Minggu, 23 Mei 2010

sejarah hukum islam tentang unta

PERHATIAN TERHADAP UNTA (BINATANG TERNAK)
Oleh : A. Muher

Suku suku di semenanjung jazirah Arab sebelum Islam dalam kehidupannya sangat menggantungkan pada binatang ternak. Para pakar bahasa berpendapat, bahwa kata al An'am merupakan bentuk plural ([amak), bentuk single nya adalah "al~Naamu". Al An'am berarti "harta yang dipehhara". Benda yang paIing banyak masuk dalam kategori nama ini adalah unta (al~Ibil). AI Farra' berpendapat, bahwa kata al Ibil merupakan kata berbent uk mudzakkar (laki laki) yang tidak dapat di muannats kan. Mereka (orang Arab) mengatakan: hadza na'amun (ini adalah seekor unta), bentuk plural nya adalah na'man sebagaimana kata hamal yang bentuk plural nya adalah hamlan. Kata al an'am bisa dijadikan mudzakkar dan muannats. Allah berfirman: "mimma fi buthunihi" dan "mimmafi buthuniha". Bentuk plural kata tersebut di plural¬kan lagi menjadi ana’im.
Di sana ada orang yang berpendapat, "bahwa yang termasuk dalam kategori al naam adalah unta saja, atau unta, kambing dan sapi. Bent uk plural nya kata itu adalah an'am".
Masyarakat suku suku memeRhara binatang temak tersebut dan sangat perhatian untuk melatihnya karena "ia tergolong apa yang saya sebut dalam istilah ekonomi modem dengan barang konsumtif atau dalam istilah lain barang produktif atau barang invest. Barang barang yang masuk dalam jenis pertama: daging clan susu yang dapat mensuplai kebutuhan makan secara langsung, sedangkan yang masuk dalam jenis kedua: kulit, bulu domba (wol), dan bulu unta, semuanya merupakan bahan bahan yang dipakai untuk memproduksi barang barang mewah yang dipakai sebagai pakaian; berbagai jenis binatang atau sebagiannya yang dipergunakan untuk kepentingan dalam perjalanan, bepergian, dan berpindah tempat pada gilirannya dapat membantu untuk mempermudah proses transaksi perdagangan dengan masyarakat lain, puisi Jahili yang merupakan Diwan nya orang Arab telah menyebut nyebut pentingnya peran binatang unta di dalam kehidupan suku suku Arab sebelum nabi Muhammad Saw diutus. Ketika Islam datang, ia memberikan perhatian khusus terhadap binatang temak (al an'am). Itu dapat ditemukan di dalam salah satu surat yang terdapat dalam al Qur'an, y*tu surat al An'am, dan beberapa ayat yangal menvebutnva. Manfaat binatang ini sangat banyak, di antaranya dapat disebutkan sebagai berikut:
"Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu, padanya ada bulu yang menghangatkan dan berbagai manfaat, dan kamu makan sebagiannya. Dan kami memperoleh pandangan yang indah padanya. Ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan. Dan ia memikul beban bebanmit ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran¬kesukaran (yang memayahkan) diri", "Dia telah menjadikan bagimu rumah rumah (kemah kemah) dari kulit binatang ternak yang kamu merasa ringan membawanya di waktu kamu berjalan dan waktu bermukim, dan dijadikan pula dari bulu domba, bulu unta, dan bulu kambing, alat alat rumah tangga dan perhiasan sampai waktu tertentU", 'Dan sestingguhnya pada binatang binatang ternak, benar benar terdapat pelajaran yang penting bagi kamu, Kami memberi minum kamu dari air susu yang ada dalam perutnya, dan juga pada binatang binatang ternak itu adafaedah yang banyak bagi kamu, yang kamu memakan sebagian darinya . Beberapa ayat tersebut menyatakan secara global berbagai faedah dan kegunaan binatang temak, baik secara material maupun spiritual, dan ini tidak usah dijelaskan lagi; kata al an'am di dalam al Qur'an disebut dalam beberapa bentuk yang berbeda beda: al an'amu, an'aman, an'amakum, dan an'amahum sebanyak 32 kali dan ini semakin memperteguh urgensitas binatang itu.
Namun binatang unta seringkali menggantikan posisi uang, mengingat masyarakat suku tidak melak ukan transaksi dengan uang, kecuali masyarakat Makkah yang menjadi pusat perdagangan dari situ maskawin dan denda hukuman dibayar dengan menggunakan beberapa ekor unta sesuai dengan situasi dan kondisi. Abdul Muthalib, paman nabi Muhammad Saw adalah orang pertama yang menetapkan denda hukuman pembunuhan dengan membayar seratus ekor unta. Tradisi ini terus berlangsung dan berpindah sampai pada masa Islam. Ketika Islam datang binatang unta masih menempati posisi penting dalam proses transaksi dan dalam berbagai bidang, khususnya berkenaan dengan urusan urusan harta benda.Dalamzakat,kitajugadapatmelihatbinatangunta mempunyai peran nyata, baik dalam penentuan nisab yang wajib dikeluarkan zakatnya maupun dalarn ukuran zakat yang harus dikeluarkan. Masalah ini tidak terbatas pada jumlah binatang unta namun pensifatannya secara sempuma yang mencakup keseluruhan jenis binatang ini, baik jenis kelelakian atau keperempuanan, usia atau umur saya tidak ingin memperpanjang lebar unt uk menyebutkan teksnya, siapa yang ingin mendapat informasi lebih silahkan baca buku buku fiqh dalarn bab zakat.
Di antara keistimewaan kedudukan binatang unta ditengah masyarakat Arab sebelurn nabi Muhammad Saw. diutus, sebagaimana yang telah saya baca dari salah seorang peneliti kontemporer yang mana ia berpendapat, bahwa manakala seorang hakim (al Qadli) ingin memperberat hukuman bagi seorang yang berbuat kejahatan sesuai dengan konteks kriminalitas yang dilakukan, maka pemberatan itu tidak dilakukan kecuali jika wujud hukuman berkaitan dengan binatang unta karena syara'telah menyebutkannya, dan ukurannya tidak bisa diketahui kecuali melalui apa yang sudah didengar (simai) karena tidak ada pendapat tentang pernberatan hukuman di luar (selain) binatang ini, sampai sampai kalau ada seorang hakirn memberikan hukuman maka putusannya tidak dapat diberlakukan karena tidak adanya kepastian ukuran selain untuk binatang unta.
Di sini, kita melihat Dr. Bahansi menegaskan, bahwa pemberatan hukuman tidak diberlakukan kecuali dalam binatang unta sampai sampai jika ada seorang hakim (qadli) memberikan putusan hukuman yang berat pada selain binatang ini, maka hukuman itu tidak bisa diberlakukan "karena tidak adanya ketentuan pasti dalam hal ukuran selain binatang unta". Ketika hukum berlaku untuk yang asal (al ashl), maka hukum itu pun berlaku untuk yang cabang (al far'), karena yang cabang berpegang padanya. Itu artinya, bahwa hukuman yang asal berupa binatang unta ketika tidak ditemukan makna atau konsep yang menggambarkan keharusan hukuman yang asal dengan selain binatang unta, sementara dalam pandangan peneliti pemberatan hukum (yang merupakan cabang) harus berkaitan dengan binatang unta. Prinsip fiqh ini yang dikuatkan oleh seorang peneliti cemerlang yang spesifik dalam bidangnya merupakan salah satu pengaruh dari efektifitas kredo kredo sosial dan kredo kredo lainnya, karena mungkin saja kredo kredo hukum yang mendahului Islam, dan yang oleh Islam diterapkan begitu saja masuk ke dalam karakteristik ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar