itu tidak bertentangan dengan ketentuan ketentuan hukurn Islam.
Dalarn pertumbuhan masyarakat modem yang berhubungan dengan norma-¬norma Pancasila, ada kemungkinan norma-norma adat dan kebiasaan kebiasaan adat bertentangan dengan Hukum Islam. Oleh karena itu, bagi orang Islam Indonesia, norma norma adat yang bertentangan dengan Pancasila dan hukurn Islam semestinya tidak dapat diberlakukan. Kalau teori receptie melihat kedudukan hukum adat didahulukan keberlakuannya dari pada Hukum Islam, maka teori receptio a contrario mendudukkan hukum adat pada posisi kebalikannya. Oleh karena itu, Sayuti Thalib menyebutkan teorinya merupakan kebalikan dari teori receptive disebut teori receptio a contrario.
Pembuktian yang dilakukan oleh Sayuti Thalib dan badan badan penelitian hukum dan penelitian agama menemukan, bahwa di dalarn masyarakat Islam Indonesia ada cita cita moral atau keinginan untuk berhukum dengan hukum agamanya. Di antaranya penelitian tentang hukum waris di DKI Jaya, yaitu perbandingan perkara perkara waris yang masuk ke pengadilan negeri dan pengadilan agama, temyata keinginan orang Islam untuk berhukum dengan Hukum Islam di pengadilan agama lebih besar daripada keinginan orang Islam berhukurn dengan hukum adat di pengadilan negeri (1034 dibanding 47).
Penelitian penelitian terhadap masyarakat Surnatera Barat, Aceh, Kalimantan Selatan, Surnbawa Besar, dan Buton (Sulawesi Tenggara) menggarnbarkan bahwa dalam masyarakat tersebut telah ada kaidah kaidah hukum yang merupakan pedoman dari masyarakat untuk mencari garis garis hukum yang menyangkut hubungan antara hukum adat dan Islam, guna menyelesaikan masalah masalahnya. Di Surnatera Barat misalnya, ada semboyan dan pedoman yang menyatakan "adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. " Dari pedoman itu, tergambarlah bahwa adat Surnatera Barat berdasarkan Alquran. Tak ada dalam idenya, norma adat bertentangan dengan Alquran. Jika ada norma adat atau kebiasaan yang berbeda atau bertentangan dengan syarak atau Alquran, maka norma adat itu tidak dibenarkan.
Di masyarakat Aceh, tergambarkan ada hubungan antara hukum adat dan Hukum Islam yang sangat akrab. Ada kaidah kaidah yang menggambarkan bahwa Hukum Islam adalah zatnya, sedangkan hukum adat adalah sifatnya. Pada hakikatnya, hukurn adat dan Hukum Islam bagi masyarakat Aceh adalah satu, hukum adat masyarakat Aceh adalah Hukum Islam; syariat Islam menjadi hukurn adat bagi masyarakat Aceh. Ada kaidah yang menyatakan "adat bak teumaruhun,hukum bak syah kuala. "Artinya, adat berpangkal pada raja (penguasa atau sultan), sedangkan hukum atau syariat berpangkal pada ulama. Syah kuala artinya ulama, yang merupakan sumber hukum bagi penegakan hukum syariat Islam masyarakat Aceh. Dengan sendirinya di dalam masyarakat Aceh, adat istiadat tidak bertentangan dengan syariat Islam atau dengan hukurn Islam.
Hubungan antara Hukum Islam dengan hukum adat sangat akrab. Hukum Islam mempunyai kedudukan inti dan mendasar. Hal tersebut dapat dipahami karena masyarakat tersebut beragama Islam. Sayuti Thalib dalarn menemukan dan mengemukakan rumusan teori receptio a contrario mendasarkan pada azas-azas sebagai berikut:
1. pada prinsipnya dalarn kaitannya dengan perintah Tuhan dan rasul, kalau diformulasikan, perintah itu berarti wajib;
2. larangan pada dasarnya adalah ketidakbolehan untuk dikerjakan (haram); dan
3. adat kebiasaan (urf) dapat dijadikan hukurn selama tidak bertentangan dengan syariat Islam (al 'adah muhakkamah).
Dari gambaran Alquran dan as sunnah serta pendapat para ahli tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya bagi masyarakat Islam berlaku Hukum Islam. Hal tersebut merupakan prinsip keyakinan agama dan keyakinan hukum yang merupakan kelanjutan dari keyakinan mengesakan Tuhan dalarn Hukum Islam (tauhid at tasyri). Hukurn lain (termasuk hukurn adat) dapat berlaku bagi masyarakat Islam jika tidak bertentangan dengan agama Islam dan hukurn Islam.

Syariat Islam Dan Teori Eksistensi
Teori Eksistensi ini dikemukakan oleh H. Ichtijanto S.A., dosen pengajar mata kuliah Kapita Selekta Hukurn Islam dan Sejarah Hukum Islam pada Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia. la berpendapat, bahwa teori eksistensi dalarn kaitannya dengan hukurn Islam adalah teori yang menerangkan tentang adanya hukurn Islam di dalarn hukurn Nasional. Teori ini mengungkapkan, bentuk eksistensi hukurn Islam sebagai salah satu sumber hukum Nasional ialah sebagai berikut:
1. Merupakan bagian integral dari hukum Nasional Indonesia;
2. Keberadaan, kemandirian, kekuatan, dan wibawanya diakui oleh hukurn Nasional serta diberi status sebagai hukum Nasional;
3. Norma norma hukurn Islam (agama) berfungsi sebagai penyaring bahan bahan hukum Nasional Indonesia; dan
4. Sebagai bahan utarna dan unsur utama hukum Nasional Indonesia.
Hukum Nasional adalah hukum yang bersumber pada Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Negara Indonesia mengakui atas ke bhineka an yang mewujud dalam kehidupan beragama dan sistem hukum Indonesia yang bersumber pada hukum adat, Hukum Islam, dan hukum barat. Hukum Islam merupakan salah satu sumber hukum yang masuk dalam sistem hukum Nasional. Dalam kenyataanya di masyarakat, Hukum Islam masih tetap diberlakukan baik secara individual maupun kolektif Oleh karena itu, jelas sekali, Hukum Islam eksis di dalam hukum Nasional Indonesia.
Menurut Ichtijanto, perjuangan dalam merumuskan hukum dan perundang undangan Indonesia yang telah dipengaruhi oleh ajaran Islam tentang teori teori penataan hukum, di antaranya teori penerimaan otoritas hukum, teori receptie in complexu, teori receptie exit, dan teori receptio a contrario, merupakan suatu bukti bahwa hukum ter tulis Indonesia banyak dipengaruhi dan mengambil ajaran Hukum Islam. Oleh karena itu, Hukum Islam ada (exist) di dalam hukum Nasional Indonesia. Hal ini diperkuat dengan berdirinya Departemen Agama pada 13 Januari 1946. Kenyataan ini mendorong ditemukannya teori hubungan antara Hukum Islam dan hukum Nasional. Sehingga Hukum Islam yang hidup di Indonesia bisa menjadi sumber bagi hukum positif untuk perkembangan dan kemajuan hukum Nasional pada masa mendatang.
Kerangka pemikiran yang berkembang dalam peraturan dan perundang undangan Nasional didasarkan pada kenyataan Hukum Islam yang berjalan di masyarakat. Pengamalan dan pelaksanaan Hukum Islam yang berkenaall dengan puasa, zakat, haji, infak, sedekah, hibah, baitul mal, hari hari raya besar Islam, dan doa pada hari hari raya Nasional selalu ditaati dalam kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Melihat adanya hubungan yang sangat sinergis antara Hukum Islam dan hukum Nasional, maka dapat menjadi suatu indikator bahwa hukum. Islam telah exist dan semestinya diakomodasi sebagai sumber hukum. Nasional.
Kenyataan hukum yang hidup di dalam masyarakat Indonesia menggambarkan bahwa setelah Indonesia merdeka, kemudian didorong oleh kesadaran hukum akibat ketertindasan selama masa penjajahan dan selama masa revolusi, maka diperjuangkan perwujudan Hukum Islam itu agar exist dalam tata hukum Nasional. Eksistensi Hukum Islam dalam tata hukum Nasional ini Nampak melalui berbagai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku saat ini. hukum tetap ada walaupun belum merupakan hukum tertulis. Dalam hukum tertulis juga telah ada nuansa Hukum Islam yang tercantum dalam hukum Nasional. Untuk memperkuat teori pemikirannya, Ichtijianto merujuk beberapa hukum tertulis berupa peraturan dan perundang-undangan yang mengandung unsur-unsur Islam.

Penutup
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan mengenai prinsip-prinsip dan azas-azas hukum Islam diatas, yang menjadi inti pemahaman prinsip-prinsip dan azas-azas hukum Islam dpat diketahui atau diarahkan pada tujuan penyariatan syariat Islam itu sendiri dan apa yang akan dibawa hukum Islam untuk mencapau tujuannya. Hal tersebut adalah sebagai berikut :
1. Islam telah meletakkan di dalam undang-undang dasarnya, beberapa prinsip yang mantap dan kekal, seperti prinsip menghindari kesempitan dan menolak mudarat, wajib berlaku adil dan bermusyawarah dan memelihara hak, menyampaikan amanah, dan kembali kepada ulama yang ahli untuk menjelaskan pendapat yang benar dalam menghadapi peristiwa dan kasus-kasus baru, dan sebagainya berupa dasar-dasar umum yang merupakan tujuan diturunkannya agama-agama langit, dan dijaga pula oleh hukum-hukum positif dalam upaya untuk sampai kepada pengwujudan teladan tertinggi dan prinsip-prinsip akhlak yang telah ditetapkan oleh agama-agama namun hukum-hukum masih tetap menghadapi krisis keterbelakangan dari undang-undang atau hukum yang dibawa oleh agama-agama langit.
2. Dalam dasar-dasar ajarannya, Islam berpegang dengan konsisten pada perinsip mementingkan pembinaan mental individu khususnya, sehingga ia menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat, karena apabila individu telah menjadi baik maka masyarakat dengan sendirinya akan baik pula.
3. Syariat Islam, dalam berbagai ketentuan hukumnya, berpegang dengan konsisten pada prinsip memelihara kemaslahatan manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat.








DAFTAR PUSTAKA
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia), Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1993.
Rahmat Rasyidi dan Rais Ahmad, formalisasi syari’at islam dalam perspektif hukum nasional,Ghalia Indonesia, Edisi Kesatu 2006.
Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994.

Hasbi Ash-Shiddiqie, Pengantar Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1958.

Hasbi Ash-Shiddiqie, Falsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Cet-V, Jakarta, 1993.

Suryadi, Kamus Baru Bahasa Indonesia, Usaha Nasional, Surabaya, 1980.

Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, LPPM Unisba, Bandung, 1995.
Yusuf Qardhawi, Malamih Al-Mujtama Al-Muslim Alladzi Nansyuduhu, Maktabah Wahbah, Kairo, 1993.
Ichtijanto S.A., Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, dalam: Hukum Islam di Indonesia, Perkembangan dan Pembentukan, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991,

Charle J. Adams (1965: 316) dikutip Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu.Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, PT RajaGrafindio Persada, Jakarta, Cet. 7, 1999.

Arso Sostroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, tt,