tag:blogger.com,1999:blog-39245121552952011192024-02-20T03:21:45.254-08:00Hukum Islamrahmatan lil 'alaminabulumam albantanyhttp://www.blogger.com/profile/04217284884180986248noreply@blogger.comBlogger33125tag:blogger.com,1999:blog-3924512155295201119.post-81635965283685891212010-12-27T01:04:00.000-08:002010-12-27T01:11:15.727-08:00teori penegakkan hukum islam di indonesiaAsas-Asas dan Teori Penegakkan Hukum Islam di Indonesia<br />Oleh : Abdul Muher, SH.I, MA<br /><br /><br />Abstrak <br />Keberadaan Hukum Islam di kalangan ummat Islam adalah sebagai patokan dan pedoman untuk mengatur kepentingan masyarakat dan menciptakan masyarakat yang islami. Kehidupan yang teratur dan sepantasnya diyakini dapat diterima oleh setiap manusia walaupun menurut manusia ukurannya berbeda-beda. Hukum Islam sebagai tool of social engineering atau sebagai alat rekayasa social mengalami hambatan-hambatan dalam penegakannya untuk mengatur kepentingan masyarakat. Hambatan itu bisa dari Undang-undang, penegak hukum dan dari pembuat Undang-undang. Sebagai alat, hukum Islam akan bekerja secara simultan untuk merubah ummat Islam dalam berperilaku, dari perilaku yang buruk menjadi baik. Tetapi hal ini tidak bisa berjalan apabila ada yang menghambatnya. Pertanyaan yang muncul adalah factor-faktor apa yang mempengaruhi penegakan hukum Islam di Indonesia? penegakan hukum Islam melalui Yurisprudensi. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penegakan hukum Islam di Indonesia yaitu antara lain dari sisi pembentuk hukum, penegak hukum dan pencari keadilan. Asas dan teori penegakkan Hukum Islam Tentang Penataan Hukum, Hukum Islam dan Teori Penerimaan Otoritas Hukum, Hukum Islam dan Teori Receptie in Complexu, Hukum Islam dan Teori Receptie, Hukum Islam dan Teori Receptie Exit, Hukum Islam dan Teori Receptio a Contrario, Hukum Islam dan Teori Eksistensi.<br /><br />Kata Kunci : asas, teori, penegakkan hukum islam<br />Pendahuluan<br />Indonesia adalah Negara hukum (rechtstaats), bukan Negara kekuasaan (machstaats). oleh karena itu, setiap penyelenggaraan Negara dan pemerintahannya selalu didasarkan pada peraturan dan perundang-undangan. Negara Indonesia tidak menganut paham teokrasi yang mendasarkan pada ideology paham tertentu dan tidak juga beraliran paham sekuler yang tidak memperdulikan agama. Relasi agama dan Negara di Indonesia amat sinergis dan tidak pada posisi dikotomi yang memisahkan antara keduanya. Legitimasi keberadaan agama diwilayah hukum Negara kesatuan republic Indonesia (NKRI) serta untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing, dilindungi secara konstitusional. Pasal 29 ayat 1dan 2 UUD 1945.<br />Dalam kerangka ini pula, maka penjelasan Prof. Dr. Hazairin, SH tentang pasal 29 ayat 1 UUD 1945 bahwa: “Negara berkewajiban untuk mengatur dan mengawasi agar warga negara Indonesia menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran agama masing-masing,” sangat relevan dengan kondisi Indonesia. Dalam buku “Demokrasi Pancasila”. Hazairin menafsirkan rumusan UUD 1945 pasal 29 ayat 1 itu sebagai berikut:<br />Pertama, di negara RI tidak boleh ada aturan yang bertentangan dengan agama. Kedua, negara RI wajib melaksanakan Syari’at Islam bagi umat Islam, Syari’at Nasrani bagi Nasrani dan seterusnya, sepanjang pelaksanaannya memerlukan bantuan kekuasaan negara. Ketiga, setiap pemeluk agama wajib menjalankan syari’at agamanya secara pribadi dalam hal-hal yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara.<br />Jaminan keberagamaan ini dipertegas lagi dalam garis-garis besar haluan Negara (GBHN), sebagai landasan operasionalnya. hal ini bertujuan untuk memantapkan fungsi, peran, dan kedudukan agama sebagai landasan moral dan spiritual dalam penyelenggaraan Negara, serta merupakan agar segala peraturan perundang-undangan tidak bertentangan dengan moral-moral agama. Sesungguhnya, baik UUD 1945 maupun GBHN sangat akomodatif terhadap kepentingan warga Negara dalam menjalankan ibadahnya. Agama harus menjadi landasan moral, karenanya setiap peraturan dan perundang-undangan yang bertentangan dengan moral dan agama mesti dikesampingkan. Syari’at islam, selainmerupakan landasan moral, juga dapat menjadi regulator untuk menata kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Secara normative, menjalankan syari’at islam secara kaffah merupakan perintah Allah, sebagaimana firman-Nya:<br />“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”(2:208).<br /><br />Dalam penjelasan tafsir al-azhar membuat imbauan tegas tentang pemberlakuan hukum islam saat mentafsirkan ayat-ayat:<br />”Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan Allah didalamnya. Dan barangsiapa yang tidak memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (5:47).<br /><br />Sebagai muslim, tidaklah lalai menjalankan hukum-hukum Allah. Pedoman untuk menjalankan syari’at islam telah disampaikan oleh Allah kepada Rasul-Nya berupa qur’an sebagai kitab terakhir dalam agama samawi setelah diturunkan kitab zabur, taurat, dan injil kepada umat lain. Syari’at umat pada masa lalu dianggap sudah tidak berlaku lagi karena sudah diralat (mansukh) oleh syari’at yang terakhir. Syari’at inilah yang wajib diikuti oleh seluruh umat saat ini dan dimasa mendatang hingga yaumil wa’id. Firman Allah (QS:5/48). Pada era otonomi daerah ini, sesungguhnya sangat kondusif bagi umat islam untuk menata hukum yang lebih sesuai dengan keinginan masyarakat setempat. Demikian juga dari pihak pemerintah, telah menunjukkan sikap yang akomodatif terhadap keinginan umat islam untuk melaksanakan syari’atnya. <br />Setiap orang yang mengintegrasikan dirinya kepada Islam wajib membentuk seluruh hidup dan kehidupannya berdasarkan syari’at yang termaktub dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Hal tersebut sebagaimana diungkap oleh Yusuf Qardhawi, syari’at Ilahi yang tertuang dalam Al-Quran dan Sunnah merupakan dua pilar kekuatan masyarakat Islam dan agama Islam merupakan suatu cara hidup dan tata sosial yang memiliki hubungan integral, utuh menyeluruh dengan kehidupan idealnya Islam ini tergambar dalam dinamika hukum Islam yang merupakan suatu hukum yang serba mencakup. <br /><br />Asas-Asas dan Teori Penegakkan Hukum Islam<br />Pembahasan<br />Asas-asas Hukum Islam<br /><br />Asas secara etimologi memiliki makna adalah dasar, alas, pondamen (Muhammad Ali, TT : 18). Adapun secara terminologinya Hasbi Ash-Shiddiqie mengungkapkan bahwa hukum Islam sebagai hukum yang lain mempunyai azas dan tiang pokok sebagai berikut :<br />1. Asas Nafyul Haraji: meniadakan kepicikan, artinya hukum Islam dibuat dan diciptakan itu berada dalam batas-batas kemampuan para mukallaf. Namun bukan berarti tidak ada kesukaran sedikitpun sehingga tidak ada tantangan, sehingga tatkala ada kesukaran yang muncul bukan hukum Islam itu digugurkan melainkan melahirkan hukum Rukhsah.<br />2. Asas Qillatu Taklif: Tidak membahayakan taklifi, artinya hukum Islam itu tidak memberatkan pundak mukallaf dan tidak menyukarkan.<br />3. Asas Tadarruj: Bertahap (gradual), artinya pembinaan hukum Islam berjalan setahap demi setahap disesuaikan dengan tahapan perkembangan manusia.<br />4. Asas Maslahah: Hukum Islam seiring dengan dan mereduksi sesuatu yang ada dilingkungannya.<br />5. Asas al-‘adl al-Kaffah: Artinya hukum Islam sama keadaannya tidak lebih melebihi bagi yang satu terhadap yang lainnya.<br />6. Asas Estetika: Artinya hukum Islam memperbolehkan bagi kita untuk mempergunakan/memperhatiakn segala sesuatu yang indah.<br />7. Asas Menetapkan Hukum Berdasar Urf yang Berkembang Dalam Masyarakat: Hukum Islam dalam penerapannya senantiasa memperhatikan adat/kebiasaan suatu masyarakat.<br />8. Asas Syara’ Menjadi Dzatiyah Islam: Artinya Hukum yang diturunkan secara mujmal memberikan lapangan yang luas kepada para cendikiawan untuk berijtihad dan guna memberikan bahan penyelidikan dan pemikiran dengan bebas dan supaya hukum Islam menjadi elastis sesuai dengan perkembangan peradaban manusia.<br /> Hukum Islam adalah pedoman hidup yang ditetapkan Allah SWT untuk mengatur kehidupan manusia agar sesuai dengan keinginan Al-Quran dan Sunnah. Adapun Abu Zahrah mengemukakan pandangannya, bahwa hukum adalah ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf baik berupa iqtida (tuntutan perintah atau larangan), takhyir (pilihan) maupun berupa wadh’i (sebab akibat). Ketetapan Allah dimaksudkan pada sifat yang telah diberikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan mukalaf. Hasbi Ash-Shiddiqie mendefinisikan hukum secara lughawi adalah “menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sebagaimana hukum-hukum yang lain, hukum Islam memiliki prinsip-prinsip dan asas-asas sebagai tiang pokok, kuat atau lemahnya sebuah undang-undang, mudah atau sukarnya, ditolak atau diterimanya oleh masyarakat, tergantung kepada asas dan tiang pokonya. Secara etimologi (tata bahasa) prinsip adalah dasar, permulaan, aturan pokok. <br /><br />Teori Penegakkan Hukum Islam dan Kaitan Permasalannya<br />Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Islam<br />Hukum Islam merupakan alat yang ditujukan untuk mengubah perilaku warga muslim. Berdasarkan ilmu hukum, law is the tool of social engineering. Sebagai alat, tentunya hukum tidak bisa berdiri sendiri dalam mengatur perilaku ummat Islam. Contohnya perilaku yang biasa merusak lingkungan sosial bisa diubah secara bertahap melalui pemberlakuan hukum Islam dalam hal Qishas. Dalam al-Qur'an dicontohkan dalam ayat 32 surat al-Maidah, bahwa barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya. Ayat ini menunjukkan adanya kekuatan di dalam hukum untuk merubah pola kehidupan dari yang buruk dan saling merugikan menuju pada pola yang saling menguntungkan dan keadilan. Contoh lain misalnya sholat, ibadah ini sebagai standar orang-orang soleh di dalam Islam. Bahwa, orang-orang soleh pasti melaksanakan sholat dengan khusyuk dan benar. Dengan kekhusuannya, pola perilaku bersosialnya dapat terkontrol dengan baik dan selalu mengedepankan sisi kemanfaatan dan tidak merugiakan orang lain. <br />Hukum Islam dalam penegakannya juga mengalami hambatan yang terdiri dari berbagai faktor:<br />1. Faktor-faktor yang berasal dari pembentuk hukum.<br />2. Faktor-faktor yang berasal dari penegak hukum.<br />3. Faktor-faktor yang berasal dari pencari keadilan.<br />4. Faktor-faktor yang berasal dari golongan-golongan lain di dalam masyarakat. <br />(Soerjono Soekanto: 1994:119).<br /><br />Pertama: Faktor-faktor yang berasal dari pembentuk hukum<br />Di Indonesia pembentuk hukum adalah legislatif bersama-sama dengan eksekutif. Pembuatan Undang-undang haruslah melalui persetujuan kedua belah pihak. Untuk sekarang ini hanya ada beberapa hukum Islam yang telah dihasilkan oleh badan tersebut dalam pembentukan hukum Islam, yaitu Undang-undang perkawinan, Undang-undang tentang pengelolaan zakat, Undang-undang tentang perwakafan, dan Undang-undang tentang waris, serta Undang-undang tentang perbankan syariah. Sedangkan pelaksanaan sholat, haji dan puasa belum dibuat Undang-undang, semua itu baru pelaksanaan ibadah ritual dan masih banyak hukum Islam yang belum dijadikan Undang-undang. Masyarakat sebagai pendukung hak dan kewajiban sifatnya hanya menunggu untuk melaksanakan perundang-undangan yang dibentuk oleh legislative bersama eksekutif. Para polisi, jaksa dan hakim sebagai pelaksana penegakan hukum akan melaksanakan penegakan dengan sebaik-baiknya bila memang telah diundangkan oleh negara. Hukum itu mengikuti pola pikir. Pola-pola berpikir manusia mempengaruhi sikapnya, yang merupakan kecenderungan-kecenderungan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu terhadap manusia, benda maupun keadaan-keadaan. Sikap-sikap manusia kemudian membentuk kaidah-kaidah, oleh karena itu manusia cenderung untuk hidup teratur dan pantas. Pembentuk Undang-undang sangat menentukan dalam penegakan hukum Islam. Ketika Undang-undangnya sudah ada, berjalannya masih tergantung pada man behind the law apalagi Undang-undang yang harus diundangkan belum seluruhnya terwujud.<br />Kedua: Faktor yang berasal dari penegak hukum<br />Di Indonesia dikenal dengan beberapa penegak atau pelaksana hukum, misalnya, Hakim, Jaksa, dan Polisi yang masing-masing mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Peranan masing-masing tidak lepas dari pengaruh struktur yang ada dilembaganya, hakim dalam melaksanakan tugasnya banyak dipengaruhi oleh sistem, lembaganya dan juga struktur di dalamnya. Walaupun posisi hakim adalah orang yang independen dalam memutus perkara, tetapi kenyataannya mereka dipengaruhi oleh lembaga tempat ia bekerja. Begitu pula jaksa dan polisi, keduanya ini secara tanggung jawab tidak punya independensi bahkan kebanyakan dipengaruhi oleh struktur dan sistem yang digunakan pada lembaga tersebut sehingga dalam penegakan hukum banyak dipengaruhi oleh lembaga tersebut.<br />Berdasarkan teori fungsionalisme struktural Robert K. Merton (Margaret M. Poloma, 2000: 31) bahwa struktur birokrasi dapat melahirkan tipe kepribadian yang mematuhi peraturan-peraturan tertulis daripada semangat untuk mentaati peraturan-peraturan yang tidak diundangkan. Bila melihat teori ini, hukum Islam sebagai hukum yang tidak diundangkan dan selama ini dianggap sebagai hukum yang tidak tertulis namun pada kenyataan banyak ummat Islam yang mentaatinya. Contohnya hukum zakat, ketika datang hari raya idhul fitri masyarakat berbondong-bondong menyerahkan zakat fitrah kepada para amil zakat. Hal ini tampak hukum Islam yang berlaku di Indonesia banyak ditaati oleh kaum muslimin walaupun tidak diundangkan, maka selayaknya para penegak hukum juga punya kontribusi untuk mengusulkan supaya diberlakukan hukum Islam yang telah dilaksanakan oleh kaumnya.<br />Ketiga: Faktor yang berasal dari pencari keadilan<br />Orang-orang yang mengajukan perkara merupakan faktor yang mempengaruhi penegakan hukum Islam. Ada orang punya masalah dengan hukum tetapi tidak mau mengajukannya ke Pengadilan, maka akan mengurangi peranan peradilan. Dan ada pula orang-orang yag berperkara selalu ingin menang dengan cara apapun juga mengurangi wibawa penegak hukum. Memang hukum itu adalah sebagai sarana pengatur perilaku yang mana membutuhkan sarana untuk menyampaikan pesan-pesan yang ada di dalam hukum. Suatu contoh, hukum perlu komunikasi (Soerjono Soekarno, 1994: 119) supaya hukum benar-benar dapat mempengaruhi perikelakuan warga-warga masyarakat, maka hukum tadi harus disebarluaskan seluas mungkin sehingga melembaga dalam masyarakat, adanya alat-alat komunikasi tertentu, merupakan salah satu syarat bagi penyebaran serta perkembangan hukum, komunikasi hukum tersebut, dapat dilakukan secara formal, yaitu suatu tata cara yang terorganisasi dengan resmi, akan tetapi disamping itu juga ada tata cara yang tidak resmi sifatnya.<br />Keempat: Faktor yang berasal dari golongan-golongan lain di dalam masyarakat<br />Jika diadakan pengamatan sepintas lalu, kita akan dapat menyimpulkan bahwa dalam masyarakat terdapat bentuk-bentuk pengelompokan yang menghimpun manusia, kelompok-kelompok sosial itu terbentuk berdasarkan kepentingan yang memiliki tujuan sama, namun tidak jarang pula terbentuknya karena mempunyai musuh yang sama, kelompok-kelompok semestinya bermasyarakat antara satu dengan yang lain. <br />Pada bagian ini kita hanya melihat pada kemampuan, kekuatan ikatan sosial terhadap penegakan hukum Islam. Misalnya sekelompok kyai dipandang lebih cakap dalam hal hukum Islam, ketika memberikan fatwa-fatwa hukum akan lebih banyak ditaati oleh warga muslim, ini menunjukkan bahwa kelompok masyarakat kyai sangat mempengaruhi penegakan hukum Islam. Begitu juga MUI dan Ormas lainnya. MUI sebagai representatif pemerintah dalam hal keagamaan (Hukum Islam) fatwa-fatwanya juga banyak dilaksanakan oleh warga muslim, artinya MUI punya peranan dalam penegakan hukum Islam di Indonesia. Penegakan hukum Islam pada hakekatnya banyak dipengaruhi oleh sistem nilai, dimana ia yang dipengaruhi oleh sistem nilai yang dipahami oleh warga muslim itu sendiri. Sedangkan sistem nilai menurut Koentjoroningrat berpangkal pada lima masalah pokok dalam kehidupan manusia:<br />1. Hakekat dan sifat manusia<br />2. Hakekat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu.<br />3. Hakekat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya.<br />4. Hakekat hubungan manusia dengan sesamanya atau lingkungan sosialnya. <br />Keberlakuan Dan Pelaksanaan Hukum Islam<br />1. Keberlakuan hukum Islam<br />Hukum Islam adalah fenomena sakral yang eternal. Fakta obyektif menunjukan, inti sari dan bahan baku hukum Islam adalah wahyu Tuhan yang bersifat sakral dan eternal. Wahyu Tuhan tersebut dikemas dalam rangkaian program pemerataan kemaslahatan, keadilan, dan kesejahteraan manusia yang dituangkan dalam Al-Qur’an dan Hadits di bawah pengawasan dan perlindungan Tuhan dan dijamin kebal dari intervensi yang merusak sakralitasnya (Q.S. Yusuf (12): 63). Preskripsi syar’i (wahyu Tuhan) tersebut tidak berubah, tidak dapat diubah, dan tidak akan berubah, sebab program pewahyuan telah purna bersama usainya risalah Rasulullah SAW. Dengan demikian, sakralitas hukum Islam (bahan bakunya) benar-benar murni terbebas dari intervensi dalam bentuk apapun dan siapapun. <br />Inilah yang dimaksud dengan hukum Islam sebagai fenomena sakral dan eternal. Teks syar’I sebagai fenomena yang menjadi sumber moral keagamaan, tidak mungkin dijadikan postulat intelektual yang harus diimani, tetapi untuk dilaksanakan di dunia realitas ini. Hukum Islam yang telah menjadi kaidah sosial ada yang berlaku secara yuridis formal yang disebut hukum formal dan ada hukum Islam yang berlaku secara normative.<br />Hukum Islam yang berlaku secara yuridis formal adalah sebagian dari hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain benda dalam masyarakat yang dirangkum dalam istilah muamalah. Bagian hukum Islam ini menjadi hukum positif berdasarkan atau karena ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan. Contohnya adalah hukum perkawinan, hukum kewarisan dan hukum wakaf. Hukum Islam yang berlaku secara yuridis formal merupakan bantuan penyelenggara Negara untuk menjalankannya secara sempurna, misalnya dengan mendirikan peradilan Agama yang menjadi salah satu unsur system peradilan di Negara kita.<br />Hukum Islam yang berlaku secara normative adalah bagian hukum Islam yang mempunyai sanksi yang bersifat normative. Untuk melaksanakan hukum Islam yang bersifat normative pada umumnya tidak memerlukan bantuan penyelenggara Negara. Diantaranya adalah kaidah-kaidah hukum Islam mengenai pelakasanaan ibadah sholat, puasa, zakat, dan haji, yakni yang termasuk kategori hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, berlaku secara normative di tanah air kita. Namun, karena sifatnya yang unik ada juga hukum Islam bidang ibadah murni ini yang memerlukan bantuan penyelenggara Negara untuk melaksanakannya secara sempurna yakni hukum Islam mengenai ibadah haji dan zakat.<br />Kaidah-kaidah yang belum diakomodir oleh pemerintah berlakunya tidak bisa dipaksakan oleh Qadhi (hakim) dan kaidah yang telah diakomodir oleh pemerintah, berlakunya dapat dipaksakan oleh hakim. Misalnya kaidah sholat yang menjadi kewajiban bagi umat Islam, jika tidak dilaksanakan maka pemerintah tidak bisa memaksa untuk mengerjakannya.<br />Secara sosiologis merupakan suatu gejala yang wajar, bahwa akan ada perbedaan antara kaidah-kaidah hukum di satu pihak dengan perikelakuan yang nyata. Hal ini terutama disebabkan oleh karena kaidah hukum merupakan patokan-patokan tentang perikelakuan yang diharapkan. Patokan-patokan itu dalam hal-hal tertentu merupakan abstraksi dan pola-pola perikelakuan. Namun demikian, ada baiknya untuk dikemukakan pendapat dari ahli ilmu social mengenai perbedaan antara perikelakuan sosial yang nyata dengan perikelakuan sebagaimana yang diharapkan oleh hukum. L Pospisil (1958: 54) seorang antropolog menyatakan bahwa dasar-dasar hukum adalah sebagai berikut:<br />a. Hukum merupakan suatu tindakan yang berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial. Agar dapat dibedakan antara hukum dengan kaidah lainnya, dikenal dengan adanya empat tanda hukum atau attribute of law.<br />b. Tanda yang pertama dinamakannya attribute of autbority, yaitu bahwa hukum merupakan keputusan-keputusan dari pihak-pihak yang berkuasa dalam masyarakat, keputusan-keputusan mana ditujukan untuk mengatasi keteganganketegangan yang terjadi di dalam masyarakat.<br />c. Tanda yang kedua disebut attribute of intention of universal application yang artinya adalah bahwa keputusan-keputusan yang mempunyai daya jangkau yang panjang untuk masa mendatang.<br />d. Atribute of obligation merupakan tanda ketiga yang berarti bahwa keputusankeputusan penguasa harus berisikan kewajiban-kewajiban pihak kesatu terhadap pihak kedua dan sebaliknya. Dalam hal ini semua pihak harus masih di dalam kaidah hidup.<br />e. Tanda keempat disebut sebagai attribute of sanction yang menentukan bahwa keputusan-keputusan dari pihak yang berkuasa harus dikuatkan dengan sanksi yang didasarkan pada kekuasaan masyarakat yang nyata.<br />Merupakan kenyataan bahwa pada masyarakat-masyarakat tertentu kaidah-kaidah yang tidak diakomodir oleh pemerintah berlaku lebih kuat dari pada kaidah hukum yang diakomodir oleh pemerintah. Di dalam sebuah perkampungan, orang lebih percaya kepada lembagalembaga masyarakat, misalnya modin, untuk menyelesaikan berbagai persoalan agama dari pada maju ke pengadilan.<br />Di negara-negara selain Indonesia yang pada umumnya orang hanya melihat dua alternatif dalam hubungan antara agama dengan negara yaitu:<br />a. Negara agama, yakni negara yang berdasarkan suatau agama tertentu.<br />b. Negara sekuler, yakni negara yang memisahkan agama dari negara.<br />Bangsa Indonesia mempunyai alternatif lain, yaitu negara pancasila (Departemen Agama, 1987: 15). Sebagai Negara yang bukan mendasari berlakunya hukum atas hukum agama tertentu, maka Indonesia mengakomodir semua agama, karena itu hukum Islam mempunyai peran besar dalam menyumbangkan materi hukum atas hukum Indonesia.<br />Ada tiga alasan dasar yang memberi posisi yuridis bagi keberlakuan hukum Islam di Indonesia, yaitu :<br />a. Dasar filosofis<br />Injeksi substansial segi-segi normatif ajaran Islam di Indonesia melahirkan sikap epistimologi yang mempunyai sumbangan besar bagi tumbuhnya pandangan hidup, cita moral dan cita hukum dalam kehidupan sosio kultur masyarakat. Proses demikian berjalan seiring dengan tingkat pemahaman keagamaan, sehingga memantulkan korelasi antara ajaran Islam dengan realitas sosial dan fenomena keIslaman itu, bagaimana mempunyai peranan substansial dalam arena kelahiran norma fundamental Negara.<br />b. Dasar sosiologis<br />Sejarah masyarakat Islam Indonesia menunjukkan bahwa cita hukum dan kesadaran hukum dalam kaitannya dengan kehidupan keIslaman memiliki tingkat aktualitas yang berkesinambungan seperti adanya gejala mentahkim-kan permasalahan kepada orang yang difigurkan sebagai Muhakam dan pada akhirnya terkristalisasi menjadi suatu tradisi Tauliyah hingga sekarang pada dimensi lain pengaruh epistimologi keIslaman menyebar keaspek-aspek kehidupan, sehingga tingkat religiusitasnya yang kuat dipertahankan secara berkesinambungan.<br />c. Dasar yuridis<br />Sejarah hukum Indonesia menunjukkan bahwa validitas fenomena yuridis mampu mengungkap perjalanan tata hukum, perjalanan panjang tata hukum kolonial yang sarat dengan cita kolonialistiknya tetap tidak mampu membendung tuntutan layanan masyarakat Islam, sehingga pada akhirnya mengakui bahwa hukum Islam diberi tempat di dalam tata hukumnya yang menjadi dasar pengakuan ini adalah melalui pasal II aturan peradilan Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian tuntutan layanan hukum dan peradilan bagi masyrakat Islam diatur dalam pasal 29 UUD 1945. dan sekarang Peradilan Agama (PA) masuk di bawah Mahkamah Agung. <br /><br />Hukum Islam Dan Teori Penegakkan Hukum Di Indonesia<br />Hukum Islam tentang Penataan Hukum<br />Hukum Islam adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasulullah, untuk disampaikan kepada umatnya. la bukan sebuah teori, tetapi merupakan ajaran ilahi yang harus dipelajari, dipraktikkan, dan diberlakukan untuk menetapkan keteraturan dalam kehidupan masyarakat serta keseirnbangan antara kewajiban dan hak. Hukum Islam akan berlaku bagi seluruh umat manusia di dunia sampai akhirat, tetapi bila Hukum Islam dijadikan hukum positif di suatu negara, maka keberlakuannya hanya bagi masyarakat Islam. Ajaran tentang penataan hukum dalam kajian ilmu hukum memang merupakan sebuah teori yang dikemukakan oleh ahli hukum berdasarkan proses hukum yang terjadi di masyarakat, tetapi dari segi Hukum Islam hal itu tidak saja disebut sebagai teori, melainkan merupakan prinsip yang wajib diberlakukan. Secara konseptual, terdapat prinsip prinsip Hukum Islam yang mencakup penataan dan penerapan Hukum Islam bagi orang Islam. Bahwa Allah dan rasul Nya, memerintahkan kepada orang yang beriman supaya menjalankan hukumnya.<br />Menurut Abdul Qadir Audah dalam bukunya “Islam Ditengah Kejahilan Ummat Dan Ulamanya” berkata: Orang yang tidak memutuskan perkara menurut hukum Allah, ada tiga macam:<br />Pertama: Karena kafir atau ingkar dan bencinya kepada hukum Allah dan mengingkari adanya kebaikan padanya, orang yang semacam ini kafir (QS. Al-Maidah: 44), Kedua: Karena menuruti hawa nafsunya meskipun mereka memandang adanya kebaikan pada hukum Allah, tapi menganggap ada hukum lain yang lebih baik dan lebih sesuai, orang semacam ini dinamakan zalim (QS. Al-Maidah: 45), Ketiga: Orang yang berkayakinan bahwa hukum Allah-lah yang paling baik dan paling adil tetapi memilih hukum selainnya karena manfaat dunia, sanggup mendurhakai hukum Allah karena dunia (harta, kuasa dan wanita), mereka ini disebut fasik atau pendurhaka (QS. Al-Maidah: 47). Oleh karena itu, dari segi Hukum Islam semestinya berlaku teori penataan hukum, bahwa bagi setiap orang Islam berlaku Hukum Islam dan wajib menjalankannya sebagai tuntutan akidah (Q.S. 4 An Nisa: 59 dan Q.S. 24 An Nur: 51 dan 52).<br />Hukum Islam dan Teori Penerimaan Otoritas Hukum<br />Teori Penerimaan Otoritas Hukum diperkenalkan oleh seorang orientalis Kristen, H.A.R. Gibb, dalam bukunya The Modern Trends of Islam, seperti dikutip H. Ichtijanto, bahwa orang Islam jika menerima Islam sebagai agamanya, ia akan menerima otoritas Hukum Islam terhadap dirinya. Berdasarkan teori itu, secara sosiologis, orang yang memeluk Islam akan menerima otoritas Hukum Islam dan taat dalam menjalankan Hukum Islam. Namun, ketaatan ini akan berbeda satu dengan lainnya dan sangat bergantung pada tingkat ketakwaan masing masing kepada Allah dan rasul Nya. Bisajadi, ada orang Islam mampu menjalankan Hukum Islam ini secara kaffah terhadap seluruh aspek kehidupannya; disisi lain, ada juga orang Islam hanya menjalankan Hukumnya secara parsial dalam beberapa bidang kehidupan berdasarkan kemauannya.<br />Teori ini menggambarkan pula bahwa di dalam masyarakat Islam ada Hukum Islam yang ditaati oleh orang orang Islam. Orang orang Islam menaati Hukum Islam karena diperintahkan oleh Allah dan rasul Nya. Oleh karena itu, kalau mereka telah menerima Islam sebagai agamanya, maka mereka akan menerima otoritas Hukum Islam terhadap dirinya. Bagi orang Islam, Hukum Islam adalah kehendak dan tatanan Allah dan tradisi rasul.<br />Gibb, selanjutnya membandingkan antara Hukum Islam dengan hukum Romawi dan hukum modern pada umumnya, bahwa Hukum Islam bukanlah hasil karya budaya manusia yang bersifat gradual. la adalah ketentuan agama, sebagaimana dikatakannya: “Artinya: tidak seperti hukum yang diwarisi Kristen dan Romawi, Hukum Islam memasukkan ke dalam wewenangnya semua jenis hubungan, baik terhadap Tuhan maupun terhadap manusia, termasuk pelaksanaan kewajiban agama dan pembayaran zakat, maupun lembaga lembaga domestik, sipil, ekonomi, ataupun politik .... Akibatnya, Hukum Islam tidak dapat dianggap (sebagaimana hukum Romawi dan hukum modern) sebagai endapan yang bertahap dari pengalaman historitis manusia. Fungsinya yang utama adalah menglasifikasikan perbuatan perbuatan baik dan buruk, dalam standar itu adalah persoalan yang sekunder.”<br />Untuk memperkuat teori Gibb di atas, dapat dikemukakan pula pendapat para orientalis Barat yang berpendapat sama. Misalnya disampaikan oleh Charles J. Adams, seorang profesor dan direktur Islamic Studies Montreal Canada, mengemukakan bahwa hukum Islam merupakan subjek terpenting dalam kajian Islam karena sifatnya yang menyeluruh; meliputi semua bidang hidup dan kehidupan muslim. Berbeda dengan cara memelajari hukum hukum lain, studi tentang Hukum Islam memerlukan pendekatan dan pemahaman khusus, sebab yang termasuk bidang Hukum Islam itu bukan hanya apa yang disebut dengan istilah law dalam hukum Eropa, tetapi juga tentang masalah sosial lain di luar wilayah yang biasanya dikatakan law itu. Orang orang Islam sendiri kata Adams, bukan saja telah memberi kedudukan yang istimewa kepada Hukum Islam, tetapi juga telah memelajarinya secara seksama dan telah berhasil pula merumuskannya menjadi garis garis atau kaidah hukum yang mengatur tingkah laku manusia dalam segala bidang hidup dan kehidupan.<br />Hukum Islam dan Teori Receptie in Complexu<br /> Teori receptie in complexu, dikemukakan oleh Prof Mr. Lodewijk Willemstian Van den Berg (1845 1927), seorang ahli di bidang Hukum Islam yang tinggal di Indonesia pada tahun 1870 1887. la mengatakan, bahwa bagi orang Islam berlaku penuh Hukum Islam, sebab mereka telah memeluk agamanya, walaupun dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan penyimpangan. Juga mengusahakan agar hukum kewarisan dan hukum perkawinan Islam dijalankan oleh hakim hakim Belanda dengan bantuan para penghulu qadhi Islam. Pemikiran itu berkembang karena memang sebelum Belanda datang ke Indonesia, dengan misi dagang VOC, di sini telah banyak kerajaan Islam yang memberlakukan Hukum Islam. Paham yang dianut (legal system) pada umumnya bermazhab Imam Syafi'i. Kerajaan kerajaan tersebut telah menerapkan norma norma Hukum Islam dan masyarakat sudah memberlakukannya. <br />Dengan fakta ini, para ahli hukum Belanda membuat kodifikasi hukum bagi pedoman pejabat untuk menyelesaikan urusan hukum bagi rakyat pribumi yang tinggal di wilayah kekuasaannya. Beberapa kodifikasi hukum yang terkenal saat itu antara lain. 1. Compendium Freijer, merupakan kitab hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam oleh pengadilan VOC (Resolutie der Indisch Regering, tanggal 25 Mei 1760). 2. Cirbonsch Rechtboek, disusun atas usul Residen Cirebon, Mr. P. C. Hosselaar (1757 1765). Compendium der Voornaamste Javaanisch Wetten Nauwkeuring Getrokken uit het Mohammedaansch Wetboek Mogharraer, disusun untuk Landraad semarang (1750). 4. Compendium Indlansch Wetten bij de Hoven van Bone en Goa, disahkan oleh VOC untuk daerah Makassar (Sulawesi Selatan). <br />Berdasarkan kenyataan ini, Van den Berg sesungguhnya telah berjasa terhadap masyarakat pribumi yang beragama Islam karena ia telah merumuskan keberadaan Hukum Islam tersebut dengan teori receptio in complexu, artinya hukum yang berlaku bagi suatu kasus adalah menurut agama yang dianut di daerah setempat. Ia juga berjasa dalam penerbitan Staatsblaad (Stbl. 1882 No. 152) yang mengakui kewenangan badan badan peradilan agama yang berbeda namanya di setiap tempat, untuk menjalankan yurisdiksi hukumnya berdasarkan Hukum Islam. Jasa Van den Berg tidak hanya itu, ia pun telah berjasa dalam memberikan pernahaman yang lebih baik terhadap Hukum Islam bagi pejabat pejabat pemerintah Hindia Belanda dan para hakimnya. Hasil karya pernikirannya berupa tulisan yang berkaitan dengan Islam dan hukurn Islam telah berguna dalam meningkatkan pengertian terhadap norma Hukum Islam yang berlaku di Indonesia, misalnya tentang asas asas Hukum Islam (Mohammedaansche Recht, 1882) menurut ajaran Imam Syafi'i dan Hanafi. Kemudian tulisan tentang hukum famili dan hukum waris Islam di Jawa dan Madura (1892), yang berisi tentang Hukum Islam yang berlaku bagi orang Indonesia yang beragama Islam dengan beberapa catatan penyimpangan yang dilakukan oleh umat Islam sendiri. la juga berhasil menerjemahkan kitab berbahasa arab Fathulqorib dan Minhaajutthalibin ke dalam bahasa Prancis. <br />Hukum Islam dan Teori Receptie<br />Teori receptie diperkenalkan oleh Prof Christian Snouck Hurgronye (185 7 1936), sebagai penasihat pemerintah Hindia Belanda, (1898) berkenaan dengan Islam dan masyarakat. Teori ini tertuang dalam pasal 134 Indiche Straaftregeling (IS) ayat 2 yang terkenal sebagai pasal receptie. Sebelum menentukan kebijakannya di bidang hukum Islam di Indonesia, ia sengaja belajar agama Islam di Mekkah dengan menggunakan nama samaran "Abdul Gafar" (1884 1885) dan hampir menunaikan ibadah haji. Memasuki Mekkah menyamar berprofesi sebagai dokter mata dan fotografer. Selain ahli dalam Hukum Islam, ia juga menguasai hukum adat di wilayah Indonesia bagian utara, tepatnya Aceh. Hal ini terepresentasikan dalam tulisan¬-tulisannya, berjudul De Atjehers dan De Gojaland. <br />Hugronye memasuki wilayah Aceh dan Jawa Barat dalam upaya mengkaji sikap pemerintah Hindia Belanda terhadap kebijakan umat Islam yang begitu fanatik terhadap agamanya. Sikap umat Islam ini tertuang dalam Stbl. 1882 No. 152 yang melahirkan teori receptio in complexu. Ia mengomentari bahwa kebijakan pemerintah Hindia Belanda terhadap masyarakat Islam selama ini telah merugikan pemerintah jajahannya sendiri. Maka, dalam kedudukannya sebagai penasihat pemerintah Hindia Belanda, Snouck Hurgronye memberikan nasihatnya yang terkenal dengan Islam Policy. Kebijakan yang dirumuskan Hurgronye terhadap Hukum Islam dan masyarakatnya, yaitu: <br />Pertama, Bidang agama, pemerintah Hindia Belanda hendaknya memberikan kebebasan secara jujur dan secara penuh tanpa syarat bagi orang orang Islam. Kedua, Bidang kemasyarakatan, pernerintah Hindia Belanda hendaknya menghormati adat istiadat dan kebiasaan rakyat yang berlaku, dengan membuka jalan yang dapat menuntut taraf hidup rakyat jajahan pada suatu kemajuan yang tenang ke arah mendekati pemerintah Hindia Belanda, dengan memberikan bantuan kepada mereka yang menempuh jalan ini. Ketiga, Bidang ketatanegaraan, mencegah timbulnya ideology yang dapat membawa dan menumbuhkan gerakan Pan Islamisme, yang mempunyai tujuan untuk mencari kekuatan-kekuatan lain dalam perlawanan menghadapi pemerintah Hindia Belanda. <br />Kebijakan tersebut melahirkan teori receptie, artinya Hukum Islam dapat diterima sebagai hukum apabila telah dilaksanakan oleh masyarakat adat, maka kemudian berlakulah sebagai hukum adat. Selanjutnya, di Indonesia dikembangkan 19 wilayah hukum adat yang berbeda satu dengan lainnya. Pada pasal 134 IS disebutkan bahwa bagi orang orang pribumi, kalau mereka menghendaki, diberlakukan Hukum Islam selama hukum itu telah diterima oleh masyarakat hukum adat. Pasal ini sering disebut pasal receptie. Dalam kaitan hukum Islam, kebijakan pemerintah Hindia Belanda ini merupakan usaha untuk melumpuhkan dan menghambat pelaksanaan<br />Hukum Islam dengan cara sebagai berikut: Dalam hukum pidana, Tidak memasukkan hudud dan qishas. Hukum pidana yang berlaku bersumber langsung dari Wetboek van Strafrecht dari Nederland yang berlaku sejak Januari 1919 (Stbl. 1915: 732). Dalam hukum tata negara, Ajaran Islam yang menyangkut hal tersebut dihilangkan sekaligus. Pengajian Alquran dan As Sunnah untuk memberikan pelajaran agama dalarn politik kenegaraan atau ketatanegaraan dilarang. Dalam hukum muamalah, Dipersempit hanya menyangkut hukum perkawinan dan hukum kewarisan. Hukum kewarisan Islam pun mulai diminimalisir dengan langkah langkah sistematis. Misalnya, menanggalkan wewenang raad agama di Jawa dan Kalimantan Selatan untuk mengadili masalah kewarisan; memberi wewenang memeriksa masalah waris kepada landraad, dan melarang penyelesaian dengan Hukum Islam, jika di tempat adanya perkara tidak diketahui bagaimana bunyi hukum adat.<br /> Berpegang pada Islam Policy itu, sejak 1922 dirumuskan re organisasi badan¬-badan peradilan yang ada melalui perubahan pasal pasal IS. Sejak itu pula, dibentuk sebuah komisi tentang peremajaan kekuasaan peradilan agama. Komisi tersebut diketuai oleh Ter Haar, yang kemudian mengeluarkan kebijakan tentang kewarisan dalam Stbl. 1937 untuk mengurangi kewenangan peradilan agama dibidang kewarisan bagi umat Islam. <br />Menurut Alfian, teori receptie berpijak pada asumsi dan pemikiran bahwa jika orang orang pribumi memunyai kebudayaan yang sama atau dekat dengan kebudayaan Eropa, maka penjajahan atas Indonesia akan berjalan dengan baik dan tidak akan timbul guncangan guncangan terhadap kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Oleh karena itu, pernerintah Belanda harus mendekati golongan golongan yang akan menghidupkan hukum adat dan memberikan dorongan kepada mereka, untuk mendekatkan golongan hukum adat kepada pemerintahannya.<br />Hukum Islam dan Teori Receptie Exit<br />Penentangan terhadap teori receptie yang dikembangkan oleh Hurgronye tidak hanya selama Indonesia dijajah oleh Belanda, tetapi berlanjut hingga Indonesia memasuki kemerdekaan. Para ahli hukum Indonesia mencermati betul teori tersebut yang mengakibatkan masyarakat Indonesia menjauhi Hukum Islam. Salah satu yang menentangnya adalah Prof Dr. Hazairin, S.H., dalam bukunya “Tujuh Serangkai tentang Hukum. la berpendirian bahwa setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan 17 Agustus 1945, melalui Pasal 11 Aturan Peralihan Undang Undang Dasar 1945 yang menyatakan hukum warisan kolonial Belanda, masih tetap berlaku selama jiwanya tidak bertentangan dengan Undang¬Undang Dasar, maka seluruh peraturan perundang undangan pernerintah Hindia Belanda yang mendasarkan pada teori receptie dianggap tidak berlaku lagi karena jiwanya bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945. Teori receptie harus exit karena bertentangan dengan Alquran dan As Sunnah. Hazairin menyebutkan teori receptie adalah "teori iblis". <br />Pendapat Hazairin dalam hal ini didasarkan pada pembukaan Undang Undang Dasar 1945 (alinea III) yang menyatakan, "Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang; bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya." Demikian juga (alinea IV menyebutkan, "Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa." Kedua rumusan tersebut menggambarkan bahwa negara Indonesia sangat akrab dengan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan agama." Menurut Hazairin, istilah Yang Maha Esa merupakan istilah kompromi, menggantikan istilah "ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Hukum Islam bagi pemeluk pemeluknya." Walaupun telah diganti dengan istilah "Ketuhanan Yang Maha Esa," tidak berarti dapat menyingkirkan Hukum Islam atau hukum agama. Dengan istilah tersebut, hukum agama yang diberlakukan di Indonesia bagi penganut penganutnya bukan Hukum Islam saja, tetapi hukum agama agama lain juga berlaku. <br />Berdasarkan pemikiran dan penentangannya terhadap teori receptie, Hazairin memberikan kesimpulan bahwa: <br />Pertama, Teori receptie dianggap tidak laku dan exit dari tata hukum negara Indonesia sejak tahun 1945, melalui merdekaan bangsa Indonesia yang memberlakukan UUD 1945 sebagai dasar gara Indonesia. Demikian juga setelah adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kembali kepada ULTD 1945. Kedua, Sesuai dengan UUD 1945 pasal 29 ayat maka negara Republik Indonesia berkewajiban membentuk hukum Nasional salah satu sumbernya adalah hukum agama dan Ketiga, Sumber hukum Nasional selain agama Islam, juga agama lain bagi pemeluk agamanya masing masing, di bidang hukum perdata maupun hukum pidana sebagai hukum Nasional.<br />Hukum Islam dan Teori Receptio a Contrario<br />Teori ini dikembangkan oleh H. Sayuti Thalib, seorang pengajar utama Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Ia menulis buku tentang Receptio a Contrario: “Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam." Buku ini mengungkapkan perkembangan Hukum Islam dari segi politik hukum, berkaitan dengan politik hukum penjajah Belanda selama di Indonesia hingga melahirkan teori receptio in complexu; teori receptie; perubahan dan perkembangan Hukum Islam dalam praktik; sekaligus juga membicarakan teori receptio a contrario sebagai pemikirannya. Teori ini muncul berdasarkan hasil penelitian terhadap hukum perkawinan dan kewarisan yang berlaku saat itu, dengan mengemukakan pemikirannya sebagai berikut: <br />1. Bagi orang Islam berlaku Hukum Islam; <br />2. Hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita cita hukum, cita cita batin, dan moral. <br />3. Hukum adat berlaku bagi orang Islam jika tidak bertentangan dengan agama Islam dan Hukum Islam. <br />Teori ini disebut dengan nama reception a contrario karena mernuat teori tentang kebalikan (contra) dari teori receptie. Sayuti Thalib berpendirian bahwa di negara Indonesia yang mendasarkan hukumnya pada Pancasila dan UUD 1945, semestinya orang yang menaati hukum agamanya. Sila pertama dari Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, berisi maksud dan tujuan tersebut. Di samping itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional bersama Fakultas Hukum Ul, IAIN Antasari Banjarmasin, dan laporan penelitian Direktorat Pembinaan Administrasi Ditjen Pembinaan Badan Peradilan Departemen Kehakiman, menghasilkan gambaran bahwa cita cita moral, cita cita batin, dan kesadaran hukum untuk berhukum dengan hukum Nasional Indonesia harus tidak bertentangan dengan cita cita Hukum Islam sehingga akan berkembang keinginan batin dan kesadaran batin bagi orang Islam menaati Hukum Islam. <br /> Hubungan antara Hukum Islam dengan hukum adat sangat akrab. Hukum Islam mempunyai kedudukan inti dan mendasar. Hal tersebut dapat dipahami karena masyarakat tersebut beragama Islam. Sayuti Thalib dalarn menemukan dan mengemukakan rumusan teori receptio a contrario mendasarkan pada asas-asas sebagai berikut: <br />a). Pada prinsipnya dalam kaitannya dengan perintah Tuhan dan rasul, kalau diformulasikan, perintah itu berarti wajib. <br />b). Larangan pada dasarnya adalah ketidakbolehan untuk dikerjakan (haram); dan <br />c). Adat kebiasaan (urf) dapat dijadikan hukurn selama tidak bertentangan dengan Hukum Islam (al 'adah muhakkamah). <br />Hukum Islam Dan Teori Eksistensi<br />Teori Eksistensi ini dikemukakan oleh H. Ichtijanto S.A., dosen pengajar mata kuliah Kapita Selekta Hukurn Islam dan Sejarah Hukum Islam pada Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia. la berpendapat, bahwa teori eksistensi dalarn kaitannya dengan hukurn Islam adalah teori yang menerangkan tentang adanya hukurn Islam di dalarn hukurn Nasional. Teori ini mengungkapkan, bentuk eksistensi hukurn Islam sebagai salah satu sumber hukum Nasional ialah sebagai berikut: <br />1). Merupakan bagian integral dari hukum Nasional Indonesia; <br />2). Keberadaan, kemandirian, kekuatan, dan wibawanya diakui oleh hukurn Nasional serta diberi status sebagai hukum Nasional; <br />3). Norma norma hukum Islam (agama) berfungsi sebagai penyaring bahan bahan hukum Nasional Indonesia; dan <br />4). Sebagai bahan utama dan unsur utama hukum Nasional Indonesia.<br />Hukum Nasional adalah hukum yang bersumber pada Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Negara Indonesia mengakui atas ke bhineka an yang mewujud dalam kehidupan beragama dan sistem hukum Indonesia yang bersumber pada hukum adat, Hukum Islam, dan hukum barat. Hukum Islam merupakan salah satu sumber hukum yang masuk dalam sistem hukum Nasional. Dalam kenyataanya di masyarakat, Hukum Islam masih tetap diberlakukan baik secara individual maupun kolektif Oleh karena itu, jelas sekali, Hukum Islam eksis di dalam hukum Nasional Indonesia.<br /><br />Prospek Penegakkan Hukum Islam Di Indonesia<br />Pelaksanaan hukum Islam di Indonesia dapat dilakukan melalui berbagai jalur iman dan taqwa, Perundang-undangan, pilihan hukum, penelitian dan jalur pembinaan. Jalur pertama adalah jalur iman dan taqwa, melalui jalur ini pemeluk agama Islam dan Negara Republik Indonesia dapat melaksanakan hukum Islam yang merupakan bagian dan berasal dari agama Islam. Hal ini berkaitan dengan bidang ibadah, intensitas pelaksanaanya tergantung kepada kualitas keimanan dan ketaqwaan yang ada pada diri muslim yang bersangkutan, kalau imannya baik dan taqwanya benar, hukum Islam akan berjalan dalam masyarakat muslim yang anggota-anggotanya beriman dan bertaqwa, pelaksanaan hukum Islam melalui jalur ini dijamin oleh Negara Republik Indonesia yang terdapat dalam pasal 29 ayat (2) UUD 1945.<br />Jalur kedua adalah peraturan Perundang-undangan telah ditunjuk hukum perkawinan, hukum kewarisan, hukum perwakafan sebagai hukum ibadah tersebut di atas yang sanksinya diberi oleh masyarakat atau anggota masyarakat yang bersangkutan, melalui jalur kedua ini sanksi diberi oleh penyelenggara negara melalui Peradilan Agama sebagaimana dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).<br />Jalur ketiga hukum Islam Bidang Mu’amalah dapat dilakukan jalur pilihan. Misalnya, dalam transaksi pinjam-meminjam melalui pilihan Perbankan. Yaitu Bank Mu’amalah Indonesia, BNI Syari’ah, Bank Mandiri Syari’ah dan sebagainya. Jalur keempat melalui jalur penelitian yaitu pada barang-barang makanan yang diserahkan kepada Lembaga Pusat Penelitian Obat Dan Makanan (LPPOM). Jalur kelima melalui pembinaan hukum, melalui pembinaan, hukum Islam akan berlaku dan dilaksanakan oleh umat Islam. Tapi bisa jadi pembinaan hukum kurang efektif terhadap perkembangan hukum Islam karena kondisi masyarakat.<br />Pada keadaan-keadaan tertentu perkembangan hukum Islam mungkin tertinggal oleh perkembangan unsur-unsur lainnya dari masyarakat serta kebudayaannya, atau mungkin hal yang sebaliknya yang terjadi. Apabila terjadi hal demikian, maka terjadilah suatu keadaan dimana terjadi ketidakseimbangan dalam perkembang lembaga-lembaga kemasyarakatan yang mengakibatkan terjadinya kepincangan-kepincangan (W.F. Ogbun, 1966 : 200 ). Tertinggalnya perkembangan hukum Islam oleh unsur-unsur sosial lainnya, atau sebaliknya terjadi oleh karena hakikatnya merupakan suatu gejala yang wajar atau alamiah di dalam suatu masyarakat bahwa terdapat perbedaan antara pola-pola perikelakuan yang diharapkan oleh kaidah-kaidah hukum dengan pola-pola yang diharapkan oleh kaidah-kaidah sosial lainnya. Hal ini terjadi oleh karena hukum Islam (Fiqh) pada hakikatnya disusun oleh sebagian kecil dari masyarakat yang pada suatu ketika mempuyai kemampuan. Walaupun mereka terdiri dari orang-orang yang dapat dianggap alim dan mewakili masyarakat, namun adalah tak mungkin mengetahui, menyadari dan merasakan kepentingan-kepentingan seluruh warga masyarakat. Oleh karena itu ada perbedaan antara kaidah hukum di satu pihak, dengan kaidah-kaidah sosial lainnya di lain pihak merupakan ciri yang tak dapat dihindarkan dalam masyarakat. Namun bisa jadi tertinggalnya hukum Islam terhadap bidang-bidang lainnya baru terjadi apabila hukum tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat pada suatu ketika tertentu.<br />Ada jalur lain dalam aktualisasi dan pengembangan Hukum Islam, yaitu melalui pranata sosial. Menurut Kluchon, pranata sosial adalah keseluruhan cara hidup manusia (Clyde Cluckhon, 1984: 69) yang dihasilkan dari kombinasi antara reaksi manusia terhadap lingkunganya yang didasarkan pada nilai-nilai yang dianut. Oleh karena itu Hukum Islam yang mempunyai daya elastisitas sejalan dengan perkembangan pranata sosial. Semakin beragam kebutuhan hidup manusia dan semakin beragam pranata sosial, maka semakin berkembang pula hukum Islam. Hal ini menunjukkan, terdapat korelasi positif antara perkembangan pranata sosial dengan pemikiran ulama secara sistematis. Atau sebaliknya, penyebaran produk pemikiran ahli hukum Islam (fuqaha) yang mengacu kepada firman Allah melahirkan berbagai pranata sosial. Misalnya muncul fiqh lingkungan hidup, fiqh kesehatan, fiqh ekonomi dan sejenisnya meskipun tidak selalu dinamakan fiqh. Ali Yafi menyebutnya fiqh sosial, merupakan produk pemikiran seorang ulama fiqh dalam memberi makna Islami terhadap pertumbuhan dan perkembangan pranata sosial di Indonesia. <br />Pelaksanaan hukum Islam di Indonesia sangat di pengaruhi oleh hukum local yang berlaku sebelumnya. Hasil dari interaksi antara hukum Islam dengan kaidah-kaidah lokal ini membentuk pola yang beragam. Sebagaimana hasil penelitian Amir Syarifuddin, dalam hal hubungan antara hukum Islam dengan kaidah-kaidah lokal di adat minangkabau memiliki pola sebagai berikut:<br />1. Secara keseluruhan, kaidah adat diterima oleh hukum Islam dan untuk selanjutnya menjadi hukum Islam.<br />2. Hukum Islam mengubah kaidah adat seluruhnya dalam arti hukum Islam menggantikan hukum adat, sehingga hukum adat tidak berlaku lagi untuk selanjutnya.<br />3. Hukum Islam membiarkan kaidah hidup tanpa usaha penyerapanya kedalam hukum Islam. Hal ini pada umumnya berlaku dalam hukum mu’amalah. Pranata itu merupakan perwujudan interaksi sosial di dalam masyarakat Islam untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Interaksi sosial itu berpatokan dan mengacu pada keyakinan (kesepakatan tentang benar dan salah), nilai (kesepakatan tentang yang mesti dilakukandan mesti ditinggalkan), yang dianut oleh mereka. Ia merupakan perwujudan amal sholeh sebagai ekspresi keimanan dalam interaksi social Kehidupan masyarakat Islam dewasa ini dikenal sebagai pranata sosial yang bercorak keIslaman, pranata-pranata itu meliputi berbagai bidang kehidupan, yang senantiasa mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. <br />Menurut Cik Hasan Bisri, pranata-pranata itu meliputi pranata yang dekat dengan keyakinan yang dianut, sehingga memiliki tingkat kepekaan yang sangat tinggi, seperti pranata peribadatan, pranata kekerabatan dan pranata pendidikan. Ada pula pranata yang relatif agak jauh dari keyakinan, sehingga relatif lurus atau netral seperti pranata ekonomi dan pranata keilmuan, sehingga proses adaptasinya lebih longgar dan labelnya sebagai hukum Islam agak lurus. Selanjutnya pranata itu mengalami kongkretisasi dalam struktur masyarakat dalam bentuk organisasi sosial sebagai wahana untuk memenuhi kebutuhan hidup secara kolektif dan terencana. <br /><br /><br />Penutup<br />Kesimpulan<br />Berdasarkan pembahasan mengenai prinsip-prinsip dan azas-azas hukum Islam diatas, yang menjadi inti pemahaman prinsip-prinsip dan azas-azas hukum Islam dpat diketahui atau diarahkan pada tujuan penyariatan Hukum Islam itu sendiri dan apa yang akan dibawa hukum Islam untuk mencapau tujuannya. Hal tersebut adalah sebagai berikut : <br />1. Islam telah meletakkan di dalam undang-undang dasarnya, beberapa prinsip yang mantap dan kekal, seperti prinsip menghindari kesempitan dan menolak mudarat, wajib berlaku adil dan bermusyawarah dan memelihara hak, menyampaikan amanah, dan kembali kepada ulama yang ahli untuk menjelaskan pendapat yang benar dalam menghadapi peristiwa dan kasus-kasus baru, dan sebagainya berupa dasar-dasar umum yang merupakan tujuan diturunkannya agama-agama langit, dan dijaga pula oleh hukum-hukum positif dalam upaya untuk sampai kepada pengwujudan teladan tertinggi dan prinsip-prinsip akhlak yang telah ditetapkan oleh agama-agama namun hukum-hukum masih tetap menghadapi krisis keterbelakangan dari undang-undang atau hukum yang dibawa oleh agama-agama langit. <br />2. Dalam dasar-dasar ajarannya, Islam berpegang dengan konsisten pada perinsip mementingkan pembinaan mental individu khususnya, sehingga ia menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat, karena apabila individu telah menjadi baik maka masyarakat dengan sendirinya akan baik pula. <br />3. Hukum Islam, dalam berbagai ketentuan hukumnya, berpegang dengan konsisten pada prinsip memelihara kemaslahatan manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat. <br />4. Dalam penerapan/penegakkan Hukum Islam di Indonesia memegang peranan penting tentang teori Penerimaan Otoritas Hukum, bahwa orang islam ia meneriam sebagai agamanya maka, ia akan menerima otoritas Hukum Islam terhadap dirinya.<br />5. Penerapan Hukum Islam berikutnya yang tak kalah penting yaitu, Teori Receptio in Complexu. Dimana umat Islam berlaku penuh Hukum Islam dalam dirinya sebab mereka telah memeluk agamanya. <br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br />Abdillah, Mujiono, Dialektika Hukum Islam Perubahan Social Sebuah Refleksi Sosiologis Atas Pemikiran Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Penerbit UMS, Surakarta, 2003.<br />Abdullah, Abdul Gani, Aktualisasi Hukum Islam, Jurnal Dua Bulanan Mimbar Hukum, No. 30, Tahun VII, Al-Hikmah & Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Jakarta, 1977.<br />Cluchon, Clyde, Cermin Bagi Manusia, Dalam Parsudi Suparlan (Edt.), Manusia, Kebudayaan Dan Lingkungannya, Rajawali, Jakarta ,1984. Departemen Agama Ri, Amal Bakti Depertemen Agama RI 3 Januari 1996 – 3 Januari 1987, Jakarta, 1987.<br />Hasan Bisri, Cik, Hukum Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, PT. Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1998.<br />____________________, Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, PT. Remaja Rosyda Karya, Bandung, 1997.<br />Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentaliteit Dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta, 1974.<br />M. Poloma, Margaret, Sosiologi Kontemporer, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.<br />Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Penerbit Liberti Yogyakarta, 1999.<br />Ok. Chairuddin, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1991.<br />Soekanto, Soerjono dan Purbacaraka, Purnadi, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1982.<br />Soekanto, Soerjono, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994.<br />____________________, Sosiologi Suatu Pengantar, Yayasan Penerbit UI, Jakarta, 1978.<br />Syarifuddin, Amir, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Gunung Agung, Jakarta, 1984.<br />Yafie, Ali, Menggagas Fiqh Social, Mizan, Bandung, 1994.<br />Mohammad Daud Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia),Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1993.<br />Rahmat Rasyidi dan Rais Ahmad, formalisasi syari’at islam dalam perspektif hukum nasional,Ghalia Indonesia, Edisi Kesatu 2006.<br />Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994.<br /><br />Hasbi Ash-Shiddiqie, Pengantar Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1958.<br /><br />Hasbi Ash-Shiddiqie, Falsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Cet-V, Jakarta, 1993.<br /><br />Suryadi, Kamus Baru Bahasa Indonesia, Usaha Nasional, Surabaya, 1980.<br /><br />Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, LPPM Unisba, Bandung, 1995.<br />Yusuf Qardhawi, Malamih Al-Mujtama Al-Muslim Alladzi Nansyuduhu, Maktabah Wahbah, Kairo, 1993.<br />Ichtijanto S.A., Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, dalam: Hukum Islam di Indonesia, Perkembangan dan Pembentukan, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991, <br /><br />Charle J. Adams (1965: 316) dikutip Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu.Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, PT RajaGrafindio Persada, Jakarta, Cet. 7, 1999.<br /><br />Arso Sostroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, tt,abulumam albantanyhttp://www.blogger.com/profile/04217284884180986248noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3924512155295201119.post-28058940362314825952010-12-17T02:59:00.000-08:002010-12-17T03:00:16.824-08:00pranata hukum islamRevisi <br /><br /><br /><br />Asas-Asas dan Teori Penegakkan Hukum Islam<br />Oleh : Abdul Muher<br /><br /><br />Abstrak :<br /><br />Rumusan UUD 1945 pasal 29 ayat 1 itu sebagai berikut:<br />Pertama, di negara RI tidak boleh ada aturan yang bertentangan dengan agama. Kedua, negara RI wajib melaksanakan Syari’at Islam bagi umat Islam, Syari’at Nasrani bagi Nasrani dan seterusnya, sepanjang pelaksanaannya memerlukan bantuan kekuasaan negara. Ketiga, setiap pemeluk agama wajib menjalankan syari’at agamanya secara pribadi dalam hal-hal yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara.<br />Azas-azas Hukum Islam.<br />Azas Nafyul Haraji, Azas Qillatu Taklif, Azas Tadarruj: Bertahap (gradual), Azas Kemaslahatan Manusia,<br />Azas Keadilan Merata, Azas Estetika. Azas Menetapkan Hukum Berdasar Urf yang Berkembang Dalam Masyarakat, Azas Syara Menjadi Dzatiyah Islam.<br />Syari’at Islam Dan Teori-Teori Penegakkan Hukum Islam Di Indonesia<br />Syariat Islam tentang Penataan Hukum<br />Ajaran tentang penataan hukum ini menyatakan bahwa bagi setiap orang yang beriman agar menjalankan syariatnya secara kaffah (Q.S. 2 Al Baqarah: 208). Abdul Qadir Audah dalam bukunya “Islam Ditengah Kejahilan Ummat Dan Ulamanya” berkata: Orang yang tidak memutuskan perkara menurut hukum Allah, ada tiga macam: Pertama, Karena kafir atau ingkar dan bencinya kepada hukum Allah dan mengingkari adanya kebaikan padanya, orang yang semacam ini kafir (Qs. Al Maidah, 44). Kedua, Karena menuruti hawa nafsunya meskipun mereka memandang adanya kebaikan pada hukum Allah, tapi menganggap ada hukum lain yang lebih baik dan lebih sesuai, orang semacam ini dinamakan zalim (Qs. Al Maidah, 45). Ketiga, Orang yang berkayakinan bahwa hukum Allah-lah yang paling baik dan paling adil tetapi memilih hukum selainnya karena manfaat dunia, sanggup mendurhakai hukum Allah karena dunia (harta, kuasa dan wanita), mereka ini disebut fasik atau pendurhaka (Qs. Al Maidah, 47).<br />Syariat Islam dan Teori Penerimaan Otoritas Hukum<br />bahwa orang Islam jika menerima Islam sebagai agamanya, ia akan menerima otoritas Hukum Islam terhadap dirinya. Hukum Islam tidak dapat dilepaskan agama Islam dan tidak dapat dipisahkan dari masyarakat Islam, bahkan Hukum Islamlah yang telah berhasil menjaga tetap utuhnya masyarakat Islam.<br />Syariat Islam dan Teori Receptie in Complexu<br />Teori receptie in complexu, bahwa bagi orang Islam berlaku penuh Hukum Islam, sebab mereka telah memeluk agamanya, walaupun dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan penyimpangan. Paham yang dianut (legal system) pada umumnya bermazhab Imam Syafi'i.<br />Teori Receptie, artinya Hukum Islam dapat diterima sebagai hukum apabila telah dilaksanakan oleh masyarakat adat, maka kemudian berlakulah sebagai hukum adat.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Pendahuluan<br />Indonesia adalah Negara hukum (rechtstaats), bukan Negara kekuasaan (machstaats). oleh karena itu, setiap penyelenggaraan Negara dan pemerintahannya selalu didasarkan pada peraturan dan perundang-undangan. Negara Indonesia tidak menganut paham teokrasi yang mendasarkan pada ideology paham tertentu dan tidak juga beraliran paham sekuler yang tidak memperdulikan agama. Relasi agama dan Negara di Indonesia amat sinergis dan tidak pada posisi dikotomi yang memisahkan antara keduanya. Legitimasi keberadaan agama diwilayah hukum Negara kesatuan republic Indonesia (NKRI) serta untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing, dilindungi secara konstitusional. Pasal 29 ayat 1dan 2 UUD 1945.<br />Dalam kerangka ini pula, maka penjelasan Prof. Dr. Hazairin, SH tentang pasal 29 ayat 1 UUD 1945 bahwa: “Negara berkewajiban untuk mengatur dan mengawasi agar warga negara Indonesia menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran agama masing-masing,” sangat relevan dengan kondisi Indonesia. Dalam buku “Demokrasi Pancasila”. Hazairin menafsirkan rumusan UUD 1945 pasal 29 ayat 1 itu sebagai berikut:<br />Pertama, di negara RI tidak boleh ada aturan yang bertentangan dengan agama. Kedua, negara RI wajib melaksanakan Syari’at Islam bagi umat Islam, Syari’at Nasrani bagi Nasrani dan seterusnya, sepanjang pelaksanaannya memerlukan bantuan kekuasaan negara. Ketiga, setiap pemeluk agama wajib menjalankan syari’at agamanya secara pribadi dalam hal-hal yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara.<br />Jaminan keberagamaan ini dipertegas lagi dalam garis-garis besar haluan Negara (GBHN), sebagai landasan operasionalnya. hal ini bertujuan untuk memantapkan fungsi, peran, dan kedudukan agama sebagai landasan moral dan spiritual dalam penyelenggaraan Negara, serta merupakan agar segala peraturan perundang-undangan tidak bertentangan dengan moral-moral agama.<br />Sesungguhnya, baik UUD 1945 maupun GBHN sangat akomodatif terhadap kepentingan warga Negara dalam menjalankan ibadahnya. Agama harus menjadi landasan moral, karenanya setiap peraturan dan perundang-undangan yang bertentangan dengan moral dan agama mesti dikesampingkan. Syari’at islam, selainmerupakan landasan moral, juga dapat menjadi regulator untuk menata kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Secara normative, menjalankan syari’at islam secara kaffah merupakan perintah Allah, sebagaimana firman-Nya:<br /> <br />“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (2:208)<br /><br />Berdasarkan perintah ini, umat islam di Indonesia selalu menuntut pemberlakuan syari’at islam dalam segala aspek kehidupan karena sampai saat ini pelaksanaannya masih bersikap parsial. Penerapan syari’at islam baru sebatas maslah ubudiyah dan muamalah hukum privat/perdata. Sedangkan dalam masalah hukum public, terutama yamg berkaitan dengan jinayah (hukum pidana islam), belum dijalankan sama sekali.<br />Pada tataran teologis, sesungguhnya memberlakukan syari’at islam secara kaffah merupakan suatu kewajiban, baik secara individual (fardhu ain) maupun kolektif (fardhu kifayah). Sikap tersebut sebagai refleksi dari akidah dan komitmen keislaman terhadap Allah dan Rasul-Nya, setelah mengucapkan syahaadatain, sebagai kontrak yuridis. Sebagai muslim harus menerima, meyakini, dan sekaligus menjalankan syari’at islam tanpa reserve.<br />Dalam penjelasan tafsir al-azhar membuat imbauan tegas tentang pemberlakuan hukum islam saat mentafsirkan ayat-ayat :<br /> <br /><br />”Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan Allah didalamnya. Dan barangsiapa yang tidak memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (5:47)<br /><br />Sebagai muslim, tidaklah lalai menjalankan hukum-hukum Allah. Pedoman untuk menjalankan syari’at islam telah disampaikan oleh Allah kepada Rasul-Nya berupa qur’an sebagai kitab terakhir dalam agama samawi setelah diturunkan kitab zabur, taurat, dan injil kepada umat lain. Syari’at umat pada masa lalu dianggap sudah tidak berlaku lagi karena sudah diralat (mansukh) oleh syari’at yang terkhir. Syari’at inilah yang wajib diikuti oleh seluruh umat saat ini dan dimasa mendatang hingga yaumil wa’id. Firman Allah (QS:5/48). yang artinya:<br />“Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Quran) kepadamu dengan (membawa) kebenaran, yang membenarkan terhadap apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan yang menjaga atasnya (batu ujian terhadap Kitab-kitab yang lain), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka menurut apa yang Allah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan (meninggalkan) kebenaran yang telah datang kepadamu. Bagi tiap-tiap umat diantara kamu, Kami telah menjadikan peraturan dan jalan yang terang, dan sekiranya Allah menghendaki niscaya Dia menjadikan kamu satu umat saja, akan tetapi Dia hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, (karena itu) maka berlomba-lombalah kamu berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah tempat kembalimu semua, lalu Dia memberitahukan kepadamu tentang apa yang kamu perselisihkan dalam urusan itu.”(5:48)<br /><br />Pada perinsipnya, setiap muslim berpendapat bahwa menjalankan syari’at islam adalah merupakan kewajiban karena tuntutan akidah. Namun demikian, bila syari’at islam menjadi ideology Negara, hal ini sangat dilematis dan selalu menimbulkan pro-kontra pihak-pihak tertentu. Ia sering kali menjadi sumber konflik horizontal yang setiap saat mengundang perdebatan, perselisihan sengit, dan perbedaan pandangan yang sangat tajam.<br />Timbulnya konflik-konflik sudah dimulai sebelum penjajahan, selama masa penjajahan; hingga bangsa Indonesia memasuki gerbang kemerdekaan. Setelah merdeka, konflik ini berlanjut pada masa orde lama, orde baru, kemudian orde reformasi, dan sampai saat ini masih terus berlangsung. Upaya umat islam Indonesia dalam memperjuangkan syari’at islam, sepanjang sejarahnya, dilakukan oleh tokoh-tokoh islam pada masa sebelum penjajahan dan telah melintas batas berbagai periode sesudahnya. Namun, sampai sekarang belum dianggap berhasil secara maksimal seperti yang dicita-citakan.<br />Dengan demikian, tuntutan formalisasi syari’at islam jangan hanya sebatas retorika agama. Agama jangan dipolitisasi untuk kepentingan kelompok tertentu, dengan menciptakan jargon-jargon keagamaan ke dalam arena politik. Cita-cita ingin mengaplikasikan syari’at islam juga tidak Cuma lips service politik untuk kepentingan sesaat dalam percaturan politik umat islam. Sikap umat islam Indonesia selama ini masih menerapkan standar ganda atau mendua dalam keberagamaannya. Di satu sisi menginginkan formalisasi syari’at islam sebagai legitimasinya; di sisi lain terdapat keraguan untuk melaksanakannya. Indikasi ini Nampak pada beberapa daerah yang sedang berlomba melakukan formalisai syari’at islam. Aplikasinya hanya sebatas gerakan moral yang bersifat normative; ubudiah dan muamalah belum menyentuh hukum public (jinayah) yang sangat strategis. Kalaupun ada kearah itu, penerapan hukumnya belum efektif seperti yang diharapkan karena belum terdukung oleh substansi hukum islam (hukum perdata islam dan hukum pidana islam) dan kewenangan peradilan agama (mahkamah syari’ah) yang terbatas di bidang perkawinan, kewarisan, perwakafan, hibah, dan wasiat.<br />Pada era otonomi daerah ini, sesungguhnya sangat kondusif bagi umat islam untuk menata hukum yang lebih sesuai dengan keinginan masyarakat setempat. Demikian juga dari pihak pemerintah, telah menunjukkan sikap yang akomodatif terhadap keinginan umat islam untuk melaksanakan syari’atnya. <br />Setiap orang yang mengintegrasikan dirinya kepada Islam wajib membentuk seluruh hidup dan kehidupannya berdasarkan syari’at yang termaktub dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Hal tersebut sebagaimana diungkap oleh Yusuf Qardhawi, syari’at Ilahi yang tertuang dalam Al-Quran dan Sunnah merupakan dua pilar kekuatan masyarakat Islam dan agama Islam merupakan suatu cara hidup dan tata sosial yang memiliki hubungan integral, utuh menyeluruh dengan kehidupan idealnya Islam ini tergambar dalam dinamika hukum Islam yang merupakan suatu hukum yang serba mencakup. <br /><br />Asas-Asas dan Teori Penegakkan Hukum Islam<br />Pembahasan<br />Azas-azas Hukum Islam<br />Azas secara etimologi memiliki makna adalah dasar, alas, pondamen (Muhammad Ali, TT : 18). Adapun secara terminologinya Hasbi Ash-Shiddiqie mengungkapkan bahwa hukum Islam sebagai hukum yang lain mempunyai azas dan tiang pokok sebagai berikut :<br />1. Azas Nafyul Haraji: meniadakan kepicikan, artinya hukum Islam dibuat dan diciptakan itu berada dalam batas-batas kemampuan para mukallaf. Namun bukan berarti tidak ada kesukaran sedikitpun sehingga tidak ada tantangan, sehingga tatkala ada kesukaran yang muncul bukan hukum Islam itu digugurkan melainkan melahirkan hukum Rukhsah.<br />2. Azas Qillatu Taklif: Tidak membahayakan taklifi, artinya hukum Islam itu tidak memberatkan pundak mukallaf dan tidak menyukarkan.<br />3. Azas Tadarruj: Bertahap (gradual), artinya pembinaan hukum Islam berjalan setahap demi setahap disesuaikan dengan tahapan perkembangan manusia.<br />4. Azas Kemaslahatan Manusia: Hukum Islam seiring dengan dan mereduksi sesuatu yang ada dilingkungannya.<br />5. Azas Keadilan Merata: Artinya hukum Islam sama keadaannya tidak lebih melebihi bagi yang satu terhadap yang lainnya.<br />6. Azas Estetika: Artinya hukum Islam memperbolehkan bagi kita untuk mempergunakan/memperhatiakn segala sesuatu yang indah.<br />7. Azas Menetapkan Hukum Berdasar Urf yang Berkembang Dalam Masyarakat: Hukum Islam dalam penerapannya senantiasa memperhatikan adat/kebiasaan suatu masyarakat.<br />8. Azas Syara Menjadi Dzatiyah Islam: Artinya Hukum yang diturunkan secara mujmal memberikan lapangan yang luas kepada para filusuf untuk berijtihad dan guna memberikan bahan penyelidikan dan pemikiran dengan bebas dan supaya hukum Islam menjadi elastis sesuai dengan perkembangan peradaban manusia.<br /><br /> Syariat Islam adalah pedoman hidup yang ditetapkan Allah SWT untuk mengatur kehidupan manusia agar sesuai dengan keinginan Al-Quran dan Sunnah. Adapun Abu Zahrah mengemukakan pandangannya, bahwa hukum adalah ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf baik berupa iqtida (tuntutan perintah atau larangan), takhyir (pilihan) maupun berupa wadh’i (sebab akibat). Ketetapan Allah dimaksudkan pada sifat yang telah diberikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan mukalaf. Hasbi Ash-Shiddiqie mendefinisikan hukum secara lughawi adalah “menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sebagaimana hukum-hukum yang lain, hukum Islam memiliki prinsip-prinsip dan asas-asas sebagai tiang pokok, kuat atau lemahnya sebuah undang-undang, mudah atau sukarnya, ditolak atau diterimanya oleh masyarakat, tergantung kepada asas dan tiang pokonya. Secara etimologi (tata bahasa) prinsip adalah dasar, permulaan, aturan pokok. <br /><br />Syari’at Islam Dan Teori-Teori Penegakkan Hukum Islam Di Indonesia<br />Syariat Islam tentang Penataan Hukum<br />Syariat Islam adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasulullah, untuk disampaikan kepada umatnya. la bukan sebuah teori, tetapi merupakan ajaran ilahi yang harus dipelajari, dipraktikkan, dan diberlakukan untuk menetapkan keteraturan dalam kehidupan masyarakat serta keseirnbangan antara kewajiban dan hak. Syariat Islam akan berlaku bagi seluruh umat manusia di dunia sampai akhirat, tetapi bila syariat Islam dijadikan hukum positif di suatu negara, maka keberlakuannya hanya bagi masyarakat Islam. Ajaran tentang penataan hukum dalam kajian ilmu hukum memang merupakan sebuah teori yang dikemukakan oleh ahli hukum berdasarkan proses hukum yang terjadi di masyarakat, tetapi dari segi syariat Islam hal itu tidak saja disebut sebagai teori, melainkan merupakan prinsip yang wajib diberlakukan. Secara konseptual, terdapat prinsip prinsip syariat Islam yang mencakup penataan dan penerapan Hukum Islam bagi orang Islam. Bahwa Allah dan rasul Nya, memerintahkan kepada orang yang beriman supaya menjalankan hukumnya.<br />Para ahli hukum di Indonesia memelajari tentang teori teori penerapan Hukum Islam melalui sistem hukum yang pernah berlaku di Indonesia selama masa kolonial Belanda. Adanya teori teori ini menggambarkan betapa akrabnya hukurn Islam dengan penduduk, masyarakat, dan bangsa Indonesia. Hal ini merupakan indikator, bagaimana perjuangan masyarakat Indonesia yang beragama Islam ingin memberlakukan syariat Islam sesuai perintah Allah dan rasul Nya. Membicarakan tentang teori teori pemberlakuan Hukum Islam, maka akan sangat berkaitan dengan proses bagaimana unsur unsur Hukum Islam itu dapat menjadi hukum positif atau bagian dari hukum Nasional, di samping hukum adat dan hukum Barat. Adanya politisasi hukurn yang dilakukan oleh kolonial Belanda ke arah mereduksi syariat Islam serta menjauhkan dari masyarakatnya, menyebabkan hukurn Islam sampai saat ini selalu terpinggirkan dalarn proses positivisasi hukum dalam perspektif tata hukum Indonesia. Proses penerapan Hukum Islam yang pernah terjadi pada waktu itu, dirumuskan oleh para ahli hukum Indonesia sebagai teori teori pemberlakuan Hukum Islam dan sekaligus menjadi objek kajian ilmu hukum.<br />Ajaran Islam tentang penataan hukum memberi gambaran, bagaimana sesungguhnya Islam telah menata kehidupan manusia ini dengan hukum hukum yang telah ditetapkan. Teorl atau ajaran tentang penataan hukum menurut perspektif Islam bersumber pada Allah swt., sebagai pencipta syariat yang disampaikan kepada Rasulullah Muhammad saw. dalam bentuk wahyu, yaitu Alquran. la merupakan hukum normatif bersifat universal dan berlaku untuk seluruh manusia tanpa membedakan kedudukan, ras, politik, dan sosial budaya manusla di dunia hingga akhirat. Keuniversalan hukum Alquran itu memerlukan penjelasan dalam bentuk implementasi hukum yang bersifat praktis. Hal ini dilakukan oleh Rasulullah melalui kehidupan sehari hari, dalarn bentuk hukum normatif bersifat aplikatif, yaitu As Sunnah.<br />Manakala terjadi ketiadaan atau ketidakjelasan atau kekosongan hukum yang dimaksud oleh Allah dan rasul Nya dalam Alquran dan As Sunnah, maka pembentukan hukumnya diserahkan kepada manusia yang mempunyai syarat ijtihad, melalui metode ijtihad. Berbagai metode ijtihad telah ditempuh oleh para ahli hukurn Islam, yaitu qiyas, istihsan, maslahah mursalah, urf, istishhab, dan sebagainya. Dilihat dari perspektif tata hukum Indonesia, secara hierarkis, dapat dikatakan bahwa kedudukan Alquran merupakan sumber Hukum Islam utama dan pertama. Setelah itu, As Sunnah sebagai sumber hukuun Islam kedua dan ijtihad sebagai sumber hukurn Islam ketiga. Dari sumber Hukum Islam ketiga inilah, Hukum Islam berkembang menjawab persoalan hukum yang tedadi dalam kehidupan sehari hari, sesuai dinamika masyarakat.<br /><br />Ajaran tentang penataan hukum ini menyatakan bahwa bagi setiap orang yang beriman agar menjalankan syariatnya secara kaffah (Q.S. 2 Al Baqarah: 208). Beberapa prinsip yang tercanturn dalarn Alquran tentang penataan dan penerapan hukurn Islam, menegaskan bahwa orang Islam pada dasarnya diperintahkan supaya taat kepada Allah dan rasul Nya serta kepada pernerintah. Orang Islam tidak dibenarkan mengambil pilihan hukurn lain manakala Allah dan rasul Nya telah menetapkan hukurn yang pasti dan jelas (Q.S. 33 AI Ahzab: 36). Apabila mengambil pilihan hukum selain syariat Islam, maka dianggap zalim, kafir, dan fasik (Q.S. 5 Al Maidah: 44, 45, dan 47). Menurut Abdul Qadir Audah dalam bukunya “Islam Ditengah Kejahilan Ummat Dan Ulamanya” berkata: Orang yang tidak memutuskan perkara menurut hukum Allah, ada tiga macam:<br />Pertama: Karena kafir atau ingkar dan bencinya kepada hukum Allah dan mengingkari adanya kebaikan padanya, orang yang semacam ini kafir (Qs. Al Maidah, 44).<br />Kedua: Karena menuruti hawa nafsunya meskipun mereka memandang adanya kebaikan pada hukum Allah, tapi menganggap ada hukum lain yang lebih baik dan lebih sesuai, orang semacam ini dinamakan zalim (Qs. Al Maidah, 45).<br />Ketiga: Orang yang berkayakinan bahwa hukum Allah-lah yang paling baik dan paling adil tetapi memilih hukum selainnya karena manfaat dunia, sanggup mendurhakai hukum Allah karena dunia (harta, kuasa dan wanita), mereka ini disebut fasik atau pendurhaka (Qs. Al Maidah, 47).<br />Oleh karena itu, dari segi syariat Islam sernestinya berlaku teori penataan hukum, bahwa bagi setiap orang Islam berlaku Hukum Islam dan wajib menjalankannya sebagai tuntutan akidah (Q.S. 4 An Nisa: 59 dan Q.S. 24 An Nur: 51 dan 52).<br />Oleh karena itu, tanpa perlu dikaitkan dengan keberadaan hukum di masyarakat, urnat Islam harus tetap berpegang pada prinsip bahwa bagi orang Islam berlaku Hukum Islam. Apabila ternyata dalam masyarakat ada norma-¬norma hukurn adat dan hukum Barat, dengan kekuatan otoritas yang sama atau lebih kuat, maka akan muncul masalah hubungan sistern hukum. Hukurn mana yang akan diterapkan dalarn lingkungan masyarakat, hal ini sangat tergantung pada politik hukum pernerintah atau politik hukurn dalam konstitusi negara. Ketaatan orang Islam terhadap pernerintah dalam menjalankan hukumnya merupakan bagian dari teori penataan hukum atau prinsip syariat Islam. Dalarn posisi seperti ini, maka ketaatan terhadap pernerintah dalam memberlakukan hukurn positif yang bersumber dari hukum adat dan hukum Barat bagi umat Islam harus bersikap selektif, sepanjang hukum itu tidak bertentangan secara prinsipil dengan syariat Islam.<br /><br /><br /> <br />Syariat Islam dan Teori Penerimaan Otoritas Hukum<br />Teori Penerimaan Otoritas Hukum diperkenalkan oleh seorang orientalis Kristen, H.A.R. Gibb, dalam bukunya The Modern Trends of Islam, seperti dikutip H. Ichtijanto, bahwa orang Islam jika menerima Islam sebagai agamanya, ia akan menerima otoritas Hukum Islam terhadap dirinya. Berdasarkan teori itu, secara sosiologis, orang yang memeluk Islam akan menerima otoritas Hukum Islam dan taat dalam menjalankan syariat Islam. Namun, ketaatan ini akan berbeda satu dengan lainnya dan sangat bergantung pada tingkat ketakwaan masing masing kepada Allah dan rasul Nya. Bisajadi, ada orang Islam mampu menjalankan syariat Islam ini secara kaffah terhadap seluruh aspek kehidupannya; disisi lain, ada juga orang Islam hanya menjalankan syariatnya secara parsial dalam beberapa bidang kehidupan berdasarkan kemauannya.<br />Menurut H. Ichtijanto, Gibb sendiri tidak menyebutkan bahwa pernikiran tersebut merupakan teorinya. Namun, ungkapan itu didasarkan atas observasi dalam penelitiannya dan merupakan nilai yang mengandung teori amat penting untuk dicermati. Ungkapan teoretis ini dapat berfungsi sebagai jembatan antara ajaran Islam, tentang penataan hukum yang bersumber pada Alquran dan As Sunnah, dengan teori teori penataan hukum bagi masyarakat Islam di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ungkapan tersebut sangat bernilai karena mengungkapkan hakikat keberadaan Hukum Islam serta mengungkapkan sifat dan sikap masyarakat Islam terhadap Hukum Islam itu sendiri. Hal ini juga bemilai untuk memahami hubungan antara Hukum Islam dengan masyarakatnya yang sudah mengaplikasikan syariat Islam.<br />Selanjutnya, Gibb mengemukakan lagi bahwa Hukum Islam telah memegang peranan sangat penting dalam membentuk serta membina ketertiban sosial umat Islam dalam seluruh aspek kehidupannya, karena ia memunyai landasan landasan keagamaan yang kuat. Hukum Islam telah berftingsi sebagai pengatur kehidupan rohani dan sekaligus pula menjadi suara hati nurani umat Islam. Di bagian lain, ia menjelaskan lagi, Hukum Islam adalah alat yang ampuh untuk mempersatukan efika sosial Islam. Orang Islam secara intemasional bersatu dalarn nilai nilai Hukum Islam. Namun, di dalam masyarakat Islam dikenal pula keanekaragaman paham Hukum Islam lainnya. Dalam masyarakat Islam berkembang toleransi perbedaan paham hukum dan praktik hukum kerena perbedaan perbedaan yang ada, tetapi efika hukumnya sama. Hal ini terjadi karena umat Islam menaati Allah dan rasul Nya serta menjunjung tinggi para ulama yang mengembangkan Hukum Islam sesuai tuntutan zaman dan perbedaan situasi dan kondisi masyarakat.<br />Teori ini menggambarkan pula bahwa di dalam masyarakat Islam ada Hukum Islam yang ditaati oleh orang orang Islam. Orang orang Islam menaati Hukum Islam karena diperintahkan oleh Allah dan rasul Nya. Oleh karena itu, kalau mereka telah menerima Islam sebagai agamanya, maka mereka akan menerima otoritas Hukum Islam terhadap dirinya. Bagi orang Islam, Hukum Islam adalah kehendak dan tatanan Allah dan tradisi rasul.<br />Gibb, selanjutnya membandingkan antara Hukum Islam dengan hukum Romawi dan hukum modern pada umumnya, bahwa Hukum Islam bukanlah hasil karya budaya manusia yang bersifat gradual. la adalah ketentuan agama, sebagaimana dikatakannya: “Artinya: tidak seperti hukum yang diwarisi Kristen dan Romawi, Hukum Islam memasukkan ke dalam wewenangnya semua jenis hubungan, baik terhadap Tuhan maupun terhadap manusia, termasuk pelaksanaan kewajiban agama dan pembayaran zakat, maupun lembaga lembaga domestik, sipil, ekonomi, ataupun politik .... Akibatnya, Hukum Islam tidak dapat dianggap (sebagaimana hukum Romawi dan hukum modern) sebagai endapan yang bertahap dari pengalaman historitis manusia. Fungsinya yang utama adalah menglasifikasikan perbuatan perbuatan baik dan buruk, dalam standar itu adalah persoalan yang sekunder.”<br />Setelah melakukan penelitian tentang hukurn Islam yang berkaitan dengan perkembangan, sumber sumber hukum, dan pertumbuhannya dalam praktik masyarakat Islam, Gibb mengungkapkan tentang sifat Hukum Islam yang luwes, berpadu, mengadopsi ajaran hukum, dan keadaan yang telah ada. la menunjukkan secara jelas, praktik hukum yang hidup di dalarn masyarakat Islam yang bersumber dari kaidah fiqhiyah mengenai al addah muhakkamah (adat dapat dijadikan hukum). Hal tersebut menunjukkan, bahwa daya asimilasi Hukum Islam yang sangat kuat, dapat memengaruhi dan membentuk praktik hukum, pelaksanaan hukum, dan ketaatan hukurn masyarakat terhadap Hukum Islam. <br />Untuk memperkuat teori Gibb di atas, dapat dikemukakan pula pendapat para orientalis Barat yang berpendapat sama. Misalnya disampaikan oleh Charles J. Adams, seorang profesor dan direktur Islamic Studies Montreal Canada, mengemukakan bahwa hukurn Islam merupakan subjek terpenting dalam kajian Islam karena sifatnya yang menyeluruh; meliputi sernua, bidang hidup dan kehidupan muslim. Berbeda dengan cara memelajari hukum hukum lain, studi tentang Hukum Islam memerlukan pendekatan dan pemahaman khusus, sebab yang termasuk bidang Hukum Islam itu bukan hanya apa yang disebut dengan istilah law dalam hukum Eropa, tetapi juga tentang masalah sosial lain di luar wilayah yang biasanya dikatakan law itu. Orang orang Islam sendiri kata Adams, bukan saja telah memberi kedudukan yang istimewa kepada Hukum Islam, tetapi juga telah memelajarinya secara seksama dan telah berhasil pula merumuskannya menjadi garis garis atau kaidah hukum yang mengatur tingkah laku manusia dalam segala bidang hidup dan kehidupan.<br />Dari gambaran tersebut terlihat bahwa Hukum Islam tidak dapat dilepaskan agama Islam dan tidak dapat dipisahkan dari masyarakat Islam, bahkan sebagaimana dikatakan oleh Gibb bahwa Hukum Islamlah yang telah berhasil menjaga tetap utuhnya masyarakat Islam. Hukum Islam adalah aparat yang paling utama bagi kehidupan manusia muslim dan masyarakat Islam dan orang Islam, jika telah menerima Islam sebagai agamanya, langsung mengakui dan erima otoritas serta kekuatan menaikat Hukum Islam terhadan mereka.<br /><br />Syariat Islam dan Teori Receptie in Complexu<br />Teori receptie in complexu, dikemukakan oleh Prof Mr. Lodewijk Willemstian Van den Berg (1845 1927), seorang ahli di bidang Hukum Islam yang tinggal di Indonesia pada tahun 1870 1887. la mengatakan, bahwa bagi orang Islam berlaku penuh Hukum Islam, sebab mereka telah memeluk agamanya, walaupun dalarn pelaksanaannya terdapat penyimpangan penyimpangan. Juga mengusahakan agar hukum kewarisan dan hukum perkawinan Islam dijalankan oleh hakim hakim Belanda dengan bantuan para penghulu qadhi Islam. Pemikiran itu berkembang karena memang sebelum Belanda datang ke Indonesia, dengan misi dagang VOC, di sini telah banyak kerajaan Islam yang memberlakukan Hukum Islam. Paham yang dianut (legal system) pada umumnya bermazhab Imam Syafi'i. Kerajaan kerajaan tersebut telah menerapkan norma nonna Hukum Islam dan masyarakat sudah memberlakukannya. <br />Dilihat dari segi penataan Hukum Islam, menjalankan syariat Islam yang dilengkapi dengan infrastruktur dan suprastruktur keagamaan, seperti adanya pengadilan agama, merupakan kewajiban sosial (fardhu kifayah), artinya sebagai tugas dan kewajiban bersama. Karenanya, pada kerajaan kerajaan dan kesultanan-¬kesultanan tersebut, selalu membentuk badan badan peradilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara berdasarkan hukum acara peradilan Islam (mukhasamat). Hal ini merupakan salah satu sarana penegakan syariat Islam. Dari sinilah, kerajaan dan kesultanan itu menerapkan hukum waris dan hukum perkawinan Islam, sebagai hukum yang hidup (living law) di masyarakat sekaligus menjadi budaya hukum Indonesia pada masanya. Peradilan agama pada masa kemj aan dan kesultanan pada waktu itu sudah menunjukkan keberhasilannya dalam menyelesaikan perkara perkara kewarisan dan perkawinan orang orang Islam.<br />Hukum Islam telah mengubah pola pemikiran dan cara pandang kesadaran masyarakat Indonesia sehingga menjadikannya sebagai adat dan perilaku keseharian. Masyarakat Aceh menyatakan, Hukum Islam adalah adatnya; adatnya adalah Hukum Islam. Di Minangkabau berlaku kaidah, adat bersendi syarak; syarak bersendi kitabullah. Demikianjuga di Pulau Jawa, pengaruhnya sangat kuat sehingga Alquran, As Sunnah, ijma, dan qiyas telah dijadikan ukuran kebenaran ilmiah dan pedoman perilaku. Kerajaan dan kesultanan Islam saat itu telah berhasil memengaruhi keberagamaan masyarakat Indonesia untuk menjalankan syariat Islam. Ketika orang orang Barat khususnya Belanda yang tergabung dalam VOC datang ke Indonesia, masyarakat saat itu telah menerima pengaruh otoritas hukum (Islam). Beberapa lama setelah Belanda menguasai bagian wilayah Indonesia, mereka tetap mengakui kenyataan bahwa bagi orang orang pribumi berlaku hukurn agamanya.<br />Dengan fakta ini, para ahli hukum Belanda membuat kodifikasi hukum bagi pedoman pejabat untuk menyelesaikan urusan hukum bagi rakyat pribumi yang tinggal di wilayah kekuasaannya. Beberapa kodifikasi hukurn yang terkenal saat itu antara lain. 1. Compendium Freijer, merupakan kitab hukum perkawinan dan hukurn kewarisan Islam oleh pengadilan VOC (Resolutie der Indisch Regering, tanggal 25 Mei 1760). 2. Cirbonsch Rechtboek, disusun atas usul Residen Cirebon, Mr. P. C. Hosselaar (1757 1765). Compendium der Voornaamste Javaanisch Wetten Nauwkeuring Getrokken uit het Mohammedaansch Wetboek Mogharraer, disusun untuk Landraad semarang (1750). 4. Compendium Indlansch Wetten bij de Hoven van Bone en Goa, disahkan oleh VOC untuk daerah Makassar (Sulawesi Selatan). <br />Pada masa pernerintahan Daendles, telah berkembang anggapan umum yang mengatakan bahwa hukum asli pribumi adalah Hukum Islam. Begitu pun Raffles, berpendirian bahwa hukum yang berlaku di Jawa adalah Hukum Islam (The Koran Noerm General Law of Java). Berdasarkan catatan sejarah, sebelum Van den Berg menulis tentang Islam di Indonesia, khususnya di Jawa, JEW van Nes (1850) pernah menerbitkan Boedelsscheidingen of Java Volgens De Kitab Saphi'i. Kemudian, Prof A. Meurenge mengeluarkan saduran Hanboek Van het Mohammedaansche Recht (1884). Oleh karena itu, pada waktu Van Den Berg berada di Indonesia, ia melihat politik hukum pemerintah Hindia Belanda serta fakta fakta hukum yang ada di Indonesia. la menegaskan berlakunya atau berlanjutnya politik yang masih berjalan dan merumuskan keadaan berlakunya hukurn itu dengan mengatakan, "bagi rakyat pribumi berlaku hukurn agamanya," yang kemudian menjadi sebuah pemikirannya yang dikenal dengan teori Receptio in Complexu. <br />Teori ini merupakan rumusan hasil pergulatan pemikirannya, setelah memerhatikan dan mencermati fakta fakta hukum yang terjadi pada masyarakat pribumi. Kemudian, Van den Berg mengonsepkan Stbl. 1882 No. 152 yang berisi ketentuan bagi rakyat priburni atau rakyat jajahan berlaku hukum agama di lingkungan hidupnya. Hal ini berarti bagi rakyat yang beragama Islam di Indonesia berlaku Hukum Islam. Bagi badan badan peradilan agama, ketika pernerintah Hindia Belanda datang ke Indonesia sudah melaksanakan hukum agama Islam, tetap dilanjutkan dan diakui kewenangan hukumnya. <br /><br />Berdasarkan kenyataan ini, Van den Berg sesungguhnya telah berjasa terhadap masyarakat priburni yang beragama Islam karena ia telah merumuskan keberadaan Hukum Islam tersebut dengan teori receptio in complexu, artinya hukurn yang berlaku bagi suatu kasus adalah menurut agama yang dianut di daerah setempat. Ia juga berjasa dalam penerbitan Staatsblaad (Stbl. 1882 No. 152) yang mengakui kewenangan badan badan peradilan agama yang berbeda namanya di setiap tempat, untuk menjalankan yurisdiksi hukumnya berdasarkan Hukum Islam. Jasa Van den Berg tidak hanya itu, ia pun telah berjasa dalam memberikan pernahaman yang lebih baik terhadap Hukum Islam bagi pejabat pejabat pernerintah Hindia Belanda dan para hakimnya. Hasil karya pernikirannya berupa tulisan yang berkaitan dengan Islam dan hukurn Islam telah berguna dalam meningkatkan pengertian terhadap norma Hukum Islam yang berlaku di Indonesia, misalnya tentang asas asas Hukum Islam (Mohammedaansche Recht, 1882) menurut ajaran Imam Syafi'i dan Hanafi. Kemudian tulisan tentang hukurn famili dan hukum waris Islam di Jawa dan Madura (1892), yang berisi tentang Hukum Islam yang berlaku bagi orang Indonesia yang beragama Islam dengan beberapa catatan penyimpangan yang dilakukan oleh umat Islam sendiri. la juga berhasil menerjernahkan kitab berbahasa arab Fathulqorib dan Minhaajutthalibin ke dalam bahasa Prancis. <br />Berkaitan dengan hukurn Islam, disebutkan dalarn Reglement of Het Beleid der Regering Van Nederlandsch Indie (RR) Stbl. 1885 No. 2, dalarn pasal 75 ayat (3) yang menyatakan bahwa, oleh hakim Indonesia itu hendaklah diberlakukan undang undang agama (godsdientige wetten) dan kebiasaan penduduk Indonesia itu. Kemudian ayat (4) menyatakan bahwa undang undang agama, instelling, dan kebiasaan itu juga yang dipakai untuk mereka oleh hakim Eropa untuk pengadilan yang lebih tinggi, andaikata terjadi hogerberoep atau pemeriksaan banding. Pasal 78 (2) menyebutkan, dalarn hal terjadi perkara perdata di antara sesama, orang Indonesia itu atau dengan mereka, yang dipersamakan dengan mereka, maka mereka tunduk kepada putusan hakim agama atau kepada masyarakat mereka menurut undang undang agama atau ketentuan ketentuan lama mereka. Berikutnya pasal 109 (Stbl. 1855 No. 2) menyatakan bahwa ketentuan pasal pasal tersebut (pasal 75 dan pasal 78) itu berlaku pula bagi mereka yang dipersamakan dengan "inlander", yaitu orang Arab, orang Moro, orang Cina, dan semua mereka, yang beragarna Islam, serta orang orang yang tidak beragama Islam. <br /><br />Berdasarkan gambaran di atas, nampak adanya korelasi antara satu teori dengan teori lainnya yang saling memperkuat keberadaan Hukum Islam sebagai hukum yang menjadi pegangan masyarakat Indonesia pada waktu itu. Orang Islam melaksanakan syariat Islarn dasar legitimasinya adalah perintah Allah dan rasul Nya (ajaran/teori tentang penataan hukum). Bila orang Islam telah menerima Islam, maka. mereka akan mempertahankan agamanya dengan cara mengaplikasikan syariatnya tanpa reserve (teori tentang otoritas hukum). Dengan munculnya teori receptio in complexu, semakin memperkuat penerapan Hukum Islam bagi orang yang beragama Islam.<br /><br />Syariat Islam dan Teori Receptie<br />Teori receptie diperkenalkan oleh Prof Christian Snouck Hurgronye (185 7 1936), sebagai penasihat pernerintah Hindia Belanda, (1898) berkenaan dengan Islam dan masyarakat. Teori ini tertuang dalam pasal 134 Indiche Straaftregeling (IS) ayat 2 yang terkenal sebagai pasal receptie. Sebelum menentukan kebijakannya di bidang hukurn Islam di Indonesia, ia sengaja belajar agama Islam di Mekkah dengan menggunakan nama samaran "Abdul Gafar" (1884 1885) dan hampir menunaikan ibadah haji. Memasuki Mekkah menyamar berprofesi sebagai dokter mata dan fotografer. Selain ahli dalam Hukum Islam, ia juga menguasai hukum adat di wilayah Indonesia bagian utara, tepatnya Aceh. Hal ini terepresentasikan dalam tulisan¬-tulisannya, berjudul De Atjehers dan De Gojaland. <br />Melalui perjuangan yang sangat mendalam dalam mempelajari agama Islam dan adat di sebagian daerah Indonesia, ia mengemukakan pemikirannya yang terumuskan sebagai teori receptie. Melalui teorinya itu, ia menyatakan bahwa bagi rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukurn adat; hukum. Islam berlaku jika norma Hukum Islam itu telah diterima oleh masyarakat sebagai hukum adat. Teori ini dikemukakan oleh Hurgronye, kemudian mendapatkan penguatan serta pengembangannya oleh van Vollenhoven dan Ter Haar Barn.<br />Latar belakang teori ini berpangkal dari keinginan Hurgronye agar orang orang priburni, sebagai rakyat jajahan, jangan sampai kuat mernegang agama Islam. la berpikir dan berkesimpulan, bahwa Hukum Islam dan masyarakatnya tidak mudah dipengaruhi oleh peradaban Barat. Snouck Hurgronye mengemukakan teori ini karena ia khawatir adanya pengaruh Pan Islamisme yang dipelopori oleh Sayid Jamaluddin al Afgani yang berpengaruh di Indonesia. Ia menyampaikan usul kepada pernerintah Hindia Belanda tentang kebijakannya terhadap Islam yang dikenal dengan Islam Policy. <br /> Ketika di negara Belanda terjadi perubahan politik, khususnya yang berkaitan dengan hubungan rakyat di daerah jajahan dan penjajahnya, timbul gerakan politik etis yang menuntut kebijakan supaya bersikap lebih etis dan bermoral. Munculnya gagasan ini untuk membangun hubungan pernerintah Hindia Belanda dengan daerah jajahannya, tidak lagi seperti penjajah dan yang dijajah. Kebijakannya diubah menjadi semacam aliansi atau federasi dalam ketatanegaraan. Dari sinilah timbul ide kerajaan Nederland Raya. <br /><br />Setelah mendalami Hukum Islam di Mekkah, Hugronye kemudian memasuki wilayah Aceh dan Jawa Barat dalam upaya mengkaji sikap pemerintah Hindia Belanda terhadap kebijakan urnat Islam yang begitu fanatik terhadap agamanya. Sikap umat Islam ini tertuang dalam Stbl. 1882 No. 152 yang melahirkan teori receptio in complexu. Ia mengomentari bahwa kebijakan pemerintah Hindia Belanda terhadap masyarakat Islam selama ini telah merugikan pemerintah jajahannya sendiri. Maka, dalam kedudukannya sebagai penasihat pemerintah Hindia Belanda, Snouck Hurgronye memberikan nasihatnya yang terkenal dengan Islam Policy. la merumuskan nasihatnya untuk menjauhkan masyarakat dari Hukum Islam di Indonesia, dengan cara menarik rakyat pribumi agar lebih mendekat kepada kebudayaan Eropa dan pemerintah Hindia Belanda.<br /><br />Kebijakan yang dirumuskan Hurgronye terhadap Hukum Islam dan masyarakatnya, yaitu: <br />1. Dalam bidang agama, pemerintah Hindia Belanda hendaknya memberikan kebebasan secara jujur dan secara penuh tanpa syarat bagi orang orang Islam; <br />2. Dalam bidang kemasyarakatan, pernerintah Hindia Belanda hendaknya menghormati adat istiadat dan kebiasaan rakyat yang berlaku, dengan membuka jalan yang dapat menuntut taraf hidup rakyat jajahan pada suatu kemajuan yang tenang ke arah mendekati pemerintah Hindia Belanda, dengan memberikan bantuan kepada mereka yang menempuh jalan ini; <br />3. Dalam bilang ketatanegaraan, mencegah timbulnya ideology yang dapat membawa dan menumbuhkan gerakan Pan Islamisme, yang mempunyai tujuan untuk mencari kekuatan-kekuatan lain dalam perlawanan menghadapi pemerintah Hindia Belanda. <br />Kebijakan tersebut melahiran teori receptie, artinya Hukum Islam dapat diterima sebagai hukum apabila telah dilaksanakan oleh masyarakat adat, maka kemudian berlakulah sebagai hukum adat. Selanjutnya, di Indonesia dikembangkan 19 wilayah hukum adat yang berbeda satu dengan lainnya. Pada pasal 134 IS disebutkan bahwa bagi orang orang pribumi, kalau mereka menghendaki, diberlakukan Hukum Islam selama hukum itu telah diterima oleh masyarakat hukum adat. Pasal ini sering disebut pasal receptie. Dalam kaitan hukurn Islam, kebijakan pemerintah Hindia Belanda ini merupakan usaha untuk melurnpuhkan dan menghambat pelaksanaan<br />Hukum Islam dengan cara sebagai berikut:<br />1. Dalam hukum pidana, tidak memasukkan hudud dan qishas. Hukum pidana yang berlaku bersumber langsung<br />dari Wetboek van Strafrecht dari Nederland yang berlaku sejak Januari 1919 (Stbl. 1915: 732). <br />2. Dalam hukum tata negara, ajaran Islam yang menyangkut hal tersebut dihilangkan sekaligus. Pengajian Alquran dan As Sunnah untuk memberikan pelajaran agama dalarn politik kenegaraan atau ketatanegaraan<br />dilarang. <br />3. Dalam hukum muamalah, dipersempit hanya menyangkut hukum perkawinan dan hukum kewarisan. Hukum kewarisan Islam pun mulai diminimalisir dengan langkah langkah sistematis. Misalnya, menanggalkan<br />wewenang raad agarna di Jawa dan Kalimantan Selatan untuk mengadili masalah kewarisan; memberi wewenang memeriksa masalah waris kepada landraad, dan melarang penyelesaian dengan Hukum Islam, jika di tempat adanya perkara tidak diketahui bagaimana bunyi hukum adat.<br /> Berpegang pada Islam Policy itu, sejak 1922 dirumuskan re organisasi badan¬-badan peradilan yang ada melalui perubahan pasal pasal IS. Sejak itu pula, dibentuk sebuah komisi tentang peremajaan kekuasaan peradilan agama. Komisi tersebut diketuai oleh Ter Haar, yang kemudian mengeluarkan kebijakan tentang<br />kewarisan dalam Stbl. 1937 untuk mengurangi kewenangan peradilan agama di bidang kewarisan bagi umat Islam. Dengan Staatsblad ini, maka sejak I April 1937, secara yuridis formal pengadilan agarna dilarang mernutuskan masalah waris, kewenangannya dipindahkan menjadi. kewenangan landraad. Sejak staatblad itu diterapkan, tejadilah dialog antara pernerintah Hindia Belanda dengan ulama ulama di Indonesia. Akhir dialog menghasilkan keputusan bersama yang berkaitan dengan masalah waris, maka pengadilan agama diberi kewenangan untuk memberikan fatwa waris, fatwa ahli waris, atau fatwa waris. Dilihat dari segi ilmu hukurn atau Hukum Islam, fatwa tidak berstatus putusan final, melainkan hanya sebatas rekomendasi. <br />Menurut Alfian, teori receptie berpijak pada asumsi dan pemikiran bahwa jika orang orang priburni memunyai kebudayaan yang sama atau dekat dengan kebudayaan Eropa, maka penjajahan atas Indonesia akan berjalan dengan baik dan tidak akan timbul guncangan guncangan terhadap kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Oleh karena itu, pernerintah Belanda harus mendekati golongan golongan yang akan menghidupkan hukum adat dan memberikan dorongan kepada mereka, untuk mendekatkan golongan hukum adat kepada pemerintahannya.<br />Teori receptie ini telah membawa perubahan yang sangat drastis terhadap masyarakat Indonesia, hingga memasuki pintu kemerdekaan. Melalui kebijakan yang jeli, Hurgronye dan pelanjut teorinya telah berhasil merninimalisasi Hukum Islam dari masyarakat Indonesia. Hukum Islam yang hidup di dalam masyarakat Islam ditekan menjadi hukum rakyat rendahan. Di sinilah munculnya kebangkitan dan melahirkan gejolak rakyat Indonesia untak memerdekakan diri atas perlakuan penjajah, termasuk di bidang hukum sehingga menimbulkan gerakan kemerdekaan Indonesia.<br /><br />Syariat Islam dan Teori Receptie Exit<br />Penentangan terhadap teori receptie yang dikernbangkan oleh Hurgronye tidak hanya selama Indonesia dijajah oleh Belanda, tetapi berlanjut hingga Indonesia memasuki kemerdekaan. Para ahli hukurn Indonesia mencermati betul teori tersebut yang mengakibatkan masyarakat Indonesia menjauhi Hukum Islam.<br />Salah satu yang menentangnya adalah Prof Dr. Hazairin, S.H., dalam bukunya “Tujuh Serangkai tentang Hukum. la berpendirian bahwa setelah Indonesia memproklamirkan kernerdekaan 17 Agustus 1945, melalui Pasal 11 Aturan Peralihan Undang Undang Dasar 1945 yang menyatakan hukum warisan kolonial Belanda, masih tetap berlaku selama jiwanya tidak bertentangan dengan Undang¬Undang Dasar, maka seluruh peraturan perundang undangan pernerintah Hindia Belanda yang mendasarkan pada teori receptie dianggap tidak berlaku lagi karena jiwanya bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945. Teori receptie harus exit karena bertentangan dengan Alquran dan As Sunnah. Hazairin menyebutkan teori receptie adalah "teori iblis". <br />Pendapat Hazairin dalarn hal ini didasarkan pada pernbukaan Undang Undang Dasar 1945 (alinea III) yang menyatakan, "Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang; bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya." Dernikian juga (alinea IV menyebutkan, "Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa." Kedua rumusan tersebut menggambarkan bahwa negara Indonesia sangat akrab dengan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan agarna." Menurut Hazairin, istilah Yang Maha Esa merupakan istilah kompromi, menggantikan istilah "ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk pemeluknya." Walaupun telah diganti dengan istilah "Ketuhanan Yang Maha Esa," tidak berarti dapat menyingkirkan Hukum Islam atau hukum agama. Dengan istilah tersebut, hukurn agama yang diberlakukan di Indonesia bagi penganut penganutnya bukan Hukum Islam saja, tetapi hukum agama agama lain juga berlaku. <br />Hazairin melihat bahwa pasal 29 (1) memunyai ftmgsi besar dalarn tata hukum Indonesia karena dalarn kehidupan bernegara Indonesia tidak boleh ada aturan hukum yang bertentangan dengan ajaran atau aturan Tuhan Yang Maha Esa. oleh karena itu, ia berpendapat, teori receptie bertentangan dengan Alquran dan As Sunnah serta UUD 1945. Nilai nilai agama dan hukum agama merupakan sesuatu yang fundamental dan sebagai hak asasi manusia di negara republik Indonesia. Karenanya ia menegaskan bahwa melanjutkan teori receptie berarti bertentangan dengan niat membentuk negara Republik Indonesia. Hazairin mengungkapkan pernikirannya bahwa setelah Indonesia merdeka, hendaknya orang Islam Indonesia menaati hukurn Islam karena hukum merupakan ketentuan Allah dan rasul Nya.<br />Berdasarkan pemikiran dan penentangannya terhadap teori receptie, Hazairin memberikan kesimpulan bahwa: <br />1. Teori receptie dianggap tidak laku dan exit dari tata hukum negara Indonesia sejak tahun 1945, melalui merdekaan bangsa Indonesia yang memberlakukan UUD 1945 sebagai dasar gara Indonesia. Demikian juga setelah adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kembali kepada ULTD 1945; <br />2. Sesuai dengan UUD 1945 pasal 29 ayat maka negara Republik Indonesia berkewaj iban membentuk hukum Nasional g salah satu sumbernya adalah hukurn agama; dan<br /> 3. Sumber hukum Nasional selain agama Islam, juga agama lain bagi perneluk agamanya masing masing,<br />di bidang hukum perdata maupun hukum pidana sebagai hukurn Nasional.<br />Pemikiran Hazairin di atas sangat penting untuk dijadikan pedoman dalarn mengembalikan pernurnian Hukum Islam yang sejalan dengan ajaran tentang penataan hukum. Memperkuat teori Penerimaan Otoritas Hukum dan juga mempertajam teori receptie in complexu yang disampaikan oleh para ahli Belanda sebelumnya terhadap kebijakan Hukum Islam dan umatnya di Indonesia. Pernikiran yang membuahkan teori receptie exit ini, sekaligus merupakan upaya menentang atau meng exit teori receptie yang memberikan syarat bagi hukurn Islam untuk dapat diterima sebagai hukurn bila telah diterima oleh hukum adat. Teori receptie harus exit dari sistern hukurn Nasional dan dianggap bertentangan dengan Alquran dan As Sunnah serta tidak sejalan dengan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.<br /><br /><br /><br />Syariat Islam dan Teori Receptio a Contrario<br />Teori ini dikembangkan oleh H. Sayuti Thalib, seorang pengajar utama Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Ia menulis buku tentang Receptio a Contrario: “Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam." Buku ini mengungkapkan perkembangan Hukum Islam dari segi politik hukum, berkaitan dengan politik hukum penjajah Belanda selama di Indonesia hingga melahirkan teori receptio in complexu; teori receptie; perubahan dan perkembangan Hukum Islam dalam praktik; sekaligus juga membicarakan teori receptio a contrario sebagai pemikirannya. Teori ini muncul berdasarkan hasil penelitian terhadap hukum perkawinan dan kewarisan yang berlaku saat itu, dengan mengemukakan pemikirannya sebagai berikut: <br />1. bagi orang Islam berlaku Hukum Islam; <br />2. hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita cita hukum, cita cita batin, dan moralnya; dan <br />3. hukum adat berlaku bagi orang Islam jika tidak bertentangan dengan agama Islam dan Hukum Islam. Teori ini disebut dengan nama reception a contrario karena mernuat teori tentang kebalikan (contra) dari teori receptie.<br /> Sayuti Thalib berpendirian bahwa di negara Indonesia yang mendasarkan hukumnya pada Pancasila dan UUD 1945, semestinya orang yang menaati hukum agamanya. Sila pertama dari Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, berisi maksud dan tujuan tersebut. Di samping itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional bersama Fakultas Hukum Ul, IAIN Antasari Banjarmasin, dan laporan penelitian Direktorat Pembinaan Administrasi Ditjen Pembinaan Badan Peradilan Departemen Kehakiman, menghasilkan gambaran bahwa cita cita moral, cita cita batin, dan kesadaran hukum untuk berhukum dengan hukum Nasional Indonesia harus tidak bertentangan dengan cita cita Hukum Islam sehingga akan berkembang keinginan batin dan kesadaran batin bagi orang Islam menaati Hukum Islam. <br /> Terhadap aturan aturan lain, misalnya hukum adat, aturan aturan itu dapat diberlakukan bagi orang Islam kalau tidak bertentangan dengan Hukum Islam. Pada dasarnya, bagi orang Islam berlaku Hukum Islam; hukum adat hanya berlaku bagi orang Islam jika tidak bertentangan dengan kesadaran batin dan cita cita Hukum Islam. Dalam teori receptio a contrario, hukum adat baru berlaku jika tidak bertentangan dengan Hukum Islam, contohnya di daerah Sumatera Barat, Minangkabau. Mereka berpendapat bahwa adat dapat dijalankan oleh mereka dengan aman jika dilindungi oleh agama mereka, yaitu agama Islam. Adat yang dibenarkan adalah adat yang tidak bertentangan dengan agarna. Untuk orang orang Aceh, Hukum Islam adalah hukum adatnya. Di Aceh, hubungan antara adat dengan hukurn Islam; seperti zat dan sifatnya.<br /> landasan berpikir Sayuti Thalib mengemukakan teori receptio a contrario, didasarkan pada pernikiran bahwa di negara republik Indonesia yang merdeka, sesuai dengan cita cita batin, cita cita moral, dan kesadaran hukum kemerdekaan, berarti ada keleluasaan untuk mengamalkan ajaran agarna dan hukum agama. Hal tersebut dibuktikan dengan kegiatan kegiatan penelitian yang menghasilkan suatu prinsip bahwa bagi orang Islam diberlakukan Hukum Islam. Hukum adat dapat diberlakukan bagi orang Islam kalau hukum adat itu tidak bertentangan dengan ketentuan ketentuan hukurn Islam.<br />Dalarn pertumbuhan masyarakat modem yang berhubungan dengan norma-¬norma Pancasila, ada kemungkinan norma-norma adat dan kebiasaan kebiasaan adat bertentangan dengan Hukum Islam. Oleh karena itu, bagi orang Islam Indonesia, norma norma adat yang bertentangan dengan Pancasila dan hukurn Islam semestinya tidak dapat diberlakukan. Kalau teori receptie melihat kedudukan hukum adat didahulukan keberlakuannya dari pada Hukum Islam, maka teori receptio a contrario mendudukkan hukum adat pada posisi kebalikannya. Oleh karena itu, Sayuti Thalib menyebutkan teorinya merupakan kebalikan dari teori receptive disebut teori receptio a contrario.<br />Pembuktian yang dilakukan oleh Sayuti Thalib dan badan badan penelitian hukum dan penelitian agama menemukan, bahwa di dalarn masyarakat Islam Indonesia ada cita cita moral atau keinginan untuk berhukum dengan hukum agamanya. Di antaranya penelitian tentang hukum waris di DKI Jaya, yaitu perbandingan perkara perkara waris yang masuk ke pengadilan negeri dan pengadilan agama, temyata keinginan orang Islam untuk berhukum dengan Hukum Islam di pengadilan agama lebih besar daripada keinginan orang Islam berhukurn dengan hukum adat di pengadilan negeri (1034 dibanding 47). <br /> Penelitian penelitian terhadap masyarakat Surnatera Barat, Aceh, Kalimantan Selatan, Surnbawa Besar, dan Buton (Sulawesi Tenggara) menggarnbarkan bahwa dalam masyarakat tersebut telah ada kaidah kaidah hukum yang merupakan pedoman dari masyarakat untuk mencari garis garis hukum yang menyangkut hubungan antara hukum adat dan Islam, guna menyelesaikan masalah masalahnya. Di Surnatera Barat misalnya, ada semboyan dan pedoman yang menyatakan "adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. " Dari pedoman itu, tergambarlah bahwa adat Surnatera Barat berdasarkan Alquran. Tak ada dalam idenya, norma adat bertentangan dengan Alquran. Jika ada norma adat atau kebiasaan yang berbeda atau bertentangan dengan syarak atau Alquran, maka norma adat itu tidak dibenarkan. <br />Di masyarakat Aceh, tergambarkan ada hubungan antara hukum adat dan Hukum Islam yang sangat akrab. Ada kaidah kaidah yang menggambarkan bahwa Hukum Islam adalah zatnya, sedangkan hukum adat adalah sifatnya. Pada hakikatnya, hukurn adat dan Hukum Islam bagi masyarakat Aceh adalah satu, hukum adat masyarakat Aceh adalah Hukum Islam; syariat Islam menjadi hukurn adat bagi masyarakat Aceh. Ada kaidah yang menyatakan "adat bak teumaruhun,hukum bak syah kuala. "Artinya, adat berpangkal pada raja (penguasa atau sultan), sedangkan hukum atau syariat berpangkal pada ulama. Syah kuala artinya ulama, yang merupakan sumber hukum bagi penegakan hukum syariat Islam masyarakat Aceh. Dengan sendirinya di dalam masyarakat Aceh, adat istiadat tidak bertentangan dengan syariat Islam atau dengan hukurn Islam. <br /> Hubungan antara Hukum Islam dengan hukum adat sangat akrab. Hukum Islam mempunyai kedudukan inti dan mendasar. Hal tersebut dapat dipahami karena masyarakat tersebut beragama Islam. Sayuti Thalib dalarn menemukan dan mengemukakan rumusan teori receptio a contrario mendasarkan pada azas-azas sebagai berikut: <br />1. pada prinsipnya dalarn kaitannya dengan perintah Tuhan dan rasul, kalau diformulasikan, perintah itu berarti wajib; <br />2. larangan pada dasarnya adalah ketidakbolehan untuk dikerjakan (haram); dan <br />3. adat kebiasaan (urf) dapat dijadikan hukurn selama tidak bertentangan dengan syariat Islam (al 'adah muhakkamah). <br />Dari gambaran Alquran dan as sunnah serta pendapat para ahli tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya bagi masyarakat Islam berlaku Hukum Islam. Hal tersebut merupakan prinsip keyakinan agama dan keyakinan hukum yang merupakan kelanjutan dari keyakinan mengesakan Tuhan dalarn Hukum Islam (tauhid at tasyri). Hukurn lain (termasuk hukurn adat) dapat berlaku bagi masyarakat Islam jika tidak bertentangan dengan agama Islam dan hukurn Islam.<br /><br />Syariat Islam Dan Teori Eksistensi<br />Teori Eksistensi ini dikemukakan oleh H. Ichtijanto S.A., dosen pengajar mata kuliah Kapita Selekta Hukurn Islam dan Sejarah Hukum Islam pada Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia. la berpendapat, bahwa teori eksistensi dalarn kaitannya dengan hukurn Islam adalah teori yang menerangkan tentang adanya hukurn Islam di dalarn hukurn Nasional. Teori ini mengungkapkan, bentuk eksistensi hukurn Islam sebagai salah satu sumber hukum Nasional ialah sebagai berikut: <br />1. Merupakan bagian integral dari hukum Nasional Indonesia; <br />2. Keberadaan, kemandirian, kekuatan, dan wibawanya diakui oleh hukurn Nasional serta diberi status sebagai hukum Nasional; <br />3. Norma norma hukurn Islam (agama) berfungsi sebagai penyaring bahan bahan hukum Nasional Indonesia; dan <br />4. Sebagai bahan utarna dan unsur utama hukum Nasional Indonesia.<br />Hukum Nasional adalah hukum yang bersumber pada Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Negara Indonesia mengakui atas ke bhineka an yang mewujud dalam kehidupan beragama dan sistem hukum Indonesia yang bersumber pada hukum adat, Hukum Islam, dan hukum barat. Hukum Islam merupakan salah satu sumber hukum yang masuk dalam sistem hukum Nasional. Dalam kenyataanya di masyarakat, Hukum Islam masih tetap diberlakukan baik secara individual maupun kolektif Oleh karena itu, jelas sekali, Hukum Islam eksis di dalam hukum Nasional Indonesia.<br />Menurut Ichtijanto, perjuangan dalam merumuskan hukum dan perundang undangan Indonesia yang telah dipengaruhi oleh ajaran Islam tentang teori teori penataan hukum, di antaranya teori penerimaan otoritas hukum, teori receptie in complexu, teori receptie exit, dan teori receptio a contrario, merupakan suatu bukti bahwa hukum ter tulis Indonesia banyak dipengaruhi dan mengambil ajaran Hukum Islam. Oleh karena itu, Hukum Islam ada (exist) di dalam hukum Nasional Indonesia. Hal ini diperkuat dengan berdirinya Departemen Agama pada 13 Januari 1946. Kenyataan ini mendorong ditemukannya teori hubungan antara Hukum Islam dan hukum Nasional. Sehingga Hukum Islam yang hidup di Indonesia bisa menjadi sumber bagi hukum positif untuk perkembangan dan kemajuan hukum Nasional pada masa mendatang.<br />Kerangka pemikiran yang berkembang dalam peraturan dan perundang undangan Nasional didasarkan pada kenyataan Hukum Islam yang berjalan di masyarakat. Pengamalan dan pelaksanaan Hukum Islam yang berkenaall dengan puasa, zakat, haji, infak, sedekah, hibah, baitul mal, hari hari raya besar Islam, dan doa pada hari hari raya Nasional selalu ditaati dalam kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Melihat adanya hubungan yang sangat sinergis antara Hukum Islam dan hukum Nasional, maka dapat menjadi suatu indikator bahwa hukum. Islam telah exist dan semestinya diakomodasi sebagai sumber hukum. Nasional.<br />Kenyataan hukum yang hidup di dalam masyarakat Indonesia menggambarkan bahwa setelah Indonesia merdeka, kemudian didorong oleh kesadaran hukum akibat ketertindasan selama masa penjajahan dan selama masa revolusi, maka diperjuangkan perwujudan Hukum Islam itu agar exist dalam tata hukum Nasional. Eksistensi Hukum Islam dalam tata hukum Nasional ini Nampak melalui berbagai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku saat ini. hukum tetap ada walaupun belum merupakan hukum tertulis. Dalam hukum tertulis juga telah ada nuansa Hukum Islam yang tercantum dalam hukum Nasional. Untuk memperkuat teori pemikirannya, Ichtijianto merujuk beberapa hukum tertulis berupa peraturan dan perundang-undangan yang mengandung unsur-unsur Islam.<br /><br />Penutup<br />Kesimpulan<br />Berdasarkan pembahasan mengenai prinsip-prinsip dan azas-azas hukum Islam diatas, yang menjadi inti pemahaman prinsip-prinsip dan azas-azas hukum Islam dpat diketahui atau diarahkan pada tujuan penyariatan syariat Islam itu sendiri dan apa yang akan dibawa hukum Islam untuk mencapau tujuannya. Hal tersebut adalah sebagai berikut : <br />1. Islam telah meletakkan di dalam undang-undang dasarnya, beberapa prinsip yang mantap dan kekal, seperti prinsip menghindari kesempitan dan menolak mudarat, wajib berlaku adil dan bermusyawarah dan memelihara hak, menyampaikan amanah, dan kembali kepada ulama yang ahli untuk menjelaskan pendapat yang benar dalam menghadapi peristiwa dan kasus-kasus baru, dan sebagainya berupa dasar-dasar umum yang merupakan tujuan diturunkannya agama-agama langit, dan dijaga pula oleh hukum-hukum positif dalam upaya untuk sampai kepada pengwujudan teladan tertinggi dan prinsip-prinsip akhlak yang telah ditetapkan oleh agama-agama namun hukum-hukum masih tetap menghadapi krisis keterbelakangan dari undang-undang atau hukum yang dibawa oleh agama-agama langit. <br />2. Dalam dasar-dasar ajarannya, Islam berpegang dengan konsisten pada perinsip mementingkan pembinaan mental individu khususnya, sehingga ia menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat, karena apabila individu telah menjadi baik maka masyarakat dengan sendirinya akan baik pula. <br />3. Syariat Islam, dalam berbagai ketentuan hukumnya, berpegang dengan konsisten pada prinsip memelihara kemaslahatan manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat. <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br />Mohammad Daud Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia), Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1993.<br />Rahmat Rasyidi dan Rais Ahmad, formalisasi syari’at islam dalam perspektif hukum nasional,Ghalia Indonesia, Edisi Kesatu 2006.<br />Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994.<br /><br />Hasbi Ash-Shiddiqie, Pengantar Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1958.<br /><br />Hasbi Ash-Shiddiqie, Falsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Cet-V, Jakarta, 1993.<br /><br />Suryadi, Kamus Baru Bahasa Indonesia, Usaha Nasional, Surabaya, 1980.<br /><br />Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, LPPM Unisba, Bandung, 1995.<br />Yusuf Qardhawi, Malamih Al-Mujtama Al-Muslim Alladzi Nansyuduhu, Maktabah Wahbah, Kairo, 1993.<br />Ichtijanto S.A., Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, dalam: Hukum Islam di Indonesia, Perkembangan dan Pembentukan, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991, <br /><br />Charle J. Adams (1965: 316) dikutip Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu.Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, PT RajaGrafindio Persada, Jakarta, Cet. 7, 1999.<br /><br />Arso Sostroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, tt,abulumam albantanyhttp://www.blogger.com/profile/04217284884180986248noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3924512155295201119.post-58556807871104629932010-12-17T02:42:00.000-08:002010-12-17T02:46:05.169-08:00pranata hukum islamKAIDAH FIQHIYAH 1<br /><br /> <br /> <br />Allâh Ta'ala dan Rasul-Nya, tidaklah memerintahkan sesuatu <br />kecuali yang murni mendatangkan maslahat atau maslahatnya dominan. <br />Dan tidaklah melarang sesuatu <br />kecuali perkara yang benar-benar rusak atau kerusakannya dominan.<br /><br />Kaidah ini mencakup seluruh syari’at agama ini. Tidak ada sedikitpun hukum syari’at yang keluar dari kaidah ini, baik yang berkait dengan pokok maupun cabang-cabang agama ini, juga berhubungan dengan hak Allâh Ta'ala maupun yang berhubungan dengan hak para hamba-Nya.<br />Allâh Ta'ala berfirman:<br /> <br />Sesungguhnya Allâh menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, <br />memberi kepada kaum kerabat, <br />dan Allâh melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. <br />Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.<br />(Qs. An-Nahl/16:90)<br /><br />Tidak ada satu keadilan pun, juga ihsan (perbuatan baik) dan menjalin silaturahim yang terlupakan, kecuali semuanya telah diperintahkan oleh Allâh Ta'ala dalam ayat yang mulia ini. Dan tidak ada sedikit pun kekejian dan kemungkaran yang berkait dengan hak-hak Allâh Ta'ala, juga kezhaliman terhadap makhluk dalam masalah darah, harta, serta kehormatan mereka, kecuali semuanya telah dilarang oleh Allâh Ta'ala. Allâh Ta'ala mengingatkan para hamba-Nya agar memperhatikan perintah-perintah-Nya, memperhatikan kebaikan dan manfaatnya lalu melaksanakannya. Allâh Ta'ala juga mengingatkan agar memperhatikan keburukan dan bahaya yang terdapat dalam larangan-larangan Nya, lalu menjauhinya.<br /><br />Demikian pula firman Allâh Ta'ala:<br /> <br />Katakanlah: “Rabbku menyuruh menjalankan keadilan”. <br />Dan (katakanlah): “Luruskanlah muka (diri) mu di setiap shalat <br />dan sembahlah Allâh dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. <br />(Qs. al-A’râf/7:29)<br /><br />Ayat ini telah mengumpulkan pokok-pokok semua perintah Allâh Ta'ala, dan mengingatkan kebaikan perintah-perintah itu. Sebagaimana ayat selanjutnya menjelaskan pokok-pokok semua perkara yang diharamkan, dan memperingatkan akan kejelekannya. <br /><br />Allâh Ta'ala berfirman, (yang artinya):<br />Katakanlah: “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, <br />baik yang nampak maupun yang tersembunyi, <br />dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, <br />(mengharamkan) mempersekutukan Allâh dengan sesuatu <br />yang Allâh tidak menurunkan hujjah untuk itu <br />dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allâh <br />apa yang tidak kamu ketahui”. <br />(Qs. al-A’râf/7:33)<br />Dalam ayat yang lain, tatkala Allâh Ta'ala memerintahkan agar bersuci sebelum melaksanakan shalat, yaitu dalam firman-Nya, (yang artinya):<br />Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, <br />maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku, <br />dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, <br />dan jika kamu junub, maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan <br />atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, <br />lalu kamu tidak memperoleh air, <br />maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); <br />sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. <br />(Qs. Al-Mâidah/5:6)<br />Dalam ayat ini, Allâh Ta'ala menyebutkan dua macam thaharah (bersuci). Yaitu thaharah dari hadats kecil dan hadats besar dengan menggunakan air. Dan jika tidak ada air atau karena sakit, maka bersuci dengan menggunakan debu. <br /><br />Selanjutnya Allâh Ta'ala berfirman, (yang artinya):<br />Allâh tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu <br />dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. <br />(Qs al-Mâidah/5 : 6)<br />Dalam ayat ini, Allâh Ta'ala mengabarkan bahwa perintah-perintah-Nya termasuk jajaran kenikmatan terbesar di dunia ini, dan berkaitan erat dengan nikmat-Nya nanti di akhirat.<br /><br />Perintah Allâh Ta'ala yang maslahatnya seratus persen dan larangan Allâh dari sesuatu yang benar-benar rusak, dapat diketahui dari beberapa contoh berikut.<br /><br />Sebagian besar hukum-hukum dalam syari’at ini mempunyai kemaslahatan yang murni. Keimanan dan tauhid merupakan kemaslahatan yang murni, kemaslahatan untuk hati, ruh, badan, kehidupan dunia dan akhirat. Sedangkan kesyirikan dan kekufuran, bahaya dan mafsadatnya murni, yang menyebabkan keburukan bagi hati, badan, dunia, dan akhirat.<br /><br />Kejujuran maslahatnya murni, sedangkan kedustaan sebaliknya. Namun, jika ada maslahat yang lebih besar dari mafsadat yang ditimbulkan akibat kedustaan, seperti dusta dalam peperangan, atau dusta dalam rangka mendamaikan manusia, maka Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam telah memberikan rukhshah (keringanan) dalam masalah perbuatan dusta seperti ini, dikarenakan kebaikannya atau maslahatnya lebih dominan. <br /><br />Demikian pula, keadilan mempunyai maslahat yang murni. Sedangkam kezhaliman, seluruhnya adalah mafsadat. Adapun perjudian dan minum khamr, mafsadat dan bahayanya lebih banyak daripada manfaatnya. Oleh karena itu, Allâh Ta'ala mangharamkannya. <br /><br />Allâh Ta'ala berfirman, (yang artinya):<br />Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. <br />Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar <br />dan beberapa manfaat bagi manusia, <br />tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”.<br />(Qs. al-Baqarah/2:219)<br />Jika ada maslahat-maslahat besar dari sebagian perkara yang mengandung unsur perjudian, seperti mengambil hadiah lomba yang berasal dari uang pendaftaran peserta dalam lomba pacuan kuda, atau lomba memanah, maka hal demikian ini diperbolehkan. Karena lomba-lomba ini mendukung untuk penegakan bendera jihad. <br /><br />Adapun mempelajari sihir, maka sihir hanyalah mafsadat semata-mata. Sebagaimana firman Allâh Ta'ala , (yang artinya):<br />Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya <br />dan tidak memberi manfaat.<br />(Qs. Al-Baqarah/2:102)<br /><br />Demikian pula diharamkannya bangkai, darah, daging babi, dan semisalnya yang mengandung mafsadat dan bahaya. Jika maslahat yang besar mengalahkan mafsadat akibat mengkonsumsi makanan yang diharamkan ini, seperti untuk mempertahankan hidup, maka makanan haram ini boleh dikonsumsi. <br /><br />Allâh Ta'ala berfirman, (yang artinya):<br />Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.<br />(Qs al-Mâidah/5:3)<br /><br />Pokok dan kaidah syari’ah yang agung ini dapat dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa ilmu-ilmu modern sekarang ini, serta berbagai penemuan baru yang bermanfaat bagi manusia dalam urusan agama dan dunia mereka, bisa digolongkan ke dalam perkara yang diperintahkan dan dicintai Allâh Ta'ala dan Rasul-Nya, sekaligus merupakan nikmat yang diberikan Allâh Ta'ala kepada para hamba-Nya, karena mengandung manfaat yang sangat dibutuhkan oleh manusia dan sebagai sarana pendukung.<br /><br />Oleh karena itu, adanya telegram dengan berbagai jenisnya, industri-industri, penemuan-penemuan baru, hal-hal tersebut sangat sesuai dengan implementasi kaidah ini. Perkara-perkara ini, ada yang masuk kategori sesuatu yang diwajibkan, ada yang sunnah, dan ada yang mubah, sesuai dengan manfaat dan amal perbuatan yang dihasilkannya. Sebagaimana perkara-perkara ini juga bisa dimasukkan dalam kaidah-kaidah syar’iyah lainnya yang merupakan turunan dari kaidah ini.<br /><br /><br />Kitab rujukan:<br />al-Qawâ’id wa al-Ushul al-Jâmi’ah wa al-Furûq wa at-Taqâsiim al-Badi’at an-Naafi’at<br />Karya: Syaikh ‘Abdur-Rahman bin Nashir as-Sa’di<br />Tahqiq: oleh Prof. Dr. Khalid bin ‘Ali al-Musyaiqih<br />Cetakan: Dar al-Wathan<br />(Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XII/Rabi'uts-Sani 1429H/April 2008M)<br />________________________________________<br />KAIDAH FIQHIYAH 2<br />HUKUM WASILAH TERGANTUNG PADA TUJUANNYA<br />(Qawa'id Fiqhiyah: Kaidah Kedua)<br />Beberapa hal yang masuk dalam kaidah ini, di antaranya:<br />• Perkara wajib yang tidak bisa sempurna (pelaksanaannya) kecuali dengan keberadaan sesuatu hal, maka hal tersebut hukumnya wajib pula.<br />• Perkara sunnah yang tidak bisa sempurna kecuali dengan keberadaan sesuatu hal, maka hal tersebut sunnah juga hukumnya.<br />• Sarana-sarana yang mengantarkan kepada perkara yang haram atau mengantarkan kepada perkara yang makruh, maka hukumnya mengikuti perkara yang haram atau makruh tersebut.<br /><br />Demikian pula, termasuk turunan dari kaidah ini, bahwa hal-hal yang mengikuti ibadah ataupun amalan tertentu, maka hukumnya sesuai dengan ibadah yang menjadi tujuan tersebut.<br />Kaidah ini, merupakan kaidah yang sifatnya kulliyah (menyeluruh), yang membawahi beberapa kaidah lain.<br />Pengertian الوَسِيلَةُ (wasîlah) yaitu jalan-jalan (upaya, cara) yang ditempuh menuju (perwujudan) suatu perkara tertentu, dan faktor-faktor yang mengantarkan kepadanya. Demikian pula, hal-hal lain yang berkait dan lawâzim (konsekuensi-konsekuensi) yang keberadaannya mengharuskan keberadaan perkara tersebut, serta syarat-syarat yang tergantung hukum-hukum pada sesuatu tersebut.<br />Jadi, apabila Allâh Ta'ala dan Rasul-Nya memerintahkan sesuatu, maka itu berarti sebuah perintah untuk melaksanakan obyek yang diperintahkan, dan hal-hal terkait yang menyebabkan perintah tersebut tidak sempurna kecuali dengan hal-hal tersebut. Demikian pula, perintah tersebut juga mencakup perintah untuk memenuhi semua syarat-syarat dalam syari’at, syarat-syarat dalam adat, yang maknawi ataupun kasat mata. Hal ini dikarenakan Allâh, Dzat Yang Maha Mengetahui dan Maha Memiliki Hikmah, mengetahui apa yang menjadi pengaruh-pengaruh yang muncul dari hukum-hukum yang disyariatkan-Nya bagi hamba-Nya berupa lawâzim, syarat-syarat, dan faktor-faktor penyempurna.<br />Sehingga, perintah untuk mengerjakan sesuatu bermakna perintah untuk obyek yang diperintahkan tersebut, dan juga perintah untuk mengerjakan hal-hal yang tidaklah bisa sempurna perkara yang diperintahkan tersebut kecuali dengannya. Dan (sebaliknya) larangan dari mengerjakan sesuatu merupakan larangan dari hal tersebut dan larangan dari segala sesuatu yang mengantarkan kepada larangan tersebut.<br />Atas dasar keterangan di atas, berjalan untuk melaksanakan shalat, menghadiri majelis dzikir, silaturrahim, menjenguk orang sakit, mengiringi jenazah, dan lain-lain masuk dalam kategori ibadah juga. Demikian pula orang yang pergi untuk melaksanakan haji dan umroh, serta jihad fi sabîlillâh (di jalan Allâh Ta'ala), sejak keluar dari rumah sampai pulang kembali, maka orang tersebut senantiasa dalam pelaksanaan ibadah. Karena keluarnya (orang tersebut dari rumah) merupakan wasîlah (cara) untuk melaksanakan ibadah dan menjadi penyempurnanya.<br />Allâh Ta'ala berfirman, yang artinya:<br />"Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allâh, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal shalih. Sesungguhnya Allâh tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik, dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal shalih pula) karena Allâh akan memberi balasan kepada mereka yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan."<br />(Qs. at-Taubah/9:120-121)<br />Dalam hadits yang shahîh, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:<br /> <br />Barangsiapa yang menempuh suatu perjalanan <br />dalam rangka menuntut ilmu <br />maka Allâh akan memperjalankannya <br />atau memudahkan jalan baginya menuju ke surga. <br />(HR Muslim)[1]<br />Sungguh terdapat hadits shahîh yang menjelaskan tentang pahala berjalan untuk melaksanakan shalat, dan setiap langkah yang ditempuh dalam perjalanan tersebut ditulis baginya satu kebaikan dan dihapuskan satu kejelekan.<br />Dan firman Allâh Ta'ala :<br /> <br />Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati <br />dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan <br />dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. <br />Dan segala sesuatu Kami kumpulkan <br />dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh mahfuzh). <br />(Qs. Yasin/36:12)<br />Yang dimaksudkan dengan “bekas-bekas yang mereka tinggalkan” pada ayat di atas ialah perpindahan langkah-langkah dan amalan-amalan mereka, apakah untuk melaksanakan ibadah ataukah sebaliknya. Oleh karena itu, sebagaimana melangkahkan kaki dan upaya-upaya untuk melaksanakan ibadah dihukumi sesuai dengan hukum ibadah yang dimaksud, maka melangkahkan kaki menuju kemaksiatan juga dihukumi sesuai dengan hukum kemaksiatan tersebut dan kemaksiatan yang lain.<br />Maka perintah untuk melaksanakan shalat adalah perintah untuk melaksanakan shalat dan perkara-perkara yang shalat tidak sempurna kecuali dengannya seperti thaharah (bersuci), menutup aurat, menghadap kiblat, dan syarat-syarat lainnya. Dan juga, perintah untuk mempelajari hukum-hukum yang pelaksanaan shalat tidaklah bisa sempurna kecuali dengan didahului dengan mempelajari ilmu tersebut.<br />Demikian pula, seluruh ibadah yang wajib atau sunnah yang tidak bisa menjadi sempurna kecuali dengan suatu hal, maka hal itu juga wajib karena perkara yang diwajibkan tersebut, atau menjadi amalan sunnah dikarenakan perkara yang sunnah tersebut. Termasuk cabang kaidah ini adalah perkataan ulama[2]:<br />“Jika datang waktu shalat bagi orang yang tidak menjumpai air, maka wajib baginya untuk mencari air di tempat-tempat yang diperkirakan dapat ditemukan air di sana”. <br />Dikarenakan kewajiban tersebut tidak sempurna kecuali dengan keberadaan hal-hal itu sehingga hukumnya juga wajib. Demikian pula, wajib baginya untuk membeli air atau membeli penutup aurat yang wajib dengan harga yang wajar, atau dengan harga yang lebih dari harga wajar, asalkan tidak menyusahkannya dan tidak menyedot seluruh hartanya.<br />Termasuk juga di dalam kaidah ini adalah tentang wajibnya mempelajari ilmu perindustrian yang sangat dibutuhkan oleh kaum muslimin untuk mendukung urusan agama dan dunia mereka, baik urusan yang besar maupun yang kecil. Demikian pula, masuk dalam kaidah ini adalah wajibnya mempelajari ilmu-ilmu yang bermanfaat. Ilmu bermanfaat terbagi menjadi dua macam :<br />Pertama. Ilmu yang hukum mempelajarinya fardhu ‘ain, yaitu ilmu yang sifatnya sangat diperlukan oleh setiap orang dalam urusan agama, akhirat, maupun urusan muamalah. Setiap orang berbeda-beda tingkat kewajibannya sesuai dengan keadaan masing-masing.<br />Kedua. Ilmu yang hukum mempelajarinya fardhu kifâyah, yaitu ilmu yang bersifat tambahan dari ilmu harus dipelajari oleh setiap individu, yang dibutuhkan oleh muasyarakat luas.<br />Dari sini, ilmu yang sangat dibutuhkan oleh individu hukumnya fardhu ‘ain. Adapun ilmu yang sifatnya tidak mendesak jika ditinjau dari sisi kebutuhan individual, namun masyarakat luas membutuhkannya, maka hukumnya fardhu kifâyah. Sebab, perkara yang hukumnya fardhu kifâyah ini, jika telah dilaksanakan oleh sebagian orang dengan jumlah yang mencukupi, maka gugurlah kewajiban sebagian yang lain. Dan jika tidak ada sama sekali orang yang melaksanakannya, maka menjadi wajib atas setiap orang.<br />Oleh karena itu, termasuk cabang kaidah ini adalah semua hal yang hukumnya fardhu kifâyah, seperti mengumandangkan adzan, iqamah, mengendalikan kepemimpinan yang kecil maupun yang besar, amar ma‘ruf nahi munkar, jihad yang hukumnya fardhu kifayah, pengurusan jenazah dalam bentuk memandikan, mengkafani, menyalatkan, membawanya ke pemakaman, menguburkannya, serta hal-hal yang menyertainya, termasuk juga mempelajari ilmu pertanian (persawahan, perkebunan), dan hal hal yang menyertainya.<br /> <br />[1] HR Muslim dalam Kitab adz-Dzikr wa ad Du’aa‘, Bab: Fadhl al-Ijtima’ ‘ala Tilawatil-Qur‘ân, no. 2699 dari Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu<br />[2] Al Mughni 1/314<br />(Majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XII)abulumam albantanyhttp://www.blogger.com/profile/04217284884180986248noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3924512155295201119.post-5494350394435222912010-12-17T02:12:00.000-08:002010-12-17T02:30:55.337-08:00pranata hukum islamKasus Muslim Membunuh non Muslim.<br />Pada dasarnya, berlakunya hukum pidana itu berkaitan erat dengan kondisi suatu masyarakat yang mengenal struktur kekuasaan. Dalam pelaksanaannya, sesungguhnya pemberi¬an hukuman kepada setiap pelaku kejahatan yang bersifat publik terdapat dalam setiap masyarakat. Karena itu, sebelum Islam datang, bentuk bentuk pidana yang diguna¬kan dan diterapkan oleh berbagai penguasa Arab untuk menindak pelaku kejahatan, juga sudah ada sejak lama. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari kenyataan bahwa di mana ada masyarakat, di sana tentu ada aturan atau. hukum yang dipegangi bersama.<br />Pada umumnya, praktik hukum sebelum Islam datang berorientasi dan mencerminkan kepentingan elite dari komunitas masyarakat. Ketimpangan semacam itu sejalan dengan kenyataan bahwa struktur masyarakat Arab pra Islam itu, sebenarnya, sangat didominasi oleh kaum aristokrat dan borjouis. Dalam struktur masyarakat pra Islam seperti itulah bentuk bentuk pidana yang diterapkan cenderung berfungsi sebagai alat bagi setiap para penguasa, untuk menjamin status quo dan menindas setiap tindakan menyimpang yang normanya disesuaikan dengan kepen¬ tingan mereka. Hal ini terlihat jelas dalam penerapan qisas diyat antara seorang hamba sahaya dengan seorang tuan. Penerapan dan pelaksanaannya lebih memberatkan kepada kaum lemah seperti para hamba sahaya, kaum papa, dan juga bersifat diskriminasi. Sampai kernudian Islam dating dan menekankan nilai keadilan. Al Qur'an surat al Mai'dah (5) ayat: 8:<br /><br /> <br />(Berlakulah adil, karena adil itu lebih dekat dengan taqwa). Kemudian al Qur'an menandaskan lagi <br /> <br />(Dan apabila karnu berkata, maka hendaklah karnu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabatmu).<br /> Berpijak atas rasa keadilan dan persamaan hak di muka hukum, Syaltut berpendapat bahwa seorang muslim yang melakukan pernbunuhan terhadap seorang non muslim dengan sengaja harus dikenakan hukuman qisas, bila keluarga terbunuh tidak memaafkan. Pendapatnya itu berbeda dengan pendapat yang berkernbang di kalangan jumhur ulama yang menyatakan bahwa orang muslim yang membunuh orang non muslim hanya dikenakan hukuman ta’zir, yaitu suatu hukuman yang kualitas dan kuantitasnya relatif lebih ringan dibanding dengan hukuman qisas. Perbedaan pendapat antara jurnhur dengan Syaltut dalam kasus diatas, karena adanya perbedaan dalam melakukan ijtihad. Dikalangan jumhur berpegangan dengan hadis Nabi sebagai berikut:<br /> <br />Tidak dibunuh/diqisas orang muslim yang membunuh orang non muslim. <br /><br /><br />Jumhur juga memperkuat pendapatnya, bahwa asas perlindungan adalah keislaman, kecuali mereka<br /> yang melakukan perjanjian. Sedangkan yang terlindung darahnya yang paling tinggi tingkatannya adalah muslim. itu sendiri. Dengan demikian dapat dimaklumi, jika orang muslim membunuh non muslim itu hanya dikenakan hukuman ta’zir, tidak sampai dikenakan hukuman qisas. Ada dua kriteria perlindungan yang berlaku dikalangan pendapat jumhur ulama yaitu; pertama, perlindungan atas dasar agama (Islam) dan kedua, perlin¬dungan atas dasar domisili. Perlindungan atas nama agama melekat untuk selamanya, selama seseorang masih memeluk agama Islam, sedangkan perlindungan atas dasar domisili bersifat temporer, berlaku berdasarkan atas perjanjian seperti yang didapatkan oleh orang orang jimmi dan musta'min.<br />Dalam pada itu Syaltut mengemukakan pendapat¬nya sebagai berikut: Adapun firman Allah SWT: memberikan pemahaman adanya yaitu persamaan dalam melakukan pembalasan. Lebih lanjut ia memperkuat argumentasinya sebagai berikut: “<br /> <br />Perintah kepada mereka (kaum mukmin) untuk menjalan¬kan qisas dalam pembunuhan, tidak ada kaitannya dengan imannya seseorang yang terbunuh atau kekafirannya. <br /><br />Sementara itu Syaltut juga menandaskan, bahwa arti persaudaraan yang terkandung dalam al Qur'an surat al¬-Baqarah (2) ayat: 178:<br /> <br />Maka barang siapa yang mendapatkan suatu pemaafan dan saudaranya hendaklah (yang memaafkan) mengikuti de¬ngan cara yang baik dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang member maaf dengan cara yang baik (pula).<br /><br />Bahwa dalam ayat tersebut, arti persaudaraan di sini tidak harus berarti saudara dalam satu agama (keimanan) saja, tetapi boleh dengan pengertian yang luas, yaitu saudara sesama manusia, bukanlah manusia ini seluruhnya dari Adam. <br />Dalam iklim sosial dan politik dewasa ini dimana banyak orang muslim hidup dalam berbagai negara dan bangsa yang semua warganya secara teoritis sama dan sederajat, maka pemikiran Syaltut itu memberikan kontri-busi yang sangat signifikan dalam membentuk sebuah<br />komunitas bangsa. Di sini terlihat jelas, bahwa Syaltut meletakkan nilai kemanusiaan sebagai prinsip kehidupan yang harus dihargai, dan pandangannya itu selaras dengan prinsip al masalih al khamsah yang salah satunya ialah hifd al nafs. Dilain pihak sesungguhnya hakekat dasar kema¬nusiaan ialah termasuk didalamnya menegakkan keadilan tanpa memandang status sosialnya dan atribut atribut lain. Karena keadilan ditegaskan dalam al Qur'an harus dijalan¬kan dengan teguh sekalipun mengenai kerabat sendiri, dan janganlah sampai kebencian kepada suatu golongan itu membuat orang tidak mampu menegakkan keadilan. Keadilan juga disebutkan sebagai perbuatan yang paling mendekati taqwa kepada Allah. Oleh karenanya masya¬rakat yang tidak menjalankan keadilan, dan sebaliknya membiarkan kezaliman, akan berlawanan dengan kehendak Tuhan. Dengan demikian pemikiran Syaltut yang meletak¬kan nilai kemanusiaan dan keadilan adalah merupakan prinsip yang universal.<br />Adapun metode istinbat hukum yang digunakan Syaltut dalam ijtihadnya, sehingga ia mempunyai pendapat seperti yang diungkapkan di atas adalah, ia langsung me¬nafsirkan al Qur'an surat Al Baqarah (2) ayat 178 dengan pemahaman sebagai berikut: Pertama, bahwa redaksi dalam ayat adalah mengandung pengertian persamaan dalam melakukan pembalasan Kedua, ia memahami redaksi ayat bahwa kata “akhihi” dalam ayat itu tidak harus difahami dengan saudara seagama, tapi bisa difahami dengan pengertian lain, yaitu saudara dalam komunitas kemanusiaan. Ketiga, ia dapat dipastikan lebih berpegang dengan ayat ayat yang menyuruh berbuat adil seperti surat al Ma'idah (5) ayat 8: keadilan disini menurut Syaltut bersifat universal tidak dibatasi oleh sekat¬-sekat sosial kemasyarakatan maupun sosial keagamaan, atau atribut atribut sosial lainnya. Dengan demikian, menurut Syaltut menegakkan keadilan mempunyai demensi universal.<br />Prinsip Syaltut menegakkan keadilan dalam masa¬lah masalah pidana mengantarkan ia berkesimpulan bahwa seorang ayah yang membunuh anaknya tetap dikenakan hukuman qisas secara mutlak. Pendapatnya ini berbeda dengan pendapat yang dipegangi oleh jumhur ulama yang menyatakan bahwa ayah yang membunuh anaknya tidak dikenakan hukuman qisas, tapi cukup dengan hukuman ta’zir. Pendapat jumhur ulama ini, kalau ditelusuri bersumber dari dua hadis Nabi sebagai berikut, pertama hadis:<br /> <br /> <br /> ”Tidak di qisas orang tua yang membunuh anaknya”. <br />Kedua, adalah hadis:<br /> <br />“Engkau dan hartamu itu adalah milik bapakmu. <br /><br />Dengan dalil kedua haadis tersebut jumhur berpendapat bahwa, hukuman qisas. tidak dikenakan terhadap seorang bapak karena membunuh anaknya karena mengandung unsur syubhat (tidak ada sandaran hukum yang jelas) didalamnya, karenanya harus dihindari. Sedangkan menurut Syaltut, orang tua yang membunuh anaknya tetap dikenakan hukuman qisas, berdasarkan dalil mengenai keumuman ayat qisas. Lebih tegas lagi ia mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:<br /> <br />Dan aliran yang kami pilih adalah yang mengenakan qisas secara mutlak (bagi orang yang membunuh anaknya). <br />Adapun istinbat hukum yang digunakan Syaltut dalam masalah tersebut ialah, ia menggunakan keumuman ayat dalam surat al Baqarah (2) ayat 178: dan pelaksanaan dari ayat tersebut sesuai pula dengan ayat ayat yang memerintahkan berbuat adil. Pendapat Syaltut tersebut, juga selaras dengan ayat ayat al¬Qur'an yang melarang melakukan pembunuhan.<br />Dengan dilakukannya qisas terhadap seorang ayah yang membunuh anaknya akan memberikan rasa keadilan dan sesuai pula dengan tujuan hukuman itu sendiri ialah; pertama, menjaga keutamaan dan melindungi masyarakat dari kehinaan. Kedua, untuk mencapai kemaslahatan secara umum. Disamping itu mempunyai nilai preventif dan edukatif bagi komunitas masyarakat. Pendapat yang dikemukakan Syaltut tersebut menunjukkan konsistensi pe¬mikirannya, mengenai persamaan hak seseorang dihadapan hukum berdasarkan nilai keadilan. Dalam salah satu statemennya secara tegas ia menyatakan: "Bahwa orang tua tidak di qisas karena membunuh anaknya, seorang tuan (sayyid) tidak di qisas karena membunuh hamba sahayanya. orang merdeka tidak diqisas karena membunuh budaknya dan orang Islam tidak diqisas karena membunuh orang non Islam, sebenarnya tidak sesuai dengan prinsip prinsip umum yang ada dalam Islam. Maka berdasarkan materi hukum dan semangat perundang undangan qisas harus berlaku terhadap semua orang tanpa diskriminasi. <br /><br /><br />Diyat Wanita Dan Diyat Laki laki Seimbang.<br />Diyat adalah kompensasi /ganti rugi yang diberikan oleh seorang pelaku tindak pidana kepada korban atau ahli warisnya karena suatu tindak pernbunuhan atau kejahatan terhadap anggota badan seseorang. Diyat merupakan hu¬kuman pokok dalam pembunuhan semi sengaja dan pem¬bunuhan karena keliru (tidak sengaja). Diyat juga merupa¬kan hukuman pengganti qisas dalam tindak pidana pem¬bunuhan atau pelukaan yang dilakukan dengan sengaja, apabila qisas digugurkan atau tidak dapat dilaksanakan.<br />Dalam konstelasi hukum pidana Islam, hukuman itu dapat diklasifikasi menjadi empat macam yaitu:<br />a). Hukuman Primer yaitu hukuman yang telah ditentukan secara definitif dan merupakan hukuman pokok. Contohnya antara lain seperti keten¬tuan qisas bagi pembunuhan atau potong tangan bagi tindak pidana pencurian yang telah mencapai satu nisab atau lebih.<br />b). Hukuman pengganti yaitu apabila hukuman primer itu tidak dapat diterapkan karena alasan hukum yang sah. Contohnya antara lain ialah hukuman diyat sebagai pengganti hukuman qisas, bila korban tindak pidana memaafkan pelakunya, atau hukuman ta'zir bisa mengganti hukuman had, bila. syaratnya belum mencukupi.<br />c) Hukuman tambahan yang otomatis ada yaitu hukuman yang otomatis mengikuti hukuman pokok tanpa memerlukan keputusan tersendiri, seperti hilangnya hak mewarisi bagi pembunuh yang mem¬bunuh orang yang dapat memberikan warisan, atau hilang hak menjadi saksi bagi orang yang pernah melakukan jarimah qadaf (menuduh zina).<br />d). Hukuman penyempurna yaitu hu kuman tambahan bagi hukuman pokok, dengan kepu-tusan hakim tersendiri. Contohnya ialah menambahkan hukuman kurungan bagi pelaku pencurian, atau me-lipatkan diyat sebagai tambahan diyat yang telah ditetapkan. <br />Diberlakukannya diyat berdasarkan firman Allah Swt: <br /> <br />“ <br />Dan barang siapa membunuh mukmin karena tidak sengaja, ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar denda yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu). <br /><br />Sekalipun ayat ini membicarakan tentang pembunuhan tidak sengaja, para ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa ketika qisas digugurkan atau tidak bisa dilaksanakan, diyat diwajibkan sebagai hukuman pengganti dalam tindak pidana pembunuhan sengaja. Menurut para ulama, diyat yang dikenakan kepada pelaku kejahatan itu bisa berupa diyat berat dan bisa berupa diyat ringan ( ). <br />Dalam masalah diyat ini, Syaltut berpendapat bahwa diyat (denda) bagi seorang wanita sama/seimbang dengan diyat seorang laki laki. Pendapatnya ini berbeda dengan pendapat yang berkembang dikalangan jumhur ulama yang menyatakan bahwa diyat seorang wanita itu setengah dari diyat seorang laki laki. Pendapat jumhur ulama itu di¬dasarkan dari praktek para sahabat seperti Umar ibn Khat¬tab, Ali ibn Abi Talib, dan ibn Mas'ud yang melaksanakan diyat bagi seorang wanita setengah dari diyat seorang laki¬-laki. Alasannya karena wanita itu menerima harta pusaka setengah dari penerimaan laki laki. Oleh karena itu yang berkaitan dengan diyatpun seorang wanita disamakan dengan kadar penerimaan warisan laki laki, yaitu wanita menerima setengahnya. <br />Argumen tersebut dibantah oleh Syaltut dengan pernyataannya sebagai berikut: "Selagi kemanusiaan wanita itu sama dengan kemanusiaan laki laki, dan darah wanita itu sejenis darah laki laki, tentulah qisas dan diyat menjadi hukum yang sama antara keduanya. Dengan demikian tidak dibedakan mengenai diyat untuk keduanya. Lebih lanjut ia menegaskan sebagai berikut: “ <br /><br /><br /><br /> <br /> <br /> Dan hal itu jelas, bahwa sesungguhnya tidak ada perbedaan mengenai kewajiban memberikan diyat harena pembunuh¬an keliru (tidak sengaja), antara laki lak dan wanita. Maka oleh karena itu, ketentuan hukum untuk keduanya adalah sama. <br /><br />Sekali lagi disini dapat dikemukakan, bahwa Syaltut tetap menunjukkan konsistensi pemikirannya mengenai persamaan hak seseorang dimuka hukum berdasarkan prinsip keadilan, dan nilai kemanusiaan luhur dalam ke-hidupan manusia. Secara rasional, pembunuhan itu kejam dan tidak manusiawi, maka hukuman qisah yang setimpal sebagai balasannya. Lagi pula hukuman qisas dapat meredam kemarahan, kebencian, kesedian dan penderitan keluarga korban. Hukuman qisas juga mempunyai nilai preventif, maka benarlah apa yang dikemukakan al Qur'an sebagai berikut:<br /> <br />Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang orang yang berakal. <br /><br />Rasyid Rida dalam Tafsir al Manar menginterpretasi¬kan ayat tersebut sebagai berikut: "Ayat yang bersifat yuridis itu menegaskan, bahwa hidup itulah yang dituntut, dan pembalasan (qisas) itu merupakan salah satu dari sarana¬nya. Karena orang yang mengetahui bahwa sesungguhnya apabila ia membunuh akan dibalas yang setimpal, dirinya akan terkekang dari melakukan pembunuhan. Dengan demikian, maka berarti ia telah memelihara kehidupan orang yang akan dibunuh dan sekaligus berarti ia memelihara kehidupannya sendiri. Sedangkan memenuhi pembayaran diyat tidaklah menjamin setiap orang dapat mengekang diri dari penumpahan darah lawannya bila¬mana ia mampu melakukannya. Selanjutnya syar’at juga sangat menganjurkan kepada keluarga korban untuk memaafkan si pelaku dan mengadakan rekonsiliasi. Sehingga diharapkan ada kerelaan dari kedua belah pihak untuk berdamai. Dengan demikian hukuman qisas akan menjadi alternatif terakhir.<br /> <br />Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaatkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). <br /><br />Ayat ini menyiratkan maksud, jika terjadi pembu¬nuhan sengaja hendaklah pelakunya diselidiki. Dan jika ternyata wali korban memaafkan secara mutlak, pelaku tetap berkewajiban membayar diyat. Hal ini karena diyat adalah salah satu pengganti kerusakan jiwa bukan pengganti qisas. Oleh karena diyat merupakan pengganti kerusaan jiwa bukan pengganti qisas, maka dalam pembunuhan tidak sengaja diberlakukan diyat, seperti yang dikemukakan dalam surat an Nisa' (4) ayat 92. Dalam hal itu menurut pendapat Syaltut, diyat bagi seorang wanita korban kejahatan, disamakan dengan diyat laki laid, tanpa ada perbedaan baik secara kuantitas maupun kualitasnya. <br />Dasar pernikiran Syaltut adalah; Pertama, adanya asas keadilan dan persamaan hak di muka hukum. Kedua, penghormatan terhadap nilai nilai kemanusiaan. Ketiga, pemahaman Syaltut terhadap ayat mengenai qisas yang bersifat umum dan mengikat. Menurut persepsinya, bahwa ayat mengenai qisas itu berlaku umum tanpa ada dis-kriminasi, baik korbannya itu wanita atau laki laki, oleh karena itu diyatpun harus disamakan bagi keduanya, tanpa ada perbedaan kuantitas dan kualitas pemberian diatnya. Adapun istinbat hukum yang digunakan Syaltut dalam masalah tersebut ialah pemahamannya langsung terhadap ayat 92 surat al Ma'idah. Pemahamannya dapat dipastikan, bahwa kata dalam khitab (redaksi) mencakup pula . Dengan demikian, ayat itu pelaksa¬nannya mencakup laki laki dan wanita.<br /><br />Pemikiran Syaltut tersebut dirasa telah memenuhi rasa keadilan karena tidak melakukan dislaiminasi gender, sehingga tidak timbul paradoksal dan ketimpangan. Dilain pihak juga memberikan persamaan derajat yang seimbang antara wanita dan laki laki selaku anggota masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban serta tanggung jawab yang sama. Pemikirannya itu selaras dengan kemajuan dan peradaban modern yang menghilangkan diskriminasi gender dalam hak dan kewajiban dalam membangun masyarakat madania.<br /><br /><br />Saksi Dalam Perzinaan.<br />Dalam syari'at Islam, sanksi terhadap suatu perbuatan diberlakukan setahap demi setahap, bahkan ada pula larangan itu dimulai dengan cara yang bersifat peringatan dengan berbagai ragam ungkapan yang dinyatakan dalam al Qur'an. Minum khamer dan berjudi misalnya, sebelum larangan dinyatakan secara tegas dalarn surat al Mai'dah ayat 90, terlebih dahulu surat al Baqarah ayat 219. menyatakan bahwa; "Khamer dan judi itu terdapat dosa besar dan juga bermanfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". Ungkapan tersebut sebagai himbauan dan peringatan agar kaum muslimin meninggalkan judi dan minum khamer yang dikala itu begitu mengakar dalam masyarakat Arab.<br />Demikian pula sanksi bagi perzinaan juga diberlakukan tahap demi tahap, sesuai dengan ayat yang diundangkan. Pada awalnya sanksi perzinaan itu dinyatakan dalam surat al Nisa' ayat 15 dan 16: <br /><br /> <br />Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuabn keji (zina) hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka itu dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepada mereka. <br /> <br />Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji diantara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bartaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Penerima taubat lagi Maha Penyayang.<br /><br />Kemudian berikutnya surat al Nur (24) ayat 2:<br /> <br />Perempuan yang berzina dan laki- laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dan keduanya seratus kali dera.<br /><br />Menurut para mufassir, pada awal Islam sanksi perzinaan adalah kurungan bagi wanita yang telah kawin dan bagi gadis dicerca, sedang bagi laki laki dipermalukan dan dicerca dihadapan khalayak ramai. Sanksi yang diungkapkan dalam surat al Nisa' ayat 15 dan 16 itu bersifat temporer, karena dalam ayat tersebut ada pula penegasan "Sampai Allah memberikan jalan lain bagi mereka" yang berarti pula akan ada sanksi lain yang akan diberlakukan. Kebenaran ini terwujud dalam surat al Nur ayat 2 tersebut, yang menurut riwayat bersumber dari 'Aisyah dan Sa'ad bin Mu’ad, diwahyukan pada tahun keenam hijriyah. Tahap tahap diberlakukan ketentuan hukum dalam syari'at Islam, karena syari'at Islam sangat memperhatikan kemaslahatan manusia, serta sesuai pula dengan prinsip ajaran yang dibawanya yaitu tidak mempersempit manusia, seperti yang dikemukakan dalam surat al Haj (22) ayat 78: (Dan Dia sekali kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama itu kesempitan). Setiap kejahatan dan pelanggaran supaya dapat dikenakan sanksi harus melalui pembuktian terlebih dahulu. <br />Dalam delik seksual (jarimah perzinaan), suatu sanksi baru bisa dikenakan terhadap pelakunya, manakala telah terbukti perbuatanya secara sah menurut hukum. Adapun pembuk¬tian dalam kasus perzinaan ada tiga yaitu:<br />a). (pengakuan), yaitu pelaku mengakui perbuatan¬nya, bahwa ia benar benar melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya.<br />b). (bukti bukti keterangan kuat), yaitu tidak dapat disangkal kebenarannya, seperti wanita hamil tanpa ada suaminya. Atau suami telah lama meninggalkannya dan tidak pernah melakukan aktivitas suami isteri.<br />c). (persaksian), yaitu saksi mengetahui secara pasti (bukan dari orang lain) atas perbuatan pelaku zina. <br />Persaksian (al,syahadah) terhadap jarimah (delik) perzinaan harus dikemukakan oleh empat orang saksi, hal itu dinyatakan dalarn nas al Qur'an secara jelas sebagai berikut:<br /> <br />Dan (terhadap para wanita yang mengerjakan perbuatan keji (zina), hendaklah ada orang empat saksi di antara kamu. <br /> <br />Dan orang orang yang menuduh wanita wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh) itu delapan puluh kali dera. <br /><br /> <br />Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita kebohongan itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang orang yang dusta. <br /> <br />Dari ayat ayat yang dikemukakan tersebut, para ulama mensyaratkan bahwa terhadap tuduhan perzinaan harus dikemukakan empat orang saksi. Berkaitan dengan empat orang saksi dalam kasus perzinaan, Syaltut menge-mukakan pendapatnya sebagai berikut: "Seseorang boleh mengalirkan darah karena mempertahankan kehormatan rumah-tangganya (kasus zina) walaupun tanpa empat orang saksi, hal itu semata mata sebagai pembelaan kehormatan¬nya, manakala bukti telah kuat". Karena pembelaan terhadap kehormatan juga didorong rasa cemburu yang menurutnya hampir mendekati perasaan gila. Syaltut memberikan ilustrasi yang terdapat dalam riwayat tentang putusan Umar ibn Khattab, bahwa ia membenarkan seorang laki laki yang menetakkan pedangnya kepunggung laki laki aki lain sehingga meninggal karena didapatkannya berbuat zina dengan isterinya. Lebih lanjut ia mengernukakan pendapatnya sebagai berikut: Manakala tidak memungkinkan menghadirkan empat orang saksi dalam kasus itu, maka cukuplah bukti bukti kuat menurut hukum bisa digunakan oleh hakim. Dan dengan tegas ia menyatakan sebagai berikut: <br /><br /> <br />Bagi pengadilan banyak cara untuk menetapkan (kepu¬tusan) dan disamping empat orang saksi. <br /><br />Dari pendapat yang dikemukakannya tersebut dapat dinyatakan bahwa, jika secara material bukti bukti telah kuat mengenai tedadinya perzinaan antara seorang laki laki dengan wanita bukan isterinya yang melanggar kehormatan orang lain, maka hakim bisa memutuskan perkara tanpa empat orang saksi.<br />Dengan demikian pernikiran Syaltut tersebut me¬ngandung maslahah, karena, jika saja kasus melanggar kehormatan orang lain (zina) harus dengan empat orang saksi dalam pembuktiannya, sedangkan hal itu sulit dipenuhi, sedangkan bukti bukti lain telah menguatkan, maka akan tidak terlindungi kehormatan rumah tangga seseorang, dan akan tergoyahkan pula ketenangan rumah tangganya. Padahal ketenangan rumah tangga merupakan fondasi penting untuk menciptakan keharmunisan suatu perkawinan dan kelestariaanya. Berdasarkan maslahah ini pula, Umar ibn Khattab pernah mendera peminum khamer delapan puluh kali. <br />Sedangkan pada zaman Nabi peminum khamer hanya didera empat puluh kali. Umar ibn Khattab, seorang sahabat Nabi yang dianggap oleh jumhur ulama sebagai imam ahli ra’yu, banyak sekali ia berijtihad dan berfatwa dengan menggunakan pertimbangan maslahah seperti; tidak memberikan hak muallaf dari harta zakat, membunuh orang banyak karena bersama sama membunuh seseorang, mendera perninum khamer delapan puluh kali, tidak melaksanakan hukuman potong tangan atas pencuri pada musim paceklik dan dalam suasana perang, mengharamkan laki laki muslim menikah dengan wanita kitabiyah, meme¬rintahkan seseorang mengalirkan air di tanah orang lain meskipun dilarang oleh pemiliknya, mengadakan penjara, mengatur administrasi pernerintahan, memungut pajak dari rakyat yang mampu untuk mencukupi biaya pernerintahan, tidak membagi tanah rampasan perang dan tetap mem¬biarkannya ditangan pemiliknya, masalah talak tiga, dan masih banyak lagi. Kajiannya cukup panjang tentang ijtihad Umar ini.<br />Karena itu setiap aktivitas yang mengandung manfa'at, baik itu dari segi menarik atau menghasilkanya, maupun cara menolak atau menghindarkan dari bahaya dan kepedihan, pantas dinamai maslahah. Maslahah itu pada dasarnya adalah sesuatu yang membawa kearah yang baik dan manfa'at. <br />Kalau dilihat dari segi metodologi hukum Islam, ma¬ka dapat dikatakan, bahwa cara pengambilan kesimpulan Syaltut dalam mengistinbatkan hukum mengenai persoalan di atas adalah menggunakan maslahah. la merumuskan semacam kaidah sebagai berikut:<br /> <br />Dan jika suatu maslahah itu didapatkan, maka disitulah syari'at Allah.<br />Menurut Syaltut agama ini (Islam) diturunkan untuk kepentingan maslahah manusia, baik untuk kehidupan dunianya maupun kehidupan akhiratnya. Secara tegas ia menyatakan urgennya maslahah dalam Islam sebagai berikut: <br /><br /> <br />Islam itu semata mata agama yang dikehendaki darinya pengaturan maslahah manusia, merialisir keadilan dan menjaga hah hak (seseorang). <br /><br />Disinilah jelas pandangan Syaltut, bahwa Islam adalah agama yang mengedepankan maslahah bagi ma¬nusia, dan menjadikan keadilan sebagai suatu prinsip yang harus dirialisir. Demikian pula hak hak perseorangan adalah merupakan milik yang harus dihargai dan dijaga. Dalam kaitan ini, maka menjaga kehormatan seseorang dalam kasus perzinaan merupakan hak seseorang yang harus dijaga dan dilindungi, derni tegaknya suatu keadilan, walaupun belum mencukupi empat orang saksi. Untuk itu hakim harus mengadili dengan bukti bukti kuat yang lain, demi maslahah pula.<br />Sementara itu Syaltut juga memiliki visi, bahwa ijtihad itu sendiri berkaitan erat dengan adanya maslahah, seperti pernyataannya sebagai berikut: (Ijtihad berubah sesuai dengan maslahah yang ada). Lebih lanjut pemikirannya mengenai kaitan antara ijtihad dan maslahah dapat diumpamakan seakan akan sebagai dua sisi dari mata uang logam yang sama yang tidak bisa dipisahkan. Seperti yang diungkapkannya bagai berikut: <br /><br /> <br /><br /> Dan perbedaan adanya maslahah dalam suatu perkara itu, disebabkan adanya perubahan waktu, tempat dan (kondisi sosial) orang orang (masyarakat), dan disini dwujudkan (dilakukan) ijtihad.<br /><br />Dengan pertimbangan maslahah ini pula, ia berpendapat bahwa hukuman ta'zir bisa dijatuhkan lebih berat dari hukuman hudud, jika hakim menganggap maslahah menghendaki Pendapatnya ini bisa diilustrasikan sebagai berikut; Jika terjadi terhadap seseorang yang mengurangi takaran (timbangan) terus menerus dalam aktivitas perdagangan¬nya, dan perbuatan itu bisa berpengaruh besar terhadap skala perdagangan yang luas dan akibatnya juga menda¬tangkan kerugian yang cukup besar terhadap masyarakat, maka orang yang melakukan pelanggaran mengurangi takaran (timbangan) tersebut bisa dikenakan sanksi hukum¬an lebih berat dari pencurian itu sendiri. Karena adanya maslahah menghendaki untuk itu, yaitu terlindunginya konsumen (masyarakat) dari kerugian, supaya tercipta perdagangan yang bersih dan jujur jauh dari penipuan dan manipulasi yang merupakan perbuatan yang dilarang oleh agama.<br />Di sinilah perlu adanya kesalehan individual dan kesalehan sosial yang berproses melalui penanaman nilai¬-nilai keagamaan. Sehingga setiap warga masyarakat terikat moralitas religius untuk menuju terwujudnya masyarakat yang baik, jujur, adil, jauh dari manipulasi dan saling mempercayai dalarn segala, aspek kehidupan. Dengan demikian akan tercipta masyarakat yang mengedepankan moralitaas luhur yang bersendikan agama.abulumam albantanyhttp://www.blogger.com/profile/04217284884180986248noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3924512155295201119.post-34314311684126393052010-12-17T02:11:00.001-08:002010-12-17T02:11:48.505-08:00pranata hukum islamabulumam albantanyhttp://www.blogger.com/profile/04217284884180986248noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3924512155295201119.post-55896528695976674502010-12-17T02:09:00.000-08:002010-12-17T02:10:12.837-08:00hukumabulumam albantanyhttp://www.blogger.com/profile/04217284884180986248noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3924512155295201119.post-70191101428534313652010-05-23T00:49:00.000-07:002010-05-23T00:51:18.129-07:00MEMBEDAKAN ANTARA ARAB (PENDUDUK KOTA)DAN ARAB PENDUDUK DESA)<br />Oleh : A. Muher<br /><br />Dr. Toha Husein menggambarkan kehidupan di tengah jazirah Arab sebelum munculnya 1slam, "bahwa kehidupannya keras dan kejam, dan bahwa sistem kesukuan lebih banyak berpijak pada fanatisme katimbang pada yang lain, kecuali penduduk kota atau desa yang berkehidupan lebih luas dan mapan. Mereka tidak bepergian sebagaimana yang lain untuk merumput atau mencari makanan meskipun belum terbebas dari fanatisme".' Di antara kota kota atau kampung karnpung, dengan berbagai macam namanya, sebagaimana yang disebut oleh Dr. Toha Husein adalah Makkah, Thaif, Yatsrib, dan beberapa oase (wahat) di daerah Yamamah; minin tnya tempat tempat yang mapan itu dikembalikan pada kondisi alam semenanjung jazirah Arab yang berpadang pasir dan tidak adanya sungai sungai di sana. Ini merupakan salah satu sebab penting yang mendukung "berkembangnya kehidupan masyarakat Baduwi, banyaknya penduduk yang dikuasai oleh watak Baduwi,<br /><br />1 Dr. Toha Husein, Mir'ah al Islam (Dar al Ma'arif, Mesir:<br /><br />65<br /><br />ahimya semangat individualistis, dan sikap saling bunuh membunuh antara sebagian suku dengan suku yang lain, sehingga tempat tempat yang berkembang (maju) dan tempat tempat yang memiliki sumber sumber air dan mata air menjadi sangat terbatas".' Demikianlahmasyarakat Arab sebelum lahirnya Islam terbagi menjadi masyarakat yang menetap di desa~desa dan masyarakat yang berpindah pindah (nomaden), dan dari sinilah muncul istilah semi kelas jika istilah itu benar antara penduduk kota, kampung, dan atau pusat pusat yang mungkin dapat dikatakan pusat peradaban (hadlariyah), dan penduduk Baduwi yang hidupnya berpindah pindah (nomaden) untuk mendapatkan makanan dari lokasi setempat. "Adapun penduduk Baduwi selalu bekerja sebagai pengrajin, bercocok tanam, pedagang, dan pelaut. Mereka hanya menggantungkan hidup pada hasil binatang peliharaan, memakan dagingnya setelah dirawat beberapa waktu, meminum air susunya, memanfaatkan bulunya sebagai pakaian dan menjadikannya tenda~tenda untuk berteduh. Apabila mengalami kesulitan (keterpaksaan), mereka memakan biawak, binatang sejenis tikus (ferboa), dan binatang sejenis marmut (Hyrax Syriaca). Mereka menggantungkan hidupnya pada alam. Di saat musim hujan mereka pergi merumput ke tempat tumbuhnya tanaman. jika musim. sudah berganti, mereka kembali ke tempat asalnya".' Penduduk yang menempati pusat pusat peradaban disebut dengan "al Arab", sedangkan penduduk Baduwi disebut dengan "al A'drib"atau "al A'rab". Seorang penyair mengatakan: "A'drib,<br />mereka yang mempunyai kemulyaan lewat kebohongan".<br /><br />2 Abu Hasan Ali al Husna al Tadawi, al Sirah al¬<br />Nabawiyah, tentang pasal ThaWah al jazirah wa Affluhah (Dar al¬<br />Syuruq, Jeddah: Rabus Tsani 1397 H/ 1977 M), cet. 1, hal. 80<br />1 Ahmad Arnin, Fajr al Islam (Maktabah al Nahdlah al <br />Mishriyah), cet XIII, hal. 9<br /><br />66<br /><br />Bagaimanapun asal usul kata Arab, namun yang pasti kata itu menjadi jenis sebutan bagi generasi manusia. Mereka adalah penduduk kota. Sedangkan A'rab adalah penduduk desa desa yang berpindah pindah (nomaden) untuk mendapat makanan dan mencari perlindungan, dan orang yang dinisbatkan pada penduduk ini disebutan dengan "A'rabiy". Seorang drabi sangat bahagia jika dipanggil dengan: hai orang "arabiy", sementara seorang "arabiy" akan marah jika dipanggil dengan sebutan: hai 'Vrabiy" .4 Ibnu Qutai.bah berpendapat, bahwa "al A'rabiy merupakan sebutan yang lazim untuk penduduk desa (Baduwi)". Ibnu Khaldun adalah salah satu di antara segelintir orang yang menerangkan al drab atau penduduk BacluwL Ia berpendapat "bahwa penduduk Baduwi lebih dahulu ada dibanding dengan penduduk kota (al hadlar). Mereka merupakan masyarakat asal, lebih dekat pada kebaikan dan lebih berani katimbang penduduk kota (al¬hadlar). Penduduk Baduwi hanya ada (bertempat tinggal) pada suku suku yang penduduknya memiliki rasa fanatisme."5 Sejarah Islam menguatkan kebenaran pendapat Ibnu Khaldun karena mayoritas pasukan penaklukan berasal dari penduduk Baduwi (al a'rab). Inilah yang mendorong Dr. Toha Husein, sebagaimana yang telah disebut terdahulu, untuk menafsirkan pemyataan Umar bin Khattab: "masyarakat Arab adalah bahan (materi) Islarn", yakni bahwa mereka menjadi bahan bantuan pasukan dalam penaklukkan (Islam).<br />Betapapun demikian, pembedaan antara al arab (penduduk kota) dan al drab (penduduk desa) telah mapan (berkembang) di tengah tengah masyarakat Arab sebelum<br /> CAT KAKI... 'Lembaga Bahasa Arab, Mujam Affiadz al Qur'an al Kariem, materi A R B (al Hai'ah al Mishriyah al Amah Ii al Kitab, t.t.) vol. II,<br /><br />'Ibnu Khaldun, al Muqaddimah (Mathba'ah al Taqaddum al Amirah, Mesir: 1322 H), hal. 97 100<br /><br />67<br />turunnya wahyu pada nabi Muhammad Saw., khususnya di wilayah wilayah yang berperadaban, di antaranya Makkah tempat awal Islam lahir, Yatsrib (Madinah) tempat ditegakkan Islam, dan tradisi ini terus berpindah ke dalam Islam. Dengan kata lain, bahwa Islam setuju dengan pandangan masyarakat Arab tentang pembedaan itu sebagaimana dalam karakteristik [ayat] berikut: "Orang orang Arab Baduwi (al drab) lebih sangat kekafiran dan kemunafikannya",' "Di antara orang orang Arab Baduwi (al a'rab) itu, ada orang yang memandang apa yang dinajWahkannya sebagai suatu kerugian 11,7 "Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang orang Arab Baduwi (al a'rab) yang berdiam disekitar mereka, tidak turut menyertai rasulullah Saw 11,8 "Orang orang Baduwi (al a'rab) yang tertinggal (tidak turut ke Hudaibiyah) akan mengatakan: harta dan keluarga kami telah merintangi kami, maka mohonkanlah ampun untuk kami"' dan "Katakanlah kepada orang orang Baduwi (al a'rab) yang tertinggal ... "10.<br />h nam Mujahid dan yang lain mengatakan, bahwa ayat<br />"sesungguhnya orang orang yang memanggil kamu dari luar kamar kebanyakan mereka tidak mengerti"II diturunkan berkaitan dengan orang orang Arab Baduwi (al a'rab) dari Bani Tamim. Muhammad bin Ishaq menyebut mereka dengan "orang orang yang tak bersepatu (Hufat) dari Bani Tamim. 1112<br />Dr. Sholeh Ahmad al Ali seorang pimpinan Lembaga Ilmu Pengetahuan Irak berpendapat, "sikap nabi<br /><br />CAT KAKI... 6 Surat al Taubah: 97 7 Surat al Taubah: 98 1 Surat al Taubah: 120 9 Surat al Fath: 11 10Surat al Fath: 16 11Surat al Hujurat: 4 12 AI Wahidi al Naisaburi, Asbab al Nuzul (Mu'assasah al halbi wa Syirkahi, Mesir: 1388 H/1968 M)<br /><br />Muhammad Saw. terhadap suku suku Baduwi yang bermukim di luar kota tidak kuat. Ini disebabkan karena tempat tempat mereka di luar kota membahayakan usaha beliau menyuguhkan semangat semangat keislaman kepada mereka, sebagaimana sikap behau yang lebih lunak dalam menggunakan otoritas untuk menghadapi mereka dan lebih sedikit memanfaatkan mereka dalam membela negara ketika dalarn keadaan genting. Ini tampak dalam beberapa ayat yang mendeskripsikan orang Arab Baduwi (al~A'rab) bahwa mereka "lebih sangat kekafiran dan kemunafikannya, dan lebih pantas untuk tidak mengetahui batas¬batas apa yang diturunkan AllaC dan "Orang Arab Baduwi (al A'rab) mengatakan, kami pereaya. Katakanlah, kalian tidak percaya, tetapi katakanlah kami menerima. Ketika iman masuk di dalam hatinya". 13 Kami menolak penafsiran ini. Meskipun di dalam penafsiran itu ada semangat pragmatisme yang mana kita menjauhkan al Qur'an dari semangat itu, namun ayat ayat yang di dalamnya terdapat kata "al A'rab" tidak membatasi mereka dengan "suku suku Baduwi yang bermukim di luar kota" sebagaimana pendapat penulis tersebut. Yang mutlak itu berlaku berdasarkan kemutlakannya sehingga ditemukan sesuatu yang membatasinya, dan dalam ayat ayat tentang "al A'rab" tidak ditemukan batasan itu yang mengharuskan kami mengatakan bahwa maksud ayat "al a'rab" adalah suku-suku yang berada di luar kota. Dan sebagaimana diketahui dari al Qur'an, ada kecermatan yang finitif. Ini dari satu sisi. Sementara pada sisi lain, bahwa bacaan bacaan buku tentang sejarah perjalanan nabi Saw. yang mulia menunjukkan kepada kita, bahwa di sana terdapat suku¬suku yang bersahabat dengan nabi Muhammad Saw.<br /><br />CAT KAKI..... "Dr. Sholih Ahmad al Ali, al Daulahfi Ahdi al Rasul", Vol. 1, "Takwin al Daulah wa Tandzimiha", Mathbu'at al Majma'al llmi al lraqi, 1988, Baghdad lrak.<br /><br />untuk melawan suku Quraisy. Suku suku itu sebatas melakukan persekutuan,, yakni tidak masuk ke dalam agama Muhammad, dan pada gilirannya tidak menerima semangat keislaman dan yang semisaInya. Ketika benar bahwa penafsiran Dr al Ali tidak memuaskan dan bertentangan dengan data~data sejarah yang kuat, maka penafsiran yang telah saya kemukakan itu lebih sahih.<br />Para al di Fiqh muslim menggali perbedaan mendasar antara al Arab dan al A'rab secara sekilas. Mereka berpendapat, bahwa al A'rab tidak berhak mendapatkan tanah (al Fai') dan harta rampasan perang (al Ghanimah), bahkan kesaksian mereka untuk membuktikan sebuah tuduhan digugurkan, dan bahwa status keimaman mereka atas orang Arab yang berperadaban (al hadlirah) ditolak.' Iman al Qurthubi dalam tafsimya menambahkan,'1)ahwa Abu Mujhz membenci keimaman orang Arab BaduM (al¬A'rab). Imam Malik, salah satu tokoh Mazhab terkemuka mengatakan, seorang al A'raby tidak boleh menjadi imam meskipun lebih fasih (aqra 1)11.15 Meskipun sudah ada hadist nabi yang menegaskan bahwa imarn sholat hendaknya diserahkan kepada mereka yang paling fasih membaca qur'an, yakni mereka yang paling hafal surat dan ayat¬ayatnya, tetapi kita dapat melihat Imam Malik semoga Allah merahmatinya telah melampaui hadist tersebut dan memberikan fatwa tentang ketidakbolehan keimaman orang al A'rab meskipun ia paling fasih (al Aqra 1).16 Tak heran, bahwa hal itu dikembalikan karena Imam Malik lahir di kota dan banyak mewarisi tradisi para pendahulu (al aslaf) dengan melihat al arab dengan pandangan picik.<br />CAT KAKI..... 14 Abu Bakar Muhammad bin Abdullah yang dikenal<br />dengan Ibn al rabi, Ahkam al Qur'an, Vol. 11, ditahqiq olch<br />Muhammad Ali al ajawi, 1407 H/ 1987 M, Dar al jail, Beirut, hal.<br />1005<br /><br />`AI Qurthubi, "al fami' Ii Ahkam al Qur'an", tafsir surat<br />al Baro'ah atau at Taubah.<br />16 AI Qurthubi, "al fami'li Ahkam al Qur'an"<br /><br />70abulumam albantanyhttp://www.blogger.com/profile/04217284884180986248noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3924512155295201119.post-66111868883480321252010-05-23T00:48:00.000-07:002010-05-23T00:49:06.431-07:00sejarah hukum islam tentang untaPERHATIAN TERHADAP UNTA (BINATANG TERNAK) <br />Oleh : A. Muher <br /><br />Suku suku di semenanjung jazirah Arab sebelum Islam dalam kehidupannya sangat menggantungkan pada binatang ternak. Para pakar bahasa berpendapat, bahwa kata al An'am merupakan bentuk plural ([amak), bentuk single nya adalah "al~Naamu". Al An'am berarti "harta yang dipehhara". Benda yang paIing banyak masuk dalam kategori nama ini adalah unta (al~Ibil). AI Farra' berpendapat, bahwa kata al Ibil merupakan kata berbent uk mudzakkar (laki laki) yang tidak dapat di muannats kan. Mereka (orang Arab) mengatakan: hadza na'amun (ini adalah seekor unta), bentuk plural nya adalah na'man sebagaimana kata hamal yang bentuk plural nya adalah hamlan. Kata al an'am bisa dijadikan mudzakkar dan muannats. Allah berfirman: "mimma fi buthunihi" dan "mimmafi buthuniha". Bentuk plural kata tersebut di plural¬kan lagi menjadi ana’im. <br />Di sana ada orang yang berpendapat, "bahwa yang termasuk dalam kategori al naam adalah unta saja, atau unta, kambing dan sapi. Bent uk plural nya kata itu adalah an'am". <br />Masyarakat suku suku memeRhara binatang temak tersebut dan sangat perhatian untuk melatihnya karena "ia tergolong apa yang saya sebut dalam istilah ekonomi modem dengan barang konsumtif atau dalam istilah lain barang produktif atau barang invest. Barang barang yang masuk dalam jenis pertama: daging clan susu yang dapat mensuplai kebutuhan makan secara langsung, sedangkan yang masuk dalam jenis kedua: kulit, bulu domba (wol), dan bulu unta, semuanya merupakan bahan bahan yang dipakai untuk memproduksi barang barang mewah yang dipakai sebagai pakaian; berbagai jenis binatang atau sebagiannya yang dipergunakan untuk kepentingan dalam perjalanan, bepergian, dan berpindah tempat pada gilirannya dapat membantu untuk mempermudah proses transaksi perdagangan dengan masyarakat lain, puisi Jahili yang merupakan Diwan nya orang Arab telah menyebut nyebut pentingnya peran binatang unta di dalam kehidupan suku suku Arab sebelum nabi Muhammad Saw diutus. Ketika Islam datang, ia memberikan perhatian khusus terhadap binatang temak (al an'am). Itu dapat ditemukan di dalam salah satu surat yang terdapat dalam al Qur'an, y*tu surat al An'am, dan beberapa ayat yangal menvebutnva. Manfaat binatang ini sangat banyak, di antaranya dapat disebutkan sebagai berikut:<br />"Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu, padanya ada bulu yang menghangatkan dan berbagai manfaat, dan kamu makan sebagiannya. Dan kami memperoleh pandangan yang indah padanya. Ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan. Dan ia memikul beban bebanmit ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran¬kesukaran (yang memayahkan) diri", "Dia telah menjadikan bagimu rumah rumah (kemah kemah) dari kulit binatang ternak yang kamu merasa ringan membawanya di waktu kamu berjalan dan waktu bermukim, dan dijadikan pula dari bulu domba, bulu unta, dan bulu kambing, alat alat rumah tangga dan perhiasan sampai waktu tertentU", 'Dan sestingguhnya pada binatang binatang ternak, benar benar terdapat pelajaran yang penting bagi kamu, Kami memberi minum kamu dari air susu yang ada dalam perutnya, dan juga pada binatang binatang ternak itu adafaedah yang banyak bagi kamu, yang kamu memakan sebagian darinya . Beberapa ayat tersebut menyatakan secara global berbagai faedah dan kegunaan binatang temak, baik secara material maupun spiritual, dan ini tidak usah dijelaskan lagi; kata al an'am di dalam al Qur'an disebut dalam beberapa bentuk yang berbeda beda: al an'amu, an'aman, an'amakum, dan an'amahum sebanyak 32 kali dan ini semakin memperteguh urgensitas binatang itu.<br />Namun binatang unta seringkali menggantikan posisi uang, mengingat masyarakat suku tidak melak ukan transaksi dengan uang, kecuali masyarakat Makkah yang menjadi pusat perdagangan dari situ maskawin dan denda hukuman dibayar dengan menggunakan beberapa ekor unta sesuai dengan situasi dan kondisi. Abdul Muthalib, paman nabi Muhammad Saw adalah orang pertama yang menetapkan denda hukuman pembunuhan dengan membayar seratus ekor unta. Tradisi ini terus berlangsung dan berpindah sampai pada masa Islam. Ketika Islam datang binatang unta masih menempati posisi penting dalam proses transaksi dan dalam berbagai bidang, khususnya berkenaan dengan urusan urusan harta benda.Dalamzakat,kitajugadapatmelihatbinatangunta mempunyai peran nyata, baik dalam penentuan nisab yang wajib dikeluarkan zakatnya maupun dalarn ukuran zakat yang harus dikeluarkan. Masalah ini tidak terbatas pada jumlah binatang unta namun pensifatannya secara sempuma yang mencakup keseluruhan jenis binatang ini, baik jenis kelelakian atau keperempuanan, usia atau umur saya tidak ingin memperpanjang lebar unt uk menyebutkan teksnya, siapa yang ingin mendapat informasi lebih silahkan baca buku buku fiqh dalarn bab zakat. <br />Di antara keistimewaan kedudukan binatang unta ditengah masyarakat Arab sebelurn nabi Muhammad Saw. diutus, sebagaimana yang telah saya baca dari salah seorang peneliti kontemporer yang mana ia berpendapat, bahwa manakala seorang hakim (al Qadli) ingin memperberat hukuman bagi seorang yang berbuat kejahatan sesuai dengan konteks kriminalitas yang dilakukan, maka pemberatan itu tidak dilakukan kecuali jika wujud hukuman berkaitan dengan binatang unta karena syara'telah menyebutkannya, dan ukurannya tidak bisa diketahui kecuali melalui apa yang sudah didengar (simai) karena tidak ada pendapat tentang pernberatan hukuman di luar (selain) binatang ini, sampai sampai kalau ada seorang hakirn memberikan hukuman maka putusannya tidak dapat diberlakukan karena tidak adanya kepastian ukuran selain untuk binatang unta. <br />Di sini, kita melihat Dr. Bahansi menegaskan, bahwa pemberatan hukuman tidak diberlakukan kecuali dalam binatang unta sampai sampai jika ada seorang hakim (qadli) memberikan putusan hukuman yang berat pada selain binatang ini, maka hukuman itu tidak bisa diberlakukan "karena tidak adanya ketentuan pasti dalam hal ukuran selain binatang unta". Ketika hukum berlaku untuk yang asal (al ashl), maka hukum itu pun berlaku untuk yang cabang (al far'), karena yang cabang berpegang padanya. Itu artinya, bahwa hukuman yang asal berupa binatang unta ketika tidak ditemukan makna atau konsep yang menggambarkan keharusan hukuman yang asal dengan selain binatang unta, sementara dalam pandangan peneliti pemberatan hukum (yang merupakan cabang) harus berkaitan dengan binatang unta. Prinsip fiqh ini yang dikuatkan oleh seorang peneliti cemerlang yang spesifik dalam bidangnya merupakan salah satu pengaruh dari efektifitas kredo kredo sosial dan kredo kredo lainnya, karena mungkin saja kredo kredo hukum yang mendahului Islam, dan yang oleh Islam diterapkan begitu saja masuk ke dalam karakteristik ini.abulumam albantanyhttp://www.blogger.com/profile/04217284884180986248noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3924512155295201119.post-91566515841855996122010-05-23T00:43:00.000-07:002010-05-23T00:46:46.675-07:00khilafahKhilafah <br />Oleh : A. Muher <br /><br />Rasulullah saw. Tidak meninggalkan sebuah hadits yang didalamnya menjelaskan sebuah ketentuan seseorang yang akan menggantikan kekuasaan dan kepemimpinannya.<br />Tentang risalah kenabian Muhammad saw. Tidak masuk dalam pembahasan ini karena beliau adalah nabi paling akhir dan rasul penutup. Salman al-farisi menguatkan, bahwa rasulullah mengajari saw segalanya kepada mereka (kaum muslimin) bahkan sampai apa yang mereka lakukan didalam kamar WC, ini merupakan hal yang alami, karena masalah kesucian (al-thaharah) didahulukan daripada shlat yang merupakan rukun kedua dalam islam setelah syahadat, tetapi beliau tidak meninggalkan hal-hal yang paling kecil atau besar tentang masalah kehidupan kecuali beliau member petunjuk kepada sahabatnya dan kaum muslimin sesudahnya tenyang apa-apa yang dilaluinya dalam kehidupan hingga hal-hal yang secara langsung tidak bethubungan dengan ibadah ,misalnya: <br />Tatacara melepaskan baju, memakai sepatu, posisi tidur, memulai makan diatas piring, cara duduk dijalan, shigat (mengucapkan) salarn buat kaum muslim dan ahli kitab, adab melakukan hubungan seksual bersama istri atau hamba sahaya, bacaan sebelum, melakukan hubungan seksual, perbuatan yang dilakukan di tengah melakukan hubungan seksual, cara menjenguk orang sakit, mengantar jenazah, dan seterusnya.<br />Wilayah kajian ini semakin luas jika kita mengikuti petunjuk petunjuk dan bimbingan bimbingan yang diberikan oleh Rasulullah Saw. tentang hal hal yang berkaitan dengan masalah kehidupan. Lalu mengapa beliau tidak meninggalkan satu hadits pun yang di dalamnya menjelaskan siapa yang akan menggantikan pimpinan sepeninggal beliau? Bagaimana cara pemilihannya? Bagaimana sistern pemerintahan dalarn Islam? Dr. Muhammad Ahmad Khalafullah berpendapat, bahwa syariat Islam tidak mernuat nash tentang itu (siapa penggganti beliau) karena "adanya hikmah yang dikehendaki oleh Tuhan, yaitu masalah tersebut harus ditinggal supaya akal manusia berijtihad tentangnya sesuai dengan situasi dan kondisi, serta perkembangan pemikiran manusia tentang kesadaran terhadap tanggungjawab seorang pimpinan negara atau khalifah". Itu nerupakan jawaban yang berujung pada solusi yang bersifat gaib metafisis dengan bersandar pada hikmah ketuhanan. Saya tidak perlu untuk berpaling pada solusi yang bersifat gaib dan tidak perlu mencela untuk menyatakan ketidakpuasan saya padanya. Tetapi sanggahan yang sahih adalah mengapa teks teks suci yang memuat tentang masalah kehidupan tidak dan kurang penting dibanding dengan masalah khilafah dan system pemerintahan, dan tidak diwakilkan pada akal manusia untuk berijtihad sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi? Mengapa Rasulullah Saw. berbicara tentang rnasalah masalah yang lebih terkait dengan zaman dan tempat seperti jual beli (al bai'), sewa (al ijdrah), hak membeli lebih dahulu (al Syufah), mernbuka lahan baru (ihya'al ardli al~mawat), barang ternuan (al luqathah), dan seterusnya, dan tidak mengajak kaum muslimin untuk menciptakan kaidah kaidah dan hukum~hukum tentangnya yang sesuai dengan situasi dan kondisi?<br /> Jadi, masalahnya adalah bukan diserahkannya masalah khilafa h pada ij tihad manusia. Alasan yang gaib ini tidak memuaskan; karena sungguh merupakan suatu yang dinafikan dan prinsip logika yang sangat simplistis jika Islam membatasi ijtihad manusia atau kaum muslimin dalam masalah yang sudah biasa, yang tidak begitu penting, kemudian ia (Islam) datang dengan membawa masalah yang vital untuk kehidupan namun ditinggalkan untuk diserahkan pada ijtihad manusia? Bahwa Rasulullah Saw. saat di penghujung sakitnya yang menyebabkan beliau menghadap kepada Tuhan, sangat rela dan ingin sekali menentukan seorang imarn selain beliau yang akan memimpin shalat kaum muslimin setelah sakitnya berIalu. Di saat siuman dari pingsannya karena demarn yang tinggi, beliau berkata: <br />"Perintahkan Abu Bakar untu k shalat (berjamaah) dengan kaum muslimin". Ketika sebagian istri istri beliau memusyawarahkan masalah itu. dengan nabi, beliau pun marah dan berkata: "kalian semua adalah bini bini Yusuf". H merupakan ungkapan kasar yang mencerminkan protes beliau karena beliau merasa bahwa mereka (istri istri beliau) menolak masalah itu (penunjukan Abu Bakar sebagai imam shalat). Lalu bagaimana dengan sikap Rasulullah Saw. Ini terhadap masalah imarn shalat (yaitu pimpinan kecil, al imam al shughra) di saat beliau sedang menghadapi sakaratul maut, sementara sejak wahyu diturunkan kepadanya di gua Hira' hingga masa akhir hayatnya, beliau tidak memberi perhatian sedikitpun terhadap masalah "pimpinan besar" (al imam al kubra), mengapa? <br />Demikian pula alasan yang menyatakan bahwa Islam adalah agama saja dan bukan "agama dan negara" sebagaimana yang digembor gemborkan oleh para dai, alasan ini tidak cukup. Saya berkeyakinan seyakin¬yakinnya bahwa: <br />"Agama merupakan penghubung khusus bahkan istimewa antara makhluk dan Khaliknya, dan bahwa wilayah agama yang paling mendasar adalah tempat ibadah, gereja, mushalla, kuil kuil, masjid, masjid jami', lorong lorong ibadah, bilik bilik sembahyang, halaqah dzikir, pertemuan pertemuan sufi, majlis majlis bimbingan kebajikan dan keutamaan yang suci, dan seterusnya. jika seseorang mengunjungi tempat tempat "penuh berkah" ini, maka eksistensinya akan berubah bagaikan ikan yang keluar dari air". Oleh karena itu, sangat lumrah jika kita tidak mendapati hadits nabi yang agung, yang menentukan kekhalifaan Rasulullah Saw., cara penentuan dan pengangkatannya, atau prinsip prinsip sistem pemerintahan, karena sernua ini keluar dari wilayah i/agama", yang tidak peduli dengan pemerintahan, politik, dan atau kewalian (kepemimpinan). Dalam hal ini, Islam sama dengan kedua agama samawi atau semit yang mendahuluinya, bahkan agama agama bun d. Jika ilustrasi ini benar, maka risalah yang diemban oleh sernua agama itu terbatas dalam "membimbing hamba untuk mendapatkan keberuntungan di hari akhir". <br />Namun alasan ini [bahwa Islam adalah agama sajal tidak cukup, karena di sana ada masalah masalah yang tidak berhubungan dengan politik, kewalian dan pemerintahan. Bersarnaart dengan itu, sebagian teks teks suci telah memuat masalah masalah itu melalui cara cara wajib (al wujub) dan cara cara sunat (al nadb), atau bahkan cara cara yang dibolehkan (al ibdhah). Saya telah menjelaskan sebagian masalah itu sebagaimana terdahulu, dan bagaimana masalah itu tidak dikategorikan sebagai ilagama yang murni" atau ibadah pokok, meskipun memiliki keterkaitan dengan ini atau itu menurut mereka yang memandang bahwa semua perbuatan kaum muslim adalah ibadah, bahkan sampai tidur pun asalkan dibarengi dengan niat (al~iiiyah). <br />Namun sekali lagi, mengapa teks teks suci bersikap diam terhadap masalah pemerintahan, khilafah, politik, kewalian (kepemimpinan), dan seterusnya? Pertanyaan ini menghantui saya sejak bertahun tahun lamanya. Saya tidak menemukan jawaban yang memuaskan hingga saya berpaling untuk melakukan kajian tentang kondisi masyarakat Arab sebelum diutusnya kenabian, dan akhirnya sampai pada sebuah kenyataan yang menguatkan bahwa kajian itu ternyata merupakan kund untuk mengetahui banyak tentang apa yang dibicarakan dan dibawa oleh Islam atau bahkan apa yang tidak dibicarakannya. <br />Nabi Muhammad saw. lahir dan berkembang di Makkah, berasal dari suku Quraisy, salah satu suku di jazirah Arab, meskipun saat itu Makkah mencapai puncak ketinggian. AI Qur'an berbicara tentangnya:"Katakan, bahwa aku (Muhammad) hanyalah seorang maiiusia seperti kalian semua" Pada kesempatan yang lain, beliau mengatakan tentang dirinya dengan penuh tawadlu: "saya hanyalah anak seorang perempuan yang memakan dendeng (daging) di Makkah". Betapapun setiap manusia atau seorang individu memiliki keistimewaan keahlian luar biasa seperti keagungan, ketinggian dan kecerdasan, namun ia secara pasti terpengaruh dengan tatanan sosial dan sistem peradaban yang berlaku di sekelilingnya. Manusia yang agung seperti para nabi dan orang orang setelahnya seperti tokoh dan pimpinan, mereka sernua tak syak lagi memiliki tempat istimewa di tengah masyarakatnya. Mereka tidak seperti manusia biasa lainnya yang tidak memiliki keahlian. Tak pelak, keagungan mereka memiliki pengaruh efektif terhadap lingkungan sosiaInya, namun sebaliknya mereka juga pasti terpengaruh oleh kornunitas atau jamaahnya. Hubungan antara individu (betapapun luhur kemampuannya) dengan masyarakat dan jamaah merupakan hubungan timbal balik, dan dari kedua belah pihak lahir interaksi organis dinamis ini adalah kenyataan ilmiah yang telah dinyatakan oleh pakar sosiologi.<br />Merupakan tradisi yang berjalan di kalangan suku¬suku jazirah Arab, bahwa seorang kepala suku pada umumnya dipilih dari kelompok tertentu atau orang yang berpengaruh. la adalah orang yang paling tua, memiliki keberanian, cerdik, berpengalaman, paling banyak hartanya, terhormat, dan seterusnya. Pelaksanaart pemilihan seorang kepala suku diwakilkan pada maffis permusyawaratan suku (majlis syura al qabilah) yang terdiri dari orang orang berpengaruh, kepala keluarga dalam sebuah suku, dan setiap anggota suku yang sudah mencapai usia empat puluh tahun. Anggota (majlis) mendapatkan kebebasan penuh dan hak berbicara dalam rapat rapat majlis. Dr Husein Fauzi al Najjar menyebut jenis pemerintahan seperti ini dengan "pemerintahan patrialkhal yang tercermin dalarn sosok ketua suku (syaikh al qabilah). Ia menambahkan, "bahwa orang Arab sebelum Islam telah menjalankan jenis pemerintahan seperti ini". Demikian pula "kaum muslin tin tidak merasa ingat akan perubahan antara majlis yang mengurusi persoalan mereka di masa "Jahiliyah" dengan majlis yang ada dalarn Islam kecuah dari segi nilai nilai yang mengatur mereka dan menjadi sistem pemerintahan mereka. Kepernimpinan Muhammad Saw. atas jamaah Islam tidak jauh berbeda dengan kepernimpinan kakek beliau Qushoyyi atas suku Quraisy". Di sini, Dr. Husein Fauzi al Najjar menegaskan bahwa cara majlis untuk mengurusi masalah orang banyak (jamaah) tidak berbeda dengan cara yang ditempuh pada zaman sebelum Islam (atau zaman Jahiliyah). Yang berubah hanyalah nilai nilai, dan ini merupakan masalah moralitas, bukan sistem atau politik. jelaslah, nilai nilai menjadi semakin baik, karena mendidik moral merupakan concern agama yang mendasar agama apapun lebih lebih perhatian terhadap masalah hari akhir sebagaimana yang telah saya jelaskan. jadi, struktur (bangunan) sistem masih terus berjalan sebagaimana adanya. Oleh karena itu, peneliti ini (Husein Fauzi al¬Najjar) sampai pada kesimpulan, bahwa "nabi Saw. tidak mengisyaratkan kepada kaum muslimin tentang sistem yang (harus) diikuti oleh masyarakat Islam yang luas, dan tidak meletakkan prinsip prinsip sistem pemerintahan yang mapan, serta tidak merubah sedikitpun apa yang dilakukan oleh kaum tentang majlis yang mengurusi masalah mereka". <br />Lalu mengapa Muhammad Saw. tidak meletakkan prinsip prinsip sistem pemerintahan? Dan tidak memberi nama kekhalifahannya? Barangkali jawabnya jelas, "bahwa Muhammad Saw. melihat bahwa meletakkan sistem pernerintahan dan menunjuk pengganti sesudahnya bukan merupakan hak dirinya, karena masalah ini dilimpahkan dan merupakan hak majlis permusyawaratan umat Islam sebagaimana praktek dan tradisi yang berjalan di suku~suku Arab, karena menunjuk orang yang akan menjadi pimpinan bukan hak seorang kepala suku sepeninggalnya, dan ia (kepala suku) tidak boleh melampaui pertimbangan majlis permusyawaratan suku. Pernyataarv inilah yang disebut secara jelas dan terang terangan oleh Dr. Husein Fauzi al¬Najjar dengan "bahwa Muhammad tidak merubah sedikitpun apa yang dijalan oleh kaum tentang majlis yang mengurusi masalah mereka. jelas, ini merupakan pilar yang ada di dalam Islam, yang muncul karena pengaruh tradisi tradisi suku Arab. <br />Tentu saja pemilihan Abu Bakar as Shiddiq sebagai khalifah di Tsaqifah Bani Saadah berlangsung melalui cara seperti itu yang telah diwarisi oleh umat Islam dari orang Arab terdahulu, yaitu cara bermusyawarah di antara maffis permusyawaratan umat Islam yang terdiri dari kalangan sahabat Muhajirin dan Anshar. Pada hakekatnya, musyawarah tersebut berjalan dengan sedikit alot dan hampir berubah menjadi perkelahian dengan pedang, namun akhimya tidak keluar dari keputusan yang juga diputuskan oleh majlis permusyawaratan umat Islam. Perdebatan panas ini disebabkan oleh persaingan yang berlangsung antara sahabat Anshar dan Muhajirin untuk memenangkan kursi khilafah, dan perbedaan jenis antara kedua belah pihak. Sementara itu, musyawarah dalam majlis suku tertentu tidak diwarnai dengan ketegangan seperti ini karena persatuan generasi suku. Tidak penting, bahwa kelompok Muhajifin hanya terdiri dari ada tiga orang saja. Mereka sernua berasal dari Quraisy, suku nabi Saw, sebagai mana. mereka mewakili orang orang yang ada di balik mereka. Di antara mereka ada yang berpihak pada kelompoknya. Yakni, dengan meminjam bahasa modern mereka adalah wakil wakil atau aktor aktor "partai Muhajirin". Bahwa umat Islam baik Muhajirin maupun anshar adalah aktor dalam majlis permusyawaratan umat Islam yang berakhir pada kata sepakat memilih Abu Bakar as Shiddiq.<br />Ini tidak berarti saya menegaskan bahwa cara seperti itu merupakan cara yang "demokratis" dalam pengertian modern. Ini akan saya bahas dalam bab tersendiri, yaitu musyawarah (al syura) yang diwarisi dari suku Arab sebelum beliau Saw diutus. Pengangkatan Umar bin Khattab al Faruq menjadi khalifah bagi umat Islam berjalan melalui cara yang serupa.<br />Pada hakekatnya, Abu Bakar as Shiddiq menyerahkan kekhalifahan pada Umar bin Khattab. Sebelum wafatnya, Abu Bakar menulis wasiat, namun tidak terlaksana kecuali setelah Abdurrahman bin Auf, Usman bin Affan, Said bin Zaid, Sayyed bin Hudlair, dan tokoh tokoh sahabat Anshar dan MuMirin lainnya melakukan musyawarah. Kenyataan sejarah ini juga dikuatkan oleh Dr. Mahmud Hilmi, seorang guru besar Hukum Umum di Jurusan Syariah dan Qanun di Universitas al Azhar, "bahwa Abu Bakar telah memilih Umar bin Khattab, namun bersarnaan dengan itu ia tidak menghendaki pilihannya sebagai satu satunya pendapat dan tidak membiarkan pendapatnya berlaku di luar musyawarah wakil wakil umat, kemudian dia memanggil orang orang yang memiliki kejernihan pendapat dan mereka dimintai pendapat tentang Umar bin Khattab. Mereka sernua memujinya (Urnar) dan menyetujui pilihan Abu Bakar. Bahwa Abu Bakar mampu meminta pendapat Abdurrahman bin Auf, Usman bin Affan, Sayyed bin Hudlair (salah satu dari tokoh Anshar), dan bermusyawarah dengan yang lain seperti Said bin Yazid (seorang Qadli di Mesir) serta sahabat Muhajifin dan Anshar yang lain. Mereka sernua memuji Umar. jadi, pengangkatan Abu Bakar atas Umar tidak berjalan atas dasar kehendaknya sendiri, tetapi setelah melakukan musyawarah dengan majlis permusyawaratan umat Islam. Abu Bakar as Sihddiq tidak bisa mengelak dari tradisi Arab yang telah diwarisi. Tidak benar, bahwa penunjukan Abu Bakar atas Umarbin Khattab berlangsung dengan mendatangi Umar di tempatnya, yaitu lewat wasiat yang mementingkan baiat secara langsung, dan bahwa pada saat itu musyawarah tidak begitu bermanfaat sebagaimana manfaatnya penunjukan. Atau ketika kita merasa heran atas sikap Abu Bakar yang menunjuk Umar bin Khattab, maka itu berarti manfaat musyawarah telah hilang. Itulah pendapat Dr. Ali Syalaq dalarn kitabnya "al Aq1 al Siyasifi al Islam" karena si penulis buku tentang "al Aq1fi al Islam" dalarn berbagai aspeknya dengan tetap menghargai upaya yang ia lakukan telah meremehkan masalah itu dan kurang mendalam. jika boleh dikatakan., bahwa pemilihan Abu Bakar atas Umar bin Khattab berlangsung atas tuntutan wasiat, tetapi tidak bisa dikatakan bahwa pemilihan itu atas dasar pengangkatan Abu Bakar dan bahwa Abu Bakar telah menghilangkan manfaat musyawarah danberpaling darinya sehingga dapat diakui kalau Abu Bakar adalah orang yang sangat mengerti tentang seseorang sebagaimana yang telah digambarkan oleh Dr. Ali Syalaq. Tak pelak, bahwa Ali Syalaq tidak membaca sejarah dan tidak mendalami kenyataan. Jika ia membaca, tentu akanjelas bagginya bahwa Abu Bakar telah melakukan musyawarah dengan orang orang yang telah saya sebutkan, yaitu dengan majlis permusyawaratan umat Islam pada saat itu. Ini satu sisi. Dari sisi lain, bahwa kondisi (saat itu) belum siap (memungkinkan) sehingga Abu Bakar mengajukan pendapat pribadinya dan menafikan majlis permusyawaratan umat Islam. Tradisi "pemerintahan suku" (hukfimah al qabilah) pada saat itu yang merupakan pemerintahan yang dimiliki (dikuasai) oleh mayoritas karena mekanisme perubahan dari "pemerintahan suku" (hukamah al qabilah) yang selalu berjalan seiring dengan tradisi yang diwarisi dari suku¬suku Arab sebelumnya, menjadi "pemerintahan centralistik" (al hukfimah al markaziyah), bukan menjadi sebab yang melapangkan lahimya pemerintahan suku atau penggunaan aturan aturannya. Sernua ini menggugurkan pendapat Ali Syalaq hingga ia cepat berkesimpulan menyebut pemilihan yang dilakukan oleh Abu Bakar sebagai "penunjukan" dan menuduhnya telah mengabaikan musyawarah. Itu merupakan tuduhan yang tidak benar. Abu Bakar tidak bermaksud menjauhi musyawarah karena kondisi saat itu tidak mendukung hingga ia bermaksud memilih Umar. Adapun pengangkatan Usman bin Affan berlangsung melalui cara "majlis permusyawaratan" (maflis syura)sebagaimana disebutkan oleh Dr. Toha Husein. Bahwa Umar bin Khattab adalah orang yang telah mengusulkan daftar nama anggota. Mereka sernua tidak berasal clarl Quraisy dan sahabat sepuluh yang dijanjikan oleh nabi surga. Sernua ini tidak berubah dari biasanya, juga tidakmerupakan perpanjangan tangan dari "majlis permu¬syawaratan suku", meskipun dalam cara pernbentukannyaterjadi sedikit perubahan. Saya mengingatkan pernbacaatas apa yang telah saya nyatakan di muka, bahwa Islammengambil sistem (nilai) masyarakat Arab masa Ialu dansedikit mengembangkannya tetapi tidak keluar dariesensinya sejauh tidak bertabrakan dengan akidah tauhid.Saya tidak menunjukkan bahwa pemilihan Umar atasanggota (dewan majlis) tidak keluar dari kebiasaan yangberlaku. Bahwa Umar pernah berkata kepada orang disekelilingnya: "masalah ini (yakni masalah khilafah)berada di tangan mereka sernua yang pernah ikut perangBadar dan Uhud, Ialu masalah ini untuk si ini dan itu.Namun masalah ini tidak untuk mereka yang[di]masuk[kanj ke dalam Islam secara terpaksa, anak anakmereka, dan para muslimah penduduk yangditaklukkan. Pernyataart ini diucapkan setelah iamendapat hujatan clan caci makian dari Abu Lu'M al¬Majusi, dan setelah ia menyebut beberapa nama anggotai/majlis permusyawaratan". Yakni bahwa setelah sernuaitu Umar berpendapat bahwa khilafah dan segala yangberkaitan dengannya termasuk pemilihan khalif ah<br /><br /> <br /><br />diserahkan kepada "majhs permusyawaratan umat Islarn".Mereka bisa dari orang orang yang pernah ikut dalamperang Badar dan perang Uhud atau selain kedua perangtersebut, pokoknya mereka yang telah berjuang denganjiwa clan hartanya di jalan Tuhan untuk membela Islamdan menegakkan panjinya, sedangkan mereka yang[dilmasuk[kan] ke dalam Islam secara terpaksa dan paramuslimah pencluduk yang ditaklukkan, yang hampirmemerangi Islam tidak masuk dalam masalah ini.<br />Ketika orang orang meninggalkan Umar, putra Urnar,Abdullah, masih berada di sisinya. Umar berkatakepadanya: andaikan mereka menyerahkan khilafah(kepemimpinan) kepada Ali, tentu ia (Ah) bersama merekasernua dapat meniti jalan (yang lurus)! KemudianAbdullah berkata kepadanya: hai amirul mukminin, apayang menghalangi engkau untuk menggantikankepadanya? Umar menjawab: aku tidak suka memikulnyaselamanya (hidup dan mati). Teks ini menunjukkanbahwa Umar sangat berharap untuk menggantikankekhalifahan setelahnya kepada Imam Ali karena iabersama sama dengan kaum muslimin akan dapat menitijalan yang lurus, tetapi Umar al Faruq tidak menggantikankekhahfahan kepadanya karena Umar (sosok yang cerdassebagaimana yang telah disaksikan oleh nabi sendiri). mengetahui persis bahwa tradisi yang diwarisi tidakmemungkinkan untuk itu, sebagaimana kondisi obyektifbelurn tercukupi syarat~syaratnya, dan seorang imam,khalifah, hakim atau amirul mukminin boleh melangkahi tradisi dan menunjuk penggantinya, sebuah kondisi transisi dari "pemerintahan suku" (hukfimah al¬qabilah) menuju ""pemerintahan centralistik" (al hukfimah al markaziyah). Patut kita perhatikan dan melihat, bahwa keinginan (harapan kuat) Umar untuk menjauhkan mereka yang [di]masuk[kanj ke dalam Islam secara terpaksa dan para muslimah penduduk yang ditaklukkan dari kursi kekhalifahan, tidak berlangsung lama hingga salah seorang dari mereka yang [dilmasuk[kanj Islam secara terpaksa membelakangi (memberontak). Ini karena masalah politik tidak sesuai dengan harapan, namun hanya berjalan sesuai dengan aturan aturan obyektif (pada umumnya). <br />Dr. Muhammad Husein Haikal menceritakan sebuahperistiwa yang menguatkan penolakan Umar untukmengangkat seorang sebagai pengganti dirinya tanpalewat musyawarah, karena "ada sebagian riwayat yangmenyatakan bahwa Saad bin Zaid bin Umar berkatakepada Umar: andai saja engkau menunjuk salah seorangdari kaum muslimin, maka sernua orang akan percaya kepadamu". Artinya bahwa lebih dari satu orang,berkaitan dengan masalah pengangkatan seseorangmenjadi khalifah, telah dilontarkan kepada Umar. Dansebuah pernyataan yang dinisbatkan kepada dirinya(Umar) menyatakan, bahwa andaikan Abu Ubaidah masihhidup, tentu ia akan menjadikan sebagai penggantinya;bahwa andaikan Salim tuan si Abi Hudzaifah masih hidup,<br />tentu ia akan menjadikan sebagai penggantinya. Meskipundalam pernyataan tersebut ada ketidak jelasan dankeraguan, namun secara jelas Umar menyebut dua orangyang telah menghadap kepada Tuhan (meninggal dunia)mendahului dirinya. Yakni bahwa pemilihan itu merupakan pemilihan yang mustahil, yang memastikan bahwa Umar dengan ketetapan hatinya mengetahui kalau memilih seseorang sebagai pengganti dirinya bukan merupakan hak dirinya (Urnar). Adapun tentang ketidak¬jelasan dan keraguan yang menyelimuti pernyataan tersebut adalah bahwa saya menolak (ragu) kalau Umar akan memilih Salim yang menjadi tuan Abu Hudzaifah atas dasar penilaian saya kepadanya dan mencampakkan Ali ra. Adalah sangat tidak imbang untuk membandingkan kedua tokoh ini. Namun jawaban yang tegas dari sisi sang penuturnya (Umar) adalah bahwa ia (Umar) tidak mampu berbuat menyalahi tradisi yang sudah mapan, aitu keluar dari prinsip musyawarah dan menentukan pengganti tidak lewat jalan "majlis permusyawaratan" (maflis al syura).<br />Dr. Muhammad Husein Haikal sampai pada sebuah kenyataan yang dengannya kita dapat memastikan hal itu, yaitu ketika ia mengatakan bahwa "Umar takut jika ia menggantikan pada seseorang atas titahnya sendiri, maka akan membangkitkan keinginan orang lain untuk menyainginya sehingga kaum muslimin tidak dapat mencapai kata sepakat danierjadi perselisihan yang akiba.tnya sangat tidak diharapkan". Meskipun dalam beberapa aspek dapat dipandang sahih, namun alasan ini telah memotong sebagian aspek yang lain, yaitu bahwa ragam pendapat kaum muslimin dan perbedaannya dikembalikan pada bahwa kalau Umar melakukan itu, maka ia akan keluar dari tradisi suku yang paling penting yang mana kaum muslimin (sahabat Anshar dan Muhajirin) tumbuh dan berkembang di dalamnya. Yang saya maksud di sini adalah pelimpahan masalah perni~ yang dilakukan oleh pimpinan suku (syaikh al qabilah) dan pengangkatan sebagai khalifah (menurut istilah kaum muslimin hingga suku besar pun pada Saat itu yang belum berubah menjadi pemerintahan centralistik) kepada Ilmajlis permusyawaratan" (majlis al syura), musyawarah suku pada saat sebelumnya clan musyawarah kaum muslimin pada saat itu.<br />Dari pemaparan terdahulu. dapat disimpulkan, bahwa pengangkatan Usman menjadi khalifah telah dilakukan dengan cara orang Arab masa dahulu, yaitu melalui Ilmaffis permusyawaratan" (maflis sl syura). Adapun tentang Imarn Ali karrama alldhit wajhahu, maka tak syak lagi bahwa ia dipikh melalui cara musyawarah "karena ia ditunjuk dan dinobatkan oleh mayoritas sahabat di Madinah". <br />Dr. Hasan Ibrahim Hasan, seorang Guru Besar Sejarah Islam di Universitas Kairo dan Rektor Universitas Asyut, menegaskan bahwa Imam Ali ra. "telah dibaiat oleh mayoritas meskipun sebagian sahabat dan Bani Umaiyah tidak sependapat dengan para sahabat yang berada di Madinah, karena kepentingan hak sebagian mereka di Syam dan sebagian yang lain di Makkah". <br />"Ali ra. tidak pernah memusuhi seseorang yang mengikuti (tunduk pada) orang yang telah memusuhi dirinya (Ali). la tidak pernah dimusuhi oleh seseorang yang mengikuti (tunduk) padanya. Dan tidak seorang pun di masa kepemimpinan Ali yang mengaku ngaku bahwa dirinya adalah orang yang paling berhak menjadi pimpinan (imam) dibanding dengan dirinya (Ali), baik itu Aisyah, Tholhah, Zubair, Muawiyah, teman teman Ali atau kelompok Khawadj. Sernua umat (Islam) mengakui keunggulan Ali, dan setelah terbunuhnya Usman mereka semua berusaha mengunggulinya. Tak seorang pun dari kalangan sahabat yang sebanding dengan Ali pada masa kekhalifaannya". Perbedaan nama yang dilekatkan pada "majlis permusyawaratan" (maffis al syura) yang mengangkat para khulafaur rasyidin tidak menjadi penting. Apakah mereka menurut pengertian Imarn Malik disebut dengan "ahl al ikhtiyar", "ah~' al aqd wa al hall", atau "ahl al madinah". Sernuanya kembali pada tradisi masyarakat masa lampau, yaitu "Majlis permusyawaratan suku" (maflis sytira al¬qabilah) yang mana pemilihan. kepala atau pimpinan suku (syaikh al qabilah) yang kemudian julukan ini dalam Islam berubah menjadi khalifah bergantung padanya.<br />Namun tradisi ini berubah dan menjadi tradisi yangdiwarisi oleh seorang khalifah kalau mau ia bisamengangkat anak atau saudaranya setelah tradisitribalistik terkikis seiring dengan luntur dan berubahnyasuku suku itu sendiri menjadi negara yang memiliki pilar¬pilar negara centralistik. Ini dimulai sejak masapemerintahan Muawiyah yang dalam literatur politikIslam disebut dengan "raja yang keji" (al malik al 'adludl).Banyak orang berlebihan dalarn menggunakan istilah inidan yang sepadan dengannya seraya memberi isyaratbahwa istilah tersebut mengandung makna kedzaliman.Mereka membandingkan antara pemerintahan Muawiyahdengan khulafaur rasyidin. "Muawiyah telah menciptakantradisi pemberontakan melawan khulafaur' rasyidin, Ialumembangunkan keluarga Sufyani sebuah istanakekaisaran ala Najasyi". <br />Perhatikan, bahwa ada perbedaan yang sangat luas antara ketiga model pemerintahan seiring dengan perbedaan kebudayaan yang melingkupinya. Bahwa mereka yang telah berlebihan dalarn menggunakan istilah tersebut, telah lupa atau melupakan kondisi material yang melingkupi sistem pemerintahan, Ialu menggantinya. Karena mustahil, setelah berbagai penaklukan dilakukan dan setelah penaklukan tersebut memenuffi lumbung dan kantong umat Islam dengan kekayaan mitologis, mereka hanya mengusung kekayaan tersebut menjadi sekedar impian dan interaksi dengan dua peradaban besar, Persia dan Bizantium. Cara, alat, hubungan produksi, dan perubahan geografis terus berkembang dalam beberapa tempat pemukiman. Dari gurun pasir menjadi lembah yang subur, yang memiliki aliran air eukup. Para pekerja istimewa dari kalangan budak tersedia cukup. Kehidupan semakin maju dan membaik. Para budak perempuan yang molek dari berbagai jenis dapat dinikmati, dan seterusnya. Mustahil jika pemerintahan tetap sebagaimana adanya, yaitu sistern kesukuan. Mustahil jika sistern pemerintahan kesukuan (hukamah al qabilah) yang pada masa khulafaur rasyidin masih berlaku tidak berubah menjadi sistern pemerintahan centralistik (al hukCimah al makaziyah). Dan di antara pilar terpenting dari pemerintahan sentralistik adalah adanya pasukan yang sistematis, yang lebih identik dengan persahabatan mutlak dengan seorang penguasa. Dalam konteks ini, seorang penguasa mampu menjalankan otoritasnya kepada mereka yang dikuasai danmenggantikan kedudukannya kepada siapa saja yang dikehendaki, baik anak maupun saudaranya.<br />Apa yang telah dilakukan oleh Muawiyah, yaitumewariskan tahta singgasana kepada putranya Yazid,merupakan masalah alamiah atas bergesernya bentuktribalistik dalam suatu pemerintahan menjadi sistempemerintahan sentralistik. Dalam hal ini, siapapun orangnya yang menduduki jabatan seperti Muawiyah,sahabat atau bukan sahabat, pasti ia akan melakukanseperti apa yang dilakukan oleh Muawiyah. Dalammenganalisa perubahan sistem pemerintahan Mulafaurrasyidin menjadi sistern "raja yang keji" (malik 'adludl), al¬Aqqad memberikan kornentar bahwa bukanlah hal yangalami jika umat manusia lebih banyak bergantung padasunah kenabian dibanding dengan pada satu generasiyang mana berbagai tabiat telah membentukkefitrahannya. <br /> Selanjutnya al Aqqad menjelaskan, bahwa manusia di tengah perjuangan dan semangat keagamaannya dilupakan oleh berbagai ambisi dan disibukkan oleh taktik, namun tidak lama kemudian akhirnya bersandarke burni di mana di dalairmya tidak ada tempat bersandardan kekuatan untuk bangkit. Al-Aqqad tidak memberikan analisa yang memuaskan. Mengapa umat manusia tidak bergantung lebih banyak pada sunah kenabian dibanding dengan pada satu generasi, lebih lebih bahwa pernyataan tersebut mendeskriditkan kenabian, karena kenabian tidak bisa mempengaruhi kecuali dalam satu generasi? Apakah itu berarti, bahwa kemanusiaan butuh pada sebuah kenabian yang selalu berdiri di samping mereka sehingga semangat keagamaan tetap berkeliaran di antara tulang tulangnya? <br />Sernua analisa tersebut merupakan "analisa vang bersifat moralistis". Anehnya, analisa itu muncul dari sosok seperti al Aqqad. Faktor faktor moralitas sebagaimana sudah maklum tidak dapat menggerakkan sejarah dan merubah sistem sistem pemerintahan, namun yang melakukan semua itu adalah kondisi materfil yang berkembang di tengah masyarakat. Itulah yang terjadi dalam masyarakat Islam, karena perubahan perubahan materfil yang masuk dan menyelinap di dalam struktur masyarakat Islam itulah yang telah menguraikan hubungan tribalistik yang menguasai masyarakat Islam, kemudian pemerintahan mulai berubah dari satu bentuk ke bentuk lain yang sesuai dengan kondisi yang baru. Demikianlah "pemerintahan kesukuan" (hukamah al¬qabilah) secara pasti berubah menjadi "pemerintahan centralistik" (al hukamah al markaziyah).<br />Perubahan yang terjadi, dari sistem kekhalifahan (khulafaur rasyidin) menjadi "raja yang keji" (al malik al¬'adludl) sebagaimana yang mereka nyatakan, tidak memiliki keterkaitan dengan watak, semangat keagamaan dan kebanggaan. Masalah masalah ini sangat lemah untuk dapat melakukan perubahan. Mestinya analisa. seperti itu yang bersifat "moralistis utopis" ini muncul dari salah seorang dai, bukan seorang pemikir yang rasionalis seperti Abbas Mahmud al Aqqad. Tetapi sebagaimana pepatah mengatakan "setiap orang yang alim (mengerti) bisa keliru dan setiap orang yang dermawan pasti tergelincir juga".<br />Oleh karena itu, tidak ada pertimbangan dalam benak Abu Bakar dan Umar untuk menggantikan kekhalifahan kepada salah seorang putranya, bukan karena ke waraan¬nya karena ke waraan kedua tokoh itu tidak patut menjadi objek perdebatan tetapi karena sistem tribalistik yang mengiringi sistem pemerintahan yang dilalui oleh keduanya, tidak memungkinkan mereka berdua untuk berbuat seperti itu (keluar dari tradisi). Umar al Faruq memang menyertakan putranya dalam musyawarah, namun tidak mengikutkan dalam masalah (pemilihan) ini, yakni ia tidak menjadi khalifah. Para dai mencermati fenomena tersebut dan mengatakan, bahwa semua itu karena keadilan Umar, dan masalah keadilan Umar ini tidak butuh analisa yang seperti ini. Tetapi semua itu kembali pada bahwa Umar tidak akan mampu, dalam bentuk apapun, untuk mengamanatkan kekhalifahan kepada putranya, Abdullah, karena "pemerintahan kesukuan" (hukumah a] qabilah) dengan berbagai tradisi warisan yang sudah mapan, yang pada saat itu menguasai, menolak untuk melakukan hal itu karena tradisi itulah yang menjadikannya (putra Umar) tidak bisa berbuat apa¬apa, bahkan tak sempat terbersit sedikitpun dalam benak putra Umar untuk berpikir (mendapatkan amanat kekhalifahan dari ayahnya).<br />Ketika ikatan sistem "pemerintahan kesukuan"(huka mah al qabilah) terlepas, setelah kekhalifahan khulafaurrasyidin, dan berubah menjadi "negara centralistik" (al¬hukfimah al markaziyah), maka dengan sendirinya Muawiyah berpikir untuk mewariskan kekuasaan kepada putranya sebagaimana yang terjadi dalam pemerintahan sentralistik dalam sepanjang sejarah dan jedah geografis, jika pemyataan ini benar. Ini pemah terjadi di Mesir Kuno,Persia, dan seterusnya. Ketika Muawiyah melakukanseperti itu, maka hal itu bukan karena jeleknya hati ataurusaknya tabiat dan atau karena niat jelek Muawiyahsebagaimana yang telah digambarkan oleh banyak orang.tetapi kondisilah yang mematangkan dan mendoronguntuk melakukan langkah seperti itu. Bahkan seandainyaada orang yang menggantikan kedudukannya(Muawiyah), baik sahabat maupun tidak, dijanjikan surgaatau diancam dengan neraka, pasti ia akan mengikutilangkah ini seperti yang dilakukan oleh Muawiyah. Saya tidak memberikan bukti atas pendapat yang sayanyatakan, bahwa sistem kerajaan atau kekhalifahan yangdimulai oleh Muawiyah sebagai respon atas kondisi yang melingkupinya terus berlanjut dalam negara¬negara Islam, baik yang bermadzhab Sunni maupun Syi'i, di Timur maupun Barat, hingga akhir kekhalifahan Usmani. Bahkan ia terus berjalan sampai sekarang. Apakah para khalifah, raja dan penguasa, semuanya jelek? Tetapi langkah yang diambil oleh Muawiyah merupakan langkah yang paling buruk, dengan menggantikan kursi singgasana kepada putranya, Yazid. Di sinilah saya akan membedakan dua hal:<br />Pertama, bahwa prinsip pewarisan raja atau kekhalifahan yang dikehendaki oleh Muawiyah, orang pertarna yang memulai langkah itu, merupakan hal yang wajar, bahkan merupakan suatu keharusan karena perubahan sistem pemerintahan dari "pemerintahan kesukuan" (hukfimah al qabilah) menjadi "pemerintahan centralistik" (al hukfimah al markaziyah). Orang lain pun akan melakukan apa yang telah dilakukan Muawiyah, tidak ada ketercelaart baginya, karena sistem kekhalifahan (khulafaur rasyidin) berubah menjadi sistem "raja yang keji" (malik'adludl), bahkan "raja yang keji" ini kembali ke Islam dengan membawa kebaikan yang melimpah. Ia adalah dasar bagi peradaban yang cemerlang, yang dengannya umat Islam mencapai kejayaan dalam. rentang sejarah. Dan bahwa Islam belum pernah menyaksikan ketinggihan dan kemajuan sebagaimana yang disaksikan di masa pemerintahan Umaiyah, baik yang dari keluarga Sufyan maupun Marwan.<br />Kedua, bahwa Muawiyah telah melakukan langkah yang buruk dalam memilih putranya, Yazid, sebagai khalifah pengganti dirinya. <br />Ringkasnya, bahwa Muawiyah telah melakukanlangkah yang benar dalam hal prinsip pewarisan (tradisi sistem pemerintahan) karena ia telah meniti jalan sesuaidengan keharusan (determinan) yang lebih kuat dan angkuh, yaitu perkembangan sistem pemerintahan karena beberapa sebab sebagaimana yang telah saya jelaskan. Tetapi kebenarannya terletak pada sisi pilihan pewarisan tersebut. Sebagai akhir dari bagian ini, saya menyatakan bahwa barangkah saya telah memberikan alasan yang sahih di mata para pembaca tentang sikap diam Rasulullah Saw. dalam menentukan (mengangkat) seorang khalifah sesudahnya, dan demikian pula tentang sikap diamnya "teks teks suci" (al nushCish al muqaddasam) dalam. masalah ini secara umum; bahwa pengangkatan empat Mulafaur rasyidin mengikuti tradisi masyarakat Arab masa sebelum diutusnya nabi Muhammad Saw, yaitu bahwa peni ilihan seorang pimpinan atau kepala berlangsung melalui "majhs permusyawaratan" (maflis al syura). Mula mula "majlis permusyawaratan suku" (maffis syura al qabilah) kemudian menjadi "majlis permusyawaratan umat Islam" (maflis syura al muslimin) yang mengurusi pemilihan empat khulafaur rasyidin. Dan bahwa perubahan pemerintahan dari "kekhalifahan" (al khilafah al rasyidah) menjadi "raja yang keji" (malik 'adludl) berlangsung di bawah pengaruh kondisi materfil yang melingkupinya, dan itu merupakan suatu keharusan (determinan) yang akan dilakukan oleh siapapun orangnya meskipun ia berada di lingkungan Muawiyah bin Abi Sufyan.abulumam albantanyhttp://www.blogger.com/profile/04217284884180986248noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3924512155295201119.post-3267069884649235382010-05-21T08:40:00.002-07:002010-05-21T08:46:05.164-07:00Mata Kuliyah : Filsafat Hukum Islam<br /><br />“Filsafat Jinayah”<br /><br /> <br />Dosen Pengampu : Dr. Syahrul Anwar, M. Ag<br /><br />Oleh :<br />Abdul Muher<br />220940001<br /><br /><br /><br /><br />PROGRAM PASCA SARJANA<br />UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG<br />KONSENTRASI HUKUM ISLAM<br />2010<br /><br /><br /><br />Tujuan Hukum Pidana Islam<br />Diciptakannya hukum Islam mempunyai tujuan yaitu:<br />a. Penciptaan hukum Islam itu sendiri yang menjadi tolak ukur manusia dalam rangka mencapai kebahagiaan hidup.<br />b. Pembuat hukum yang sesungguhnya hanyalah Allah, Dia tidak berbuat sesuatu yang sia-sia, setiap apa yang Dia lakukan ada tujuannya yakni untuk kemaslahatan manusia.<br />Tujuan hukum Allah itu dapat dilihat dari dua sisi<br />Pertama dilihat dari segi manusiawi, yakni tujuan-tujuan dari segi kepentingan manusia atau mukallaf. Kedua dilihat dari sisi Allah sebagai pembuat hukum yaitu apa tujuan Allah membuat Hukum.<br /> Tujuan hukum Islam sesuai dengan fitrah manusia dan fungsi daya fitrah manusia dari semua daya fitrahnya. Secara singkat fungsi-fungsi untuk mencapai kebahagiaan hidup. Disebut para fakar filsafat hukum Islam dengan istilah al-tahsil wa al-ibqa atau mengambil maslahat serta sekaligus mencegah kerusakan "jalb al-mashlaih wa daf' al-mafa'sid". Apabila tujuan hukum ditinjau dari segi fitrah dan daya yang dimiliki manusia itu maka dapat digambarkan sebagai berikut: metodelogi Maqhasid al-Syariah berasumsi bahwa dalam setiap wacana yang berkembang umat Islam masih kurang memperhatikan pijakan-pijakan dasar dari setiap metodologi. Apa yang diperbincangkan dalam setiap pembicaraan mengenai politik Islam selama ini terkesan lebih didominasi tiga aspek yaitu dzaruruyat (primer) hajiyyat (sekunder) dan tahsiniyat (Pelengkap) Aspek dzaruriyat adalah aspek yang paling asasi dalam kehidupan manusia. Hukum Islam disyariatkan Allah dengan tujuan utama untuk merealisasikan dan melindungi kemaslahatan umat manusia baik kemaslahatan individu masyarakat atau keduanya. Kemaslahatan yang ingin diwujudkan, hukum Islam ini menyangkut seluruh aspek kepentingan. unsur unsur penting dalam hukum pidana Islam yang perlu dijelaskan disini adalah Perbuatan melanggar aturan (hukum) yang lazim disebut jarimah atau jinayah dan ancam hukuman yang lazim disebut Uqubah dalam hukum pidana positif lazim disebut delik atau tindak pidana.abulumam albantanyhttp://www.blogger.com/profile/04217284884180986248noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3924512155295201119.post-7008035680634460332010-05-21T08:40:00.001-07:002010-05-21T08:40:54.975-07:00Mata Kuliyah : Filsafat Hukum Islam<br /><br />“Filsafat Jinayah”<br /><br /> <br />Dosen Pengampu : Dr. Syahrul Anwar, M. Ag<br /><br />Oleh :<br />Abdul Muher<br />220940001<br /><br /><br /><br /><br />PROGRAM PASCA SARJANA<br />UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG<br />KONSENTRASI HUKUM ISLAM<br />2010<br /><br /><br /><br />Tujuan Hukum Pidana Islam<br />Diciptakannya hukum Islam mempunyai tujuan yaitu:<br />a. Penciptaan hukum Islam itu sendiri yang menjadi tolak ukur manusia dalam rangka mencapai kebahagiaan hidup.<br />b. Pembuat hukum yang sesungguhnya hanyalah Allah, Dia tidak berbuat sesuatu yang sia-sia, setiap apa yang Dia lakukan ada tujuannya yakni untuk kemaslahatan manusia.<br />Tujuan hukum Allah itu dapat dilihat dari dua sisi<br />Pertama dilihat dari segi manusiawi, yakni tujuan-tujuan dari segi kepentingan manusia atau mukallaf. Kedua dilihat dari sisi Allah sebagai pembuat hukum yaitu apa tujuan Allah membuat Hukum.<br /> Tujuan hukum Islam sesuai dengan fitrah manusia dan fungsi daya fitrah manusia dari semua daya fitrahnya. Secara singkat fungsi-fungsi untuk mencapai kebahagiaan hidup. Disebut para fakar filsafat hukum Islam dengan istilah al-tahsil wa al-ibqa atau mengambil maslahat serta sekaligus mencegah kerusakan "jalb al-mashlaih wa daf' al-mafa'sid". Apabila tujuan hukum ditinjau dari segi fitrah dan daya yang dimiliki manusia itu maka dapat digambarkan sebagai berikut: metodelogi Maqhasid al-Syariah berasumsi bahwa dalam setiap wacana yang berkembang umat Islam masih kurang memperhatikan pijakan-pijakan dasar dari setiap metodologi. Apa yang diperbincangkan dalam setiap pembicaraan mengenai politik Islam selama ini terkesan lebih didominasi tiga aspek yaitu dzaruruyat (primer) hajiyyat (sekunder) dan tahsiniyat (Pelengkap) Aspek dzaruriyat adalah aspek yang paling asasi dalam kehidupan manusia. Hukum Islam disyariatkan Allah dengan tujuan utama untuk merealisasikan dan melindungi kemaslahatan umat manusia baik kemaslahatan individu masyarakat atau keduanya. Kemaslahatan yang ingin diwujudkan, hukum Islam ini menyangkut seluruh aspek kepentingan. unsur unsur penting dalam hukum pidana Islam yang perlu dijelaskan disini adalah Perbuatan melanggar aturan (hukum) yang lazim disebut jarimah atau jinayah dan ancam hukuman yang lazim disebut Uqubah dalam hukum pidana positif lazim disebut delik atau tindak pidana.abulumam albantanyhttp://www.blogger.com/profile/04217284884180986248noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3924512155295201119.post-6196736808238113142010-05-21T08:37:00.000-07:002010-05-21T08:39:25.712-07:00Filsafat Abad Ke-18 Aufklarung <br /> <br /> Pada Mata Kuliyah : Filsafat Barat<br /><br /><br /> <br />Dosen Pengampu : Dr. Nurrohman, MA<br /><br />Oleh: Abdul Muher<br />220940001<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />PROGRAM PASCA SARJANA<br />UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG<br />KONSENTRASI HUKUM ISLAM<br />2010<br /><br />Aufklarung Filsafat Abad Ke-18 <br />Pendahuluan<br />Sebagaimana lazimnya suatu dialog intelektual, disatu sisi terdapat bagian yang dilestarikan dan sisi lain ada bagian dikritisi atau diserang bahkan mungkin ada bagian yang ditolak. Didunia Islampun muncul pelestari warisan Yunani,Persia dan Romawi, namun juga banyak yang melakukan kritik terhadapnya. Disinilah tampak dinamika intelektual. Konsep Ide Plato trus dipelajari dan dikembangkan,begitu juga konsep Akal dan Logika Aristoteles serta konsep Emanasi Plotinus. Semunya tetap dijadikan pijakan. Ini membuktikan bahwa ketiga filsuf tersebut yang nota bene merupakan para pionir memiliki pengaruh yang sangat besar dalam membentuk pola pikir para filusuf generasi berikutnya tidak terkecuali Immauel Kant,Filsuf kelahiran Jerman yang abad ke-18.<br />Menurut Kant,Fiksafat adalah ilmu (Pengetahuan) yang menjadi pangkal dari semua pengetahuan yang di dalamnya tercakup masalah epistemologi yang menjawab persoalan apa yang dapat kita ketahui. Tampak adanya perbedaan yang menyolok antara abad ke-17 dan abad ke-18. Abad ke-17 membatasi diri pada usaha memberikan tafsiran baru terhadap kenyataan bendawi dan rohani,yaitu kenyataan yang mengenai manusia,dunia dan Allah.dan tokoh-tokoh filsafat di era ini adalah juga tokoh-tokoh gereja sehingga mereka tidak lepas dari isu-isu ketuhanan,Yesus dan sebagainya. Akan tetapi abad ke-18 menganggap dirinya mendapat tugas untuk meneliti secara kritik (sesuai dengan kaidah-kaidah yang diberikan akal)segala yang ada,baik didalam negara maupun didalam masyarakat. <br />John Locke yang mendominasi filsafat pada abad ke-18, seperti sahabatnya, Newton yang mendominasi ilmu pada periode yang sama.Awal abad ke-18 adalah masa yang gemilang. Eropa sembuh dari kekalutan selamah dua abad sebelumnya. Ini tentu sangat berbeda kondisinya dengan tradisi keilmuan dalam Islam pada abad yang sama. Menurut Harun Hadiwijono, dahulu filsafat mewujudkan suatu pemikiran yang hanya menjadi hal istimewa beberapa ahli saja,tetapi sekarang orang berpendapat,bahwa seluruh umat manusia berhak turut menikmati hasil-hasil pemikiran filsafat dan juga menjadi tugas filsafat untuk membebaskan khalayak ramai dari kuasa gereja dan iman kepercayaan yang berdasarkan wahyu,agar supaya mereka mendapat bagian dari hasil-hasil zaman pencerahaan.<br />Pembahasan<br />Filsafat abad ke-18 Aufklarung ( masa pencerahan)<br />Filsafat abad ke-18 di Jerman disebut Zaman Aufklarung atau zaman pencerahan yang di Inggris dikenal dengan Enlightenment,yaitu suatu zaman baru dimana seorang ahli pikir yang cerdas mencoba menyelesaikan pertentangan antara rasionalisme dengan empirisme. Zaman ini muncul dimana manusia lahir dalam keadaan belum dewasa dalam pemikiran filsafatnya. Namun setelah Immanuel Kant mengadakan penyelidikan dan kritik terhadap peran pengetahuan akal barula manusia terasa bebas dari otoritas yang datang dari luar manusia demi kemajuan peradaban manusia. Pemberian nama ini juga dikarenakan pada zaman itu manusia mencari cahaya baru dalam rasionya. Immanuel Kant mendefenisikan zaman itu dengan mengatakan, “Dengan Aufklarung dimaksudkan bahwa manusia keluar dari keadaan tidak balig yang dengannya ia sendiri bersalah.” Apa sebabnya manusia itu sendiri yang bersalah? Karena manusia itu sendiri tidak menggunakan kemungkinan yang ada padanya,yaitu rasio. <br />Sebagai latar belakangnya, manusia melihat adanya kemajuan ilmu pengetahuan (ilmu pasti, biologi, filsafat dan sejarah) telah mencapai hasil yang menggembirakan . Disisi lain jalannya filsafat tersendat-sendat. Untuk itu diperlukan upaya agar filsafat dapat berkembang sejajar dengan ilmu pengetahuan alam. Isaac Newton ( 1642-1727) memberikan dasar-dasar berpikir dengan induksi,yaitu pemikiran yang bertitik tolak pada gejala-gejala dan mengembalikan kepada dasar-dasar yang sifatnya umum. Untuk itu dibutuhkan analisis. Dengan demikian zaman pencerahan merupakan tahap baru dalam proses emansipasi manusia Barat yang sudah dimulai sejak Renaissance dan Reformasi. Para tokoh era Aufklarung ini juga merancang program-program khusus diantaranya adalah berjuang menentang dogma gereja dan takhayul populer. Senjatanya adalah fakta-fakta ilmu dan metode-metode rasional. <br />Masa Pencerahan di Tiga Negara Eropa<br />1. Pencerahan di Jerman<br />Pada umumnya Pencerahan di Jerman tidak begitu bermusuhan sikap¬nya terhadap agama Kristen seperti yang terjadi di Perancis. Memang orang juga berusaha menyerang dasar-dasar iman kepercayaan yang berdasarkan wahyu, serta menggantinya dengan agama yang berdasarkan perasaan yang bersifat pantheistic, akan tetapi semuanya itu berjalan tanpa “perang’ terbuka. Yang menjadi pusat perhatian di Jerman adalah etika. Orang bercita-¬cita untuk mengubah ajaran kesusilaan yang berdasarkan wahyu menjadi suatu kesusilaan yang berdasarkan kebaikan umum, yang dengan jelas menampakkan perhatian kepada perasaan. Sejak semula pemikiran filsafat dipengaruhi oleh gerakan rohani di Inggris dan di Perancis. Hal itu mengakibatkan bahwa filsafat Jerman tidak berdiri sendiri.<br />Para perintisnya di antaranya adalah Samuel Pufendorff(1632-1694), Christian Thomasius (1655-1728). Akan tetapi pemim¬pin yang sebenarnya di bidang filsafat adalah Christian Wolff (1679- 1754). la mengusahakan agar filsafat menjadi suatu ilmu pengetahuan yang pasti dan berguna, dengan mengusahakan adanya pengertian-pengertian yang jelas dengan bukti-bukti yang kuat. Penting sekali baginya adalah susunan sistim filsafat yang bersifat didaktis, gagasan-gagasan yang jelas dan penguraian yang tegas. Dialah yang menciptakan pengistilahan-pengis-tilahan filsafat dalam bahasa Jerman dan menjadikan bahasa itu menjadi serasi bagi pemikiran ilmiah. Karena pekerjaannya itu filsafat menarik per¬hatian umum. Pada dasarnya filsafatnya adalah suatu usaha mensistimatisir pemikiran Leibniz dan menerapkan pemikiran itu pada segala bidang ilmu pengetahuan. Dalam bagian-bagian yang kecil memang terdapat penyim¬pangan-penyimpangan dari Leibniz. Hingga munculnya Kant yang filsafatnya merajai universitas-universitas di Jerman.<br />Orang yang seolah-olah dengan tiba-tiba menyempurnakan Pencerah¬an adalah Immanuel Kant (1724-1804). Yang merupakan Filsuf yang pengaruhnya terhadap filsafat pada dua ratus tahun terakhir ini,baik di Barat maupun di Timur, hampir secara universal diakui sebagai filsuf terbesar sejak masa Aristoteles. Ada yang berpendapat bahwa filsafat pada dua ratus tahun terakhir ini bagaikan catatan kaki terhadap tulisan-tulisannya. Ada juga yang berpendapat sistem filsafatnya bagi dunia modern ini laksana Aristoteles bagi dunia skolastik: <br />Kant lahir di Konigserg, Prusia Timur,Jerman.Pikiran-pikiran dan tulisan-tulisannya membawa revolusi yang jauh jangkauannya dalam filsafat modern.ia hidup dizaman Scepticism Sebagian besar hidupnya telah ia pergunakan untuk mempelajari logical process of thought (proses penalaran logis),the external world (dunia eksternal) dan reality of things (realitas segala yang wujud ). Kehidupannya dalam dunia filsuf dibagi dalam dua periode: zaman pra-kritis dan zaman kritis. Pada zaman pra-kritis ia menganut pendirian rasionalis yang dilancarkan oleh Wolff dkk. Tetapi karena terpengaruh oleh David Hume ( 1711-1776), berangsur-angsur Kant meninggalkan rasionalisme. Ia sendiri mengatakan bahwa Hume itulah yang membangunkannya dari tidur dogmatisnya. Pada zaman kriitsnya , Kant merubah wajah filsafatnya secara radikal.<br />Dilingkungan masyarakatnya, Kant sering menjadi subjek karikatur secara tidak wajar, semisal bahwa rutinitas hariannya amat kaku sampai-sampai para tetangganya menyetel arloji mereka menurut kedatangan dan kepergiannya setiap hari,namun cerita semacam ini mungkin justru mencerminkan integritas kehidupannya yang bersesuaian dengan ide-idenya sendiri jika kita ingin menilainya secara positif.ketika meninggal,epitaf di batu nisannya hanya bertuliskan“ Sang Filsuf “ sebuah sebutan yang dianggap tepat,dengan mempertimbangkan bahwa periode filsafat yang bermula dengan tampilnya Sokrates menjadi lengkap dalam banyak hal dengan hadirnya Kant. <br />Dengan munculnya Kant dimulailah zaman baru, sebab filsafatnya mengantarkan suatu gagasan baru yang memberi arah kepada segala pemikiran filsafat la sendiri memang merasa, bahwa is meneruskan Pencerahan. Karyanya yang terkenal dengan menampakkan kritisismenya adalah Critique of Pure Reason ?. (kritik atas rasio murni) yang membicarakan tentang reason dan knowing process yang ditulisnya selama lima belas tahun.Bukunya yang kedua adalah Critique of Practical Reason atau kritik atas rasio praktis yang menjelaskan filsafat moralnya dan bukunya yang ketiga adalah Critique of judgment atau kritik atas daya pertimbangan.<br />Kant yang juga dikenal sebagai raksasa pemikir Barat mengatakan bahwa, Filsafat merupakan ilmu pokok dari segala pengetahuan yang meliputi empat persolan yaitu: Apa yang dapat kita ketahui ? ,Apa yang boleh kita lakukan?,Sampai dimanakah pengharapan kita? Dan Apakah manusia itu? <br />2. Pencerahan di Inggris<br />Di Inggris filsafat Pencerahan dikemukakan oleh ahli-ahli pikir yang bermacam-macam keyakinannya. Kebanyakan ahli pikir yang seorang lepas daripada yang lain, kecuali tentunya beberapa aliran pokok. Salah satu gejala Pencerahan di Inggris ialah yang disebut Deisme, suatu aliran dalam filsafat Inggris pada abad ke-18, yang menggabungkan diri dengan gagasan Eduard Herbert yang dapat disebut pemberi alas ajaran agama alamiah.<br />Menurut Herbert, akal mempunyai otonomi mutlak di bidang agama. Juga agama Kristen ditaklukkan kepada akal. Atas dasar pendapat ini ia menentang segala kepercayaan yang berdasarkan wahyu. Terhadap segala skeptisisme di bidang agama ia bermaksud sekuat mungkin meneguhkan kebenaran-kebenaran dasar alamiah dari agama. Dasar pengetahuan di bidang agama adalah beberapa pengertian umum yang pasti bagi semua orang dan secara langsung tampak jelas karena naluri alamiah, yang mendahului segala pengalaman dalam pemikiran akal. Ukuran kebenaran dan kepastiannya adalah persetujuan umum segala manusia, karena kesamaan akalnya. Isi pengetahuan itu mengenai soal agama dan kesusilaan. Inilah asas-asas pertama yang harus dijabarkan oleh akal manusia sehingga tersusunlah agama alamiah, yang berisi: <br />a. bahwa ada Tokoh yang Tertinggi.<br />b. bahwa manusia harus berbakti kepada Tokoh yang Tertinggi itu.<br />c. bahwa bagian pokok kebaktian ini adalah kebajikan dan kesalehan.<br />d. bahwa manusia karena tabiatnya benci terhadap dosa dan yakin bahwa tiap pelanggaran kesusilaan harus disesali.<br />e. bahwa kebaikan dan keadilan Allah memberikan pahala dan hukuman kepada manusia di dalam hidup ini dan di akhirat. <br />Menurut Herbert, di dalam segala agama yang positif terdapat kebenaran-kebenaran pokok dari agama alamiah. Pada akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18 pandangan Herbert ini dikembangkan lebih lanjut, baik yang mengenai unsur-unsurnya yang negatif maupun unsur-unsurnya yang positif.<br />3. Pencerahan di Perancis<br />Pada abad ke-18 filsafat di Perancis menimba gagasannya dari Inggris. Para pelopor filsafat di Perancis sendiri (Descartes, dll) telah dilupakan dan tidak dihargai lagi. Sekarang yang menjadi guru mereka adalah Locke dan Newton. Perbedaan antara filsafat Perancis dan Inggris pada masa tersebut adalah: Di Inggris para filsuf kurang berusaha untuk menjadikan hasil pemikiran mereka dikenal oleh umum, akan tetapi di Perancis keyakinan baru ini sejak semula diberikan dalam bentuk populer. Akibatnya filsafat di Perancis dapat ditangkap oleh golongan yang lebih luas , yang tidak begitu terpelajar seperti para filsuf. Hal ini menjadikan keyakinan baru itu memasuki pandaangan umum. Demi¬kianlah di Perancis filsafat lebih eras dihubungkan dengan hidup politik, sosial dan kebudayaan pada waktu itu. Karena sifatnya yang populer itu maka filsafat di Perancis pada waktu itu tidak begitu mendalam. Agama Kristen diserang secara keras sekali dengan memakai senjata yang diberikan oleh Deisme.10 Sama halnya dengan di Inggris demikian juga di Perancis terdapat bermacam-macam aliran: ada golongan Ensiklopedi, yang menyusun ilmu pengetahuan dalam bentuk Ensiklopedi, dan ada golongan materialis, yang meneruskan asas mekanisme menjadi materialisme semata-mata. Diantara tokoh yang menjadi sentral pembicaraan disini adalah Voltaire (1694-1778), Pada tahun 1726 ia mengungsi ke Inggris. Di situ ia berkenalan dengan teori-teori Locke dan Newton. Apa yang telah diterimanya dari kedua tokoh ini ialah: Pertama sampai di mana jangkauan akal manusia?, dan kedua di mana letak batas-batas akal manusia?.<br />Berdasarkan kedua hal itu ia mem¬bicarakan soal-soal agama alamiah dan etika. Maksud tujuannya tidak lain ialah mengusahakan agar hidup kemasyarakatan zamannya itu sesuai dengan tuntutan akal. Mengenai jiwa dikatakan, bahwa kita tidak mempunyai gagasan tentang jiwa (pengaruh Locke).Yang kita amati hanyalah gejala-gejala psikis. Pengetahuan kita tidak sampai kepada adanya suatu substansi jiwa yang berdiri sendiri. Oleh karena agama dipandang sebagai terbatas kepada beberapa perin¬tah kesusilaan, maka ia menentang segala dogma, dan menentang agama.<br />Di Perancis pada era pencerahan ini juga ada Jean Jacques Rousseau(1712-1778), yang telah memberikan penutupan yang sistematis bagi cita-cita pencerahan di Perancis. Sebenarnya ia menentang Pencerahan, yang menurut dia, menyebarkan kesenian dan ilmu pengetahuan yang umum, tanpa disertai penilaian yang baik, dengan terlalu percaya kepada pembaharuan umat manusia melalui pengetahuan dan keadaban. Sebenar¬nya Rousseau adalah seorang filsuf yang bukan menekankan kepada akal, melainkan kepada perasaan dan subjektivitas. Akan tetapi di dalam menghambakan diri kepada perasaan itu akalnya yang tajam dipergunakan. Terkait kebudayaan menurut Rousseau, kebudayaan bertentangan dengan alam, sebab kebudayaan merusak manusia. (Yang dimaksud ialah kebudayaan yang berlebih-lebihan tanpa terkendalikan dan yang serba semu, seperti yang tampak di Perancis pada abad ke-18 itu. Mengenai agama Rousseau berpendapat, bahwa agama adalah urusan pribad. Agama tidak boleh mengasingkan orang dari hidup bermasyara¬kat. Kesalahan agama Kristen ialah bahwa agama ini mematahkan kesatu¬an masyarakat. Akan tetapi agama memang diperlukan oleh masyarakat. Akibat keadaan ini ialah, bahwa masyarakat membebankan kebenaran¬-kebenaran keagamaan, yang pengakuannva secara lahir perlu bagi hidup kemasyarakatan, kepada para anggotanya sebagai suatu undang-undang, yaitu tentang adanya Allah serta penyelenggaraannya terhadap dunia, tentang penghukuman di akhirat, dsb. Pengakuan secara lahiriah terhadap agama memang perlu bagi masyarakat, tetapi pengakuan batiniah tidak boleh dituntut oleh negara.<br />Pandangan Rousseau mengenai pendidikan berhubungan erat dengan ajarannya tentang negara dan masyarakat. Menurut dia, pendidikan ber¬tugas untuk membebaskan anak dari pengaruh kebudayaan dan untuk memberi kesempatan kepada anak mengembangkan kebaikannya sen¬diri yang alamiah. Segala sesuatu yang dapat merugikan perkembangan anak yang alamiah harus dijauhkan dari anak. Di dalam pendidikan tidak boleh ada pe¬ngertian “kekuasaan” yang memberi perintah dan yang harus ditaati. Anak harus diserahkan kepada dirinya sendiri. Hanya dengan cara demi¬kian ada jaminan bagi pembentukan yang diinginkan. Juga pendidikan agama yang secara positif tidak boleh diadakan. Anak harus memilih Sen¬diri keyakinan apa yang akan diikutinya. Bagi seorang muslim,paham seperti ini tentu sangat menyesatkan. Harun Hadiwijono berkesimpulan bahwa Pencerahan di Perancis memberikan senjata rohani kepada revolusi Perancis.<br />Aliran-aliran yang muncul dimasa pencerahan <br />1. Kritisisme<br />Aliran ini dimulai di Inggris, kemudian Prancis dan selanjutnya menyebar keseluruh Eropa,terutama di Jerman. Di Jerman pertentangan antara rasionalisme dan empirisme terus berlanjut. Masing-masing berebut otonomi. Kemudian timbul masalah,siapah sebenarnya dikatakan sumber pengetahuan? Apakah pengetahuan yang benar itu lewat rasio atau empiri? Kant mencoba menyelesaikan persoalan diatas. Pada awalnya Kant mengikuti rasionalisme,tetapi kemudian terpengaruh oleh empirisme (Hume). Walaupun demikian, Kant tidak begitu mudah menerimanya, karena ia mengetahui bahwa dalam empirisme terkandung skeptisme. Untuk itu tetap mengakui kebenaran ilmu dan dengan akal manusia akan dapat mencapai kebenaran.empirsme. ,Aliran Filsafat yang dkenal dengan kritisisme adalah filsafat yang di introdusir oleh Immanuel Kant. Filsafat ini memulai pelajarannya dengan menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan manusia. Pertentangan antara rasionalisme dan empirisme dicoba untuk diselesaikan oleh Kant dengan kritisismenya. <br />Adapun ciri-ciri kritisisme diantarnya adalah sebagai berikut:<br />- Menganggap bahwa objek pengenalan itu berpusat pada subjek dan bukan pada objek.<br />- Menegaskan keterbatasan kemampuan rasio manusia untuk mengetahui realitas atau<br />hakikat sesuatu; rasio hanyalah mampu menjangkau gejalanya atau fenomenya saja. <br /><br />Tujuan filsafat kritis<br />Melalui filsafatnya, Kant bermaksud memugar sifat objektivitas dunia ilmu pengetahuan. Agar maksud itu terlaksana , orang harus menghindarkan diri dari sifat sepihak rasionalisme dan sifat sepihak empirisme. Rasionalisme mengira telah menemukan kunci bagi pembukaan realitas pada diri subjeknya, lepas dari pengalaman. Adapun empirisme mengira telah memperoleh pengetahuan dari pengalaman saja. Ternyata empirisme,sekalipun dimulai dengan ajaran yang murni tentang pengalaman,tetap melalui idealisme subjektif bermuara pada suatu skeptisme yang radikal. Dalam hal ini Kant bermaksud mengadakan penelitian yang kritis terhadap rasio murni. Menurutnya, Syarat dasar bagi segala ilmu pengetahuan adalah :bersifat umum dan mutlak dan yang kedua adalah memberi pengetahuan baru. Sedangkan menurut Hume, ada jurang yang lebar antara kebenaran-kebenaran rasio murni dengan realitas dalam dirinya sendiri.Salah satu tujuan filsaft Kant yang disebut sebagai filsafat kritis,dengan metodenya yang dikenal dengan sebutan metode transendental,dimana pengetahuan mencerminkan struktur kategoris pikiran,ialah memberikan sebuah alternatif pembenaran filosofis terhadap hasil-hasil Newton. Sistem konsep-konsep yang dipakai dalam geometri Euklidean dan fisika Newtonian secara unik relevan bagi pengalaman aktual manusia. <br />Dalam hal ini ada tiga macam kritik yang dilontarkan Kant yaitu:<br />1. Critique of Pure Reason (kritik atas rasio murni)<br />Kritisisme Kant dapat dianggap sebagai suatu usaha besar untuk mendamaikan rasionalisme dengan empirisme. Rasionalisme mementingkan unsur apriori dalampengenalan , berarti unsur –uunsur yang terlepas dari segalah pengalaman.Sedangkan Empirisme menekankan unsur-unsur aposteriori, berarti unsur-unsur yang berasal dari pengalaman( seperti Locke yang menganggap rasio sebagai” Lembaran putih “- as a white paper). Menuru Kant ,baik rasionalisme maupun empirisme kedua-duanya berat sebelah. Ia berusaha menjelaskan bahwa pengalaman manusia merupakan perpadun antara sintesa unsur-unsur apriori dengan unsur-unsur aposteriori. Walaupun Kant sangat mengagumi empirisme Hume,empirisme yang bersifat rtadikal dan konsekuen, ia tidak dapat menyetujui skeptisime yang dianut Hume dengan kesimpulannya bahwa dalam ilmu pengetahuan kita tidak mampu mencapai kepastian. Pada waktu Kant hidup, sudah menjadi jelas bahwa ilmu pengetahuan alam yang dirumuskan Newton memperoleh sukses besar .<br />Kant mengadakan suatu revolusi filsafat.Ia berkata bahwa ia ingin mengusahakan suatu “revolusi kopernikan” yang berarti suatu revolusi yang dapat dibandingkan dengan perubahan revolusioner yang dijadikan Copernicus dalam bidang astronomi. Dahulu para filsuf telah mencoba memahami pengenalan dengan mengandaikan bahwa si subjek mengarahkan diri kepada objek. Kant mengerti pengenalan dengan berpangkal dari anggapan bahwa objek mengarahkan diri pada subjeek. Sbagaimna Copernicus menetapkan bahwa bumi berputar sekitar matahari dan bukan sebaliknya, demikkian juga Kant memperlihatkan bahwa pengenalan berpusat pada subjek bukan pada objek. <br />2. Critique of Practical Reason (kritik atas rasio praktis)<br />Rasio dapat menjalankan ilmu pengetahuan,sehingga rasio disebut rasio teoritis atau menurut istilah Kant sendiri adalah rasio murni. Akan tetapi,di samping rasio murni terdapat apa yang disebut rasio praktis yaitu rasio yang mengatakan apa yang harus kita lakukan,atau dengan kata lain,rasio yang memberi perintah kepada kehendak kita. Kant memperlihatkan bahwa rasio praktis memberikan perintah yang mutlak yang disebutnya sebagai imperatif kategori.16 Kant kemudian bertanya,”Bagaimana ‘keharusan’ itu mungkin? Apakah yang memungkinkan keharusan itu ?Prinsip pokok untuk menjawab pertanyaan ini adaladh,kalau kita harus,maka kita bisa juga. Seluruh tingkah laku manusia menjadi mustahil,jika kita wajib membuat apa yang tidak bisa dilakukan. Kant beranggapan bahwa ada tiga hal yang harus disadari sebaik-baiknya bahwa ketiga hal itu dibuktikan,hanya dituntut. Itulah sebabnya Kant menyebutnya ketiga postulat dari rasio praktis. Ketiganya yang dimaksud adalah : Kebebasan kehendak, immoralitas jiwa dan yang ketiga adalah adanya Allah.<br /><br />3. Critique of judgment (atau kritik atas daya pertimbangan)<br />Sebagai konsekuensi dari”kritik atas rasio murni daan “kritik atas rasio praktis adalah munculnya dua lapangan tersendiri yaitu lapangan keperluan mutlak di bidang alam dan lapangan kebebasan di bidang tingkah laku manusia. Maksud dari kritik of judgment ialah mengerti kedua persesuaian kedua lapangan ini. Hal ini terjadi dengan menggunakan konsep finalitas (tujuan).Filsafat bisa bersifat subjektif dan objektif. Kalau filsafat bisa bersifat subjektif, manusia mengarahkan objek pada diri manusia itu sendiri. Inilah yang terjadi didalam pengalaman estetis (seni). Pengaalaman estetis itu diseleidiki dalam bagian pertama bukunya,yaitu berjudul Kritik der Astheischen Urteiilskraft.Dengan finalitas yang bersifat objektif dimaksudkan keselarasan satu sama lain dari benda-benda alam. Finalitas dalam alam itu diselidiki dalam bagian ke dua, yaitu Kritik der Theoligischen Unteilskraft. Kant terdorong untuk menggagas metode filosofisnya karena alasan yang sama dengan alasan Descrates. Ia bertanya dalam hati mengapa ilmu-ilmu lain maju pesat tetapi metafisika tidak demikian.<br /><br />Bentuk lain dari kritik terhadap rasionalisme adalah sebagai berikut :<br />1. Pengetahuan rasional dibentuk oleh idea yang tidak dapat dilihat maupun diraba. Eksistensi tentang idea yang sudah pasti maupun yang bersifat bawaan itu sendiri belum dapat dilakukan oleh semua manusia dengan kekuatan dan keyakinan yang sama. Lebih jauh terdapat perbedaan pendapat yang nyata di antara kaum rasionalis itu sendir mengenai kebenaran dasar yang menjadi landasan dalam menalar. Plato,St. Augustine dan Descratws masing-masing mengembangkan teori-teori rasional sendiri yang masing-masing berbeda. <br />2. Banyak diantara manusia yang berpikiran jauh,merasa bahwa mereka menemukan kesukaran yang besar dalam menerapkan konsep rasional kepada masalah kehidupan yang praktis. Kecendrungan terhadap abstraksi dan kecendrungan dalam meragukan serta menyangkal syahnya pengalaman keinderaan telah dikritik habis-habisan. <br />Kritikus yang terdidik biasanya mengeluh bahwa kaum rasionalis memperlakukan idea atau konsep seakan-akan mereka adalah benda yang obyektif. Menghilangkan nilai dari pengalaman keinderaan,menghilangkan pentingnya benda-benda fisik sebagai tumpuan ,lalu menggantinya dengan serangkaian abstraksi yang samar-samar,dinilai mereka sebagai suatu metode yang sangat meragukan dalam memperoleh pengetahuan yang dapat diandalkan. Teori rasional gagal dalam menjelaskan perubahan dan pertambahan pengetahuan manusia selama ini. Banyak dari idea yang sudah pasti pada suatu waktu kemudian berubah pada waktu yang lain. Pada suatu saat dalam sejarah, idea bahwa bumi adalah pusat dari sistem matahari hampir diterima secara umum sebagai suatu pernyataan yang pasti. <br />2. Empirisme<br />Empirisme didasarkan pada pengalaman. Tetapi apakah yang disebut pengalaman? Sekali waktu dia hanya berarti rangsangan pancaidera. Lain kali dia muncul sebagai sebuah sensasi ditambah dengan penilaian.Sebagai sebuah konsep,ternyata pengalaman tidak berhubungan langsung dengan kenyataan obyektif yang sangat ditinggikan oleh kaum empiris. Kritukus kaum empiris menunjukkan bahwa fakta tidak mempunyai apa pun yang bersifat pasti. Fakta itu sendiri tak menunjukkan hubungan di antara mereka terhadap pengamat yang netral. Jika dianalisis secara kritis maka”pengalaman” merupakan pengertian yang terlalu samar untuk dijadikan dasar bagi sebuah teori pengetahuan yang sistematis. <br />Sebuah teori yang sangat menitiberatkan pada persepsi pancaidera kiranya melupakan kenyataan bahwa pancaindera manusia adalah terbatas dan tidak sempurna. Pancaindera kita sering menyesatkan di mana hal ini disadari oleh kaum empiris itu sendiri. Empirisme tidak mempunyai perlengakapan untuk membedakan antara khayalan dan fakta. Empirisme tidak memberikan kita kepastian. Apa yang disebut pengetahuan yang mungkin, sebenarnya merupakan pengetahuan yang seluruhnya diragukan. Tanpa terus berjaga-jaga dan mempunyai urutan pengalaman indera yang tak terputus-putus. <br />Kombinasi antara rasionalisme dan empirisme<br />Terdapat suatu anggapan yang luas bahwa ilmu pada dasarnya adalah metode induktif empiris dalam memperoleh pengetahuan. Memang terdapat beberapa alasan untuk mendukung penilaian ini karena ilmuwan mengumpulkan fakta-fakta yang tertentu,melakukan pengamatan dan mempergunakan data inderawi, Walau demikian,analisis yang mendalam terhadap metode keilmuan akan menyingkapkan kenyataan,bahwa apa yang dilakukan oleh ilmuwan dalam usahanya mencari pengetahuan lebih tepat digambarkan sebagai suatu kombinasi antara prosedur empiris dan rasional.<br /><br />3. Deisme<br />Deisme adalah suatu aliran yang mengakui adanya yang menciptakan alam semesta ini. Akan tetapi setelah dunia diciptakan, Allah menyerahkan dunia kepada nasibnya sendiri. Sebab Ia telah memasukkan hukum-hukum dunia itu ke dalamnya. Segala sesuatu berjalan sesuai dengan hukum-hukumnya. Manusia dapat menunaikan tugasnya dalam berbakti kepada Allah. <br /><br />Kesimpulan<br />Di abad ke-18 dimulai suatu zaman baru yang memang telah berakar pada Renaissance (Masa yang juga disebut masa keraguan,dirinya dan jiwanya saja diragukan. Yang tidak di ragukan hanya dirinya yang ragu itu ,keraguan yang dimaksud disini adalah keraguan metafisik ) dan mewujudkan buah pahit dari rasionalisme dan empirisme. Masa ini disebut dengan masa pencerahan atau Aufklarung yang menurut Immanuel Kant,di zaman ini manusia terlepas dari keadaan tidak balik yang disebabkan oleh kesalahan manusia itu sendir yang tidak memanfaatkan akalnya. Voltaire menyebut zaman pencerahan sebagai “zaman akal” dimana manusia merasa bebas,zaman perwalian pemikiran manusia dianggap sudah berakhir,mereka merdeka dari segala kuasa dari luar dirinya. Para tokoh era Aufklarung ini juga merancang program-program khusus diantaranya adalah berjuang menentang dogma gereja dan takhayul populer. Senjatanya adalah fakta-fakta ilmu dan metode-metode rasional.<br />Di Jerman hadir sosok Immanuel Kant yang dalam filsafat kritiknya ia bermaksud memugar sifat objektivitas dunia ilmu pengetahuan. Agar maksud itu terlaksana ,orang harus menghindarkan diri dari sifat sepihak rasionalisme dan sifat sepihar empirisme. Rasionalisme mengira telah menemukan kunci bagi pembukaan realitas pada diri subjeknya, lepas dari pengalaman. Adapun empirisme mengira telah memperoleh pengetahuan dari pengalaman saja. Kritisisme Kant adalah suatu usaha besar untuk mendamaikan rasionalisme dengan empirisme. Menurut Kant baik rasionalisme maupun empirisme dua-duanya berat sebelah. Ia berusaha menjelaskan bahwa pengalaman manusia merupakan perpaduan antara sintesa unsur-unsur apriori dengan unsur-unsur aposteriori.<br />Di Inggris muncul paham deisme sebagai salah satu gejala Pencerahan yang juga disebut pemberi alas ajaran agama alamiah. Munculnya paham deisme ini sebagai bentuk penggabungan terhadap gagasan Eduard Herbert. Menurut Herbert, akal mempunyai otonomi mutlak di bidang agama. Juga agama Kristen ditaklukkan kepada akal. Atas dasar pendapat ini ia menentang segala kepercayaan yang berdasarkan wahyu.<br /><br /><br /><br /><br /><br />Daftar Pustaka<br />Muh. Sabri AR,dalam Seminar Mata Kuliah Filsafat Islam Semester I Th 2008-2009.<br />Harun Hadiwijono. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Cet IX: Yogyakarta: Kanisius 1993. <br />Juhaya S. Praja,Aliran-aliran filsafat dan Etika, Cet II: Jakarta:Prenada Media 2005.<br />Jerome R. Ravertz, The Philosophy of Science, diterjemahkan oleh Saut Pasaribu. Cet I: Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2004.<br />Stephen Palimous, The Tree of Philosophy, diterjemahkan oleh Muhammad Shodiq. Cet I: Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2002.<br />Asmoro Akhmad, Filsafat Umum, Cet V: Jakarta: Raja Grafindo Persada 2003.<br />Surajiyo, Ilmu Filsafat, Cet I: Jakarta: Bumi Aksara 2005.<br />Jujun S,Sumantri, Ilmu dalam Perspektif, Cet XIV: Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 1999.<br />Fuad Rumi MS, filsafat ilmu,Universitar Muslim Indonesia 1999.<br />Ahmad Tafsir. filsafat ilmu, akal sejak thales sampai james, Penerbit, Remaja Rosdakarya Bandung, tanpa thn.<br />Gazalba,Sidi.Sistematika Filsafat.(Cet IV;Jakarta: Bulan Bintang 1992)<br />R.Ravertz,Jerome.Filsafat Ilmu.diterjemahkan,Saut Pasaribu (Cet I ;Yogykarta:Pustaka<br />Pelajar 2004)<br /><br />Beekman,Gerard, Filsafat para filsuf berfilsafat,diterjemahkan oleh R.A.Rivai.(Jakarta :<br />Erlangga)<br />Akhmadi,Asmoro,Filsafat Umum.( Cet V; Jakarta: RajaGrafindo Persada 2003)<br />R.Suriasumantri,Jujun S.Ilmu dalam Perspektif.(Cet XIV ;Jakarta:Yayasan Obor<br />Indonesia 1999)<br />Kartenagara,Mulyadhi.Panorama Filsafat Ilmu.( Cet II; Bandung:Mizan Pustaka. 2005)<br />Drajat,Amroeni.Suhrawardi Kritik Filsafat Peripatetik.( Cet I:Yogyakarta:LKIS Aksara 2005)abulumam albantanyhttp://www.blogger.com/profile/04217284884180986248noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3924512155295201119.post-20052161936924302172010-05-21T08:26:00.000-07:002010-05-21T08:37:46.259-07:00As-shulhu dan mediasi dalam menyelesaikan perkara<br /> <br /> <br />Pada Mata Kuliyah : Pranata Sosial dan Hukum Islam <br /><br /> <br />Dosen Pengampu : Prof Dr. Oyo Sunaryo Mukhlas, M. Si<br /><br /><br />Oleh: Abdul Muher<br />220940001<br /><br /><br /><br /><br /><br />PROGRAM PASCA SARJANA<br />UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG<br />KONSENTRASI HUKUM ISLAM<br />2010<br /><br />I. Pendahuluan<br />Indonesia dampak dari penjajahan Belanda telah mendarah daging sistem hukum continental. Padahal sebelumnya nusantara ini adalah negara musyawarah. Semua sengketa yang terjadi di dalam masyarakat dimusyawarahkan, win win solution. Dalam bersengketa tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Akibat dari sistem hukum continental tersebut, semua hal harus tunduk dan mengikuti arah perundang-undangan. Bagaimana bunyi perundang-undangan begitu jalan yang harus ditempuh. Perundang-undangan memberi isyarat, kalau ada persengketaan dipersilahkan ke pengadilan yang berwenang. Kalau tidak puas terhadap putusan pengadilan pertama, silahkan ke pengadilan berikutnya. Untuk putusan tingkat Mahkamah Agung pun diberi kesempatan peninjauan kembali, walaupun diketahui tidak memenuhi persyaratan. Tidak ada bukti baru yang perlu ditunjukkan. Tetapi untuk menghargai para pihak pengadilan memfasilitasi kehendak pihak yang bermaksud untuk itu. Kalaupun tidak memenuhi persyaratan, Mahkamah Agunglah yang akan menentukan. Begitulah seterusnya orang berperkara di negeri ini. Dalam satu garis keturunan menyimpan permusuhan sampai mati.<br />Lahirnya acara mediasi melalui PERMA Nomor 1 Tahun 2008 (kemudian akan disebut PERMA), merupakan penegasan ulang terhadap perma sebelumnya yaitu Nomor 2 Tahun 2003. Dilatar belakangi dengan banyaknya perkara di lingkungan peradilan terutama dalam perkara kasasi, mediasi dianggap instrument efektif dalam proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. Keberadaan mediasi sebagai bagian dalam hukum acara perdata, dapat dianggap sebagai salah satu sumbangan berharga Prof. Bagir Manan, SH MCL. Pasal 130 HIR/154 RBG yang memerintahkan usaha perdamaian oleh hakim, dijadikan sebagai modal utama dalam membangun perangkat hukum ini, yang sudah dirintis sejak tahun 2002 melalui SEMA Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan 2 Lembaga Damai eks pasal 130 HIR/154 RBg yang kemudian pada tahun 2003 disempurnakan melalui Perma Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan. <br />A. Pengertian Shulhu<br />Ash-Shulh berasal dari bahasa Arab yang berarti perdamaian, penghentian perselisihan, penghentian peperangan. Dalam khazanah keilmuan, ash-shulhu dikategorikan sebagai salah satu akad berupa perjanjian diantara dua orang yang berselisih atau berperkara untuk menyelesaikan perselisihan diantara keduanya. Dalam terminologi ilmu fiqih ash-shulhu memiliki pengertian perjanjian untuk menghilangkan polemik antar sesama lawan sebagai sarana mencapai kesepakatan antara orang-orang yang berselisih. Di dalam Ash-shulhu ini ada beberapa istilah yaitu: Masing-masing pihak yang mengadakan perdamaian dalam syariat Islam distilahkan musalih, sedangkan persoalan yang diperselisihkan di sebut musalih’anhu, dan perbuatan yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap pihak yang lain untuk mengaklhjiri pertingkaian/pertengkaran dinamakan dengan musalih’alaihi atau di sebut juga badalush shulh.<br />B. Hukum Shulhu<br />Perdamaian dalam syariat Islam sangat dianjurkan. Sebab, dengan perdamaian akan terhindarlah kehancuran silaturahmi (hubungan kasih sayang) sekaligus permusuhan di antara pihak-pihak yang bersengketa akan dapat diakhiri. Adapun dasar hukum diadakan perdamaian dapat dilihat dalam al-qur’an, sunah rasul dan ijma. Al-qur’an menegaskan dalam surat al-hujarat ayat 9 yang artinya: “jika dua golongan orang beriman bertengkar damaikanlah mereka. Tapi jika salah satu dari kedua golongan berlaku aniaya terhadap yang lain maka perangilah orang yang aniaya sampai kembali kepada perintah Allah tapi jika ia telah kembali damaiakanlah keduanya dengan adil, dan bertindaklah benar. Sungguh Allah cinta akan orang yang bertindak adil (QS. Al-Hujurat : 9)”.<br />Mengenai hukum shulhu diungkapkan juga dalam berbagai hadits nabi, salah satunya yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Imam Tirmizi yang artinya “perdamaian dibolehkan dikalangan kaum muslimin, kecuali perdamaian menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang haram. Dan orang-orang islam (yang mengadakan perdamaian itu) bergantung pada syarat-syarat mereka (yang telah disepakati), selain syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram (HR. Ibnu Hibban dan Turmuzi)”.<br />Pesan terpenting yang dapat dicermati dari hadits di atas bahwa perdamaian merupakan sesuatu yang diizinkan selama tidak dimanfaatkan untuk hal-hal yang bertentangan dengan ajaran dasar keislaman. Untuk pencapaian dan perwujudan perdamaian, sama sekali tidak dibenarkan mengubah ketentuan hukum yang sudah tegas di dalam islam. Orang-orang islam yang terlibat di dalam perdamaian mesti mencermati agar kesepakatan perdamaian tidak berisikan hal-hal yang mengarah kepada pemutarbalikan hukum; yang halal menjadi haram atau sebaliknya. <br />C. Rukun Shulhu<br />Adapun rukun perdamaian adalah:<br />Mushalih , Mushalih’anhu , Mushalih ’alaih , dan Shigat ijab dan Kabul di antara dua pihak yang melakukan akad perdamaian. Apabila rukun itu telah terpenuhi maka perdamaian di antara pihak-pihak yang bersengketa telah berlangsung. Dengan sendirinya dari perjanjian perdamaian itu lahirlah suatu ikatan hukum, yang masing-masing pihak untuk memenuhi / menunaikan pasal-pasal perjanjian perdamaian.<br />D. Syarat Shulhu<br />Adapun yang menjadi syarat sahnya suatu perjanjian perdamaian dapat diklasifikasikan kepada:<br />1) Menyangkut subyek, yaitu musalih (pihak-pihak yang mengadakan perjanjian perdamaian) <br />Tentang subyek atau orang yang melakukan perdamaian haruslah orang yang cakap bertindak menurut hukum. Selain cakap bertindak menurut hukum, juga harus orang yang mempunyai kekuasaan atau mempunyai wewenang untuk melepaskan haknya atas hal-hal yang dimaksudkan dalam perdamaian tersebut.<br />Adapun orang yang cakap bertindak menurut hukum dan mempunyai kekuasaan atau wewenang itu seperti :<br />a. Wali, atas harta benda orang yang berada di bawah perwaliannya.<br />b. Pengampu, atas harta benda orang yang berada di bawah pengampuannya<br />c. Nazir (pengawas) wakaf, atas hak milik wakaf yang berada di bawah pengawasannya.<br />2) Menyangkut obyek perdamaian<br />Tentang objek perdamaian haruslah memenuhi ketentuan sebagai berikut :<br />a. Untuk harta (dapat berupa benda berwujud seperti tanah dan dapat juga benda tidak berwujud seperti hak intelektual) yang dapat dinilai atau dihargai, dapat diserah terimakan, dan bermanfaat.<br />b. Dapat diketahui secara jelas sehingga tidak melahirkan kesamaran dan ketidak jelasan, yang pada akhirnya dapat pula melahirkan pertikaian yang baru pada objek yang sama.<br />3) Persoalan yang boleh di damaikan <br />Adapun persoalan atau pertikaian yang boleh atau dapat di damaikan adalah hanyalah sebatas menyangkut hal-hal berikut : <br />a. Pertikaian itu berbentuk harta yang dapat di nilai<br />b. Pertikaian menyangkut hal manusia yang dapat diganti<br />Dengan kata lain, perjanjian perdamaian hanya sebatas persoalan-persoalan muamalah (hukum privat). Sedangkan persoalan-persoalan yang menyangkut hak ALLAH tidak dapat di lakukan perdamaian.<br />E. Macam-macam Shulhu<br />Secara garis besar ash-shulhu terbagi atas empat macam, yaitu:<br />1) Perdamaian antara kaum muslimin dengan masyarakat non muslim, yaitu membuat perjanjian untuk meletakkan senjata dalam masa tertentu (dewasa ini dikenal dengan istilah gencatan senjata), secara bebas atau dengan jalan mengganti kerugian yang diatur dalam undang-undang yang disepakati dua belah pihak.<br />2) Perdamaian antara penguasa (imam) dengan pemberontak, yakni membuat perjanjian-perjanjian atau peraturan-peraturan mengenai keamanan dalam Negara yang harus ditaati, lengkapnya dapat dilihat dalam pembahasan khusus tentang bughat. <br />3) Perdamaian antara suami dan istri dalam sebuah keluarga, yaitu membuat perjanjian dan aturan-aturan pembagian nafkah, masalah durhaka, serta dalam masalah menyerahkan haknya kepada suaminya manakala terjadi perselisihan.<br />4) Perdamaian antara para pihak yang melakukan transaksi (perdamaian dalam mu’amalat), yaitu membentuk perdamaian dalam mesalah yang ada kaitannya dengan perselisihan-perselisihan yang terjadi dalam masalah mu’amalat.<br /> Sesuai dengan maknanya, mediasi berarti menengahi. Seorang mediator tidaklah berperan sebagai judge yang memaksakan pikiran keadilannya, tidak pula mengambil kesimpulan yang mengikat seperti arbitrer tetapi lebih memberdayakan para pihak untuk menentukan solusi apa yang mereka inginkan. Mediator mendorong dan memfasilitasi dialog, membantu para pihak mengklarifikasi kebutuhan dan keinginan-keinginan mereka, menyiapkan panduan, membantu para pihak dalam meluruskan perbedaan-perbedaan pandangan dan bekerja untuk suatu yang dapat diterima para pihak dalam penyelesaian yang mengikat. Jika sudah ada kecocokan di antara para pihak yang bersengketa lalu dibuatkanlah suatu memorandum yang memuat kesepakatan-kesepakatan yang telah dicapai . <br />Mediasi ini diterapkan sebagai bagian acara dalam perkara perdata di lingkungan peradilan agama dan peradilan umum. Bagi lingkungan peradilan Agama sendiri, kehadiran seorang mediator dalam suatu perkara tampaknya tidak dianggap sebagai sebuah hal yang baru. Secara yuridis formal Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, Pasal 76 telah menetapkan keberadaan hakam dalam perkara perceraian yang eksistensinya sama dengan mediator. Demikian halnya secara normatif, mediator atau hakam sudah dikenal sejak awal pembentukan hukum Islam, baik dalam perkara perceraian secara khusus maupun perkara perdata atau bentuk perkara lainnya. Dalam beberapa tayangan televisi, sebagian kasus perceraian selebriti dengan kumulasi gugatan anak ataupun harta bersama dan lainnya, telah menunjukkan adanya respon positif dari peradilan agama dalam mengimplementasikan PERMA maupun peraturan sebelumnya yaitu Perma Nomor 2 Tahun 2003. <br />Secara spesifik dalam bidang perceraian, mediasi terdapat pada Al Quran surat An-Nisa ayat 35, dalam bagian pidato Umar bin al-Khattab mengenai penyelesaian perkara oleh seorang hakim, ia mendorong penyelesaian perkara secara damai al sulhu khairun. Menunjukkan bahwa mediasi sebagai sarana sulhu sangat dianjurkan. Pada saat peralihan kepemimpinan Ali ra dengan Mu’awiyah juga dilakukan dengan mediasi. <br />II. Mediasi Dalam Sistem Hukum Indonesia <br />Mediasi dapat dipandang sebagai suatu proses pengambilan keputusan dengan bentukan pihak tertentu. John Wade mengutip beberapa pengertian mediasi. Menurut Folberg dan A. Taylor:<br />a comprehensive guide to resolving conflict withouth litigation dan menurut Laurence Bolle, mediation is a decision making process in which the parties are assited by a third party, the mediator, the mediator attempt to improve the process of decision making and to assist the parties reach an autcome to wich of them can assen. <br />Said Faisal dalam “Pengantar Mediasi” mengutip pendapat Moor C.W dalam memberikan definisi mediasi, pada dasarnya mediasi adalah negosiasi yang melibatkan pihak ketiga yang memiliki keahlian mengenai prosedur mediasi yang efektif dan dapat membantu dalam situasi konflik untuk mengkoordinasikan aktifitas mereka sehingga lebih efektif dalam proses tawar menawar, bila tidak ada negosiasi… tidak ada mediasi . Seorang mediator pada dasarnya memiliki kecenderungan menggunakan interest based negotiation yang pada akhirnya kepentingan semua pihak dapat terwakili. Mediasi dan negosiasi bukanlah dua proses yang terpisah namun lebih mengarah kepada negosiasi yang difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral. Meskipun secara substansial negosiasi berbeda dengan mediasi, namun sering kali dikatakan bila tidak ada negosiasi tidak ada mediasi. Oleh karena negosiasi merupakan nilai penting dalam mediasi, maka tawaran pihak pertama dan harga konsesi akan sangat menentukan pada hasil akhir negosiasi (mediasi). <br />Mediasi merupakan salah satu dari beberapa penyelesaian sengketa. Berbagai proses penyelesaian sengketa adalah: <br />1) Litigasi di mana perselisihan diselesaikan melalui pengadilan. <br />2) Arbitrase suatu sistem di mana prosedur dan arbitrer dipilih oleh para pihak untuk membuat keputusan yang mengikat. <br />3) Konsiliasi proses yang sama dengan mediasi namun diatur oleh undang-undang. <br />4) Konseling di mana ada proses therapeutic yang memberikan nasihat membantu penangan masalah prikologikal. <br />5) Negosiasi adanya unsur diskusi, edukasi, pendekatan persuasive serta tawar menawar dengan pasilitas pihak ketiga dalam menyelesaikan suatu masalah. <br />6) Fasilitasi suatu proses yang dipergunakan dalam perselisihan yang melibatkan berbagai pihak. <br />7) Case appraisal/neutral evaluation, suatu proses di mana pihak ketiga yang mempunyai kualifikasi memberikan pandangan berdasarkan fakta dan kenyataan yang ada. <br />8) Mini Tria, proses penyelesaian perselisihan dengan pertukaran informasi yang kemudian dicari jalan keluar melalui hadirnya senior eksekutif dari masing-masing organisasi. <br />9) Provati judging, suatu proses yang hampir sama dengan arbitrase di mana seorang eks hakim bertindak untuk memberikan keputusan dan para pihak sepakat untuk mentaati keputusan tersebut. <br />Mediasi berbeda dengan litigasi yang ingin memperoleh hasil akhir sesuai dengan hukum yang berlaku, berbeda pula dengan konseling karena landasan mediasi tidak berpijak pada faktor psikologis dan perilaku. Demikian pula mediasi berbeda dengan arbitrase, di mana posisi arbitrer ditunjuk untuk memberikan keputusan akhir . <br /> Pemberlakuan Mediasi dalam system peradilan di Indonesia didasarkan pada PERMA Nomor 1 Tahun 2008. Indonesia dapat dikatakan terlambat dalam membangun sistem mediasi. Singapura dengan Singapore Mediation Center telah lahir sejak tahun 1996. Mahkamah Agung sebelum mengeluarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2008, terlebih dahulu harus melakukan studi khusus kepada negara-negara yang telah lebih dahulu mempunyai sistem mediasi, seperti Australia, Jepang, Amerika dan negara-negara Eropa . <br />Terdapat dua bentuk mediasi, bila ditinjau dari waktu pelaksanaannya. Pertama yang dilakukan di luar sistem peradilan dan yang dilakukan dalam sistem peradilan. Sistem Hukum Indonesia (dalam hal ini Mahkamah Agung) lebih memilih bagian yang kedua yaitu mediasi dalam sistem peradilan atau court annexed mediation atau lebih dikenal court annexed dispute resolution. Hal ini dapat dilihat pada PERMA Nomor 1 Tahun 2008 yang menetapkan 8 mediasi sebagai bagian dari hukum acara dalam perkara perdata, sehingga suatu putusan akan menjadi batal demi hukum manakala tidak melalui proses mediasi (PERMA Pasal 2). Meskipun tidak dapat dibandingkan dengan Undang-Undang, PERMA ini dipandang sebagai kemajuan dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang masih menganggap mediasi sebagai penyelesaian sengketa di luar pengadilan (Pasal 1 butir 10).<br />Pemberlakuan proses mediasi meliputi seluruh perkara perdata yang terdapat pada lingkungan peradilan umum dan peradilan agama. Pengecualian terhadap perkara perdata hanya berlaku terhadap perkara yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan keberatan atas putusan Komisi pengawas Persaingan Usaha (Pasal 4). <br />Mediasi dilakukan sebagai tahap awal proses persidangan (setelah sidang pertama), dimana Hakim mediator/mediator akan memproses sebuah perkara setelah sebelumnya diberitahu oleh Ketua Majelis (Pasal 11). Pemeriksaan perkara selanjutnya berada pada tangan mediator, baik proses pemanggilan maupun persidangannya. Hasil dari proses mediasi hanya ada dua kemungkinan yaitu berhasil (kemudian dibuatkan akta perdamaian) dan tidak berhasil. Dalam keadaan terakhir, seluruh proses mediasi maupun materinya tidak dapat dipertimbangkan dalam persidangan perkara berikutnya (Pasal 19). <br />III. Hakam Mediasi Dalam Perkara Perceraian <br />Hakam ialah orang yang ditetapkan Pengadilan, dari pihak keluarga suami atau pihak keluarga isteri untuk mencari upaya penyelesaian perselisihan terhadap syiqoq. M. Yahya Harahap mengutip pendapat Noel J. Coulson memberi sinonim "arbitrator" sebagai kata yang sepadan dengan "Hakam ". Begitu juga Morteza Mutahhari mengemukakan kata padanan Hakam dengan "arbiter". Menurutnya hakam dipilih dari keluarga suami dan isteri. Satu orang dari pihak keluarga suami dan satu orang dari pihak keluarga isteri, dengan persyaratan jujur dan dapat dipercaya, berpengaruh dan mengesankan. mampu bertindak sebagai juru damai serta orang yang lebih mengetahui keadaan suami-isteri, sehingga suami isteri lebih terbuka mengungkapkan rahasia hati mereka masing-masing. Adapun yang menjadi landasan hukum pemberlakuan hakam dalam bidang perceraian adalah dari Al Quran An Nisa ayat 35: <br /> <br />Kalau kamu ketahui perselisihan antara keduanya suami isteri hendaklah kamu utus seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari ke1uarga perempuan. <br /><br />Meskipun ayat tersebut memberikan petunjuk dalam bentuk perintah, namun para ahli hukum Islam berbeda pendapat mengenai eksistensi hakam dalam menyelesaikan masalah perceraian. Ulama dari mazhab Al-Syafi'I mengharuskan adanya hakam dalam perceraian yang muncul akibat syiqoq, (Syarqawi alat-Tahrir juz III hal. 372). Sedangkan menurut pendapat yang lain, bahwa pengangkatan hakam hanyalah jaiz (boleh saja). Pendapat ini di introdusir oleh Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid (Bidayatul Mujtahid juz II hal 98-99). <br />Sementara itu dalam tatanan hukum di Indonesia, hakam dapat ditemukan pada pasal 76 ayat 2 Undang-Undang Nomor : 7 Tahun 1989, Hakam adalah orang yang ditetapkan Pengadilan dari pihak ke1uarga suami atau pihak ke1uarga isteri atau pihak lain untuk mencari upaya penyelesaian perselisihan terhadap syigoq. Untuk lebih jelasnya ayat tersebut perlu pula diperhatikan penjelasannya yaitu, Kalau terjadi perselisihan antara suami isteri, hendaklah diadakan seorang hakam dari keluarga suami dan seorang hakam dari keluarga isteri. Keduanya berusaha memperdamaikan antara keduanya, se-hingga dapat hidup kembali sebagai suami isteri.<br />Pengangkatan seorang hakam dalam hukum acara Peradilan Agama dilakukan setelah sebelumnya didengar keterangan pihak keluarga atau orang-orang dekat dengan para pihak. Setidaknya ada tiga pasal peraturan perundang--undangan yang berbeda yang mengharuskan kehadiran keluarga ataupun kerabat dekat dalam suatu proses persidangan. Ketentuan tersebut terdapat pada : <br />1) Pasal 22 ayat (2) PP No.9 Tahun 1975. <br />2) Pasal 76 ayat (1) Undang-undang No.7 Tahun 1989, dan <br />3) Pasal 134 Kompilasi Hukum Islam. <br />Bila dibandingkan antara hukum normatif dan hukum positif mengenai keberadaan hakam, akan nampak adanya pergeseran status hukum hakam dalam pandangan hukum Islam (yang diwakili oleh al Syafi’i) dengan hakam yang terdapat pada Undang-Undang Peradilan Agama. Hukum Islam mengharuskan adanya hakam dalam perceraian yang terjadi dengan alasan syiqoq, sementara itu hakam diangkat dari pihak keluarga suami dan isteri, sedangkan hakam dalam Undang-Undang Peradilan Agama hanya sebatas anjuran yang tidak mengikat (sesuai dengan bunyi penjelasan Pasal 76 ayat 2 UU No. 3/2006). Dalam analisa Abdul Manan , hukum perkawinan Indonesia mengambil hukum zawaj boleh seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Rusyd dan dalam menentukan hakam mengambil pendapat Sayyid Sabiq yang tidak mengharuskan hakam dari keluarga kedua belah pihak yang bertikai. Demikian halnya dengan penerapan hakam, para ulama berbeda pendapat, salah satunya menerangkan bahwa penerapan hakam dilakukan pada perselisihan yang memuncak dan membahayakan. <br />Di beberapa Pengadilan Agama, hakam hanya diterapkan pada kasus perceraian di mana syiqoq benar-benar muncul sebagai alasan perceraian yang secara lahiriah dapat dilihat dari sikap salah satu pihak yang tidak menghendaki perceraian, sementara pihak lain menganggap bahwa rumah tangganya sudah tidak mungkin lagi diperbaiki. Pada saat inilah dipergunakan fiqh al Syafi’i dengan mempertimbangkan anjuran yang terdapat pada Pasal 76 ayat (2) beserta penjelasannya. Penerapan hakam seperti ini, secara psikologis sangat berguna bagi pihak yang tetap menginginkan berumah tangga, karena penilaian terhadap keadaan rumah tangga syiqoq tidak hanya dilakukan oleh hakim tetapi melibatkan hakam yang notabene adalah dari keluarga kedua belah pihak. Dalam keadaan demikian menurut Abdul Manan, hakam dapat menentukan kualitas perselisihan yang terjadi dalam rumah tangga, yang pada akhirnya dapat memberikan pertimbangan terhadap putusan majelis hakim. Di sisi lain hakam dianggap tidak efektif lagi ketika kasus perceraian yang dihadapi oleh hakim ternyata kedua belah pihak telah menyadari bahwa perceraian akan lebih baik dari pada harus mempertahankan rumah tangganya. Pada saat seperti ini implementasi hakam diterapkan pendapat ulama selain al Syafi’i mengenai status hakam sebagai fakultatif bukan imperatif. <br />IV. Implementasi Mediasi dan Hakam <br />Setelah dipahami secara ringkas mengenai keberadaan mediasi dalam dalam tatanan hukum Indonesia yang berlaku pada hukum acara perdata umum dan perdata agama, dengan hakam yang hanya terdapat pada acara peradilan agama, maka setidaknya ada benang merah antara keduanya yang sama-sama menghendaki penyelesaian perselisihan oleh pihak ke tiga. Komparasi dari sudut formil maupun materil, juga akan memberikan gambaran antara keduanya yang pada akhirnya dapat memposisikan secara tepat keberadaan mediasi dalam masalah perceraian. <br />Pemberlakuan tahap mediasi dalam suatu persidangan dilakukan setelah sidang pertama atau sebelum pemeriksaan perkara dilakukan. Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBG yang mewajibkan hakim mendamaikan para pihak, menjadi pijakan utama mediasi. Pembahasan lembaga damai secara menyeluruh dalam hukum acara, memberikan pengertian bahwa mediasi bukanlah satu-satunya cara untuk mencapai upaya damai. Dimungkinkan pula ketika perkara sudah berlangsung pada tahapan berikutnya (pembuktian misalnya), perdamaian dapat terjadi apabila masing-masing pihak menghendakinya. <br />Eksistensi hakam berbeda dengan Mediasi yang hanya berdasarkan pada PERMA Nomor 1 Tahun 2008 dengan merujuk pada Pasal 130 HIR/154 RBG. Sementara itu keberadaan hakam selain sebagai upaya transformasi hukum perkawinan Islam juga dilandaskan pada Pasal 76 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Berbeda dengan mediasi, hakam diterapkan setelah proses pembuktian berlangsung yaitu setelahnya hakim mendengar pihak keluarga atau orang-orang dekat dengan pihak suami isteri. Pengangkatan hakam dituangkan dalam putusan sela, sedangkan mediator dapat saja dilakukan dengan cara pemberitahuan oleh Ketua Majelis (PERMA Pasal 11 ayat 11). Dari sudut pandang materiil, mediasi pada awalnya dihadapkan dalam perkara bisnis meskipun dalam perkembangan berikutnya juga diberlakukan dalam hukum keluarga. Oleh karenanya wajar apabila dikatakan, tidak ada mediasi tanpa negosiasi, karena mediasi mengedepankan bargaining position dengan memberikan tawaran nilai dari masing-masing pihak.<br /> Adapun hakam, merupakan salah satu bagian dari hukum perkawinan mengenai perceraian dengan alasan syiqoq. Tidak ada yang ditawarkan dalam bentuk nilai maupun materi lainnya dalam proses hakam tersebut. Hakam hanya berupaya meneliti dan menelaah serta menilai sifat dan bentuk dari perselisihan yang terjadi antara suami isteri. <br />Dengan melihat perkembangan hukum perkawinan di Indonesia ternyata perkara perceraian sering kali diajukan ke Pengadilan Agama dalam bentuk kumulasi dengan perkara lainnya seperti tuntutan nafkah terutang, nafkah iddah, pemeliharaan anak, nafkah anak ataupun harta bersama. Dengan adanya kumulasi tersebut, perkara perceraian yang sebelumnya hanya menyangkut permasalahan rumah tangga saja kemudian berkembang menyangkut masalah nilai dan materi. Pada saat seperti inilah keberadaan mediator sangat diperlukan untuk memfasilitasi upaya bargaining tawar menawar maupun negosiasi mengenai tuntutan-tuntuan yang diajukan oleh Penggugat. Demikian halnya dengan hakam, setelah proses perceraian berlangsung dan pihak keluarga telah didengar, dengan melihat bentuk perselisihannya hakim dapat mengangkat hakam untuk menyelesaikan syiqoqnya. <br />Penerapan mediasi dan hakam seperti di atas akan sangat berbeda ketika dihadapkan dengan perkara perceraian tanpa kumulasi dengan perkara lainnya. Memberlakukan mediasi dan hakam secara bersamaan dalam perkara perceraian (tanpa kumulasi) dari satu sisi, hakim dipandang telah memberlakukan prosedur acara yang sama dalam waktu yang berbeda (mediasi sebelum pemeriksaanperkara, hakam dalam proses perkara), karena keduanya sama-sama memberikan fasilitas kepada para pihak untuk mencari jalan damai. Di sisi lain pemberlakuan mediasi dan hakam dalam perkara seperti ini hanya akan menambah waktu dan biaya serta menghilangkan nilai filosopis dari PERMA yang terkandung dalam konsiderannya untuk penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. Dalam hal mediator harus melibatkan pihak keluarga dari pasangan suami isteri (PERMA Pasal 16). Demikian halnya apabila yang dipakai adalah hakam, maka proses hakam tersebut harus dipandang sebagai bagian dari mediasi, yang pada akhirnya akan mengenyampingkan PERMA Pasal 2 ayat (3). <br />Selain penerapan mediasi dan hakam secara bersamaan dan penerapan salah satu dari mediasi dan hakam, juga dimungkinkan tidak diterapkannya mediasi dan hakam secara bersamaan. Pasangan suami isteri, keduanya sama-sama menghendaki perceraian secara ma’ruf, sehingga hakim pun dalam keadaan seperti ini lebih mengedepankan tindakan ma’rufnya daripada harus memberlakukan hakam. Kondisi yang sama juga akan dihadapkan dengan proses mediasi. Apabila dalam persidangan pertama, masing-masing pihak (suami isteri) sudah menerangkan bahwa keduanya tidak mungkin didamaikan lagi dan memilih bercerai secara ma’ruf, maka apakah tidak keliru apabila hakim harus juga menerapkan mediasi dalam perkara tersebut, sementara hakam (yang notabene berlaku secara yuridis maupun normatif ) tidak diberlakukan lagi oleh hakim. Pemberlakuan mediasi dalam perkara seperti ini justru menjadi kontra produktif dengan maksud dari PERMA yang ingin memberikan penyelesaian sengketa lebih cepat dan murah. Karena pada saat demikian, para pihak lebih menghendaki proses perceraian dilanjutkan daripada terlebih dahulu mengikuti proses mediasi yang akan menambah waktu dan biaya. Demikian halnya dari sudut pandang materi mediasi yang menginginkan adanya penyelasian dengan bantuan pihak ketiga, sementara dalam bentuk perceraian di atas, penyelesaian yang diinginkan oleh para pihak adalah putusanya perkawinan mereka dan tidak ada pilihan lain. <br />V. Kesimpulan<br />Dari beberapa uraian di atas, sampailah pada beberapa kesimpulan berikut ini: <br />1. Mediasi sebagai bagian dari hukum acara, sangat diperlukan untuk menyelesaikan perkara perdata. Demikian halnya dengan perkara perceraian dengan kumulasi gugatan lainnya, mediasi diperlukan untuk menentukan tawaran nilai, atau bentuk gugatan materi/immateri lainnya dalam kumulasi gugatan tersebut. <br />2. Dalam perkara perceraian tanpa kumulasi, hakim dapat menerapkan salah satu dari mediasi atau hakam dengan tetap mengakomodir nilai-nilai dari yang lainnya (seperti memberlakukan mediasi dengan memperhatikan nilai-nilai hakam maupun sebaliknya). <br />3. Untuk perkara perceraian di mana kedua pihak sama-sama menginginkan perceraian, hakim akan lebih baik untuk melanjutkan proses persidangan tanpa harus melalui proses mediasi untuk mewujudkan penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah (konsideran PERMA) <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Daftar Pustaka<br /><br /><br />Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta, Yayasan Al Hikmah, 2001. <br /><br />Denaldy Mauna, Mediator Skill Refarming And Quiwtioning In Practice, Jakarta, 2004.<br /><br />Gede Widhiana Putra, Mediasi, Jakarta, 22-Mei-2006.<br /><br />Hasanuddin AF, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit, Pustaka al-Husna Baru, Jakarta, 2004.<br /><br />John Wade, Sekitar Mediasi, MARI, Jakarta, 2004.<br /><br />M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, Pustaka Karini, Jakarta, 1997.<br /><br />Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung RI No: 01 Tahun 2008, Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, 2008.<br /><br />Soeharto (Ketua Steering Komite Perma Nomor 2 Tahun 2003), Pelatihan Mediator Dalam Menyangbut Penerapan PERMA court annexed dispute resolution, MARI, 2004.<br /><br />Wahyu Widiana, Mengenai Mediasi, www.badilag.net, 2008.<br /><br />Wahyu Widiana, Upaya Penyelesaian Perkara Melalui Perdamaian Pada Pengadilan Agama Kaitannya Dengan Peran BP4, Makalah disampaikan pada Rakernas BP4 di Jakarta, 15 Agustus 2008.abulumam albantanyhttp://www.blogger.com/profile/04217284884180986248noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3924512155295201119.post-273575239114596002010-05-21T08:22:00.000-07:002010-05-21T08:24:26.755-07:00Syar’u man qablana<br /><br /> <br /><br />Dosen pengampu : Prof. Dr. Nurol Aen, MA<br />Abdul Muher<br />220940001<br /><br /><br /><br /><br />PROGRAM PASCA SARJANA<br />UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG<br />KONSENTRASI HUKUM ISLAM<br />2010<br />1. Definisi Syar’u man Qoblana<br />Yang dimaksud dengan syar'un man qablana, ialah:<br /><br /><br />Hukum syariat orang-orang (umat) yang sebelum kita.<br />Syar'un man qablana adalah syari'at yang dibawa para rasul dahulu, sebelum diutusnya Nabi Muhammad yang menjadi petunjuk bagi kaum yang mereka diutus kepadanya, seperti syari'at Nabi Ibrahim , syari'at Nabi Musa , syari'at Nabi Daud , syari'at Nabi Isa , dan sebagainya. <br />Para ahli ushul fiqh membahas persoalan syari’at sebelum Islam dalam kaitannya dengan Syari’at Islam, apakah hukum-hukum yang ada bagi umat sebelum Islam menjadi hukum juga bagi Umat Islam. Para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa seluruh syari’at yang diturunkan Allah sebelum Islam melalui para Rasul-Nya telah dibatalkan secara umum oleh Syari’at Islam. Mereka juga sepakat mengatakan bahwa pembatalan syari'at syari'at sebelum Islam itu tidak secara menyeluruh dan rinci, karena masih banyak hukum hukum syari'at sebelum Islam yang masih berlaku dalam syari'at Islam, seperti beriman kepada Allah, hukuman bagi orang yang melakukan zina, hukuman qishash dan hukuman bagi tindak pidana pencurian. Ada pula syari'at umat yang dahulu itu sama namanya, tetapi berbeda pelaksanaannya dengan syari'at Nabi Muhammad , seperti puasa (lihat surat al-Baqarah: 183), hukuman qishash (lihat surat al-Mâidah: 32) dan sebagainya.<br />2. Dasar Hukum Syar’u man Qoblana <br />Pada asas syariat yang diperuntukkan Allah bagi umat-umat dahulu mempunyai asas yang sama dengan syari'at yang diperuntukkan bagi umat Nabi Muhammad , sebagaimana dinyatakan pada firman Allah : <br /> <br />"Dia (Allah) telah menerangkan kepadamu sebagian (urusan) agama, apa yang Ia wajibkan kepada Nuh dan yang Kami wajibkan kepadamu dan apa yang Kami wajibkan kepada Ibrahim, Musa dan lsa, (yaitu) hendaklah kamu tetap menegakkan (urusan) agama itu dan janganlah kamu bercerai berai padanya..." (Asy-Syûra: 13)<br /><br />Di antara asas yang sama itu ialah yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang hari akhirat, tentang qadla dan qadar, tentang janji dan ancaman Allah dan sebagainya. Mengenai perinciannya atau detailnya ada yang sama dan ada yang berbeda, hal ini disesuaikan dengan keadaan, masa dan tempat. <br />3. Pembagian Syar’un Man Qablana<br />Sesuai dengan ayat dalam Al Qur’an Surah Asy Syura : 13 di atas, kemudian dihubungkan antara syari'at Nabi Muhammad dengan syari'at umat-umat sebelum kita, maka ada tiga macam bentuknya, yaitu:<br />1. Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita; tetapi Qur'an dan Hadits tidak menyinggungnya, baik membatalkannya atau menyatakan berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad . Untuk bentuk pertama ini, ada ulama yang menjadikannya sebagai dasar hujjah, selama tidak bertentangan dengan syari'at Nabi Muhammad .<br />2. Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian dinyatakan tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad . Para ulama tidak menjadikan bentuk kedua ini sebagai dasar hujjah<br />3. Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian Qur'an dan Hadits menerangkannya kepada kita. <br />Para ulama berbeda pendapat tentang bentuk ketiga ini. Sebagian ulama Hanafiyah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian ulama Syafi'iyah dan sebagian ulama Hanabilah berpendapat bahwa syari'at itu berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad . Berdasarkan inilah ulama-ulama Hanafiyyah menetapkan hukuman qishash kepada seorang muslim yang membunuh kafir dzimi. Mereka menetapkan hukum itu berdasar ayat 45 Surat aI-Mâidah. Sebagian ulama lain menetapkan bahwa dalam hal hokum semacam ini tidaklah menjadi hukum bagi kita, karena perincian syariat yang telah lalu tidaklah merupakan hukum yang bersifat umum yang mashlahah untuk setiap waktu dan tempat, hanya syariait islamiyyah yang berlaku bagi setiap waktu dan tempat dibawa oleh Nabi Muhammad , hal ini dikuatkan oleh firman Allah QS.2:143.<br /> ”Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu umat yang pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) mu. Dan kami tidak menjadikan kiblat yang engkau menghadap kepadanya (Baitil Maqdis), melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik atas kedua tumitnya (membelot). Dan sungguh (perpindahan kiblat) itu terasa berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia”.<br /><br />Pembagian Syar’u Man Qablana dan contohnya :<br />1. Ajaran agama yang telah dihapuskan oleh syariat kita (dimansukh). Contoh : Pada syari’at nabi Musa As. Pakaian yang terkena najis tidak suci. Kecuali dipotong apa yang kena najis itu. <br />2. Ajaran yang ditetapkan oleh syariat kita. Contoh : Perintah menjalankan puasa.<br />3. Ajaran yang tidak ditetapkan oleh Syari’at kita.<br />a. Yang diberitakan kepada kita baik melalui al-Qur'an atau as-Sunnah, tetapi tidak tegas diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada umat sebelum kita.<br />b. Yang tidak disebut-sebut (diceritakan) oleh syari'at kita<br /><br />4. Nasikh Mansukh dan pendapat para ulama dalam Syar’un Man Qablana<br /><br />Persoalan yang dibahas para ulama ushul flqh dalarn masalah syar'u man qablana adalah mengenai status hukum syari'at sebelurn Islam dalam kaitan¬nya dengan sebelum dan sesudah Rasulullah diutus menjadi Rasul. <br />Apakah Rasulullah . sebelum diutus menjadi Rasul terikat dengan hukum hukum syari'at sebelum Islam?<br />Dalam menanggapi masalah ini terdapat perbedaan pendapat. Jumhur Mutakallimin (ahli kalarn) dan sebagian ulama Malikiyyah mengatakan bah¬wa Nabi Muhammad . sebelum diutus menjadi Rasulullah, tidak terikat dengan syariat sebelum Islam. Alasan mereka adalah apabila Rasulullah . sebelurn menjadil Rasul terikat dengan syari'at syariat sebelum Islam, maka akan ada dalil yang menunjukkan hal itu. Dari penelusuran terhadap ke¬hidupan Nabi Muhammad , menurut mereka, tidak ditemukan dalil yang menegaskan bahwa beliau terikat dengan syari'at sebelum Islam.<br />Ulama Hanafiyyah, Hanabilah, ibn al Hajib (570 646 H/1 174 1248 M ahli ushul fiqh Maliki) dan al Baidhawi (w. 685 H/1286 M./ahli ushul fiqh Syafi’i), mengatakan bahwa Rasulullah . sebelum menjadi Rasul terikat dengan syariat sebelurn Islam. Alasan mereka adalah:<br />a. Setiap Rasul Allah diseru untuk mengikuti syari'at rasul rasul sebelumnya. Nabi Muhammad juga termasuk ke dalam seruan ini.<br />b. Banyak sekali riwayat yang menunjukkan bahwa Muhammad sebelum menjadi rasul telah melakukan perbuatan/amalan tertentu yang sumbernya bukan akal semata, seperti ia melaksanakan shalat, haji,.umrah, mengagungkan Ka'bah dan thawaf di sekelilingnya dan menvembelih binatang.<br />Imam al Ghazali, al Amidi,' dan 'Abdul Jabbar (ulama Mu'tazilah), bersikap tawaqquf (tidak berkornentar) terhadap permasalahan ini, karena tidak adanya dalil yang pasti dalam. masalah ini. Menurut mereka, apabila ada alasan dari nash (ayat atau hadits) yang menunjukkan bahwa Muhammad saw. terikat dengan hukum tertentu, maka mereka terima. Apabila tidak ada dalil yang menerangkannya, maka mereka tidak mengambil sikap.<br />Apakah syari'at sebelum Islam mengikat bagi Rasulullah setelah menjadi Rasul dan mengikat juga bagi umat Islam?<br />Dalam masalah ini para ulama sepakat mengatakan bahwa untuk masalah aqidah, syari'at Islam tidak membatalkannya. Kepercayaan dan keyakinan kepada Allah sejak zaman Nabi Adam berlaku sampai sekarang. Demikian juga dalam masalah hukuman pencurian, perzinaan, pembunuhan, dan keka¬firan. Hukum hukurn. syari'at sebelurn Islam yang tidak terdapat dalam ¬Qur'an dan sunnah tidak menjadi syari'at bagi Rasulullah dan umat¬nya.<br />Adapun hukum hukum syari'at sebelum Islam yang ada ketegasan berlakunya bagi umat Islam dalarn Qur'an, para ulama fiqh sepakat mengata¬kan bahwa hukum hukum itu berlaku dan mengikat bagi umat Islam, se¬perti puasa dan penyembelihan binatang. <br />Selain itu, terdapat hukum hukum yang tercantum. dalam Qur'an, tetapi tidak ada ketegasan berlakunya bagi umat Muhammad , namun diketahui secara pasti bahwa hukum itu berlaku bagi umat sebelum Islam dan tidak ada pembatalan dari Qur'an atau Sunnah Rasul. Mengenai masalah ini terdapat perbedaan pendapat. MisaInya, persoalan qishash dalam syari'at Yahudi yang dipaparkan dalam al Qur'an surat al Maidah, 5: 45:<br /><br /> <br />“Dan Kami telab tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwa jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishashnya”.<br />Menurut jurnhur Ularna yang terdiri atas ularna Hanafiyyah, Malikiyah, sebagian ularna Syafi’iyyah dan salah satu pendapat Imarn Ahmad ibn Han¬bal menyatakan bahwa apabila hukum hukum syari'at sebelurn Islam itu di¬sampaikan kepada Rasulullah melalui wahyu, yaitu Qur'an, bukan melalui kitab agarna mereka yang telah berubah, dengan syarat tidak ada nash yang menolak hukum hukum itu, maka urnat Islam terikat dengan hukum hukum itu. Alasan yang mereka kemukakan adalah:<br />a. Syari’at sebelurn syari’at Islam itu juga syari'at yang diturunkan Allah dan tidak ada indikasi yang menunjukkan pembatalan syari'at tersebut, karenanya Umat Islam terikat dengan syari'at itu. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat Al An’aam (6): 90:<br /> <br />“Mereka itulah orang orang yang telah diberi petunjuk oleb Allab, maka ikutilah petunjuk mereka...<br />Dalam ayat lain Allah berfirman,<br /> <br />“Kemudian Kami wabyukan kepadamu (Muhammad). Ikutilah Agama Ibra¬him yang hanif.. (Q.S. al Nahl, 16: 123)<br />Kedua ayat ini, menurut jurnhur ularna, merupakan alasan yang amat jelas menunjukkan bahwa urnat Islam terikat terhadap syari'at sebelum Is¬lam yang disarnpaikan kepada Rasulullah melalui wahyu (al Qur'an). Dalarn ayat lain Allah berfirman untuk mengikuti syari'at Nabi Nuh , yaitu:<br /> <br />“Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang apa yang telah disyari'atkan¬Nya kepada Nuh dan kepada yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrabim, Musa, dan Isa, yaitu tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecab belah karenanya.. (Q.S. As Syura 42:13)<br />Ayat lain yang dikemukakan Jumhur sebagai alasan adalah surat Maidah, 5: 44 45.<br /> <br /> <br /><br />“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat yang di dalamnya (berisi) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh Nabi-nabi yang menyerahkan diri (kepada Allah), dan (demikian juga) orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara Kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. (Sebab itu) maka janganlah kamu takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada-Ku, dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga sedikit. Dan barang siapa yang tidak memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir. Dan kami telah menetapkan atas mereka di dalamnya (Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka pun ada qisasnya. Barang siapa yang melepaskan (hak qisas) nya, maka itu menjadi tebusan dosa baginya. Dan barangsiapa yang tidak memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang yang zalim”.<br /><br />b. Mereka juga beralasan kepada sabda Rasulullah berikut:<br /> <br />Siapa yang tertidur dan 1upa untuk salat, maka kerjakanlah shalat itu ketika ia ingat/bangun, kemudian Rasulullab membacakan ayat: “Kerjakanlah shalat itu untuk mengingat Ku (HR, al Bukhari, Muslim, al Tirmidzi, al Nasa'i dan Abu Daud)<br />Menurut jurnhur ularna, ayat yang dibacakan Rasulullah dalam sabda beliau itu merupakan ayat yang ditujukan kepada Nabi Musa. Ularna Asy'ariyyah, Mu'tazilah, Syi'ah, sebagian ularna Syafi’iyyah dan salah satu pendapat Imarn Ahmad ibn Hanbal (164 241 H/780 855M) mengatakan bahwa syari'at sebelurn Islam tidak menjadi syari'at bagi Rasu¬lullah dan umatnya. Pendapat ini juga dikemukakan Imam al Ghazali, al Amidi, Ibn Hazm al Zahiri (384 456 M/994 1064 M) dan Fakhruddin al ¬Razi (544 606 H/1150 1210 M). Alasan mereka adalah:<br />1. Ketika Rasulullah mengutus Mu'az ibn Jabal untuk menjadi qadi ke Yaman, Rasulullah bertanya kepadanya:<br /> <br />“Bagaimana engkau menetapkan bukum? Muaz menjawab: “Dengan Kitabullah, jika tidak ada dalam Kitabullah, dengan sunnah Rasulullah, dan apabila dalam sunnah Rasuludah juga tidak ada, maka saya akan ber-ijtibad. "Rasulullah memuji sikap Muaz ini. (HR al Bukhari dan Muslim)<br />Dalam kisah ini Rasulullah tidak menganjurkan kepada Mu'az untuk merujuk syari'at sebelum Islam. Apabila syari'at sebelurn Islam menjadi syari'at bagi umat Islam, paling tidak Rasulullah akan menganjurkan Mu'az untuk merujuknya apabila hukum yang ia cari tidak terdapat dalarn al Qur'an atau Sunnah Rasulullah .<br />2. Firman Allah dalam surat al Maidah, 5: 48:<br /> <br />“Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al Quran) kepadamu dengan (membawa) kebenaran, yang membenarkan terhadap apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan yang menjaga atasnya (batu ujian terhadap Kitab-kitab yang lain), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka menurut apa yang Allah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan (meninggalkan) kebenaran yang telah datang kepadamu. Bagi tiap-tiap umat diantara kamu, Kami telah menjadikan peraturan dan jalan yang terang, dan sekiranya Allah menghendaki niscaya Dia menjadikan kamu satu umat saja, akan tetapi Dia hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, (karena itu) maka berlomba-lombalah kamu berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah tempat kembalimu semua, lalu Dia memberitahukan kepadamu tentang apa yang kamu perselisihkan dalam urusan itu”.<br /><br />Maksudnya setiap urnat mempunyai syari'at sendiri dan suatu umat tidak dituntut untuk mengambil syari'at umat lain.<br />3. Syari'at Islam merupakan syari' at yang berlaku untuk seluruh umat rnanu¬sia, sedangkan syari'at umat sebelum Islam hanya berlaku bagi kaum tertentu. Dalarn sabda Rasulullah . dikatakan:<br /> <br />“Para Nabi diutus kbusus untuk kaumnya dan saya diutus untuk seluruh ummat manusia.” (HR. al Bukhari, Muslim dan al Nasa'l)<br />Mushthafa al Bugha (guru besar ushul fiqh Universitas Damaskus, Syria), mengemukakan bahwa apabila diperhatikan ketiga pendapat di atas maka secara prinsip, hukum hukum syarl'at sebelurn Islam tidak dapat di¬jadikan sebagai daill dalarn menetapkan hukum Islam, karena sekalipun ula¬ma yang menerimanya menetapkan syarl'at sebelum Islam bisa dijadikan alasan untuk menetapkan hukum syara', namun mereka tetap mengatakan hukum hukum itu harus terdapat dalam al Qur'an dan Sunnah Rasulullah, sebagai sumber utama hukum Islam. Sumber lainnya pun harus mcrujuk kepada al Qur'an dan Sunnah. Oleh sebab itu, menurut al Bugha, pendirian Jumhur Ulama ini bukanlah suatu yang harus dipersoalkan, karena apabila ada nash nya dalam al Qur'an atau dalam Sunnah, maka secara otomatis hukum hukum itu wajib dilaksanakan umat Islam. Perbedaan pendapat ini hanyalah perbedaan dalam ungkapan saja, karena hukum hukum yang dise-butkan seperti hukuman pembunuhan, pencurian, perzinaan dan hukum puasa merupakan hukum yang berlaku dalam Islam dan wajib dilaksanakan umat Islam. <br />Muhammad Abu Zahrah, menyatakan apabila syari'at sebelum Islam itu dinyatakan dengan dalil khusus bahwa hukum hukum itu khusus bagi mere¬ka, maka tidak wajib bagi umat Islam untuk mengikutinya. Tetapi, apabila hukum hukum itu bersifat umum maka hukumnya juga berlaku umurn bagi seluruh umat, seperti hukuman qishash dan puasa yang ada dalam al Qur'an. <br />5. Kesimpulan<br />Adanya perbedaan pendapat mengenai legalitas syar’u man qoblana untuk dijadikan dalil dan sumber hukum Islam tidaklah membuat para ulama saling merasa diri mereka benar dan melecehkan argumen ulama lainnya yang tidak sependapat, semakin banyak perbedaan menunjukkan bahwa manusia benar-benar dikaruniai akal yang luar biasa. Tiap ulama memiliki hujahnya masing-masing yang sama-sama kuat. Semoga kita dalam menyoroti dalil yang masih diperselisihkan ini juga berpandangan secara objektif tidak subjektif, segala ilmu berumber dari Allah, dan yang paling mengetahui akan kebenarannyapun hanya Allah. Bila dalil Syar’u man Qoblana mendatangkan manfaat dan kebaikan niscaya tidak ada salahnya kita mempergunakannya dan mengamalknannya. Wallahu a’lam.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Daftar Pustaka<br />Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, penerbit dunia aksara, Jakarta, 2009.<br />Nasrun Harun, Sumber dan Dalil Hukum Islam, PT. Logos Wacana Ilmu, Cet. II Rabi’ul Awal 1418 H/Agustus 1997 M.<br /><br />Muhammad Abu Zahrah, Ushul al Fiqh<br /><br />Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, Grafindo Persada, Jakarta,1994. <br /><br />A Dzazuli dan I.Nurol Aen, Ushul Fiqh (metodologi hukum islam), Grafindo Persada, Jakarta, Cet Pertama, 2000<br />wwwCybermQ, Pustaka Islam, 2007abulumam albantanyhttp://www.blogger.com/profile/04217284884180986248noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3924512155295201119.post-25568665960750038782010-05-21T08:18:00.000-07:002010-05-21T08:19:31.386-07:00sejarah hukum islamMEMBEDAKAN ANTARA ARAB DAN AJAM <br />Oleh : A. Muher<br />Orang Romawi (Romania) memandang dan menyebut orang selain mereka dengan "Barbar". Demikian pula orang Arab sebelum Islam sangat membanggakan diri dan menyebut orang selain mereka dengan sebutan Ajam (non¬Arab). Ajam adalah lawan Arab. Bentuk single dari kata Ajam adalah Ajamiy dan dalam bahasa orang Arab ajmah, sedangkan kata al Ajma' ber~rti binatang (al Bahimah). Sementara kata al A'Jam berarti orang yang tidak fasih dan jelas bicaranya meskipun ia sendiri berasal dari Arab. Setiap orang yang tidak mampu berbicara sama sekali disebut AYam dan Mustajam. Orang Arab menyebut seseorang yang tidak mengerti dan tidak marnpu berbicara dengan bahasa mereka dengan Ajam. AI Farra' mengatakan, bahwa al¬AJ*am adalah orang yang gagap hsannya meskipun ia berasal dari Arab, sementara al Ajamiy berarti orang yang memang asalnya bukan Arab (al Ajam). Dalam sebuah puisi dikatakan: la kasihan padanya atas sedikitnya kegembiraan Sebagaimana sekelompok orang orang Yaman kasihan pada seorang penggembala Habsyi (a'j*am) yang gagap bicara (thamthain) Kata al thamtham berarti orang yang tidak fasih berbicara, sementara kata al ajam (dalam puisi itu) dimaksudkan dengan seorang penggembala Habsyi yang tidak fasih berbicara. Kesuperioritasan orang Arab atas orang selain dirinya semakin terlihat jelas ketika mereka menyebut orang lain itu dengan.."al Ajam". Nama itu juga digunakan unt uk menyebut binatang (al baha'iiii). Seorang perempuan non Arab disebut dengan Ajma', sementara binatang juga disebut dengan Ajma'. Kebanggaan dan kesombongan orang Arab atas jenis keturunan selain dirinya telah melampaui batas, yaitu menolak hubungan perkawinan dengan orang non Arab, sekalipun ia scorang raja yang memakai mahkota. Sebagaimana diketahui, bahwa salah satu sebab terjadinya peperangan antara Persia dengan Arab yang terkenal dengan perang " Yaum Dzi Uqar", adalah karena Wman menolak untuk menjalin hubungan perkawinan dengan Kaisar yang telah mengirim seorang utusan kepadanya dengan seraya mengatakan: "Kaisar butuh seorang perempuan buat diri, anak, dan keluarganya. la meminta kemuliaanmu untuk menjalin hubungan perkawinan dengannya", lalu Wman membalas: "Bahwa yang dicari Raja tidak ada padaku". Dalam perang itu, orang Arab mendapat kemenangan atas Persia, dan itu sekaligus merupakan awal dari kesadaran nasionalisme yang dimiliki orang Arab. Para penyair Arab sangat membanggakan kemenangan itu dan melantunkannya dalam bait bait puisi mereka. A'sya Qois misaInya, menjelaskan dalam puisinya bagaimana mereka (orang Persia) menyerang: "Telinga orang orang Ajam itu memakai anting anting". Kata al nithaf dalam puisi itu dimaksudkan dengan anting anting (al iqrath). Qois tidak mengatakan Persia karena kata "al A'ajim" digunakan untuk menyamakan mereka dengan binatang binatang ternak (al¬hayawanat al ajtna'), karena mereka memakai anting anting di telinganya sebagaimana kaum perempuan yang kaya. Sebagian kaum kafir Quraisy menduga, bahwa nabi Muhammad Saw. pemah duduk di sebelah (belajar pada) sescorang untuk mendapatkan berbagai informasi yang kemudian beliau formulasikan dalam bentuk ayat ayat dan surat surat dalam al Qur'an. Identitas orang itu, nama, jenis, bahasa dan agamanya masih dalam perdebatan: Sebagian mengatakan, ia adalah seorang Nasrani yang bemama Jabar, seorang budak bani Khadlrami; Ada yang mengatakan, bahwa ia adalah seorang tukang besi yang bemarna BaYarn yang sedang membaca kitab Taurat; Ada lagi yang mengatakan, bahwa ia adalah Wisy, seorang anak dari Bani Mughirah yang membaca kitab kitab Ajam; Sementara sebagian yang lain mengatakan, bahwa ia adalah dua orang anak Nasrani, penduduk Ain al Tamr, yang satu bernarna Yasar dan satunya Jabar. APTsa'labi mengatakan, bahwa kedua anak itu bernama Nabat yang dijuluki dengan Abu Fakihah, dan Jabar yang membaca kitab Injil dan Taurat. AI DIahak berpendapat, bahwa anak itu adalah Salman al Farisi, dan pendapat ini jauh dari kebenaran karena ia tidak pernah bertemu dengan nabi Saw. Kecuali di kota Yatsrib (Madinah). Pertemuan nabi dengan seseorang itu disebut ketika turunnya ayat ke 103 dari surat al Nahl, "Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata: "sesungguhnya al Qur'an itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhaininad)". Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya adalah bahasa Ajam. Sedangkan AI Qur'an ini adalah bahasa Arab yang jelas". Maksud dari lisan seorang laki laki (dalam ayat itu) adalah bahasanya, yakni bahasa seorang laki laki sebagaimana yang dituduhkan oleh kaum kafir Quraisy bahwa ia telah mengajari nabi Muhammad Saw bahasa Ajam. Dalam surat Fusshilat dinyatakan "apakah ia (al¬Qur'an) berbahasa Ajam dan bahasa Arab?", dan surat al¬Syu'ara', "andaikan Kami menurunkannya (al Qur'an) pada sebagian orang orang Ajam". Sebagaimana telah saya sebutkan, bahwa Salman al Farisi tidak setuju untuk menjalin hubungan perkawinan dengan Umar bin al¬Khattab meskipun ia seorang yang mulia dan dicintai oleh Nabi Saw., serta menurut beliau ia termasuk ahlul bait. Sebabnya adalah jelas, sebagaimana sudah saya jelaskan, yaitu bahwa sebuah atsar telah menyatakan, '13ahwa budak bukan bandingan orang Arab", hadis nabi menyatakan "melukai al ajma'merupakan [perbuatanj perkasa", kata al¬ajma' di sini artinya binatang (al bahimah). Dan hadits nabi Saw. juga mengatakan: "shalat siang hari adalah ajma` yakni suaranya tidak boleh keras. Sikap mernbeda bedakan antara orang Arab dengan Ajam terus berlangsung. Pemerintahan Abbasiah direndahkan oleh para musuh musuhnya dengan sebutan "negara Ajarn" (al daulah al Ajamiyah), karena pernerintahan Abbasiyah tegak di atas pedang orang orang Khurasan yang mana mereka adalah non Arab (a'al'im). Bahkan mayoritas ibu kandung para pen timpin pernerintah Abbasiyah adalah budak budak Ajam (ajamiyat) dan jika mau kalian boleh mengatakan ajmawat. Ibu kandung khalifah al Mansur keturunan Barbar, ibu al Makmun keturunan Persia, ibu al Mahdi keturunan Romawi, ibu al Muqtadir, al Muktafi, dan al Nashir keturunan Turki. Para khalifah Abbasiyah banyak menjadikan menteri dari orang orang Ajam (al a'al*i . m), di antara mereka vang terkenal:<br />"Abu Ayyub Sulaiman bin Mukhlid al Mauriyani, Ya'qub bin Dawud bin Usman bin Thahman, Faidl bin Sholeh bin Kheiroeh, al Barmaki, Fadlal bin Sahal (seorang keturunan Persia Majusi, ayahnya seorang pengikut Zoroaster dari salah satu desa di Kufah, masuk Islam saat khalifah Harun ar Rasyid dan berhubungan dengan keturunan Barmaki)". Dari negara Abbasiyah sebagai negara induk, lahirlah negara negara Ajam, di antaranya: al Thahiriyah di Khurasan, al Shafariyah di Persia, dan al¬Samaniyah di Mesopotamia. Di mata orang Arab, peran yang dijalankan oleh pemerintahan Abbasiyah di dalam kebudayaan Arab Islam tidak dianggap. Khalayak umum di tengah tengah jalan di kota Baghdad memprotes langkah khalifah al Makmun seraya berteriak: "hai pimpinan umat Islam, lihatIah orang Arab Syam sebagaimana anda mehhat orang Ajam Khurasan", sebagai sindiran atas ibu kandtingnya yang berketurunan Persia Ajam. Bahkan anak anak dari kalangan terdidik mengikuti pandangan yang mendiskriminasikan antara orang Arab (al arab) dengan non Arab (al Ajam), Ialu mereka menulis beberapa buku tentang "Kebajikan kebajikan orang AraW' (Manaqib al Arab) dan "Kejelekan kejelekan orang Ajarn" (Matsalib al Ajam). Di antara mereka yang paling terkenal adalah Ibnu Qutaibah yang menulis sebuah buku yang bertajuk "'Melebihkan Orang AraW' (Tafdlil al Arab).11 Apa yang telah saya sebutkan itu bukan merupakan sesuatu yang menakjubkan karena tradisi dan kebiasaart orang Arab sebelum diutusnya nabi Muhammad Saw. terus berlangsung hidup di hati orang (generasi) yang hadir sesudahnya, bahkan senantiasa turun-temurun sampai sekarang.abulumam albantanyhttp://www.blogger.com/profile/04217284884180986248noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3924512155295201119.post-11331204378735575792010-05-21T08:15:00.000-07:002010-05-21T08:18:12.504-07:00sejarah hukum islamPERTANIAN DAN PETANI <br />Oleh : A. Muher <br /><br />Mata pencaharian orang Arab sebelum datangnya Muhammad Saw. (risalah kenabian) adalah datang dari ujung pedang dan tombaknya melalui perampokan~ perampokan yang mereka lancarkan. Bentuk lain dari sarana yang dijadikan untuk mencari rizki adalah merampok dan merampas suku yang menjadi lawan dan sering kali bermusuhan. Mereka mengambil paksa unta¬unta, membunuh istri dan anak anaknya, lalu menjauhkan diri dari suku suku. Demikianlah mereka melakukan sekehendaknya. Seorang penyair bersenandung: Siapa yang takjub akan peradaban Lelaki Baduwi mana yang tidak melihat kami Siapa yang mengikat seekor anak rusa Di tengah kami budak rampasan dan kuda kuda menarik. Lingkungan sekitar telah mendukung penduduk Baduwi untuk hidup tidak menentu (nomaden). Oleh karena itu, mereka menempuh hidup dengan memelihara hewan dan merumput di tempat tempat hijau. Kadang perampasan yang mereka lakukan lewat peperangan dapat dilaksanakan dengan mudah karena jalan menuju ke sana terbuka (jelas). Mereka mengganggu pekerjaarv penduduk kota dan melihatnya dengan penuh sinis karena mereka berkeyakinan bahwa mencari rizki lewat jalan yang seperti itu sangat mudah dilakukan di bidang ini. <br /> Kadang orang Arab dahulu mendapatkan rizki lewat perdagangan, khususnya apa yang (lisebut dengan "kota¬kota kafilah" (mudun al Qawafil) seperti Makkah, atau lewat penjagaan kafilah, dan atau lewat pernbayaran upeti wajib ketika melewati wilayah suku tertentu. Sernua ini dipungut (dihasilkan) oleh para pimpinan atau sesepuh suku (masyayfkh al qabilah). Atau barangkali yang lebih dekat dengan dengan jenis itu adalah lewat al ilaf (perjanjian). Hasyim, paman nabi adalah orang yang paling getol melakukan perjanjian, yang padanya Bani Hasyim bemasab. Perjanjian itu dilakukan supaya kafilah pedagang Makkah secara keseluruhan dapat terhindar dari rintangan dan para lelaki (pengganggu). Itulah al flaf (perjanjian) sebagaimana yang diisyaratkan surat al¬Quraisy dan telah disebut oleh para penyair ketika mernuji Hasyim:<br />Amr sang maha agung, pemberi makan (remukan roti) kepada kaumnya Pengelana di musim dingin dan pelaku perjanfian (al ilaj) Masyarakat Arab sebelum Islam tidak bergantung pada pertanian (al zird'ah) sebagai mata pencaharian kecuali pada tempat tempat tertentu: Thoif, Yatsrib, dan beberapa perkampungan di Yamamah. Penduduk Baduwi (desa) pada umumnya mewajibkan kepada pemilik pertanian untuk membayar upeti, baik sebagai jaminan karena takut diganggu, dirampok, dirampas dan dirusak, atau sebagai imbalan atas penjagaan dari orang lain yang hendak merampok. Barangkali upeti ini merupakan pondasi historis atas apa yang kemudian kita kenal dengan al li'zyah (pajak) yang diwajibkan sebagai ganti dari jaminan pengamanan yang diberikan oleh otoritas penguasa. Jizyah (pajak) tidak wajib kecuali bagi kaum laki laki yang merdeka dan berakal dari ahl al Dzimmah.<br />Orang orang Yahudi dan Nasrani serta mereka yang mengikuti jalannya seperti orang Majuzi, Shobiah dan pengikut Musa Samiri (Samurroh), diharuskan oleh penguasa membayar upeti (jizyah) dan mereka mendapat dua hak:<br />Pertama, penghormatan dan kedua perlindungan: supaya mereka aman dan terjaga. Sementara ada sebagian kedl penduduk yang menekuni pertanian dari kalangan Nasrani di Syarn atau Mesir dan sebagian penduduk kampung di jazirah Arab, yang oleh orang Arab disebut dengan petani Ajam yang kafir (al uluj) bentuk jamak dari kata al ilju. Kata al ilju berarti orang orang Ajam (al¬Ajamiy) yang tidak memeluk Islam, tetapi tetap memeluk agamanya semula. Kata itu (ilju) merupakan perubahan dari kata "ijlu", sebuah kata yang oleh sebagian pengucapnya diartikan dengan ketinggihan dan kekuasaan, dan bagi sebagian orang diartikan dengan kerendahan dan ketidakjelasan. Proses perubahan kata tersebut dalam bahasa Arab telah dikenal, yaitu berubahnya urutan abjad kata tanpa ada perubahan wazan dan artinya, atau memang ada kedekatan makna, n tisalnya saja: kata madaha dan hamida yang berarti memberikan pujian dan perasaan terima kasih, kata jaraha dan haraja yang menunjukkan arti kesempitan (kesulitan) dan sakit, dan kata kabasya dan syabaka: jika dikatakan kabasva al Svaia berarti menggenggam dengan seluruh jari jemari, syabaka al syai'a berarti menjalin sebagian dengan yang lain, syabaka ashobi'uhu berarti jari jemarinya terjalin menjadi satu. <br />Pandangan terhadap para petani laki laki dan perempuan yang seperti itu telah diwarisi oleh Islam dari masyarakat Arab sebelum Islam itu sendiri datang. Dalam sebuah hadis yang agung dinyatakan "apabila kamu melakukan akad jual beli kuda, mengambil (membeli) ekor sapi, puas dengan bertani, dan meninggalkan jihad, maka Allah akan menguasakan kepadamu kehinaan yang mana Dia tidak akan mencabut kehinaan itu dari kamu sampai kalian kembali ke agamamu". Sementara pada saat yang sama beliau mendorong untuk memelihara kambing, dan menguatkan bahwa ia (memelihara kambing) membawa berkah. Rasulullah Saw. bersabda: "memeliharalah kambing karena ia (membawa) berkah". Dalam sebuah Atsar dinyatakan: "tidak ada seorang nabi kecuali ia memelihara kambing". AI Bukhori menambahkan: "mereka bertanya: sedangkan engkau wahai Rasulullah? Ialu nabi menjawab: aku menggembalakannya (kambing) milik penduduk Makkah dengan upah satu dinar untuk setiap ekor".<br />Membanggakan kambing merupakan sikap yang sudah dikenal sejak zaman dahulu sebagaimana yang ditunjukkan dalam puisi kasidah yang digubah oleh tokoh¬tokoh penyair ternama seperti Imri'il Qais. AI Manawi berpendapat, bahwa mazhab empat sepakat bahwa barang siapa menggembala kambing maka ia akan terhormat sebab nabi Muhammad Saw. sebelum diangkat menjadi riabi telah menggembala kambing. <br />Pandangan terhadap para petani yang seperti itu terus berlangsung sebagaimana dalam beberapa corak sebagai berikut:<br />Para penduduk Bani Hanifah, sebelum Islam, salah satu suku yang langka, telah bekerja menggarap pertanian karena memang tempat yang mereka huni sangat subur dan tanah nya cocok untuk pertanian. Suku suku yang lain memandang rendah kepada penduduk Bani Hanifah dengan penuh kedengkian karena kemakmuran dan kebahagiaan yang ada padanya. Jarir al Khatfi mengejek Bani Hanifah dengan puisinya:<br />Kalian lihat Bani Hanifah ketika mereka mengembalakan binatang piaraannya Bani palingjelek yang membangun kemuliaan adalah Bani Hanifah Anak anak kurma, pagar, dan kebun Pedang mereka adalah kayu yang bersekop Memutus permusuhan dan merawat pohon kurnw adalah tradisi mereka Melangkah namun usahanya tetap tidak dapat Melampauinya. <br /> Di sini, kita bisa melihat sang penyair Jarir al Khotfi mendeskripsikan bahwa Bani Hanifah bercocok tanam (bergelut dengan pertanian) dan karenanya mereka tidak n tendapatkan kemuliaan. Usaha mereka tidak lebih dari sekedar memperhatikan (memelihara) pohon kurma, pertanian, dan sarang tawon. Sebagai ganti dari pedang yang dijadikan alat oleh suku suku lain, mereka menggunakan sekop. Sebagaimana yang telah kami sebutkan, bahwa di dalam sebuah hadis yang agung dinyatakan "apabila kamu rela dengan bertani" dan "mengambil ekor sapi" maka akan mendapatkan kehinaan. <br /> AI Jahidz menjelaskan, bahwa motivasi orang Arab dalam memandang Bani Hanifah seperti itu adalah kedengkian karena mereka (Bani Hanifah) hidup penuh kecukupan, kenikmatan dan kebahagiaan. Menurut kami, penjelasan seperti itu tidak menggigit clan lemah karena para penggede pedagang Makkah misaInya saja hidup dalam serba kecukupan, dan bersama.an. dengan itu kami tidak melihat seorang penyair pun ada yang mengejeknya (Bani Hanifah). Menurut kami, ejekan al Khotfi dan yang lain merupakan pandangan yang telah bersemayam di dalam lubuk hati masyarakat Arab sejak dahulu, yaitu melihat rendah terhadap para petani dan orang orang yang bertani. Peristiwa berikut dapat dijadikan bukti:<br /> Ziyad bin Abi Sufyan adalah seorang wali (gubemur) Irak. la memecat dan menyingkirkan Anas bin Abi Inas dari Khurasan, dan mengalihkannya kepada Khalid bin Abdillah. Yang terakhir ini berasal dari Bani Hanifah yang menurut pandangan tradisional masyarakat Arab¬tidak layak untuk menjadi pimpinan atau mengurusi administrasi pemerintahan, tetapi lebih pas bercocok tanam dan bertani. Kemudian Anas menggubah sebuah kasidah, mengejek Ziyad dan Khalid:<br />Ingatlah, cukup sampai di sini Kholid Memasukkan surat ke dalam kotak surat (pos) Apakah kamu menyingkirkanku dan memberi makan Kholid SunggA Banu Hanifah telah menemukan apa yang dikehendaki Cukuplah kalian dengan wilayah Yamamah, tanamilah! Para pendahulu dan orang orang yang terakhir dari kamu adalah hamba sahaya<br /> Dalarn bait tersebut Anas menjelaskan tentang pandangan masyarakat Arab masa Ialu, bahwa orang yang "mengikat seekor anak rusa", "mengambil ekor sapi", "memutus permusuhan", "memelihara pohon kurma", dan "sibuk bekerja di sawah dan di dalam pagar" tidak mendapat kebaikan dan mereka akan mendapatkan kehinaan (kerendahan) karena "para pendahulu dan orang orang yang terakhir dari mereka adalah hamba sahaya". Inilah pandangan yang terus berpindah ke dan diwarisi olch Islam. Atau Islam telah menyepakati pandangan orang Arab sebelumnya. Alangkah banyak kesesuaian antara masyarakat Arab dengan Islam.abulumam albantanyhttp://www.blogger.com/profile/04217284884180986248noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3924512155295201119.post-77096694315022970482010-05-21T08:14:00.000-07:002010-05-21T08:15:31.633-07:00sejarah hukum islamAL~QASAMAH<br />Oleh: A. Muher <br /><br />Syeikh Muhammad Ahmad Thonthowi mengatakan,bahwa masyarakat Arab sebelum Islam "telah mengenal aturan al qasamah dan mempraktekkannya di antara sesama mereka". ' Al Qasamah adalah "sumpah yang dilakukan oleh lima puluh orang dari penduduk setempat yang di dalamnya diternukan korban pernbunuhan yang tidak diketahui jelas siapa pembunuhnya, sementara wali dari korban pembunuhan menuntut kepada penduduk. Para penduduk pun bersumpah bahwa mereka sernua tidak membunuhnya dan tidak mengetahui siapa pembunuhnya, Ialu semua penduduk tersebut dikenakan hukuman membayar diyat (denda). Imam Bukhari dalam, kitab Sahihnya pada bab al qasamah meriwayatkan sebuah peristiwa yang menjelaskan, bahwa al qasamah telah dikenal oleh masyarakat Arab sebelum nabi Saw. diutus. Riwayat tersebut adalah: Bahwa seorang laki laki dari Bani Hasyim dipekerjakan oleh seorang laki laki dari suku Quraisy yang berasal dari keturunan lain. Laki laki dari suku Quraisy itu pergi dengan untanya. Lalu seorang laki laki dari Bani Hasyim itu melewatinya sementara tah kendali unta yang dibawanya itu putus dan laki laki itu berkata: "tolong berilah saya besi (igal) yang bisa menguatkan kendah unta ini supaya ia tidak lari". Laki laki dari suku Quraisy itu memberi besi (igal) pengikat kepadanya. Ketika mereka turun, unta unta tersebut diikat dengan igal besi kecuali satu ekor unta saja. Laki laki yang memperkerjakan keturunan Bani Hasyim bertanya: "apa gerangan dengan unta yang satu ini hingga tidak diikat sendiri?" Laki laki dari Bani Hasyim menjawab: "ia tidak memiliki igal besi pengikatnya". "Di mana igal besi pengikatnya?", tanya si ma)lkan Bani Hasyim. Lalu sang majikan (laki laki dari suku Quraisy) memukul laki laki dari Bani Hasyim dengan tongkat hingga ajal menjemputnya. Seorang laki laki berasal dari penduduk Yaman lewat di sebelah korban (laki laki Bani Hasyim yang terbunuh) dan berkata: "apakah saya harus, mengkhabarkan berita terjadinya peristiwa lru. . Iya", sahut laki laki dari Bani Hasyim. Laki laki Bani Hasyim ini melanjutkan perkataanya: "jika engkau. melihat musim, maka panggillah "hai orang orang Quraisy". Jika mereka menjawabmu, maka panggillah *"hai orang orang Bani Hasyim". Jika mereka menjawabmu, maka tanyakan Abu Thalib dan khabarkan kepadanya bahwa seseorang telah membunuhku karena igal pengikat Unta". Si pekerja (laki laki Bani Hasyim) ini pun meninggal dunia. Ketika orang yang mernperkerjakan laki¬laki Bani Hasyim itu pergi, Abu Thalib mendatang laki¬laki dari Yaman dan bertanya kepadanya: "apa yang telah dilakukan oleh saudara kita?" Ia menjawab: "ia sakit Ialu aku merawatnya dengan baik, kemudian aku119 mengubumya". Abu Thalib berkata: "pelaku pembunuhan ini berasal dari (penduduk) kamu?". Orang yang diberi wasiat itu pun diarn sejenak, kemudian ia mendatangi Abu Thalib dan berkata: "aku disuruh oleh seseorang untuk menyampaikan wasiat (khabar berita) kepadamu, bahwa si fulan telah membunuhnya karena igal pengikat Unta". Kemudian Abu Thalib mendatangi si majikan (laki laki dari suku Quraisy) itu dan berkata: "'pilih salah satu diantara tiga! jika mau, bayar seratus ekor unta, karena kamu telah membunuh saudara kami. Jika mau, suruh lima puluh orang dari kaummu bersumpah bahwa kamu tidak membunuhnya. Jika kamu menolak, aku akan membunuhmu". <br />Ketika Islam datang, ia menetapkan hukuman al¬ qasamah. Dalam hal ini Ahmad Amin mengatakan, "Islam telah terbuka atas aturan (hukum hukum) Jahiliyah, dan dengan ungkapan lain terbuka atas tradisi tradisi dan kebiasaan masyarakat Arab di masa fahiliyah. Kemudian Islam menetapkan sebagian dan menjauhi sebagian. Contoh dari tradisi yang ditetapkannya adalah al-qasamah" "Diriwayatkan dari Ziyad bin Abi Maryam, ia berkata: telah datang seorang laki laki kepada nabi Saw., Ialu berkata: hai Rasulullah, aku telah menemukan saudaraku terbunuh di (wilayah) Bani si fulan. Kemudian nabi Saw. berkata: kumpulkan mereka sebanyak lima puluh orang, Ialu sumpahlah atas nama Allah bahwa mereka sernua tidak membunuhnya dan tidak mengetahui siapa pembunuhnya. Orang itu berkata: wahai Rasulullah, saya tidak mempunyai saudara kecuali satu ini. Beliau menjawab: tetapi bagi kamu seratus ekor unta" Hadits tersebut menunjukkan kewajiban al qasamah bagi orang orang yang tertuduh (membunuh). Mereka adalah penduduk setempat. Si penuntut tidak diwajibkan atas al¬qasamah, bahkan tidak wajib pula membayar diyat (denda) kepada mereka yang tertuduh.' Imam Muslim dan al¬Nasa'i meriwayatkan dari seorang laki laki dari kalangan sahabat Rasulullah Saw, bahwa Rasulullah Saw. telah menetapkan al qasamah seperti apa adanya ketika pada masa Jahiliyah, dan behau memutuskan (mempraktekkan) hukuman itu kepada umat manusia dari sahabat Ansar dalarn kasus terbunuhnya seseorang yang melibatkan seseorang Yahudi Khaffiar sebagai tertuduh. Dari sini, jelaslah bahwa al qasamah adalah sejenis pertanggung¬jawaban tindak pidana, baik itu berupa tradisi maupun hukum, yang sudah mapan sebelum munculnya Islam di kalangan masyarakat Arab jazirah, Ialu Islam mengambil dan menetapkannya secara keseluruhan.<br />Mereka juga menetapkan, tidak kurang dan tidak tambah, ukuran diyat (denda) yaitu seratus ekor unta. Sebagaimana yang telah saya jelaskan di muka, bahwa Abdul Muthalib adalah orang pertama yang memberlakukan diyat (denda) pembunuhan sebanyak seratus ekor unta. Kemudian setelah itu tradisi ini menjadi mapan di tengah masyarakat Arab, dan menjadi seperti agama yang dianut. Lalu Islam mengambilnya sebagaimana telah saya katakan sebelumnya bahwa binatang unta menggantikan kedudukan mata uang, karena orang Arab sebelum Islam sangat sedikit yang menggunakan mata uang kecuali para saudagar Makkah. Sebagai.mana telah saya sebutkan, bahwa Dr. Ahmad Fathi al Bahansi., seorang pernikir modem dan spesialis hukum¬hukum pidana Islam, telah memastikan keharusan membayar diyat (denda) dengan binatang unta (secara kontan), dan bahwa barang apapun selain unta seperti uang atau yang lain tidak bisa menggantikannya karena hadits telah menggariskan binatang unta. Di sini, tidak ada ijtihad, bahkan seandainya seorang hakim memutuskan dengan selain binatang unta maka putusannya menjadi batal dan tertolak.<br />Demikianlah pengaruh cukup kuat yang telah ditinggralkan. oleh tradisi tradisi masyarakat Arab sebelum Islam, atau sebagaimana dipaparkan oleh Imam al jauzi bahwa Islam telah menyepakati tradisi mereka.abulumam albantanyhttp://www.blogger.com/profile/04217284884180986248noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3924512155295201119.post-37487380532737617862010-05-21T08:09:00.000-07:002010-05-21T08:11:26.302-07:00Meninta perlindungan (al-istijarah) dan perlindungan (al-jiwar) <br />Oleh : A. Muher <br /> Masyarakat Arab dahulu men dnta perlindungan dan melindungi. Meminta perlindungan jika ia seorang yang lemah dan tidak memiliki penolong, dan melindungi jika ia kuat dan memiliki kekuatan. Apabila dikatakan: fulan dakhala fl jiwdri atau fulan istajara bi, berarti ia telah memberikan perlindungan dan kekuatan yang dapat mengayomi keluarga dan anak~istrinya. Apabila ada seseorang menghujat (memusuhi) orang yang meminta perlindungan (al mustajir), maka berarti orang itu telah merusak perlindungan yang diberikan oleh orang yang melindungi (al mujir) dan memusuhi tetangganya. Dan tidak ada balasan yang pantas kecuali dengan membunuh orang yang memusuhi itu dan menyatakan perang dengan kerabat dekatnya manakala jalan buntu menganga di antara dirinya dengan orang yang mengganggu tetangganya. Contoh seperti itu banyak ditemukan, misaInya:<br />(A) Nu’man pergi secara sembunyi sembunyi hingga sampai pada sebuah tempat dzi qar di Bani Syaiban. Ia bertemu dengan Hard'bin Mas'ud al Syaibani yang konon dikenal dengan sebagai seorang tuan (sayid) yang suka menolong. Nu'man pun meminta perlindungan kepadanya, dan Hani' mengiyakan. Hani' berkata kepadanya: "Keselamatanmu ada padaku. Aku adalah penolongmu sebagaimana aku melindungi diriku, keluargaku, dan anak~anakku, hingga tak tersisa seorangpun dari kerabatku" <br />(B) Ketika Kulaib bin Rabi'ah 440/494 M membubarkan dan mengobrak abrik sekelompok orang Yaman di Khuwzi, Bani MTad berkumpul dan menyatakan sumpah setia kepadanya atas mahkota dan kemulyaannya. Tak satu pun penduduk Bani Bakar dan Thaghlab berani memberikan perlindungan kepada seorang atau bahkan seekor unta kecuah atas perintahnya (raja Kulaib). Kulaib adalah orang yang selalu memberi perlindungan sepanjang hayat sampai sampai jaminan perlindungan itu. tidak akan pernah berhenti (batal). Dia mengatakan: "Binatane, liar bumi itu berada dalam lindunganku, jangan diusik! " Sekawanan unta jassas melewa ti bumi itu. Dalam sekawanan, ada unta betina milik al Basus, bibi fassas. Kemudian Kulaib mencela unta betina tersebut seraya bertanya: "Milik siapa unta. betina ini?" tanya Kulaib. Mereka menjawab: "milik al Basus, bibinya Jassas". Kulaib berkata: "apakah putra Bani Sadiyah itu (yang dimaksud adalah jassas) hendak meminta perlindungan [atas unta itu] tanpa seizinku? Hai si ghulam, buang kantong susunya." Ghulam itu. lalu mengambil busur kemudian inemanah kantong susu unta. betina tersebut hingga air susu dan darahnya campur menjadi satu. Lalu al Basus si pemilik unta betina yang dibunuh melantunkan beberapa bait puisi, ditujukan kepada putra Bani Sadiyah, al Basus (si saudara jassas) dengan suara keras supaya jassas mendengarnya: Hai Bani Sadiyah, jangan menipu dirimu sendiri. Pergilah, sungguh aku berada dalam sebuah kaum yang tak memiliki pelindung. Kulaib seolah olah menyangkal (menampar) Jassas, dan seolah olah ia (jassas) tidak melindungi tetangganya. Ketika jassas mendengar bait itu, ia berkata kepadanya: "diam dan jangan khawatir! Aku akan membunuh unta ~amal) yang lebih besar daripada unta betina. (al naqah) ini. Aku akan memberantas kedengkian." jassas juga hendak membunuh Kulaib itu sendiri. <br />Dalam contoh pertama, kita melihat bahwa Hani'bin Mas'ud as Syaibani ketika meminta perlindungan pada Nu'man, dan Wman pun memberikan perlindungan kepadanya sambil mengutarakin beberapa kalimat yang merupakan perkenalan untuk perlindungan itu sendiri. Adapun contoh kedua tercermin dari kesombongan raja Kulaib. Ia melindungi binatang liar di tengah padang sahara dan jangan sampai ada orang yang mengganggu dan melukainya. Tetapi ia harus membayar hidupnya dengan harga mahal atas kesombongan dan keangkuhannya ketika membunuh unta betina milik al-Basus, bibi jassas. AI Basus sendiri berada dalam perlindungannya Gassas). Ketika al Basus melihat untanya terlempar mati, Kulaib menggugat Jassas dengan melantunkan beberapa bait puisi, bahwa jassas tidak sanggup melindungi orang yang meminta. perlindungan kepadanya. Dengan bait itu, semangat Jassas pun terbakar hingga ia membunuh Kulaib. Peristiwa ini menjadi sebab terjadinya perang yang terkenal, yaitu "perang al Basus" (harb al Basus) yang terjadi selarna empat puluh tahun, antara Bani Bakar dengan Thaghlab.<br />Jadi, memberi dan meminta perlindungan (al jiwdr atau al ijdrah) merupakan tradisi suku (tribal) masa Ialu yang sudah mengakar di dalam suku suku Arab sebelum turunnya wahyu kepada nabi Muhammad Saw. Ketika datang, Islam meminjam tradisi tradisi tersebut. Atau dengan kata lain, Islam sepakat dengan suku suku Arab se elumnya. Tradisi tersebut tertuang dalam teks teks suci, al~Qur'an dan hadis nabi. Ummu Hani' binti Abi Thalib saat berada di sisi Hubairoh bin Abi Wahab al Makhzumi mengatakan: ketika Rasulullah Saw turun (muncul) dalam Fathu Makkah dua orang laki laki dari keluarga iparku dari Bani Makhzum lari (menghadap) kepadaku, Ialu saudaraku Ali bin Abi Thalib menemuiku dan berkata: demi Tuhan, aku akan membunuh kedua laki laki itu dan pintu rumahku tertutup bagi keduanya. Kemudian aku mendatangi Rasulullah Saw., sernentara beliau sedang berada pada sebuah tempat tinggi di Makkah sedang membersihkan diri (mencuci) dari bekas adonan roti dan putrinya Fatimah menutupi beliau dengan bajunya (nabi). Setelah rampung mandi, beliau memakai bajunya dan kemudian shalat Dluha sebanyak delapan rakaat, Ialu beliau menghampiri kami dan berkata: selamat datang Ummu Hani, ada apa? Lalu aku (Ummu Hani') menceritakan tentang kedua lelaki tersebut dan Ali bin Abi Thalib, beliapun Ialu berkata: hai Ummu Hani, aku telah memberi perlindungan kepada orang yang meminta hndungan padaku, dan memberi keamanan kepada orang yang meminta keamanan dariku, maka keduanya jangan dibunuh. Ibnu Hisyam berkata: ke dua laki laki itu adalah al Harits bin Hisyam dan Zuhair bin Umaiyah bin al Mughiroh. <br />Hadis tersebut jelas menunjukkan, bahwa Islam telah inenetapkan perlindungan (al ijdrah atau al jiwdr) meskipun orang yang men tinta perlindungan itu seorang perempuan atau seorang kafir yang tidak memeluk agama Islam.<br />Dalam al Qur'an disebutkan, "'lika seseorang dari kaum musyrik meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia hingga ia dapat mendengarfirman Allah. Kemudian antarlah ia ke tempat yang aman. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengerti Imam. al Qurthubi menafsirkan ayat ini sebagai berikut:<br />"Jika seseorang dari kaum musyrik, yakni di antara orang orang yang Aku (Tuhan) telah memerintah kamu untuk membunuhnya. Meminta perlindungan kepadamu, yakni meminta perlindungan, keamanan, dan jaminan kepadamu, maka berilah perlindungan supaya ia mendengar al Qur'an atau memahami hukum hukum, perintah perintah, dan larangan larangannya. Jika menerima, maka berbuat baiklah kepadanya, tetapi jika menolak, maka kembalikan pada tempatnya yang aman. Ini tidak ada pertentangan. Dan Tuhan Dzat yang Maha Mengetahui. <br /> Maka hal yang berkaitan dengan tradisi perlindungan (al ijdrah atau al jiwdr) yang berpindah ke dalam Islam atau disepakati oleh Islam dari tradisi suku suku di jazirah Arab adalah bahwa orang yang meminta perlindungan meskipun ia seorang musyrik hendaknya diantarkan sampai tempatnya yang aman supaya ia mendengarkan ayat ayat suci al Qur'an yang agung. Atau dapat dijelaskan dengan lebih baik, bahwa Islam menjelaskan hal. itu (si musyrik yang meminta perlindungan). Jika ia menerima Islam, maka ia mendapatkan perlindungan. Tetapi jika tidak mau menerima Islam, maka tidak ada alasan atas kemusyrikannya untuk bersikeras memutus haknya dalam mengantarkannya ke tempat yang aman, yakni mengantarkannya sampai ke tempat tinggalnya yang di dalamnya ia mendapatkan keamanan. jadi, tradisi tribalistik ini dipakai oleh Islam dengan sedikit pengurangan, meskipun secara nyata tidak berubah sama sekali.abulumam albantanyhttp://www.blogger.com/profile/04217284884180986248noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3924512155295201119.post-64200908887756167362010-05-21T08:07:00.000-07:002010-05-21T08:09:21.078-07:00sejarah hukum islamAsal-usul bagian sepersepuluh (al-usyur)<br /> Oleh : A. Muher <br /><br />Suku suku Arab mewajibkan kafilah untuk memberikan upah atau upeti sebagai ganti atas jaminan perlindungan (keamanan) saat mereka melewati wilayahnya. Ini merupakan salah satu jenis pajak (upeti) yang di dalamnya terdapat unsur paksaan, kesewenang¬ wenangan, dan menang menangan, tidak dibayarkan secara suka rela. Kecuali suku Quraisy karena mereka memiliki kehormatan besar. Mereka adalah ahl al bait al~ haram (penduduk Baitul Haram) yang disakralkan oleh masyarakat Arab khususnya, dan pada umumnya oleh suku suku yang di dalarnnya menyebar agama Yahudi dan Nasrani Adapun al ilaf (perjanjian) yang dilakukan oleh Hasyim mungkin dapat ditafsirkan sebagai jenis hadiah simbolik yang diberikan kepada pernimpin suku setempat yang dilalui oleh kafilah tanpa tekanan, paksaan, dan keharusan sedikitpun. Bahkan sejenis pemberian untuk menyenangkan hati. Dan barangkali kata al ilaf itu sendiri<br />menunjukkan arti itu. Upeti atau pajak yang diberikan oleh kafilah dagang suku suku sebagai jaminan perlindungan merupakan sumber penghasilan hidup. Oleh karena itu,<br /><br />"Kaisar Anuchrouan mengirim kayu bahan pembuat uang dan anak panah (yang diangkut dengan unta) kepada bawahannya di Yaman. Rombongan Kaisar ini dikawal sejak dari Madain sampai bertemu dengan Wman bin al Mundzir di Hirah. Wman mengawaInya mulai dari wilayah Bani Rabi'ah sampai ke Haudzah bin Ali al Hanafi di Yamamah. Lalu ia mengantarkan dan mengawaInya sampai keluar dari wilayah Bani Hanifah. Kemudian rombongan itu sampai ke Bani Tamim dan mereka membayar upeti kepadanya. Upeti tersebut merupakan upah atas jasa pengawalan yang telah diberikan, sehingga rombongan kafilah dapat melewati wilayah itu sampai tiba di Yaman. Kemudian barang kiriman itu diserahkan ke bawahan Kaisar di sana.<br />Ketika Kaisar mengutus rombongan kafilah dan rombongan tersebut sampai di Yarnamah, Haudzah bin Ali berkata kepada asawir (para panglima tentara kerajaan Persi yang mengawal kafilah): "Pertimbangkanlah apa yang akan kalian berikan kepada Bani Tamim. Maka berikan kepadaku. Aku akan menjamin keamanan kalian dari mereka, dan aku akan ikut bersama kalian melintasi wilayahnya hingga kalian sampai ke tempat tujuan. Kemudian Haudzah, para asawir dan kafilah meninggalkan Hijir, sebuah wilayah di Bahrain. Ketika sampai di Nitho', sebuahjurang di Yarnamah, Bani Tarnim mengetahui apa yang dilakukan oleh Haudzah. Mereka Ialu menyerangnya.<br />Merekapun (Bani Tan tim) (a) merampas harta bawaan dan membagi bagikannya, (b) membunuh sernua panglima tentara dan menyalibnya, (c) membebaskan Haudzah bin Ali, Ialu Haudzah membeli dirinya dengan 300 ekor unta. Bani Tamim bergegas menuju ke Hijir bersama sama Haudzah mengambil tebusan. <br />Dalam peristiwa tersebut, kita melihat bahwa kafilah adalah milik Kaisar Imperium Persia dan dikawal oleh para panglima tentara. Adapun Haudzah bin Ali adalah seorang pimpinan, konon ia adalah seorang raja Bani Hartifah. Ketika Bani Tamim berkeyakinan bahwa mereka (rombongan Kaisar) telah meremehkan haknya dan membayarkan upeti kepada selain mereka. Maka Bani Tamim tidak peduli pada Kaisar, para panglima tentara Persia, dan juga pada Haudzah bin Ali. Kemudian mereka mertyerang (menaklukkan) semua kafilah, membagi bagi harta bawaannya, mencincang dan menyalib semua panglima, serta membiarkan raja penduduk Hunaifah sampai ia menebus dirinya dengan tebusan yang sangat besar. Semua itu menunjukkan kepada kita, bahwa keharusan para saudara untuk membayar upeti (al ju'alah) atau imbalan (al ajr) ketika melewati sebuah wilayah suku bersama sama dengan kafilahnya merupakan tradisi yang sudah mapan di kalangan suku suku Arab sebelum Islam. Oleh karena itu, Imam Abu Ubaid al Qasim Ibn Salam.<br />mengatakan, bahwa al ta'syir (mengambil sepersepululi) berasal dari tradisi Jahiliah. <br />Ketika datang, Islam meneruskan tradisi ini, bahkan perintah tentang ini masih tetap. Namanya saja yang berubah menjadi al usyur, yaitu "batasan yang digunakan untuk mengambil harta benda para pedagang "ahl al harb" (penduduk yang boleh diperangi) dan "ahl al dzimmah" (penduduk yang tidak boleh diperangi) yang melewati wilayah kekuasaan Islam. Orang yang pertama kah meletakkan ini adalah Umar bin Khattab. "Ashim bin al Hasan bercerita kepada kami, ia berkata: Abu Musa al¬ Asy'ari menulis surat kepada Umar bin Khattab, "bahwa para saudagar muslim sebelum kita telah mendatangi ardl al harb (zona wilayah yang boleh diperangi), Ialu mengambil bagian sepersepuluh (al usyur) dari mereka". Kemudian Umar membalas surat tersebut "silahkan ambil<br />dari mereka sebagaimana mereka mengambil dari para saudagar muslim. Ambillah separoh bagian dari ahl al¬ dzimnwh, dan ambillah satu dirham dari kaum muslimin dari setiap empat puluh dirham. Di bawah dua ratus tidak dipungut apa apa. Tetapi jika dua ratus, maka ambillah lima dirham. Jika tambah, sesuaikan dengan kelipatannya. Tidak benarapa yang dikatakan olehA. Qutub Ibrahim, bahwa "batasan sepersepuluh (al usyur) bagi penduduk yang boleh diperangi merupakan aplikasi dari prinsip bermuamalah antar sesama karena mereka juga bermuamalah dengan para saudagar muslim berdasarkan atas prinsip yang sama" Kalaulah faktor yang mendorong batasan sepersepuluh (al usyur) itu mu'amalah antar sesama yakni sebagaimana mereka bermua'malah dengan saudagar muslim di wilayah yang boleh diperangi (dar al harb), mengapa sepersepuluh (al~ usyur) diwajibkan untuk ahl al dzimmah yang bermukim di wilayah Islam (dar al Islam), dan kenapa sepersepuluh juga diwajibkan bagi para saudagar muslim?<br /><br />Manakah faktor mu'amalah antar sesama yang dikemukakan oleh penulis tersebut (Qutub Ibrahimfl fadi alasan itu tidak bisa diterima. Di antara mereka yang menguatkan bahwa sepersepuluh bagian (al usyur) diwajibkan bagi ahl al~dzimmah dan kaum muslin tin adalah Dr. Kautsar Abdul Fatah al Abjiy, seorang staf pengajar wanita di jurusan perdagangan di Universitas Kairo. Dia sepakat dengan Yusuf Qardlawi yang mengatakan bahwa hadits "pemeluk Islam tidak diwajibkan membayar sepersepuluh (al usyur) " adalah bukan hadits Hasan dan Sahih. Jadi pendapat yang dipegangi oleh Yusuf Qardlawi dan Dr Kautsar adalah bahwa pengambilan sepersepuluh bagian (al ta'syir) mencakup sernua kaum musyrik ahl dar al harb, ahl al dzimmah, dan kaum muslimin. Kedua orang ini sampai pada pendapat yang seperti itu setelah melakukan pencermatan derigan teliti, dan itu merupakan pendapat yang sahih, meskipun berbeda dengan cara pengambilan sepersepuluh (al usyur) yang telah ditetapkan oleh Urnar bin Khattab. Mencermati sejarah lahirnya sepersepuluh bagian (al ta'syir) sebagaimana yang sudah kami jelaskan, mungkin saja dari kalngan orang orang yang wara' yang berperasaan halus, ada orang yang tidak menerima al¬usyur dengan puas. Oleh karena itu, di antara mereka ada yang mengingatkan atau menjauhkan diri untuk tidak bekerja sebagai pengambil bagian sepersepuluh (al usyur). "Abu Muawiyah dari al A'masy dari Syaqiq dari Masruq bercerita, bahwa ia berkata: demi Tuhan, aku tidak mengetahui perbuatan yang menurut aku paling<br />mudah (ringan) yang dapat memasukkan aku ke dalam api neraka dibanding dengan perbuatan kalian ini (orang yang berprofesi mengambil sepersepuluh atau al tisyur). Aku tidak ingin menjadi seorang muslim yang berbuat dzalim, menjadi pemungut dinar dan dirham. "Muhan tmad bin Abdullah dari Anas bin Sirrin bercerita kepada kami, ia berkata: mereka bermaksud untuk mempekerjakanku untuk mengambil sepersepuluh dari penduduk Avila, sebuah negeri di tepi sungai Tigris, namun aku menolaknya. Lalu aku bertemu dengan Anas. Mengapa kamu tidak melakukan apa apa sebagaimana yang telah dilakukan oleh Umar? la mengambil sepersepuluh dari penduduk muslim, setengah dari sepersepuluh dari ahl al dzimmah dan sepersepuluh dari kaum musyrik yang tidak dzimmah. Kedua hadis ini menunjukkan bahwa orang~orang yang bertakwa sangat berhati hati untuk melakukan profesi sebagai pemungut sepersepuluh (al usyur). Mereka berpendapat bahwa profesi tersebut termasuk perbuatan yang paling buruk ini jelas dikembalikan pada asal usul sejarahnya, sebagaimana hadis yang paling akhir meneg iihkan bahwa sepersepuluh (al usyur) diambil dari tiga kelompok, kaum musyrik, ahl al dzimmah, dan kaum muslimin, yang digunakan oleh A. Qutub untuk mendukung pendapatnya bahwa al usyur diambil karena ada faktor rnuarnalah antar sesama, karena pada hakekatnya al usyur tersebut merupakan jenis yang sebanding dengan upeti (al ju'alah) yang diwajibkan oleh suku suku sebelum diutusnya nabi Muhammad Saw. Perkembangan tidak terbatas pada keserupaan nama, namun juga dalam karakteristik si penarik pajak. Setelah pajak itu dipungut oleh para pemimpin suku atau syaikh al qabilah, maka sekarang dilakukan oleh para imarn atau orang yang bertugas mengambil sepersepuluh (amil). Amil ini boleh menambah, mengurangi, dan atau menaikkannya, jika dipandang ada kernaslahatannya.abulumam albantanyhttp://www.blogger.com/profile/04217284884180986248noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3924512155295201119.post-49415913833664124642010-05-13T20:30:00.000-07:002010-05-13T20:31:29.574-07:00Zhan terhadap dalil qhot’IA Muher, SHI <br /><br />1. Zhan (prasangka) di dalam dasar-dasar agama tidak dapat dipakai menurut ulama, karena kemungkinan ada sesuatu yang berlawanan dalam diri orang yang berprasangka tersebut. Berbeda dengan zhan.<br />Dalam cabang-cabang (ilmu fikih), ia dapat dipakai (menurut ahli syariat) karena ada dalil yang membolehkan untuk memakainya. Sesungguhnya az-zhan itu tercela kecuali yang berhubungan dengan cabang-cabang hukum agama, dan ini pendapat yang benar yang telah disebutkan oleh para ulama dalam pembahasan perkaranya.<br />2. Zhan di sini adalah sebagai pembenaran salah satu dari dua dalil yang bertentangan tanpa dalil penguat yang membenarkan, maka perkara tersebut pasti tercela, karena ia berperan sebagai penentu hukum.<br />Oleh sebab itu, di dalam ayat Al Qur’ an ia diikutkan dengan hawa nafsu, "Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka." Seakan-akan mereka cenderung pada suatu perkara dan hanya mengikuti hawa nafsu, maka telah ditetapkan celaan baginya. Berbeda dengan zhan (prasangka) yang dikuatkan dengan dalil, ia pasti tidak tercela, sebab ia jauh dari pengikutan terhadap hawa nafsu. Oleh karena itu, ditetapkan kebenaran hukumnya dan dijalankan kandungannya, sebab memang pantas menjalankan perbuatan yang sepertinya, sebagaimana cabang-cabang ilmu agama.<br /> 3. Sesungguhnya zhan (prasangka) terbagi dua bagian:<br />a. Zhan yang bersandar pada dalil qath’i Ia adalah prasangka- prasangka (zhunun) yang dipakai dalam syariat, di mana saja ditemukan, karena ia bersandar pada dalil yang jelas dan termasuk jenis dalil yang jelas.<br />b. Zhan yang tidak bersandar pada dalil qath'i, tetapi mungkin bersandar pada sesuatu yang tidak memiliki dasar. la adalah tercela, dan mungkin pula bersandar kepada dalil zhanni yang sepertinya.<br /><br />Prasangka tersebut jika bersandar pada dalil yang qath '/maka statusnya seperti poin a (kepada zhan), maka kita harus menelitinya kembali. Bila bersandar pada dalil yang qath’i maka ia terpuji, sedangkan jika tidak bersandar pada apa pun maka ia tercela. Pada prinsipnya, khabar<br />ahad sanadnya shahih dan harus disandarkan pada dalil-dalil yang qath 'i dalam syariat, maka wajib untuk diterima. Oleh sebab itu, kami menerimanya secara mutlak. Sedangkan prasangka-prasangka orang-orang kafir yang tidak bersandar pada satu dalil pun, harus ditolak dan tidak dianggap. Jawaban yang terakhir ini diambil dari sumber asli yang telah diterangkan di dalam kitab Al Muwafaqat. Segala puji bagi Allah.<br />Sebagian orang yang sesat dalam menentang hadits-hadits dan menentang orang yang berpegang pada kandungannya telah melampaui batas, sampai-sampai mereka menganggap bahwa pendapat yang berdasarkan hadits bertentangan dengan akal sehat dan orang yang yang berpendapat dengannya termasuk orang yang kurang waras.<br />Diceritakan oleh Abu Bakar bin Al Arabi dari sebagian orang yang dijumpainya di Masyriq (orang-orang yang mengingkari perkara melihat Allah), bahwa ia telah bertanya kepadanya, "Apakah orang yang berpendapat tentang ketentuan dapat melihat Allah dikafirkan?" Orang itu menjawab, "Tidak, karena ia berpendapat tentang sesuatu yang tidak masuk akal, dan orang yang berpendapat tentang sesuatu yang tidak masuk akal tidak dikafirkan."<br />Ibnu Arabi berkata, "Inilah kedudukan kita menurut mereka, maka selayaknya orang yang benar-benar diberikan petunjuk jalan yang lurus mengambil pelajaran dari pengikutannya terhadap hawa nafsu. Semoga Allah melindungi kita dari perkara tersebut dengan pertolongan dari-Nya."<br />Sebagian orang yang teledor pada zaman kita tergelincir ke dalam perkara ini dan ia mengira semua khabar ahad hanya prasangka, sebagaimana disebutkan dalam perkataan ulama, "Seburuk-buruk suara hati seseorang adalah prasangkanya."<br />Dalam perkataan ulama yang lain, "Hati-hatilah kamu terhadap prasangka, sesungguhnya prasangka adalah pembicaraan yang paling dusta." Ini adalah pendapat orang-orang yang paling terakhir tergelincir. Semoga Allah SWT menjauhkan kita darinya.abulumam albantanyhttp://www.blogger.com/profile/04217284884180986248noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3924512155295201119.post-8657182691186460892010-05-13T20:29:00.000-07:002010-05-13T20:30:46.618-07:00Pengharaman Hal-Hal yang Dihalalkan oleh AllahOleh: A Muher, SHI <br /><br /> <br /> <br />Allah SWT berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan makanlah makanan yang halal Jagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya. "(Qs. Al Maa' idah [5]: 87-88). <br />Diriwayatkan sebab turunnya ayat tersebut, yaitu pengharaman terhadap apa-apa yang baik, yang telah dihalalkan oleh Allah SWT; baik sebagai pedoman maupun yang menyerupai pedoman. Allah SWT melarang hal tersebut dan menyifatinya sebagai perbuatan yang melampaui batas, dan Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Kemudian Dia menetapkan pembolehan sebagai ketetapan tambahan atas apa yang telah ditetapkan-Nya melalui firman-Nya, "Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dart apa telah yang Allah rezekikan kepadamu." Kemudian Allah memerintahkan mereka untuk bertakwa. Hal itu mengisyaratkan bahwa mengharamkan hal yang dihalalkan oleh Allah SWT merupakan perbuatan yang keluar dari derajat takwa. <br />Ismail Al Qadhi meriwayatkan dari hadits Abu Qalabah RA, ia berkata, "Beberapa orang sahabat Rasulullah SAW ingin menolak dunia, meninggalkan wanita, serta menjalani kehidupan rahbaniyyah. Namun Rasulullah SAW berdiri dan mengeluarkan perkataan keras tentang niat mereka dengan sabda beliau, 'Orang-orang sebelum kamu binasa hanya karena bersikap keras. Mereka bersikap keras terhadap diri mereka, maka Allah berlaku keras terhadap mereka. Mereka inilah sisa-sisa mereka di rumah-rumah dan biara-biara. Sembahlah Allah dan janganlah kamu menyekutukan sesuatu dengan-Nya, lakukanlah ibadah haji dan umrah serta istiqamahlah, maka Dia akan beristiqamah karenamu." 'Ia berkata, "Dan turunlah ayat tentang mereka, 'Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagikamu." <br />Dalam Shahih At-Timidzi disebutkan dari Ibnu Abbas RA, ia berkata: Seorang laki-laki mendatangi Nabi SAW seraya berkata, "Ya Rasulullah! Sesungguhnya bila aku makan daging maka aku akan bangkit untuk mencari wanita dan syahwatku menggiringku, maka aku mengharamkan daging bagi diriku,' lalu turunlah ayat ini." Hadits hasan. <br />Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, ia berkata: Ayat ini turun pada suatu kelompok dari sahabat Rasulullah SAW —diantaranya adalah Abu Bakar, Umar, Ali, Ibnu Mas'ud, Usman bin Madz'un, Miqdad bin Aswad Al Kindi, serta Salim (bekas budak Abu Huzaifah RA) yang berkumpul di rumah Usman bin Madz'un Al Jamhi, maka mereka sepakat untuk menjawab diri mereka dengan cara menjauhkan wanita, tidak makan daging dan lemak, memakai pakaian lusuh, tidak memakan makanan kecuali makanan pokok, serta berjalan di muka bumi seperti rahib. Kabar tentang mereka itu pun sampai kepada Rasulullah SAW. Lalu beliau mendatangi Usman bin Madz'un di rumahnya, tetapi beliau tidak mendapatkannya di rumah, dan juga tidak mendapatkan mereka, maka beliau bertanya kepada istri Usman (Ummu Hakim, putri Abu Umayyah bin Haritsah As-Silmi), "Apakah benar berita yang sampai kepadaku tentang suamimu dan sahabat-sahabatnya?" Ia menjawab, "Tentang masalah apa, ya Rasulullah?" Rasulullah SAW lalu memberitahunya tetapi ia enggan berbicara kepada Rasulullah SAW dan enggan membicarakan kejelekan suaminya, maka ia berkata, " Jika Ustman mengatakan demikian telah mengabarkan kepadamu, maka ia telah berkata benar." Rasulullah SAW lalu bersabda kepadanya, "Katakan kepada suamimu dan sahabat-sahabatnya apabila mereka kembali, bahwa Rasulullah SAW bersabda kepadamu, l Sesungguhnya aku makan dan minum, makan daging dan lemak, serta tidur dan mendatangi wanita. Jadi, barangsiapa tidak suka dengan Sunnahku, maka ia bukan golonganku." <br /> Ketika Ustman dan sahabat-sahabatnya kembali, istri Utsman memberitahu apa yang diperintahkan Rasulullah SAW tersebut. Mereka menjawab, "Perkara kita telah sampai kepada Rasulullah SAW, dan perkara itu tidak disukainya, maka tinggalkanlah apa yang dibenci oleh Rasulullah SAW." Kemudian turunlah ayat tentang perkara itu, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu" Ia berkata, "Yang dihalalkan Allah antara lain: makan, minum, dan bersetubuh dengan istri." "Dan janganlah kamu melampaui batas", berkata, "Dalam memotong kemaluan (laki)." "Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas," ia berkata, "Yang halal ke yang haram." <br />Diriwayatkan dari Abdullah dalam hadits shahih, ia berkata, "Kami berperang bersama Rasulullah SAW dalam suatu peperangan yang tidak ada wanita bersama kami. Maka kami bertanya, 'Bolehkan kami mengebiri?' Beliau melarang kami melakukan hal itu dan memberi keringanan kepada kami setelah itu untuk menikahi wanita dengan mahar pakaian sampai waktu tertentu (yang dimaksud adalah nikah mut'ah yang telah di-nasakh hukumnya) Ibnu Mas'ud lalu membaca, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagikamu." Ismail menyebutkan riwayat dari Yahya bin Ya'mar, bahwa Usman bin Madz'un RA ingin berjalan di bumi untuk beribadah (siyahah -istilah sufi); ia berpuasa pada siang hari dan menghidupkan malam dengan shalat serta ibadah, dan istrinya suka berdandan (memakai minyak wangi), lalu ia meninggalkan untuk memakai sifat mata dan semir rambut, maka seorang istri dari istri-istri Rasulullah SAW bertanya kepadanya, "Apakah kamu orang yang ada suaminya atau orang yang suaminya gaib?" Ia menjawab, "Ada, tapi Ustman tidak menginginkan wanita." Ia lalu menceritakan hal itu kepada Nabi SAW, maka Rasulullah SAW menemuinya dan bersabda kepadanya, Apakah kamu beriman dengan apa yang kami imani?” Ia menjawab, "Ya." Beliau bersabda, "Maka kerjakanlah apa yang kami kenakan, 'Janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu’." <br />Said bin Manshur meriwayatkan dari Khudhair, dari Abu Malik, ia berkata, "Diturunkan ayat ini kepada Usman bin Madz'un dan sahabat-sahabatnya, yang saat itu mereka mengharamkan banyak makanan dan wanita, bahkan sebagian ada yang ingin memotong kemaluannya. Oleh karena itu, Allah SWT menurunkan firman-Nya, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan..." <br />Diriwayatkan dari Qatadah, ia berkata, "Ayat ini diturunkan kepada sebagian sahabat Rasulullah SAW yang ingin melepaskan diri dari hal-hal yang berbau dunia, meninggalkan wanita dan hidup dengan cara rahbaniyyah. Di antara mereka adalah Ali bin Abu Thalib dan Usman bin Madz'un. <br />Ibnu Mubarak meriwayatkan bahwa Usman bin Madz'un datang kepada Nabi SAW, seraya berkata, "Izinkanlah aku mengebiri (kemaluanku)." Beliau lalu bersabda, "Bukan dari gohngan kami orang yang mengebiri atau dikebiri, karena pengebirian umatku adalah —dengan melakukan—puasa." Ia kemudian berkata, "Ya Rasulullah! izinkanlah aku berjalan untuk ibadah (siyahah)." Beliau menjawab, "Sesungguhnya perjalanan ibadah umatku adalah jihad di jalan Allah." la lalu berkata, "Ya Rasulullah! Izinkanlah aku hidup dengan cara rahbaniyyah." Beliau menjawab, "Sesungguhnya rahbaniyyah umatku adalah duduk di masjid-masjid untuk menunggu shalat" <br />Dalam hadits shahih dikatakan bahwa Rasulullah SAW menolak kehidupan lajang (tidak beristri) terhadap Usman bin Madz'un. Seandainya Nabi SAW mengizinkan, maka ia pasti mengebiri kemaluannya. <br />Termasuk dalam kategori tersebut adalah yang disebutkan oleh Ismail Al Qadhi dari Ma'qal, bahwa ia bertanya kepada Ibnu Mas'ud RA, seraya berkata, "Sesungguhnya aku bersumpah untuk tidak tidur di atas tempat tidurku selama satu tahun." Abdullah bin Mas'ud lalu membaca, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan ...." Abdullah bin Mas'ud berkata, "Mendekatlah, makanlah, serta bayarlah kafarat sumpahmu, kemudian tidurlah di atas tempat tidurmu." <br />Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Ma'qal adalah orang yang memperbanyak puasa dan shalat, maka ia bersumpah untuk tidak tidur di atas tempat tidumya. Ia lalu mendatangi Ibnu Mas'ud RA untuk menanyakan hal tersebut. Ibnu Mas'ud kemudian membacakan ayat itu kepadanya. <br />Diriwayatkan dan Mughirah, ia berkata, "Aku bertanya kepada Ibrahim tentang ayat ini, 'Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang baik dari yang dihalalkan Allah untukmu. 'Apakah itu adalah seorang laki-laki yang mengharamkan sesuatu dari hal-hal yang dihalalkan oleh Allah kepadanya?' Ibrahim menjawab, 'Ya'." <br />Diriwayatkan dari Masruq, ia berkata: Abdullah dibawakan susu binatang, lalu ia berkata kepada kaum, "Mendekatlah!" Ia lalu mengambilnya dan meminumnya. Seorang laki-laki kemudian berkata, "Sesungguhnya aku mengharamkan susu binatang." Abdullah pun berkata, "Ini termasuk langkah-langkah syetan. Allah berfirman,' Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang baik dari yang dihalalkan Allah untukmu....' Oleh karena itu, mendekatlah dan makanlah serta bayarlah kafarat sumpahmu." <br />Atas dasar inilah fatwa-fatwa Islam berlaku: Sesungguhnya setiap orang yang mengharamkan atas dirinya sesuatu yang dihalalkan oleh Allah kepadanya, maka itu sama sekali bukan pengharaman. Jadi, makanlah jika yang diharamkannya itu sesuatu yang dimakan minumlah jika yang diharamkannya itu adalah sesuatu yang diminum, pakailah jika yang diharamkannya itu adalah sesuatu yang dipakai, serta milikilah jika yang diharamkannya itu adalah sesuatu yang dimiliki. Seakan-akan itu adalah ijma' dari mereka yang dinukil dari Imam Malik, Abu Hanifah, Syafi'i, dan yang lain. Tetapi mereka berselisih pendapat tentang istri. <br />Pada waktu yang lalu telah diutarakan hadits tentang orang yang bernadzar puasa dalam keadaan berdiri di terik matahari dan diam (tidak mau bicara), maka itu adalah pengharaman untuk duduk, berbicara, dan berteduh, namun Nabi SAW justru memerintahkannya duduk, berbicara, dan berteduh. Malik berkata, "Nabi SAW memerintahkannya untuk menyempurnakan ketaatan yang telah dikerjakan dan meninggalkan kemaksiatan yang ada padanya." <br />Perhatikanlah bagaimana Imam Malik berpendapat bahwa meninggalkan yang halal sebagai perbuatan maksiat! Itu merupakan substansi ayat," Dan janganlah kamu melampaui batas" dan juga substansi perkataan Ibnu Mas'ud RA kepada pemilik susu (tetek binatang), "Ini termasuk langkah-langkah syetan." <br />Ibnu Rusyd Al Hafid men-dhaif-kan pengambilan dalil dari Malikiyah dengan hadits dan penafsiran Imam Malik terhadap hadits itu. Ia menyebutkan bahwa perkataannya tentang hadits tersebut, "Dan meninggalkan kemaksiatan yang ada padanya" bukanlah suatu yang jelas bahwa tidak bicara merupakan perbuatan maksiat, sedangkan Allah SWT telah mengabarkan di dalam Al Qur "an bahwa perbuatan itu adalah nadzar Maryam. la menyamakan berdiri di terik matahari juga bukan perbuatan maksiat kecuali dari sisi menyusahkan tubuh dan jiwa; sedangkan terkadang dianjurkan bagi orang yang melaksanakan haji untuk tidak berteduh. Jika dikatakan bahwa di dalamnya terdapat maksiat, maka pengambilan dalilnya dengan qiyas atas hal-hal yang dilarang karena membuat susah, bukan dengan nash, karena hal mendasar dalam perbuatan itu adalah bahwa ia termasuk perbuatan yang dibolehkan. <br />Perkataan Ibnu Rusyd juga tidak jelas, karena perkataan Imam Malik tentang hadits itu bukanlah kesimpulan darinya, tetapi yang nampak adalah bahwa ia berdalil dengan ayat yang berbicara tentang permasalahan itu, dan membawa makna hadits itu kepadanya (ayat) dengan meninggalkan bicara. Walaupun pada syariat-syariat pertama (sebelum syariat Nabi Muhammad) merupakan suatu yang disyariatkan, tapi ia telah di-nasakh dengan syariat ini (Nabi Muhammad). Jadi, itu adalah pekerjaan yang disyariatkan dengan cara yang tidak disyariatkan. Begitu pula berdiri di terik matahari, merupakan tambahan dari permasalahan pengharaman yang halal, walaupun dianjurkan dalam suatu kondisi, tapi tidak mesti dianjurkan pada kondisi lainnya.abulumam albantanyhttp://www.blogger.com/profile/04217284884180986248noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3924512155295201119.post-6784356581945338632010-05-13T20:26:00.001-07:002010-05-13T20:28:23.831-07:00Musyarakah dan Jama’ahBy. A Muher, SHI<br /> <br /><br />Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hartamu yang Dia jadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan mereka menafkahkan (sebagian dari hartanya), bagi merekalah pahala yang besar (al-hadiid:7).<br /> <br />Dan Dialah yang menumbuhkan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, dan pohon korma, dan tanaman-tanaman yang bermacam-macam rasanya, dan zaitun dan delima, yang serupa dan yang tidak serupa. Makanlah dari buahnya apa bila berbuah, dan berikanlah haknya (zakatnya) pada hari mengetamnya, dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan (al-an’aam:141).<br /><br />Judul tulisan ini seharusnya dipanjangkan dengan me¬nambahkan kalimat sebagai berikut: "Sebuah Konsep Kema¬syarakatan Menuju Pembentukan Jama`ah Masjid Guna Mem¬perkuat Jama’ah Ukhuwah Islamiyah Dalam Masyaraklat Mo¬dern", sehingga lebih jelaslah maksudnya. Memang tulisan ini bermaksud, pertama, melihat perubahan perubahan sosi¬al pada umumnya; kedua melihat kedudukan masjid dalam proses perubahan itu; dan ketiga, sebuah usulan tentang pern¬bentukan jama'ah di lingkungan masjid.<br />Seperti kita ketahui bahwa masjid di zaman Rasulullah merupakan pusat kegiatan umat, baik yang bersifat ibadah maupun mu'amalah. Ketika Nabi datang pertama kali ke Ma¬dinah, sebagai langkah pertama pembangunan masyarakat Is¬lam, Nabi bukannya mendirikan istana, tetapi masjid. Istana adalah lambang dari sebuah birokrasi yang mengurus masalah masalah masyarakat disandarkan atas kekuasaan duniawi da¬ri penguasa. Sedangkan masjid adalah lambang organisasi sosial yang disandarkan atas kekuasaan Allah. Dari perbe¬daan lambang ini dapat ditarik kesimpulan, bahwa Islam meng¬isyaratkan supaya urnat mengelompokkan diri dalam sebuah persekutuan sosial yang dasar dasarnya diambil dari prinsip kekuasaan Allah atas manusia. Masjid Nabawi yang perta¬ma itu ternyata juga menjadi pusat peribadatan, pemerin¬tahan, peradaban, dan sebagainya. Pendek kata, sebagai pu¬sat serbaguna. Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, kedu¬dukan masjid tergeser ke samping. Kerajaan kerajaan Islam di Timur Tengah dan afrika Utara memang membangun mas¬jid yang megah megah, tetapi juga istana yang indah. Sema¬kin meningkatnya jumlah umat di waktu itu nampaknya me¬maksa mereka yang berkuasa menjadikan birokrasi terpisah dari masjid, suatu langkah yang dapat dimengerti, tetapi yang dari segi lain sangat merugikan. Merugikan, karena seolah¬olah ada perpisahan antara birokrasi yang rasional legal se¬kuler, dengan masjid yang iman ibadah akhirat. Demikian pula dalam pendirian kerajaan kerajaan Islam di Nusanta¬ra, masjid dan istana mulai terpisahkan. Dalam tata kota ke¬rajaan Islam di Jawa, Surakarta dan Yogyakarta, istana ru¬panya menjadi kerajaan yang lebih penting dari masjid. Pe¬ta tata kota diambil dari konsep tata kota zaman Majapahit, dengan istana sebagai pusat, sedang di muka sebelah kanan dan kiri masing masing diperuntukkan bagi tempat pemu¬jaan agama Syiwa dan Budha. Dalam perencanaan kota Is¬lam, masjid terletak di sebelah muka istana di sisi Barat, se¬perti kita saksikan pada masjid Agung Surakarta. Disam¬ping perubahan itu, ada satu lambang yang tetap, yaitu kon¬sep "dewa raja" yang mendudukkan raja sebagai penguasa ter¬tinggi dan wakil yang sah dari cita cita ketuhanan. Demikianlah, masjid tidak lagi menjadi pusat yang memancarkain cahayanya, tetapi menjadi bagian dari sebuah sistem dunia¬wi yang ingin mencari legitimasi melalui masjid tersebut. Mas¬jid tidak lagi independen dan otonom. Pusat pernerintahan berada di istana, pusat budaya berada di istana, pusat pem¬bagian kesejahteraan ekonomi juga di istana. Masjid men¬jadi pusat ibadah shalat semata mata, yang dikunjungi oleh raja hanya pada saat saat tertentu saia. Dalarn zaman modern sekarang, kedudukan masjid se¬makin tergeser. Masjid kalah bersaing dengan pasar. jika diawal abad abad Islam orang bisa melihat adanya masjid yang memangku pasar, sehingga orang mengatakan, misalnya: "mas¬jid itu punya pasar.", sekarang di pasar pasar didirikan masjid dan orang bilang “pasar itu punya masjid". Jadi, yang penting adalah pasarnya, dan bukan masjidnya. Perubahan se¬macam ini dapat dicari contohnya dalam berbagai bidang ke¬hidupan yang lain, seperti kantor, pabrik, universitas, super¬market, dan sebagainya. Pendek kata, rnasjid dalarn dunia modern hanya menjadi satu elemen saja dalarn kehidupan orang modern. Timbullah sekarang sebuah tantangan bagi umat Islam, bagaimana caranya untuk membangkitkan kern¬bali peranan masjid dalam konteks masyarakat modern.<br />Sementara memutar jarum jam sejarah tidaklah mungkin, kita masih berharap dapat mengerjakan sesuatu. Dalam hal ini, pendekatan kita haruslah didasarkan kepada ajaran ajar¬an Islam sendiri, sebagai suatu langkah dari, oleh, dan un¬tuk masyarakat Islam. Oleh karena itu di bawah ini hendak dikemukakan sebuah pemikiran untuk menggalakkan kemba¬Ii ajaran musyarakah di lingkungan masjid dengan cara mem¬bentuk jama'ah jama'ah. Adapun jalan pikiran itu dapat disa¬makan dengan konsep "self help" atau menolong diri sendirl dalam perbendaharaan pengetahuan sosial dewasa ini.<br /><br />Perubahan Sosial<br />Sampai sekarang di Indonesia, desa masih merupakan tempat pemukiman yang utama. Namun desa yang digam¬barkan oleh ahli ahli antropologi sebagai masyarakat tertu¬tup dengan ikatan kekeluargaan desa yang kuat atau "closed corporate comunity" itu tidak lagi ada. Sejak masuknya jenis¬-jenis tanaman kornersial, sistem kredit dan ekonomi uang di pedesaan; proses penguangan (moneytization) masyarakat ti¬dak lagi terhindarkan. Desa desa di Indonesia sudah terbu¬ka untuk Ialu lintas ekonomi internasional bahkan seJak per¬tengahan abad ke 19 dengan masuknya perkebunan gula, tembakau, dan kopi; dan mencapai intensitas yang semakin tinggi pada abad ke 20 ini. Ambillah contoh menghilangnya kerja sambatan di pedesaan. Dahulu orang mendirikan ru-mah bersama sama dengan orang sedesa, ketika setiap orang menyumbangkan apa saja yang dipunyai, barang, tenaga, dan nasehat. Dengan adanya pembagian kerja, dan munculnya jenis jenis pekerjaan baru non pertanian, kerja sambatan itu semakin hilang. Segalanya harus dibayarkan dengan uang. Terjadilah proses penguangan masyarakat. Dengan kata la¬in, sebelum orang mendirikan rumah, ia harus memperhi¬tungkan kemampuannya sendiri dalam Ialu lintas keungan ter¬lebih dahulu. Sernua orang masuk dalam mekanisme pasar¬an barang dan jasa, baru kemudian memperoleh keperluan¬-keperluannya. Ikatan kekeluargaan desa menghilang dari pe-desaan. Hubungan antar warga desa menjadi hubungan ker¬ja, yaitu satu sama lain selalu memperhitungkan tenaganya dalam sebuah sistem kerja upahan. Dengan kata lain, ma¬syarakat secara keseluruhan diikat oleh hubungan baru, bu¬kan kekeluargaan, tetapi kontrak kerja. Tanpa modal keah¬lian tidak ada kesempatan orang untuk mendapatkan kebu¬tuhan kebutuhan, yang primer sekalipun. Tanpa kerja, tidak ada imbalan. Memang dalam 1slarn disebutkan bahwa seti¬ap orang harus bekerja untuk hidup, namun ajaran ini tidak dimaksudkan sebagai dasar bagi hubungan masyarakat yang semata mata kontraktual. Di atas, segala galanya, seorang muk¬min menandatangani kontrak dengan Allah, diantaranya ia¬lah kesanggupan untuk menjadikan sesama muslim sebagai saudara. Dan antara saudara ada bubungan kekeluargaan yang harus dipenuhi. Demikianlah, desa telah mengasingkan diri dari ikatan ikatan kekeluargaan, dan rasa aman sosial eko¬nomis menghilang dari kehidupan orang desa.<br />Proses serupa terjadi dalarn masyarakat kota dengan ting¬katan intensitas yang jauh lebih tinggi. Industrialisasi yang terjadi di kota kota telah mengenalkan etika baru dalam kehidupan sosial, yaitu rasionalisasi. Bekerja dalam indus¬tri, tidak seperti dalam pertanian, memerlukan ketrampilan yang tidak dapat dipelajari di rumah. Tawar menawar kerja di lapangan industri adalah tawar menawar rasional ber¬dasarkan keahlian, semakin jarang ketrampilan yang ter¬sedia dalam masyarakat, semakin tinggi upah yang diterima dari pemilik keahlian itu. Ada banyak tingkatan upah da¬lam kerja industri, schingga nilai orang dapat diukur dari pekerjaannya. Maka terjadilah pengelompokan orang ke dalam kelas kelas sosial, dengan maksud supaya orang mem¬punyai kekuatan dalam tawar menawar tentang kerja dan upah. Di sini pengelompokan itu semata mata didasarkan kepada kepentingan rasional, yaitu kepentingan ekonomis. Kemudian, kota atau urbanisme juga mengakibatkan proses impersonalisasi, yaitu karena banyaknya penduduk kota, orang tidak lagi mengenal satu dengan yang lainnya. Dengan tetangga sebelah saja sering orang tidak saling mengenal, ke¬cuali kalau masih ada hubungan hubungan kerja. Saling meng¬asingkan secara sosial terjadi, sehingga orang hidup semata mata untuk kepentingannya sendiri. Disinilah gejala itu muncul. Individualisme membawa akibat akibat yang jauh, seperti tidak adanya kemauan un¬tuk tolong menolong. Oleh karena itu di kota segala sesu¬atu diserahkan kepada birokrasi. Misalnya jalan rusak dise¬rahkan kepada Departemen Pekerjaan Umum, karena orang tidak lagi suka bersarna sama membangun jalan. Di antara se¬sama warga kota terdapat perasaan saling terasing. Tetangga terasing dari tetangga, buruh terasing dari majikan, pembeli terasing dari penjual, pegawai terasing dari kepala kantor, dan seterusnya. Juga, di kota, rasa aman sosial sudah hilang. Se¬seorang yang menderita sakit di kota, tidak akan ada yang mengurus kesehatannya, kecuali kalau mereka mempunyal sejumlah uang untuk ke rumah sakit. Rumah rumah sakit meminta jaminan sebelum bersedia merawatnya, sebuah hu¬bungan kontraktual dengan kesepakatan untuk memberi da¬na dan menerima perawatan. Tanpa itu, tidak akan ada hu¬hungan sosial.<br />Sudah tentu gambaran di atas adalah suatu tipologi yang agak keras, tetapi kiranya begitulah yang terjadi. Ketika so¬lidaritas sosial secara mekanis hilang, yaitu dengan hilang¬nya kerja sama atas dasar saling mengambil bagian dalam kehidupan sosial, timbullah solidaritas organis, yaitu kerja¬sama atas dasar pembagian kerja. Dalam perwujudan sehar-¬hari, hal ini tampak pada saat ketika kita menemukan orang fakir miskin, kita berpikir bahwa sudah ada Departemen khu¬sus yang mengurusnya dan kita tidak perlu lagi campur ta¬ngan. Pernbagian kerja sudah ada, bagian kita masing ma¬sing sudah ditentukan, kita sudah membayar pajak kepada pemerintah yang dapat dipergunakan untuk apa saja, ter¬masuk memperbaiki jalan, menjaga keamanan dan santunan fakir miskin. Apa yang sedang kita saksikan sebenamya ialah keterasingan kita dari orang lain, dan hilangnya rasa amann sosial ekonomi, lebih lebih di pihak yang lemah. Gejala semacam itu adalah kecenderungan modem yang setiap orang harus mengalami. Tetapi apakah harus begitu kehidupan sosial di lingkungan urnat Islam? Apakah Islam tidak dapat menyumbang sesuatu bagi hidup yang lebih ma¬nusiawi? Inilah pertanyaan pertanyaan yang menggoda kita pada saat ini.<br /><br />Masjid dalam Perubahan<br />Peranan masjid dalam dunia modern, di desa dan di kota, mengalami erosi. Lembaga lembaga baru, muncul di pedesaan. Kantor kelurahan dikunjungi orang beberapa kali setahun, sewaktu orang membayar pajak tanah, melaporkan kelahiran, perkumpulan perkumpulan. Barangkali tidak ter¬Ialu sering, tetapi otoritas kelurahan terhadap orang desa sangat penting. Apa apa yang diputuskan di kelurahan, se¬perti pelebaran jalan pemunduran pagar rumah, mengikat penduduk desa. Demikian juga Koperasi Unit Desa (KUD), barangkali hanya beberapa kali dalam setahun orang harus menghubunginya, yaitu diwaktu orang membeli pupuk saat musim tanam. Tetapi peranan KUD tidak dapat ditinggal¬kan oleh mercka yang bertani. Peranan Lembaga Ketahan¬an Masyarakat Desa (LKMD) sebagai badan musyawarah desa, amat penting. Santunan dalam bentuk, disalurkan lewat LKM1). LKMD juga tempat orang menyatakan par¬tisipasinya dalam pembangunan. Di tambah lagi banyak ba¬dan badan lain, yang formal maupun informal, seperti se¬kolah, kelompok tani, dan sebagainya. Pendek kata, pendu¬duk pedesaan lebih banyak berhubungan dengan badan ba¬dan yang langsung mengurus penghidupannya, yang ber¬hubungan dengan sandang pangannya. Dan sernua lembaga itu, berada di luar masjid. Tampak di sini bahwa masjid lalu tidak fungsional dalam kehidupan sehari hari, seolah olah hanya menjadi tempat berteduh sekali seminggu di hari Jurn'at, atau barangkali setiap shalat berjama'ah, tetapi ti¬dak mempunyai arti sosial apa apa, kecuali sebagai peng¬hibur dan tempat bertemu. secara santai. Tidak ada sa-lahnya orang menjadikan masjid sebagai tempat berteduh secara mental spiritual, tetapi apakah hanya itu peranan masjid dalam masyarakat desa?<br />Demikian juga di kota. Pabrik pabrik tampak lebih me¬nonjol dari jenis bangunan lain. Orang sibuk pulang dan pergi, pada jam jam yang sudah ditentukan. Orang begitu ketakutan untuk datang terlambat. Lebih dari orang desa yang pergi ke sawah dengan santai, orang yang bekerja di pabrik pergi dengan tergesa gesa. Hidup dan matinya se¬olah tergantung sepenuhnya dari pabrik tempat ia bekerja. Dunianya adalah pabriknya. Demikian juga di pusat perto¬koan dan supermarket. Orang datang dan pergi dengan her¬macam keperluan hidup, menghabiskan begitu banyak wak¬tu untuk menawarkan dagangan, melayani pembeli, dan merawat barang barang jualan. Atau sebaliknya, banyak wak¬tu dipergunakan untuk memilih barang barang di bawah lampu neon, kipas angin, dan musik. Dunia yang penuh kesibukan bagi mereka tidak diasingkan dari tempat tempat jual beli karena ketidakmampuannya. Juga dunia universi¬tas di kota kota menawarkan kepada pemuda, alternatif al¬ternatif baru dalam bangunan, dalam pemikiran, ketrampil¬an ketrampdan baru, pengetahuan baru, dan pada akhirnya gambaran dunia yang baru. Orang orang universitas dapat menjadi orang orang yang paling jauh dari agama, atau sebaliknya, justru merekalah sekarang ini yang paling yakin dengan agama. Di gedung bioskop, orang mempunyai kesibukan lain lagi. Pemuda berkunjung sekali atau dua kali seminggu, juga tergantung dari kesanggupannya dalarn tukar menukar, se¬olah olah sebuah upacara yang mesti dikedakan supaya orang menjadi modern. Nama nama bintang, lagu, judul film, dan sedikit apresiasi perfilman, menjadi bagian terpenting dari kehidupan remaja "masa kini". Sernua itu jika dihitung se¬olah olah menghabiskan waktu seumur hidup. Pabrik, pertokoan, universitas, gedung bioskop sernuanya menjadi pu-sat pusat kehidupan modern yang tidak dapat ditinggalkan. Masihkah tersisa peranan masjid dalam kesibukan kota? .<br /> Masjid yang kebanyakan terletak di pedalaman kam¬pung sebagaimana sekarang ini, memang masih merupakan tempat yang ideal untuk mengundurkan diri dari kesibukan duniawi untuk mencari ketenangan jiwa. Tentu istilah "kete¬nangan jiwa" bukan ungkapan yang sepadan untuk melukis¬kan peranan masjid sebagai tempat ibadah. Sebab ibadah jauh lebib luas artinya dari pada ungkapan itu. Namun bagi kebanyakan orang, ungkapan itu rupanya tidak begitu salah,setidaknva bagi mereka yang tidak mempunyai pikiran bah¬wa masjid punya dimensi yang jauh lebih banyak dari sekadar tempat ibadah. Dalarn masa kenabian masjid adalah pusat ke¬giatan sosio kultural, dan sosio ekonomis. Dalam kategori sosio kultural, termasuk di dalamnya tempat sosiahsasi anak, pendidikan, perpustakaan, dan kesenian. Masjid masjid kuno mempunyai unsur sosio kultural semacarn itu, termasuk di dalamnya masjid masjid di Indonesia yang mempunyai pe¬santren. Masjid juga mempunyai peranan sosio ekonomis dimasa Nabi. Kaum sufa, yaitu mereka yang hidupnya sema¬ta mata untuk ibadah, juga hidup di masjid. Pada zaman Nabi juga, orang bisa membawa untaian anggur ke masjld dan digantungkan di pintu masuk, supaya mereka yang berminat dapat menikmatinya. Tentu lebih banyak lagi contoh yang dapat dikemukakan. Jika demikian halnya, masjid di zaman modern ini memang mengalami penyurutan peranan. Di bawah ini akan dibicarakan salah satu dari banyak kemungkinan untuk membangkitkan lagi peranan sosial eko¬nomi dari masjid sebagai sarana untuk membangunkan kem¬bali masjid sebagai pusat kehidupan.<br /><br />Ajarkan Musyarakah dan Pembentukan Jama'ah<br />Dalam ayat ayat AI Qur'an dan Sunnah Nabi banyak diberikan ketentuan tentang pentingnya membagi kekayaan dengan sesama muslim, terutarna fakir miskin, seperti mi¬salnya dalam pembagian harta pusaka, musim panen, dan setiap rizki itu datang. Kekayaan adalah amanat Allah. Anjuran anjuran itu ada yang sifatnya keharusan, yaitu da¬lam bentuk zakat, dan ada pula yang sifatnya sukarela atau disunnahkan. Sehubungan dengan ayat ayat tentang bersau¬daranya sesama muslim atau mukmin, setidaknya ini berarti bahwa kita harus berbagi dalam cinta kasih, kesejahteraan, dan kecerdasan dengan sesama mustim. Praktek dari ajaran ini tentu sukar dilaksanakan tanpa adanya sebuah organi¬sasi yang melaksanakan, sebab kehidupan modern mempu¬nyai sifat lain dengan kehidupan tradisional. Kita dapat mem¬bayangkan betapa suhtnya kita menyantuni fakir miskin yang jumlahnya sampai ribuan, bahkan ratusan ribu itu tanpa ada¬nya manajement. Dengan kata lain kita harus menggunakan lembaga lembaga baru yang sifatnya serba rasional sebagai¬mana dalam sebuah masyarakat patembayan (Gasellschaft) di dalam semangat sebuah masyarakat paguyuban (Gemein¬schaft), yang sekafigus menggunakan perflaku rasional (zwec¬krational) dan perilaku nilai (vertrational) serta penuh de¬ngan keterpautan perasaan cinta kasih. <br />Ajaran musyarakah adalah suatu ketentuan bahwa orang¬-orang miskin, yaitu mereka yang karena kedudukan social ekonomis tidak mempunyai akses terhadap pasaran barang dan jasa dalam masyarakat, mempunyai hak untuk meng¬ambil bagian dalarn proses distribusi barang dan jasa tanpa harus memberikan gantinya. Ajaran ini dimaksudkan untuk mengurangi atau menandingi kecenderungan individual¬isme dari masyarakat kontraktual. Kecenderungan untuk hidup sendiri sendiri dalam masyarakat modern yang hanya berpusat pada keluarga, diperluas secara sukarela dengan ajaran inj. Eka orang lain juga mempunyai hak atas harta kita sebagaimana diatur dalam AI Qur'an dan Hadits (jadi bukan tanpa batas antara hak milik sendiri dan orang lain), tentulah pernbagian kekayaan itu terjadi secara sukarela. Dasar yang utama pastilah ketaqwaan kepada Allah, pem¬beri segala macam kesejahteraan itu. Musyarakah bukan se¬macam komune yang membagi alat alat produksi kerja, dan distribusi; tetapi sebuah keluarga yang membagi pendapat¬an yang bersifat kesejahteraan. Jika sebuah satuan kolektif dalam sistem Marxis merupakan manifestasi dari masyara¬kat kontraktual dengan masyarakat primitif sebagai model, i?iu,syarakah mengambil model masyarakat di Zaman Nabi. Di zaman Nabi tidak ada ajaran kolektifikasi dalam alat¬alat produksi, tetapi ada semangat kolektif dalam konsumsi.<br />Karena dasar yang pertarna ialah asas "ikhwan" bersau¬dara , maka cinta kasih merupakan landasan efektif yang ha¬rus tumbuh dahulu di antara pernegang amanat musyarakah. Tanpa adanya perasaan kekeluargaan, hubungan musya¬rakah tidak akan menjadi rahmat bagi pelakunya, sebab ha¬nya akan menjadi bentuk hubungan kontraktual yang lain. Semangat pembagian kekayaan dalam Islam ialah semangat ibadah, bukan sernata mata semangat gotong royong yang hanya mempunyai implikasi sosial itu. Gotong royong mem¬punyai makna timbal balik juga, sedangkan musyarakah ti¬dak mempunyai makna timbal balik itu. Redistribusi kekayaan dalam musyarakah semata mata karena Allah.<br />Musyarakah memang hanya bisa dilaksanakan dengan kesadaran yang tinggi. Dapat dimengerti bagaimana sulit¬nya orang harus membagi kekayaan sekedarnya bersama orang lain yang sama sekali tidak ada hubungan darah, padahal ia sendiri terancarn secara ekonomis oleh kekuatan kekuatan pasar yang tidak terduga. Sementara orang paling kaya se¬kalipun tidak mempunyai jaminan rasa aman soslal ekono¬mi, sebab suatu ketika ia bisa jatuh miskin, orang sulit dige¬rakkan imannya untuk musyarakah. Keinginan untuk mena¬bung, mengadakan penanaman modal, dan keinginan kon¬sumtif barangkali lebih kuat tertanam dalam jalan pikiran orang modern yang mempunyal perilaku rasional murni.<br />Ada lagi kesulitan macam lain. Kiranya sudah dipahami bahwa di sini sangatlah sulit untuk melaksanakan tanpa adanya suatu organisasi. Dapat dibayangkan bagaimana ke¬pada seseorang dalam konteks kehidupan kota yang ano¬nim, tiba tiba datang orang lain yang tidak dikenaInya sama sekali dan menyatakan miskin serta menuntut haknya. Tam¬paknya akan tedadi semacam anarki, sekalipun maksud yang, dikandung dapat dibenarkan. Sebagai langkah permulaan barangkali kita dapat memulai dengan mengurus lingkung¬an terdekat saja. Lingkungan terdekat itu dapat kita ambil dari sejumlah jama'ah masjld kita; tidak seperti sekarang ini, orang mengunjungi masjid seperti orang pergi ke stasi¬un kereta api, tidak mengenal siapa siapa yang hadir.<br />Musyarakah dapat dilaksanakan dalam suatu jama'ah. Untuk membagi cinta kasih, kesejahteraan dan kecerdasan, kita memerlukan perangkat sosial ekonomi. Variasi ini dapat diperoleh dengan kesengajaan berdasar semacam sen¬sus jama'ah, atau berdasar satuan teritorial. Selain variasi sosial ekonomi juga harus ada variasi usia, pendidikan, pe¬kerjaan, dan pengetahuan keagamaan. Untuk mendapatkan variasi ini, jumlahtiya harus cukup besar supaya bermacam¬macam, tetapi tidak terialu besar untuk suatu pengelokian sederhana. Barangkali jumiah sekitar 40 kepala keluarga cukup memadai. Jumlah 40 KK ini diambil dari analogi jumlah yang dianggap cukup untuk bersembayang jum'at bersama. Tetapi besar kecilnya jumlah tidak begitu penting, yang penting variasinya.<br />Mekanisme kerja dalam kelompok musyarakah harus sangat sederhana supaya tidak mirip dengan sebuah biro¬krasi, Jama'ah musyarakah bukan merupakan organisasi, te¬tapi sebuah keluarga besar. Masjid yang besar seperti Mas¬jid Agung Surakarta (dan Masjid masjid Agung di berbagai kota lainnya) tentu mempunyai dua macam jama'ah. Per¬tama, jama'ah yang mobil; artinya yang sekedar datang dan pergi guna menunaikan ibadah shalat. Kedua, jama'ah yang tetap, ialah mereka yang tinggal di sekitar masjid, atau yang secara tetap menjadi anggota jama'ah. Sampai sekarang me¬mang tidak ada catatan resmi tentang para pengunjung masjid, karena dalam Islam masjid bukanlah sebuah badan dengan otoritas tertentu. Pembentukan dan pembinaan ja¬ma'ah akan menghendaki sedikitnya anggota yang kurang leblh tetap bagi setiap kelompok musyarakah. Penting da¬lam pembentukan dan pembinaan lanjutan kelompok mu¬syarakah ini ialah pengetahuan yang tepat tentang keadaan sosial ckonomis dari masing masing anggota, sekalipun ti¬dak akan ada penelitian tentang hak milik kekayaan ma¬sing masing. Sekali tagi, kelompok jama'ah bukanlah sebu¬ah birokrasi yang mempunyai wewenang atas pribadi pribadi. Di sini yang mempunyai wewenang hanyalah Allah sema¬ta mata. Bagaimana mckanisme kerja secara mendetail da¬pat dibicarakan dalam musyawarah para ta'mir masjid, se¬bab masing masing tempat mempunyai kondisi sosial eko¬nomis tersendiri. Untuk setiap masjid dapat diselengga-rakan pertemuan perternuan khusus ke arah ini.<br />Setelah meneliti uraian tentang musyarakah di atas, ba¬rangkali akan terasa bahwa tidak ada yang baru dalam hal ini. Memang, ini bukanlah sesuatu yang baru sama sekali: karena akar akarnya kita saksikan dalam sisa sisa tradisi pedesaan dan keagamaan kita sendiri. Hanya pembentuk¬annya dalam kancah masyarakat modern, dan perluasan da¬ri tujuannya, mungkin merupakan hal baru. Mungkin juga di beberapa kelompok urnat sudah ada pelaksanaan musyarakah semacam ini, dengan perbedaan dan persamaan sen¬diri. Namun sifat sifat yang ingin ditekankan di sini ialah sukarela atau ikhlas. Tidak ada paksaan untuk menyerah¬kan secara pasti bagian dari harta, atau ikatan ikatan lain yang tidak berdasarkan keikhlasan. Dengan longgarnya ikatan, mungkin ada kesulitan dalam memobilisasikan dana dan tenaga, tetapi sebagai sebuah eksperimen kebenaran menuju ridha Allah, biarlah bersifat sukarela. Sifat lain ialah terbuka untuk siapa saja. Setiap jama'ah masjid boleh mengambil bagian, bolch tidak. Juga sifat yang terbuka berarti, kelompok ini bukan semacam organisasi rahasia dengan tujuan tujuan lain, kecuali untuk mencari ridha Allah. Keterbuban inj penting, karena Islam ialah sebuah agama yang terbuka, rahmat untuk semesta.<br /><br />Kesimpulan<br />Menegakkan peranan masjid dalam dunia modern ha¬rus mengingat kepentingan umat yang mendesak. Dalam tingkatan perkembangan sosial ekonorni sekarang ini, ketika pemerataan kesejahteraan masih jauh dari equitable, tantangan mendesak kepada agarna ialah sumbangannya kepada rasa arnan sosial ekonorni. Hilangnya rasa aman seperti itu, haik di masyarakat desa maupun kota, sudah mencapal tltik yang kritis, terbukti dengan kemungkinan meningkatnya ke¬sadaran kelas dalam masyarakat. Sumbangan Islam di masa<br />lalu sebagai penangkis kesadaran ketas, sehingga menginginkan mereka yang sudah mapan sosial ekonorni terlindungidari bahaya perang kelas, barangkali tidak banyak disadari. Islam mempunyai gambaran ideal tentang sebuah sisternsosial ekonorni sendiri, yang sebagian dapat dilaksanakan didalarn sistern yang sudah ada. Pada dasarnya, untuk keper¬luan pembagian kekayaan yang merata, Islam mempunyai cara cara yang tersediri. Tetapi dalarn sistem yang ada sekarang, kiranya ajaran musyarakah dapat melindungi urnat Islam khususnya, dan masyarakat pada umumnya dari pera¬saan tidak arnan secara sosial ekonornis. Masjid sebagai pusat kehidupan muslim dapat mempu¬nyai peranan besar dalarn berbagai bidang. Bukan saja dalarn segi ibadah khusus, tetapi juga di bidang sosio kultural, dan sosio ekonorni. Musyarakah adalah usaha dalarn bidangsosio ckonorni itu, salah satu saja dari sekian kemungkinan. Pelaksanaan Musyarakah akan merupakan gejala baru yang memberi harapan, sehingga Islam dirasakan sebagai rahmat, dimana pun, kapan pun, dan bagaimanapun sistern sosial yang ada. Insya Allah.abulumam albantanyhttp://www.blogger.com/profile/04217284884180986248noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3924512155295201119.post-49054207047710186982010-05-13T20:25:00.003-07:002010-05-13T20:25:48.280-07:00Masjid Sebagai Pusat GerakanA. Muher, SHI<br /><br />Masjid sekarang, saya lihat tidak ubahnya seperti stanplat bus. Jika orang ke stanplat bus, dia akan menganggap sele¬sai kalau tujuannya telah selesai. Kita, misaInya, masuk mas¬jid Sholat, duduk sebentar, lalu pulang; tanpa pernah berbi¬cara apalagi mengenal dengan orang yang duduk di sam¬ping kita.<br />Belum fungsionalkah masjid? Saya kira, dalam hal mem¬bina urnat, masjid memang belum begitu berperan. Umat ki¬ta sekarang adalah urnat mengapung. Artinya, tidak mem¬punyai basis paling bawah. Memang, sebagai organisasi mas¬jid kelihatannya mantap. Di sana, misaInya, ada Tamir Mas¬jid. Tetapi nyatanya belum mulus. Kadang kadang, pengu¬rusnya ada, anggotanya tidak ada. Itu mungkin karena tia-danya keinginan untuk berpartisipasi. Saya misalnya, bisa menjadi anggota banyak masjid. Shalat jum'at bisa saya la¬kukan di mana mana. Selama ini, hal itu tampaknya tidak menjadi persoalan. Namun untuk kepentingan wilayah, hal itu sebenarnya kurang menguntungkan. Padahal, masjid sa¬ngat mungkin sekati melakukan pembinaan terhadap Jama'ah di wdayahnya. Tetapi, itulah yang justru belum kita kerjakan.<br />Dalam hal ini, menarik untuk melihat kaitan antara be¬lum berfungsinya masjid sebagaimana mestinya dengan ha¬dirnya organisasi masjid semacam Dewan Masjid Indone¬sia (DMI), dan organisasi organisasi Islam lainnya. Hemat saya, organisasi Islam yang ada sekarang ini, sifatnya lebih ', vertikal. Orientasinya ke atas, atau paling tidak mereka ti¬dak mempunyai saluran ke bawah. Jadi kekuatan menarik orang untuk berkumpul itu sifatnya masih perorangan atau per organisasi. Sementara di satu tempat, ada Muhamadi¬yah, ada NU, ada yang lainya. Maka orang tidak bisa mem¬bangun wadahnya, karena sernua ditarik ke mana mana. Ka¬rena itu, mungkin masjid bisa berfungsi di situ. Membina wi¬layah, maksudnya adalah jama'ah, dengan prinsip partisi¬pasi, mempunyai kornitmen membina umat dalam segala hal di wilayahnya. Islam yang sekarang ini, masih diorganisir oleh nilai-nillai "abstrak". Belum kongkret. Solidaritas umat ma¬sih berkisar pada solidaritas polity (bukan politik ed). Arti¬nya, kita merupakan kesatuan sosial yang mungkin saja utuh, tetapi tidak mempunyai tujuan yang jelas. Jadi, solidaritas memang ada, hanya belum mengakar. la hanya bisa diguna¬kan secara insidental, misalnya dalam Pemilihan Umum, atau dukungan lainnya yang sifat temporal. Sudah saatnya kita beralih kepada bentuk solidaritas yang lebih mengakar.<br />Dan solidaritas yang saya maksudkan itu adalah soli¬daritas sosial dan solidaritas ekonomis ditingkat bawah. Ar¬tinya, urnat tidak hanya disatukan oleh ibadah yang sifatnya bersama, tetapi juga disatukan oleh nasib sosial dan nasib ekonomi yang sama. Tentang nasib sosial, misaInya begini: Sekarang ini kecenderungan pembangunan di masyarakat di¬bagi bagi menjadi kelas kelas kaya, miskin, negeri, swasta, buruh, majikan, dan lain sebagainya. Itu berarti, masing ma¬sing orang ditarik kelasnya. Tetapi kalau ada solidaritas so¬sial, pembagian ke kelas itu tidak akan ada. Pokoknya yang ada, umat itu satu. Dalam hal ini, di tingkat yang paling ba¬wah adalah jama'ah masjid. Sedangkan nasib ekonomis mi¬salnya, kita saling membantu. Sebagai contoh, ada lingkung¬an masjid yang tidak mampu menyekolahkan anaknya. Itu disantuni oleh jama'ah. Mungkin santunannya tidak berupa uang, tetapi bisa dengan mencarikan pekerjaan untuk orang tuanya. Atau kalau ada yang sakit, kita yang mencarikan obatnya, atau dibantu secara bergotong royong. Saya kira bentuk bentuk semacam itu yang amat kongkeret. Solidaritas sosial itu, nanti, juga akan mampu membendung polarisasi sosial baik di kota maupun di desa yang kelak bisa saja menjadi "konflik kelas". Sedangkan sofidaritas ekonomis, akan mampu secara mendadak seklipun menyantuni anggota jama'ah. Dan dalam jangka panjang, bisa mendidik orang un¬tuk berdiri sendiri.<br /><br />Pusat Perubahan Sosial<br />Apakah dengan demikian masjid diharapkan mampu tampil sebagai pusat perubahan sosial? Agaknya begitu. Ar¬tinya, masjid mengubah masyarakat menjadi mandiri. Ke¬mandirian sosial ekonornis di tingkat bawah. Dan itu amat mungkin terjadi. Di desa, misaInya, tentu ada ularna, peda¬gang, petani, dan lain sebaginya. Dalam pengelolaan zakat, mereka sudah merupakan sumber dana yang jelas. Belum lagi dari hasil pertanian, infaq, dan lain sebagaianya yang ke¬sernuanya bisa dimanfaatkan. Di kota, barangkali agak lebih susah. Tetapi di kota, selalu ada orang yang berada, dan sebaliknya. Jadi, andaikata masjid bisa meningkatkan citra¬nya bahwa dia betul betul bisa dipercaya, saya kira orang tidak akan segan mengeluarkan sebagaian penghasilannya, mungkin tidak seperlima, malah lebih.<br />Kesukarannya, memang, selama ini masjid sekedar diang¬gap sebagai tempat ibadah formal. Tetapi untuk menjadikannya sebagai pusat gerakan, sesung¬ guhnya tidak terialu sulit, cukup dengan sedikit workshop. Pengurus masjid itu harus bisa apa saja, bagaimana melaksanakan survey mengenai: jumlah penduduk, penghasilan, pekerjaan, dan lain sebagainya, secara sederhana dalam suatu masyarakat. Data data itu memang sebetulnya harus dikuasai. Sebab, ka¬lau kita memiliki data lengkap tentang jamaah masjid, kita akan lebih mudah mengelompokkannya. Yang sangat jelas, itu akan membantu sekali dalam menganalisis sumber sum¬ber tenaga, dan pikiran yang potensial. Saya kira DMI bias bergerak ke situ. Sekarang ini, DMI orientasinya ke atas. Artinya, mendukung suatu struktur atau jalur kekuasaan. Barangkali itu berstfat politis, tetapi harus diturunkan kebawah. Dengan tujuan pembinaan wilayah itu, orientasinya memang lebih mikro, dan lebih mementingkan partisipasi se¬luruh anggotanya di tingkat bawah. Jadi memantapkan umat, maksudnya adalah umat yang tinggal di wilayah tertentu. Dalarn hubungan ini, mahasiswa bisa berperan sebagai salah satu anggota ta'mir masjid. Tidak perlu harus menjadi ketua atau apa, cukup menjadi semacam kataklisator yang mem¬rabawa perubahan tetap para jama'ah. Karena itu, yang mem¬tipunyai ini siatif tidak pertu harus menjadi pembina. Tentu saja pendekatan ini memang mikro, oleh sebab itu harus di¬sertai dengan gerakan menunjang yang bersifat makro. Mung¬kin struktural, mungkin konstitusional atau apa pun nama¬nya di tingkat atas. Sementara itu, masjid tetap gerakan di bawah. Dan itu menguntungkan. Karena masjid bukan orga¬nisasi massa. Jadi, tidak terkena aturan yang bermacam macam. <br /><br />Kecil Tetapi Kongkret<br />Urnat Islam memang banyak organisasinya. Namun ma¬sing masing tidak ada yang efektif karena jalan sendiri sen¬diri. Dewan masjid misaInya, saya kurang jelas apa kerja¬nya. Tetapi kalaupun ada, menurut saya, mestinya bersifat saling tukar menukar informasi. Itu pun tentang yang di ba¬wah. Sebagai demikian, Dewan Masjid pada tingkat terten¬tu harus memikirkan yang dibawahnya. Sekarang ini tidak, yang dibawah malah memikirkan yang di atasnya. Dewan Masjid di kampung, memikirkan Dewan Masjid di Keca¬matan. Dewan masjid di Keeamatan memikirkan Dewan Mas¬jid di Kabupaten, dan seterusnya. Itu terbalik namanya. Fungsi organisasi masjid juga barangkali adalah menyera¬garnkan ide masjid, yaitu pembinaan jama'ah. Konsep ten-tang perjuangan urnat yang konotasinya politis, bukannya sangat abstrak. Pernbinaan jama'ah lebih kongkret, sebah dia berkonotasi sosial dan ekonomis.<br />Tentu saja, pikiran ini tidak bermaksud supaya urnat Is¬lam meninggalkan dunia politik. Tidak sejauh itu. Yang ter¬kandung dalam pikiran ini, curna sekedar pernilahan fungsi. Yang politis tetap harus ada, tetapi bukan di situ tempat¬nya. Artinya, politik tidak dibicarakan di masjid. Namun, se¬cara keseluruhan perjuangan urnat Islam, tetap harus meng¬andung aspek positif.abulumam albantanyhttp://www.blogger.com/profile/04217284884180986248noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3924512155295201119.post-2943914924575052422010-05-13T20:21:00.000-07:002010-05-13T20:22:42.942-07:00Mensucikan Bulan RamadhanA.Muher[1]<br /><br />“bulan ramadhan yang di dalamnya diturunkan al-qur’an sebagai petunjuk bagi manusia”[2], merupakan ayat al-qur’an yang terkenal, yang mengangkat dan mengagungkan hal-ihwal bulan ramadhan. Dalam bulan ini ada lailatul qadr, yaitu ”malam lailatul qadr lebih baik dari seribu bulan”.[3] Mensucikan bulan tersebut sebagai bulan agung merupakan salah satu tradisi yang diwarisi islam dari tradisi masyarakat arab yang menjadi sumber dan pilar dasarnya. Para (mutahannifun)[4] juga melakukan hal ini, diantara mereka abdul muthalib. Para sejarawan menjelaskan kepada kita, bahwa apabila tiba bulan ramadhan ia (abdul muthalib) menyingsingkan baju untuk pergi ke gua hira melakukan khalwat (bertahannus), dan ia memerintahkan supaya member makan orang-orang miskin sepanjang bulan itu. Demikian pula yang dilakukan oleh zaid bin umar bin nufail, paman umar bin khattab dan salah seorang tokoh mutahannifun.[5]<br /><br />1)Mahasiswa pascasarjan hukum islam uin sunan gunung djati bandung <br />2)Al-baqarah: 185<br />3)Surat al-qadr: 3<br />4)Yaitu orang arab yang beragama hanif pengikut nabi Ibrahim as<br />5)Sayed ahmad al-qimni, daur al-hizb al-hasyimi wa al-aqidah al-hanifiah li qiyam daulah al-arab al-islamiah, hal.66.abulumam albantanyhttp://www.blogger.com/profile/04217284884180986248noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3924512155295201119.post-34585565438766020222010-05-13T20:17:00.001-07:002010-05-13T20:17:48.241-07:00Mengagungkan bulan –bulan muliaA. Muher[1] <br />Seluruh masyarakat arab menganggap bulan dzulqo’dah dzulhijah, muharram, dan rajab sebagai bulan mulia (al-asyhur al-hurum), karena bulan itu merupakan musim ibadah haji ke ka’bah di kota makkah, sebuah ka’bah yang paling besar dan disucikan. Musim haji tersebut dilakukan pada bulan dzulqo’dah, dzulhijjah dan muharram. Adapun bulan rajab merupakan bulan yang didalamnya dilaksanakan ibadah umrah. Ketiga bulan pertama berurutan, sementara yang terakhir (muharram) tidak berurutan. Adalah karena orang rab tidak diperbolehkan perang pada bulan itu kecuali dua suku, yaitu kha’sam dan thay’I, kedua suku ini membolehkan perang dalam setiap bulan.<br />Seringkali terjadi peperangan antar suku karena beberapa sebab, diantaranya bahwa perang dianggap sebagai mata pencaharian (rizki), dan karenanya disebut al-ghozwu (sesuatu yang dicari). Perang merupakan karakteristik (ciri) Khusus dalam kehidupan suku. Mereka menjadikan keempat bulan tersebut sebagai kesempatan untuk berhenti berperang, melakukan ibadah haji dan umrah. Islam dating melestarikan atau menetapkan tradisi pengagungan tersebut dan melarang berperang didalamnya, sebagaimana dalam sebuah ayat “ mereka bertanya tentang bulan agung (al-syahr al-haram), katakanlah Muhammad berperang dalam bulan tersebut adalah dosa besar”.[2] Dan ayat “hai orang-orang beriman janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar allah dan kehormatan bulan-bulan mulia”.[3] Sampai sekarang kita mengenal istilah rajabiyah, yaitu ibadah umrah yang dilaksanakan dalam bulan rajab, oleh orang arab dinamakan al-fard, nama seperti itu juga dikenal di kalangan mereka. <br />1) Mahasiswa pascasarjana hukum islam uin sunan gunung djati bandung<br />2) Surat al-baqarah:194.<br />3) Surat al-maidah:2abulumam albantanyhttp://www.blogger.com/profile/04217284884180986248noreply@blogger.com0