Kamis, 13 Mei 2010

Zhan terhadap dalil qhot’I

A Muher, SHI

1. Zhan (prasangka) di dalam dasar-dasar agama tidak dapat dipakai menurut ulama, karena kemungkinan ada sesuatu yang berlawanan dalam diri orang yang berprasangka tersebut. Berbeda dengan zhan.
Dalam cabang-cabang (ilmu fikih), ia dapat dipakai (menurut ahli syariat) karena ada dalil yang membolehkan untuk memakainya. Sesungguhnya az-zhan itu tercela kecuali yang berhubungan dengan cabang-cabang hukum agama, dan ini pendapat yang benar yang telah disebutkan oleh para ulama dalam pembahasan perkaranya.
2. Zhan di sini adalah sebagai pembenaran salah satu dari dua dalil yang bertentangan tanpa dalil penguat yang membenarkan, maka perkara tersebut pasti tercela, karena ia berperan sebagai penentu hukum.
Oleh sebab itu, di dalam ayat Al Qur’ an ia diikutkan dengan hawa nafsu, "Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka." Seakan-akan mereka cenderung pada suatu perkara dan hanya mengikuti hawa nafsu, maka telah ditetapkan celaan baginya. Berbeda dengan zhan (prasangka) yang dikuatkan dengan dalil, ia pasti tidak tercela, sebab ia jauh dari pengikutan terhadap hawa nafsu. Oleh karena itu, ditetapkan kebenaran hukumnya dan dijalankan kandungannya, sebab memang pantas menjalankan perbuatan yang sepertinya, sebagaimana cabang-cabang ilmu agama.
3. Sesungguhnya zhan (prasangka) terbagi dua bagian:
a. Zhan yang bersandar pada dalil qath’i Ia adalah prasangka- prasangka (zhunun) yang dipakai dalam syariat, di mana saja ditemukan, karena ia bersandar pada dalil yang jelas dan termasuk jenis dalil yang jelas.
b. Zhan yang tidak bersandar pada dalil qath'i, tetapi mungkin bersandar pada sesuatu yang tidak memiliki dasar. la adalah tercela, dan mungkin pula bersandar kepada dalil zhanni yang sepertinya.

Prasangka tersebut jika bersandar pada dalil yang qath '/maka statusnya seperti poin a (kepada zhan), maka kita harus menelitinya kembali. Bila bersandar pada dalil yang qath’i maka ia terpuji, sedangkan jika tidak bersandar pada apa pun maka ia tercela. Pada prinsipnya, khabar
ahad sanadnya shahih dan harus disandarkan pada dalil-dalil yang qath 'i dalam syariat, maka wajib untuk diterima. Oleh sebab itu, kami menerimanya secara mutlak. Sedangkan prasangka-prasangka orang-orang kafir yang tidak bersandar pada satu dalil pun, harus ditolak dan tidak dianggap. Jawaban yang terakhir ini diambil dari sumber asli yang telah diterangkan di dalam kitab Al Muwafaqat. Segala puji bagi Allah.
Sebagian orang yang sesat dalam menentang hadits-hadits dan menentang orang yang berpegang pada kandungannya telah melampaui batas, sampai-sampai mereka menganggap bahwa pendapat yang berdasarkan hadits bertentangan dengan akal sehat dan orang yang yang berpendapat dengannya termasuk orang yang kurang waras.
Diceritakan oleh Abu Bakar bin Al Arabi dari sebagian orang yang dijumpainya di Masyriq (orang-orang yang mengingkari perkara melihat Allah), bahwa ia telah bertanya kepadanya, "Apakah orang yang berpendapat tentang ketentuan dapat melihat Allah dikafirkan?" Orang itu menjawab, "Tidak, karena ia berpendapat tentang sesuatu yang tidak masuk akal, dan orang yang berpendapat tentang sesuatu yang tidak masuk akal tidak dikafirkan."
Ibnu Arabi berkata, "Inilah kedudukan kita menurut mereka, maka selayaknya orang yang benar-benar diberikan petunjuk jalan yang lurus mengambil pelajaran dari pengikutannya terhadap hawa nafsu. Semoga Allah melindungi kita dari perkara tersebut dengan pertolongan dari-Nya."
Sebagian orang yang teledor pada zaman kita tergelincir ke dalam perkara ini dan ia mengira semua khabar ahad hanya prasangka, sebagaimana disebutkan dalam perkataan ulama, "Seburuk-buruk suara hati seseorang adalah prasangkanya."
Dalam perkataan ulama yang lain, "Hati-hatilah kamu terhadap prasangka, sesungguhnya prasangka adalah pembicaraan yang paling dusta." Ini adalah pendapat orang-orang yang paling terakhir tergelincir. Semoga Allah SWT menjauhkan kita darinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar